TUJUH
PERANG ATRISI 1969-1970
Perang Atrisi berlangsung antara Israel dan Mesir dengan
artileri dan komando sepanjang Terusan Suez di Semenanjung
Sinai dan dengan misil dan pesawat perang di atas langit
Mesir. Tidak pernah pertempuran berlangsung di dalam wilayah
Israel sendiri. Pertikaian yang mendasarinya terletak pada
kegigihan Israel untuk tetap bertahan di wilayah Mesir yang
direbutnya pada 1967 dan usaha-usaha Mesir untuk
mendapatkannya kembali.1
OMONG KOSONG
"Kami mematuhi persetujuan gencatan senjata
--dan pihak lain melanggarnya." --Levi Eshkol,
perdana menteri Israel, 19682
FAKTA
Kelanjutan dari gencatan senjata yang mengakhiri perang
1967 sejalan dengan kebijaksanaan ekspansionis Israel. Ini
karena pertempuran berakhir dengan pasukan Israel
ditempatkan di tanah yang dimiliki oleh semua tetangga Arab
yang mengelilingi Israel kecuali Lebanon. Kepatuhan pada
gencatan senjata karenanya berarti bahwa Israel dapat
melanjutkan pendudukannya tanpa usaha serius dan sekaligus
dapat menguasai tanah yang direbutnya.
Segera setelah perang 1967 Israel menjelaskan bahwa
"posisi yang ada sekarang tidak akan pernah berubah lagi,"
dalam kata-kata Perdana Menteri Levi Eshkol. Bagi
orang-orang Arab, ini berarti pesan bahwa Israel berencana
untuk mempertahankan tanah-tanah yang telah direbut dan
bahwa satu-satunya jalan untuk membuat Israel menyerahkan
wilayah-wilayah taklukannya sesuai dengan Resolusi PBB 242
adalah melalui tekanan militer.3
Perang Atrisi berkembang dengan lambat. Satu langkah
besar diambil satu tahun setelah perang 1967 ketika para
penembak Israel melemparkan sekitar 450 granat artileri ke
Terusan Suez di ujung selatan terusan itu, yang membunuh
empat puluh tiga orang sipil Mesir dan melukai enam puluh
tujuh lainnya. Setidak-tidaknya seratus bangunan
--rumah-rumah, toko-toko, sebuah masjid, sebuah gereja,
sebuah gedung bioskop-- rusak atau hancur dalam bombardemen
itu.
Israel mengatakan bahwa Mesir telah memulai insiden itu
dengan menembaki pasukannya yang ditempatkan di Terusan Suez
dan bahwa pasukan Israel telah menembaki Terusan Suez untuk
membungkam senjata-senjata Mesir. Sebelumnya kota itu dihuni
260.000 orang, namun setelah terjadinya bombardemen
besar-besaran oleh Israel pada bulan Oktober, sekitar
200.000 orang pergi. Sejak itu sekitar 40.000 orang telah
kembali, membuat penduduk kota tinggal sekitar 100.000
orang. Banyak di antaranya yang pergi setelah penembakan
Israel pada pertengahan 1968.4
Langkah besar lain untuk memulai perang adalah keputusan
Israel dalam bulan September 1968 untuk membangun Bar-Lev
Line sepanjang terusan. Ini merupakan sebuah sistem posisi
militer yang dibentengi dengan sangat kuat sepanjang 101 mil
yang dimaksudkan untuk menahan serangan artileri Mesir
melintasi terusan. Tetapi di mata Mesir itu merupakan
ketetapan hati Israel untuk mempertahankan Sinai dengan
menempatkan pasukan Israel di Terusan Suez secara
permanen.5
Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser berulang kali
memperingatkan secara terbuka bahwa jika Israel meneruskan
pendudukannya atas tanah Mesir dia akan menggunakan
kekerasan untuk merebutnya kembali: "Prioritas pertama,
prioritas mutlak dalam pertempuran ini adalah garis depan
militer, sebab kita harus menyadari bahwa musuh tidak akan
menarik diri kecuali jika kita memaksanya untuk mundur
melalui pertempuran."6
Nasser menerapkan kata-katanya dalam tindakan pada awal 1969
dengan melepaskan serangan-serangan artileri dan komando
melawan kekuatan Israel di Sinai.
