|
DUA PULUH DUA
KLAIM-KLAIM ISRAEL TERHADAP JERUSALEM
Halangan utama dalam mencapai perdamaian adalah
perjuangan status Jerusalem. Kenyataan bahwa Jerusalem
disucikan oleh orang-orang Kristen, Yahudi, dan Muslim
mengandung arti bahwa statusnya berkaitan dengan masyarakat
internasional. Rencana Pembagian PBB tahun 1947 menyadari
adanya kepentingan seluruh dunia atas Jerusalem dengan
menetapkan kota itu sebagai corpus separatum, sebuah kota
yang terpisah dan tidak boleh dikuasai baik oleh bangsa Arab
maupun Yahudi melainkan oleh suatu rezim internasional di
bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Israel menerima pengaturan
ini ketika ia menerima rencana pembagian dan juga ketika ia
diterima menjadi anggota PBB pada 1949. Namun, Israel secara
konsisten selalu bertindak sebaliknya, dengan menyatakan
bahwa Jerusalem merupakan ibukota abadi bangsa Yahudi. Sejak
1967, Israel telah menguasai seluruh Jerusalem. Pada 10 Juli
1980, ia secara resmi mencaplok kota itu dan menyatakan
bahwa "Seluruh Jerusalem adalah ibukota
Israel."1 Ia
terus mempertahankan pendapat itu hingga sekarang.
OMONG KOSONG
"Jerusalem Yahudi merupakan bagian organik
dan tak terpisahkan dari Negara Israel." --David
Ben-Gurion, perdana menteri Israel
pertama,19492
FAKTA
Dalam menyetujui Rencana Pembagian PBB tahun 1947,
orang-orang Yahudi menerima penetapan badan dunia itu atas
Jerusalem sebagai suatu corpus separatum di bawah kontrol
internasional tanpa bangsa Arab maupun Yahudi bisa menuntut
kekuasaan atasnya. Ikrar ini ditegaskan kembali ketika
Israel akhirnya diterima Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 11
Mei 1949, setelah tiga kali mengajukan permintaan untuk
menjadi anggota. Permintaan-permintaan sebelumnya tidak
dikabulkan sebagian karena adanya kecurigaan internasional
mengenai maksud-maksud Israel atas
Jerusalem.3
Gerak cepat Israel untuk mengklaim Jerusalem sebagai
miliknya bertentangan dengan pendapat masyarakat
dunia.4 Pada 5
Desember 1949, pemimpin Israel David Ben-Gurion menyatakan:
"Jerusalem adalah jantung dari jantungnya Israel... Kita
tidak membayangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan berusaha
memisahkan Jerusalem dari Israel, atau mencurigai kedaulatan
Israel atas ibukota abadinya itu."5
Sebagai reaksi, Majelis Umum PBB empat hari kemudian
menegaskan kembali penetapan rencana pembagian yang
menetapkan seluruh kota Jerusalem sebagai corpus separatum,
dengan menolak klaim Israel. Namun Israel menanggapi dengan
berani. Ia mengabaikan badan dunia itu dan pada 11 Desember
secara resmi menyatakan bahwa Jerusalem telah menjadi
ibukota Israel sejak hari pertama Israel
berdiri.6
Pada 16 Desember, Ben-Gurion menantang masyarakat dunia
dengan memindahkan kantor perdana menteri ke Jerusalem. Dia
menyatakan awal tahun baru 1950 sebagai hari perpindahan
semua kantor pemerintah ke Jerusalem kecuali kementerian
luar negeri dan kementerian pertahanan serta markas besar
polisi nasional.7
Pemindahan kantor-kantor pemerintah Israel ke Jerusalem
tetap tak terbendung oleh tuntutan Dewan Perwalian PBB pada
20 Desember agar Israel memindahkan kantor-kantor itu dari
Jerusalem karena tidak sesuai dengan janji-janjinya pada
Perserikatan Bangsa-Bangsa.8
Pada 31 Desember, Israel secara resmi memberitahu dewan itu
bahwa ia tidak akan memindahkan pemerintahan dari
Jerusalem.9
Tentangan Israel terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa
terbukti berhasil. Sejak Desember 1949 dan seterusnya,
Israel telah bertindak seakan-akan ibukotanya yang sah dan
diakui adalah Jerusalem.
OMONG KOSONG
"Istilah 'pencaplokan'... itu tidak pada
tempatnya. Sarana-sarana yang dipakai [pada akhir
perang 1967] ditujukan untuk menyatukan Jerusalem ke
dalam bidang administratif dan kotapraja, dan menjadi
landasan sah bagi perlindungan terhadap Tempat-tempat
Suci di Jerusalem." --Abba Eban, menteri luar negeri
Israel, 196710
FAKTA
Pada akhir Perang 1967, Israel bergerak cepat untuk
memperluas batas-batas kota dan mencaplok seluruh Jerusalem
sebagai "ibukota abadi."11
Hingga 1967, Jerusalem terdiri atas Kota Tua dengan tembok
bersejarahnya, yang terbagi menjadi wilayah-wilayah Armenia,
Kristen, Yahudi, dan Muslim, dan kota yang mengelilinginya,
yang dibagi untuk orang-orang Arab di sebelah timur dan
orang-orang Israel di sebelah barat.
Dalam kegelapan dinihari tanggal 11 Juni, hari setelah
berakhirnya pertempuran, pasukan Israel memberi peringatan
tiga jam untuk mengosongkan rumah-rumah kepada orang-orang
Palestina yang tinggal di seksi Mughrabi dari Kota Tua
Jerusalem, di sebelah Tembok (Ratapan) Barat dari Temple
Mount/Haram Al-Syarif. Lalu buldoser-buldoser Israel
menghancurkan tempat-tempat tinggal dan dua masjid, membuat
135 keluarga --650 pria, wanita, dan anak-anak-- menjadi
tunawisma. Itu merupakan penyitaan pertama atas hak milik
Palestina setelah perang.12
Seminggu kemudian, pada 18 Juni, para serdadu Israel
mulai memerintahkan orang-orang Palestina untuk meninggalkan
wilayah Yahudi di Kota Tua. Pada mulanya, pengusiran itu
hanya menimpa beberapa ratus orang saja, namun dalam
tahun-tahun selanjutnya menimpa pula seluruh penduduk
Palestina di wilayah tersebut yang berjumlah kira-kira 6.500
orang. Orang-orang Yahudi mulai pindah ke wilayah itu sejak
Oktober 1967.13
Israel bergerak dengan yakin untuk menguatkan
cengkeramannya atas Jerusalem Timur Arab dua minggu setelah
perang dengan diloloskannya dua ordonansi dasar oleh Knesset
pada 27 Juni: Ordonansi Hukum dan Administrasi dan Ordonansi
Korporasi Kotapraja. Hukum korporasi itu memungkinkan
menteri dalam negeri untuk mengubah Batas-Batas Jerusalem,
dan ordonansi administrasi memungkinkannya untuk
memberlakukan hukum Israel ke wilayah kotapraja yang
diperluas itu.14
Menteri dalam negeri melakukan kedua-duanya satu hari
kemudian, pada 28 Juni. Dia lebih dari sekadar menggandakan
ukuran Jerusalem dengan jalan memperluas batas-batas ke
utara sembilan mil dan ke selatan sepuluh mil, meningkatkan
batas-batas kotapraja Jerusalem dari empat puluh kilometer
persegi menjadi seratus kilometer
persegi.15
Batas-batas baru Jerusalem secara hati-hati ditetapkan
untuk memastikan, sebagaimana dilaporkan Wakil Walikota
Meron Benvenisti di kemudian hari, "mayoritas Yahudi yang
melimpah" di dalam batas-batas yang baru
itu.16
Daerah-daerah dengan penduduk Palestina yang padat
dihapuskan sementara tanah yang berbatasan dengan desa-desa
Arab disatukan ke dalam kota yang diperluas
itu.17