Sebelum pertempuran berakhir, Israel menggunakan
pesawat-pesawat perang F-4 buatan AS yang baru untuk
melancarkan serangan-serangan hebat di dalam wilayah Mesir,
yang menimbulkan kerusakan parah di kalangan penduduk sipil
dan menyerang daerah-daerah dekat Kairo. Uni Soviet
menanggapi dengan mengirim pilot-pilot dan pesawat-pesawat
Soviet untuk melindungi langit Mesir. Sekali lagi, Timur
Tengah mengancam akan melibatkan kedua adikuasa itu dalam
suatu konfrontasi langsung.7
Masuknya Soviet mendorong Amerika Serikat untuk mengusahakan
gencatan senjata, yang berhasil dicapai pada Agustus
1970.8
OMONG KOSONG
"Sejak Maret tahun ini Nasser telah mengubah
Terusan menjadi pusat agresi skala luas." --Golda
Meir, perdana menteri Israel, 19699
FAKTA
Perang Atrisi dimulai secara sungguh-sungguh pada 8 Maret
1969, dengan serangan-serangan Mesir yang dilancarkan tiap
hari pada Bar-Lev Line yang dibentengi dengan sangat kuat
oleh Israel di tepi timur Terusan
Suez.10
Serangan-serangan itu secara khusus ditujukan pada pasukan
Israel yang menduduki tanah Mesir. Tidak ada penduduk sipil
Israel atau harta benda mereka yang terancam. Sebagaimana
dikatakan oleh ahli sejarah Lawrence Whetten: "Tujuan Arab
melancarkan pertempuran adalah mengembalikan kehormatan
bangsa dengan jalan mendapatkan kembali wilayah yang
hilang."11
Tembak-menembak artileri semakin gencar sehingga pada 7 Juli
1969 Sekretaris jenderal PBB U Thant memperingatkan bahwa
tingkat kekerasan sepanjang Terusan Suez telah menjadi lebih
parah dibanding masa-masa sebelumnya sejak perang
1967.12
Perang itu mencakup berbagai serangan udara Israel
terhadap penduduk sipil Mesir, meskipun Mesir tidak
melancarkan serangan terhadap penduduk sipil Israel. Israel
menggunakan pesawat-pesawat perang F-4 buatan AS untuk
melakukan penetrasi ke dalam wilayah Mesir, yang membunuh
banyak penduduk sipil. Enam puluh delapan pekerja Mesir
terbunuh dalam suatu serangan udara Israel pada Februari
1970, ketika pesawat-pesawat perang Israel membom sebuah
pabrik besi tua di Abu Zambal, lima belas mil sebelah timur
laut Kairo;13
dan empat puluh enam anak-anak terbunuh pada 8 April dalam
suatu serangan pada sebuah sekolah dasar di Bahr
Al-Bakr.14
OMONG KOSONG
"Israel tidak pernah lebih kuat, atau lebih
dominan." --Jon Kimche, penulis Zionis,
197015
FAKTA
Pada akhir Perang Atrisi pada Agustus 1970, Israel secara
resmi menyatakan bahwa ia telah menang sebab pasukannya
masih berdiri di atas wilayah Mesir di tepi timur Terusan
Suez. Namun para pemimpin militer Israel yang lebih
bijaksana seperti Ezer Weizman dan Mattiyahu Peled
menganggap perang itu sebagai yang pertama di mana kekuatan
Israel berhasil dikalahkan. Peled mengatakan bahwa salah
satu kegagalan dasar kepemimpinan terletak pada
ketidakmampuan untuk memahami bahwa Mesir tidak bisa
menyetujui pendudukan Israel yang berkelanjutan atas
tanahnya. Ahli sejarah militer Israel Yaacov Bar-Siman-Tov
setuju bahwa ada kegagalan-kegagalan besar di pihak Israel:
"Kesalahan-kesalahan besar Israel di bidang politik dan
militer dalam Perang Yom Kippur [1973] berakar pada
evaluasi yang keliru atas hasil-hasil Perang
Atrisi."16
Apa pun pelajaran yang dapat diambil, harga yang harus
dibayar akibat penolakan Israel untuk menghentikan
penaklukan-penaklukan militernya sangat tinggi. Kerugian
Mesir setidak-tidaknya adalah lima ribu orang yang terbunuh
semasa perang. Korban di pihak Israel lebih dari seribu
delapan ratus orang, termasuk empat ratus orang yang
meninggal.17
Catatan kaki:
1 Ball, The Passionate
Attachment, 68-72. Perang berlangsung sejak 8 Maret 1969
hingga 7 Agustus 1970.
2 Medzini, Israel's
Foreign Relations, 2: 869.
3 Ibid., 1: 799.
4 Eric Pace, New York
Times, 10 Juli 1968; Nakhleh, Encyclopedia of the
Palestine Problem, 438.
5 Neff, Warriors
against Israel, 80; Bar- Siman-Tov, The
Israeli-Egyptian War of Attrition, 44, 46.
6 Ibid., 44.
7 Heikal, The Road to
Ramadan, 86; Ro'i, From Encroachment to
Involvement, 528-29.
8 Bar-Siman-Tov, The
Israeli-Egyptian War of Attrition, 171-72.
9 Medzini, Israel's
Foreign Relations, 2: 884.
10 Bar-Siman-Tov,
The Israeli-Egyptian War of Attrition, 92-97. Juga
lihat Neff, Warriors against Israel, 23.
11 Whetten, The
Canal War, 60.
12 Rubinstein, Red
Star on the Nile, 88.
13 O'Ballance, The
Electronic War in the Middle East, 108.
14 Ibid.,113.
Laporan-laporan sebelumnya menyatakan bahwa tiga puluh orang
yang terbunuh, namun banyak yang terluka kemudian
meninggal.
15 Ucapan itu terdapat
dalam sebuah artikel yang dipublikasikan pada Februari 1970,
yang dikutip dalam Whetten, The Canal War, 89.
16 Bar- Siman-Tov,
The Israeli-Egyptian War of Attrition, 200.
17 Dupuy, Elusive
Victory, 369.
|