Akibatnya batas-batas kota Jerusalem yang diperluas itu kini
menampung 197.000 orang Yahudi dan 68.000 orang
Palestina18
--suatu perubahan dramatis dari masa-masa
pra-pembagian tahun 1947 ketika ada sekitar 105.000 orang
Palestina dan 100.000 orang Yahudi di Jerusalem Besar. Di
dalam batas-batas kota dari kekotaprajaan lama proporsinya
kini adalah 60.000 orang Palestina dan 100.000 orang
Yahudi.19
Majelis Umum PBB pada 14 Juli 1967 menyesalkan penolakan
Israel untuk mematuhi resolusi Majelis tanggal 4 Juli, yang
memerintahkan Israel untuk membatalkan semua upaya untuk
mengubah status Jerusalem dan menganggap semua upaya itu
tidak sah. Majelis juga meminta sekretaris jenderal untuk
melaporkan tentang situasi di
jerusalem.20
Duta Besar Ernesto Thalmann dari Swiss dipilih sebagai
wakil khusus sekretaris jenderal. Dia melaporkan bahwa
"dijelaskan tanpa keraguan sama sekali bahwa Israel tengah
mengambil setiap langkah untuk menempatkan bagian-bagian
kota yang tidak dikontrol oleh Israel sebelum Juni 1967 di
bawah kekuasaannya... Para pejabat Israel menyatakan secara
tegas bahwa proses integrasi tidak dapat diubah dan tidak
dapat dirundingkan."21
Meskipun Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban meyakinkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa Israel tidak mencaplok
Jerusalem Timur Arab, pencaplokan merupakan akibat praktis
dari aksi-aksinya. Untuk selanjutnya, Jerusalem Timur Arab
dihubungkan dengan pasokan air Israel dan, seluruh kota
dianggap oleh Israel seakan-akan bagian integral dari negara
Yahudi.
Baru setelah 30 Juli 1980 Israel secara resmi dan terbuka
mencaplok seluruh Jerusalem dengan menyatakan bahwa "Seluruh
Jerusalem adalah ibukota Israel." Dengan menetapkan
ordonansi itu sebagai "hukum dasar," Knesset memberinya
peringkat konstitusional-semu.22Tindakan
itu diambil satu hari setelah Majelis Umum PBB mengadakan
pemungutan suara bagi Palestina dan penarikan mundur Israel
dari seluruh wilayah pendudukan, termasuk Jerusalem Timur
Arab.23
Pencaplokan itu merupakan patok yang menandai perjuangan
panjang oleh Israel melawan tentangan masyarakat dunia atas
dikuasainya seluruh kota Jerusalem oleh Israel. Meskipun
pencaplokan itu menimbulkan kegemparan internasional, Israel
tetap menolak untuk mundur dan mempertahankan cengkeramannya
atas Kota Suci itu.24
OMONG KOSONG
"[Tahun 1967] mengawali suatu
kebijaksanaan baru Amerika yang tetap tak berubah hingga
hari ini; yaitu, penerimaan secara tersirat kontrol de
facto Israel atas Jerusalem yang bersatu." --Yossi
Feintuch, ilmuwan Israel, 198725
FAKTA
Amerika Serikat telah secara konsisten menentang klaim
Israel atas seluruh kota Jerusalem. Ia telah, bersama dengan
hampir semua negara lain, mempertahankan kedutaan besarnya
di Tel Aviv dan bukan di Jerusalem sebagai lambang
penentangannya terhadap pemaksaan kekuasaan Israel atas
seluruh kota Jerusalem.
Pada awal 1950-an pemerintahan Eisenhower melangkah
sangat jauh dengan melarang para diplomat Amerika agar tidak
berurusan dengan para pejabat Israel di Jerusalem. Tindakan
drastis itu muncul sebagai reaksi atas dipindahkannya
Kementerian Luar Negeri Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem
pada 13 Juli 1953. Menanggapi tindakan Amerika Serikat itu,
Inggris, dan negara-negara lain memboikot semua fungsi di
Jerusalem dan menolak untuk mengunjungi kementerian luar
negeri, yang perpindahannya ke Jerusalem dipandang sebagai
upaya untuk mendukung klaim Israel atas Jerusalem sebagai
ibukotanya.26
Menteri Luar Negeri John Foster Dulles mempertahankan
boikot itu selama satu setengah tahun sebelum menyerah pada
kekerasan sikap Israel dan ketidaknyamanan-ketidaknyamanan
praktis dari situasi itu. Pada 12 November 1954, dia
membolehkan Duta Besar Amerika yang baru untuk Israel,
Edward Lawson, untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya
di Jerusalem, dan secara efektif mengakhiri boikot
itu.27
Namun Kementerian Luar Negeri tetap berpegang teguh pada
kata-kata dari suatu memo abadi, "membiarkan masalah
Jerusalem sebagai masalah yang masih terbuka dan mencegahnya
terselesaikan semata-mata melalui proses keausan dan fait
acompli."28
Maka ketika Israel membuka gedung Knessetnya yang baru di
Jerusalem pada 30 Agustus 1966, tidak ada diplomat AS yang
hadir, meskipun sekelompok wakil Kongres
menghadirinya.29
Sekalipun demikian, kebijaksanaan Washington mengenai
Jerusalem melemah dari tahun ke tahun. Sejak 1949 pemerintah
mengabaikan penetapan Jerusalem sebagai sebuah kota
internasional yang telah disetujuinya dalam Rencana
Pembagian tahun 1947, dan sebagai gantinya menyetujui usulan
bahwa akan ditetapkan zona-zona pemerintahan lokal Arab dan
Israel dengan seorang komisaris PBB yang bertanggung jawab
atas tempat-tempat suci dan permasalahan internasional
sementara Jerusalem tetap tidak boleh dijadikan ibukota
negara mana pun.30
Kemunduran kebijaksanaan AS lainnya muncul 1969 di bawah
pemerintahan Nixon ketika Amerika Serikat melepaskan diri
dari ucapan seorang komisaris PBB, mengabaikan ketetapannya
bahwa Jerusalem merupakan sebuah kota internasional, dan
menurunkan posisinya menjadi sekedar rumusan bahwa Jerusalem
tetap merupakan kota yang terbagi yang masa depannya
ditentukan oleh pihak-pihak yang
terkait.31
Tetapi pemerintah juga menyatakan pada 1969 bahwa Jerusalem
Timur Arab, yang telah direbut Israel pada 1967, merupakan
"wilayah pendudukan [yang serupa] dengan
daerah-daerah lain yang diduduki oleh
Israel."32
Presiden George Bush secara terbuka menegaskan kembali
kebijaksanaan ini pada 3 Maret 1990, serta penetapan
Jerusalem Timur Arab sebagai wilayah
pendudukan.33
OMONG KOSONG
"Jerusalem adalah dan harus tetap menjadi
ibukota Israel." --Resolusi Senat dan Dewan
Perwakilan AS, 199034
FAKTA
Sementara kebijaksanaan AS telah secara konsisten
menentang klaim Israel atas Jerusalem sebagai ibukotanya,
Kongres secara rutin mengeluarkan resolusi-resolusi tidak
mengikat yang memintakan pengakuan atas Jerusalem sebagai
ibukota Israel. Pada 1988 Senator Republik Jesse Helms dari
North Carolina melangkah demikian jauh dengan menambahkan
suatu amandemen bagi Akta Apropriasi Kementerian Luar Negeri
yang meminta dibangunnya dua fasilitas diplomatik yang
terpisah di Israel, satu di Tel Aviv dan satu lagi di
Jerusalem "atau Tepi Barat." Para pengecam menyatakan
amandemen itu merupakan upaya lain dari para pendukung
Israel agar Kedutaan Besar AS dipindahkan ke
Jerusalem.35
Pemimpin minoritas republik Robert Dole dari Kansas mengeluh
pada 1990 bahwa Kongres bertindak tidak bertanggung jawab
dengan mengeluarkan resolusi-resolusi yang "mengalir lancar
dalam waktu sekitar 15 detik [tanpa] perdebatan."
Dole mengemukakan bahwa resolusi 1990 "menyatakan Jerusalem
sebagai ibukota Israel --tempat kedudukan pemerintahan
Israel; suatu posisi yang bertentangan 180 derajat dengan
pandangan negara-negara Arab dan bangsa Palestina. Yang
paling penting, resolusi itu menyatakan bahwa pemerintah
--AS dan banyak pengamat luar-- menganggap lebih baik
masalah itu diserahkan kepada pihak-pihak yang terkait agar
dirundingkan, dan bukannya diputuskan melalui aksi
unilateral."36
Pada saat yang sama, Partai Demokrat telah secara resmi
mendukung posisi Israel dalam program politik partainya,
dengan meminta dipindahkannya Kedutaan Besar AS ke
Jerusalem. Prinsip dasar politik Demokrat pada 1984
berbunyi: "Partai Demokrat mengakui dan mendukung status
pasti Jerusalem sebagai ibukota Israel. Sebagai lambang dari
pendirian ini, Kedutaan Besar AS harus dipindahkan dari Tel
Aviv ke Jerusalem."37
Pada tahun yang sama, subkomite Permasalahan Luar Negeri
DPR mengenai operasi-operasi internasional dan mengenai
Eropa serta Timur Tengah mengeluarkan sebuah resolusi tidak
mengikat yang menyatakan bahwa Kongres menetapkan Kedutaan
Besar dipindahkan ke Jerusalem "secepat
mungkin."38 Ini
merupakan salah satu tujuan utama Komite Urusan Publik
IsraelAmerika (AIPAC), sarana lobi resmi
Israel.39
Bahkan Menteri Luar Negeri George Shultz, salah seorang
pendukung paling hangat Israel, memperingatkan Kongres bahwa
gerakan semacam itu tidak akan
bijaksana.40
Sekalipun demikian, Partai Demokrat terus mendukung
kebijaksanaan Israel dalam masalah Jerusalem. Pada 1988
kandidat presiden Demokrat Michael Dukakis menunjukkan
kesediaannya untuk memindahkan Kedutaan Besar ke Jerusalem,
begitu pula Bill Clinton pada 1992. Program Partai Demokrat
pada 1992 menyebut Jerusalem sebagai ibukota Israel, namun
tidak melangkah terlalu jauh dengan mendesak agar Kedutaan
Besar AS dipindahkan ke sana.
Catatan kaki:
1 New York Times,
31 Juli 1980.
2 Benvenisti,
Jerusalem, 11-12. Teks pidato Ben-Gurion terdapat
dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 1:
223-24.
3 George Barrett, New
York Times, 30 April 1949; Bailey, Four Arab-Israeli
Wars, 64.
4 Pasukan Israel telah
gagal dalam kampanye mereka merebut Kota Tua Jerusalem dalam
perang 1948, dan Kota Tua itu tetap di bawah kontrol Legiun
Arab Yordania. Maka ketika orang-orang Israel menyebut
Jerusalem antara 1949 dan 1967, ketika mereka akhimya
merebut Kota Tua tersebut, mereka mengacu pada Jerusalem
Barat milik Yahudi, bagian baru dari kota itu.
5 Benvenisti,
Jerusalem, 11-12. Teks itu terdapat dalam Medzini,
Israel's Foreign Relations, 1: 223-24.
6 Brecher, Desicions
in Israel's Foreign Policy, 12. Juga lihat Mallison,
The Palestine Problem in International Law and World
Order, 210-14.
7 New York Times,
21 Desember 1949; Benvenisti, Jerusalem, 12;
Feintuch, U.S. Policy on Jerusalem, 88. Juga lihat
Cattan, Jerusalem, 55-65; Mallison dan Mallison,
The Palestine Problem in International Law and World
Order, 214.
8 Resolusi 114 (S-2).
Teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions
on Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1: 176.
9 New York Times,
1 Januari 1950.
10 Surat Abba Eban
kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa,10 Juli 1967, dalam
Medzini, Israel's Foreign Relations, 1: 49.
11 Benvenisti,
Jerusalem, 117; Brecher, Decisions to Israel's
Foreign Policy, 39-40. Juga lihat Cattan, "The Status of
Jerusalem under Intemational Law and United Nations
Resolutions;" Journal of Palestine Studies, Musim
Semi 1981, 3-15, serta buku Cattan Jerusalem; Ibrahim
Dakkak, "The Transformation of Jerusalem: Juridical Status
and Physical Change;" dalam Aruri, Occupation, 67-96;
Hirst, "Rush to Annexation: Israel in Jerusalem," Journal
of Palestina Studies, Musim Panas 1974, 3-31; Mallison,
The Palestine Problem in International Law and World
Order, 207-39; Ghada Talhami, "Between Development and
Preservation: Jerusalem under Three Regimes,"
American-Arab Affairs, Musim Semi 1986, 93-107.
12 Halabi, The West
Bank Story, 35-36. Juga lihat Hirst, "Rush to
Annexation: Israel in Jerusalem;" Journal ofPalestine
Studies, Musim Panas 19741- Neff, Warriors for
Jerusalem, 289-90. Teks pernyataan Walikota Rouhi Khatib
dari Jerusalem Timur di hadapan rapat Dewan Keamanan PBB
tanggal 3 Mei 1968, mengenai aksi-aksi Israel di Jerusalem
selama dua minggu pertama pendudukan, terdapat dalam
Nakhleh, Encyclopedia of Palestine Problem, 374-77.
Nakhleh juga mengambil kutipan- kutipan yang sangat banyak
dari saksi-saksi lain mengenai aksi- aksi Israel di
Jerusalem sebagaimana dinyatakan dalam Dokumen PBB S/13450
dan Addendum 1 tanggal 12 Juli 1979. Komisi itu didirikan
melalui Resolusi Dewan Keamanan 446 tanggal 22 Maret 1979
"untuk memeriksa situasi yang berkaitan dengan
pemukimanpemukiman di wilayah-wilayah Arab yang diduduki
sejak 1967 termasuk Jerusalem."
13 Ann Lesch, "Israeli
Settlements in the Occupied Territories;" Journal of
Palestine Studies, Musim Gugur 1978. Juga lihat Dayan,
Story of My Life, 372.
14 Brecher,
Decisions in Israel's Foreign Policy, 39-40. Juga
lihat Feintuch, U.S. Policy on Jerusalem, 127-29.
15 Cattan,
Jerusalem, 72. Juga lihat Joseph Judge, 'This Year in
Jerusalem," National Geographic, April 1983, 479-514.
Jerusalem Timur milik Yordania pada waktu itu hanya seluas
enam kilometer persegi; lihat Yayasan untuk Perdamaian Timur
Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied
Territories, Musim Dingin 1991-1992.
16 Benvenisti,
Jerusalem, 251.
17 Ibrahim Mattar,
"From Palestinian to Israeli: Jerusalem 1948-1982, "
Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1983,57-63.
Juga lihat Neff, Warriors for Jerusalem, 312.
18 Benvenisti,
Jerusalem, 251.
19 Michael C.
Hudson,'The Transformation of Jerusalem: 1917-1987 AD;"
dalam Asali, Jerusalem in History, 259,269.
20 Resolusi 2254
(ES-V). Teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations
Resolutions on Palestine and tire Arab-Israeli Conflict,
1: 68. Juga lihat Mallison dan Mallison, The Palestine
Problem in International Law and World Order,
215-16.
21 PBB A/6793.
Kutipan-kutipan dalam "Documents Concerning the Status of
Jerusalem," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur
1971, 178-82, dan Medzini, Israel's Foreign
Relations, 1: 251-53.
22 Aronson, Creating
facts, 137-39. Teks itu terdapat dalam New York
Times, 31 Juli 1980. Juga lihat Mallison, The
Palestine Problem in International Law and World Order,
443; Quigley, Palestine and Israel, 172.
23 Khouri, The
Arab-Israeli Dilemma, 418-19.
24 Latar belakang
mengenai Jerusalem oleh David Shipler, New York Times
Magazine, 14 Desember 1980. Juga lihat Cattan,
Jerusalem, 223. Kutipan-kutipan panjang dari sebuah
surat dari Presiden Mesir Anwar Sadat kepada Perdana Menteri
Israel Menachem Begin yang memprotes pencaplokan itu
terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal
of Palestine Studies, Musim Gugur 1980, 202-4.
25 Feintuch, U.S.
Policy on Jerusalem, xi.
26 Dana Adams Schmidt,
New York Times, 11 Juli 1953; New York Times,
16 Juli 1953; keputusan Israel diumumkan pada 10 Juli 1953.
Posisi AS mengenai masalah itu dikemukakan dalam dua
pernyataan Kementerian Luar Negeri pada 28 Juli 1953, dan 3
November 1954; lihat Kementerian Luar Negeri AS, American
Foreign Policy 1950-1955, 2254-55. Juga lihat Brecher,
Decisions in Israel's Foreign Policy, 34; Feintuch,
U.S. Policy on Jerusalem, 116; Neff, Warriors at
Suez, 43. Kumpulan yang sangat berharga dari
dokumen-dokumen sejarah yang berkaitan dengap Jerusalem,
terutama setelah 1967, dapat ditemukan dalam "Documents
concerning the Status of Jerusalem;" Journal of Palestine
Studies, Musim Gugur 1971, 171-94.
27 Feintuch, U.S.
Policy on Jerusalem, 116.
28 Ibid., 117.
29 James Feron, New
York Times, 31 Agustus 1966. Kisah Feron mencatat
kehadiran sejumlah besar tamu intemasional, tetapi tidak
menyebut-nyebut tentang kenyataan bahwa Amerika Serikat
secara resmi memboikot pembukaan itu.
30 Fentuch, U.S.
Policy on Jerusalem, 72.
31 Sheehan, The
Arabs, Israelis, and Kissinger, Lampiran 2. Juga lihat
Brecher, Decisions in Israel's Foreign Policy,
479-80.
32 Feinteuch, U.S.
Policy on Jerusalem, 137. Juga lihat Yodfat dan
Amon-Ohanna, PLO,136-37.
33 Transkrip, ucapan
Presiden di Palm Springs, California, New York Times,
5 Maret 1990. Teks itu terdapat dalam "Documents and Source
Material," Journal of Palestine Studies, Musim Panas
1990,179. Juga lihat John M. Goshko, Washington Post,
7 Maret 1990.
34 Resolusi yang
dikeluarkan bersama-lama S.106 dan H.290, 1990. Teks itu
terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal
of Palestine Studies, Musim Panas 1990,182-83.
35 Lihat memorandum
Francis A. Boyle untuk Wakil Lee Hamilton, 21 Juh 1989,
Arab-American Affairs, Musim Gugur 1989, 126. Teks
perkataan Helms mengenai amandemennya terdapat dalam
Congressional Record, SS9919, 26 juli 1988.
36 Helen Dewar,
Washington Post, 20 April 1990; Donald Neff,
Middle East International, 27 April 1990. Teks
perkataan Dole itu terdapat dalam Congressional Record, 20
April 1990.
37 Teks itu terdapat
dalam New York Times, 18 Juli 1984.
38 Bernard Gwertzman,
New York Times, 3 Oktober 1984.
39 Lihat, misalnya,
kutlpan-kutipan dari pernyataan politik AIPAC dalam
"Documents and Source Materials," Journal of Palestine
Studies, Musim Panas 1985, 220-24.
40 Bernard Gwertzman,
New York Times, 19 Februari 1984, 27 Maret 1984.
|