PENUTUP
Buku ini, saya yakin, mengetengahkan profil yang paling
berimbang dan jujur yang pernah disusun mengenai Israel.
Dari sini muncul realitas-realitas yang sebenarnya berikut
ini:
- Israel adalah sebuah negara yang diperangi terutama
dikarenakan sejarah panjangnya yang penuh dengan ekspansi
teritorial yang agresif dengan mengorbankan bangsa Arab,
teristimewa bangsa Palestina.
- Dalam semangatnya untuk menguasai bangsa Arab yang
tanahnya mereka rebut, Israel menjalankan praktek-praktek
tidak manusiawi yang melanggar hukum internasional dan
gambaran ideal yang mendorong berdirinya Israel.
- Israel akan tetap menjadi negara yang diperangi
hingga ia mengakhiri pendudukannya atas tanah Arab,
penaklukannya atas para penduduknya, dan diskriminasi
yang dijalankannya terhadap para warga negara Arab.
- Amerika Serikat memberikan dukungan yang tanpa itu
Israel tidak akan dapat mempertahankan penindasannya atas
hak-hak asasi manusia dan ekspansi teritorialnya.
Hubungan kolusif ini sangat membahayakan pengaruh AS di
seluruh dunia. Israel telah mendorong pemerintah AS untuk
menjalankan praktek memalukan dengan membutakan mata atas
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Israel baik
terhadap hukum internasional maupun hukum AS, suatu
kebiasaan yang dicatat secara luas oleh para pemimpin
luar negeri.
- Terutama dikarenakan pengaruh kuat para aktivis pro
Israel atas persepsi publik mengenai isu-isu Israel dan
Timur Tengah, kebanyakan orang Amerika tidak menyadari
adanya kolusi dan akibat yang menyertainya.
Dalam mengemukakan realitas-realitas ini, saya tidak
mempersoalkan kedudukan hukum Israel sebagai suatu negara.
Seperti bangsa-bangsa lain --termasuk Palestina--
orang-orang Israel mempunyai hak untuk menentukan masa depan
politik dan memilih pemerintahan mereka sendiri. Saya harus
menambahkan bahwa saya merasa kasihan kepada para aktivis
pro Israel yang mengabdikan diri mereka pada gambaran ideal
tentara Israel seraya mengabaikan kebenaran. Pengaruh yang
mereka lancarkan di Amerika sangat kuat dan sering
membahayakan kepentingan-kepentingan AS, namun, menurut
pendapat saya, ini bukan sebuah persekongkolan dalam
pengertian apa pun. Mereka hanya ingin mempercayai hal-hal
yang baik mengenai Israel, namun pembelaan mereka, tidak
soal betapapun menyedihkannya, tidak dapat membebaskan
Israel maupun Amerika Serikat dari kewajibannya terhadap
hukum dan keadilan.
Krisis yang berkembang di Timur Tengah menuntut
kepemimpinan yang bersemangat dan berani oleh Amerika
Serikat dan Israel, namun tak satu pun dari kedua
pemerintahan itu yang menunjukkan kualitas-kualitas ini.
Keduanya menangguhkan keputusan-keputusan yang diakui akal
sehat sebagai yang tak terhindarkan dan sangat mendesak.
Cepat atau lambat, Israel harus menerapkan keadilan dan
persamaan terhadap semua orang Arab yang berada di bawah
kekuasaannya atau menyaksikan korupsi lebih jauh atas negara
yang sangat dicintai oleh kebanyakan orang Yahudi dan
Kristen itu. Bangsa Palestina yang terkepung di
wilayah-wilayah pendudukan harus diizinkan untuk menentukan
masa depan politik mereka sendiri, dan Israel harus
memperbarui hukum domestik dan prakteknya untuk memberikan
hak dan manfaat penuh kepada seluruh warga negaranya tanpa
mempertimbangkan agama atau kebangsaan mereka.
Yang juga tak terelakkan, Amerika Serikat harus
mengakhiri keterlibatannya dalam pelanggaran-pelanggaran
Israel dan mengundang pemimpin yang dibutuhkan untuk
mendobrak jalan buntu Arab-Israel. Hingga sekarang,
usaha-usaha itu hanya terbatas pada pemberian dorongan bagi
perundingan-perundingan diplomatik, namun sekadar komitmen
pada prosedur itu saja tidak akan cukup. Pemerintah AS harus
mengambil sikap tegas atas prinsip itu. Ia harus menyerukan
diakhirinya pelanggaranpelanggaran Israel atas hak-hak asasi
manusia dan mengumumkan syarat-syarat baru yang keras dan
harus dipenuhi sebelum negara itu berhak menerima bantuan AS
selanjutnya.
Dalam menetapkan syarat-syarat ini, Amerika Serikat,
tentunya, harus mengakui kebutuhan-kebutuhan keamanan
Israel. Meskipun Israel. adalah adidaya di wilayah itu,
keprihatinannya terhadap integritas batas-batas negaranya
dapat dipahami. Ia telah menyimpan sejarah konflik yang
panjang dengan bangsa Palestina dan negara-negara Arab, dan,
kecuali Mesir, semua negara tetangganya secara teknis tetap
memerangi Israel. Wilayah tanahnya kecil dan rentan. Dengan
keadaan seperti ini, Israel akan mendesak diberikannya
jaminan luar biasa pada integritas nasionalnya sebelum
setuju untuk memberikan hak politik kepada para penduduk di
wilayah-wilayah pendudukan.
Untuk meredakan kecemasan-kecemasan ini, Amerika Serikat
hendaknya menyarankan bahwa, begitu penarikan mundur
dilangsungkan, wilayah-wilayah pendudukan harus diserahkan
pada pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai daerah
demiliter, tidak soal jenis entitas politik apa yang
tercipta di sana.
Di samping itu, pemerintah AS harus menawarkan keamanan
perbatasan permanen untuk seluruh garis keliling baru
Israel. Ini akan memerlukan pemberlakuan sistem yang telah
lama berhasil di perbatasan antara Israel dan Mesir di mana,
sejak 1976, lebih dari seribu pasukan AS, unsur utama
angkatan bersenjata multinasional, menjaga keamanan bagi
kedua negara itu.1
Pemberlakuan yang diusulkan itu akan dapat memenuhi dua
tujuan yang sama, yaitu melindungi Israel dan juga
negara-negara Arab tetangganya dari pelanggaran-pelanggaran
pelintas batas. Sementara hal itu akan menjadi kewajiban
utama AS yang baru, termasuk resiko yang harus dihadapi
pasukan AS jika kekerasan benar-benar terjadi, semua ini
masih lebih baik jika dibandingkan dengan akibat yang harus
ditanggung Amerika jika konflik Arab Israel tidak
diakhiri.
Masa depan Jerusalem merupakan suatu tantangan politik
yang rumit namun bukannya tak terpecahkan. Jawabannya
mungkin terdapat dalam konsep yang disebut "kedaulatan
bersama dan tak terpecah," suatu pengaturan politis yang
tidak biasa namun bukannya tidak pernah ada sebelumnya.
Dengan itu, baik Israel maupun Palestina baru akan mempunyai
kedaulatan atas Kota Suci namun menyerahkan administrasi
aktual pada suatu dewan yang dipilih secara lokal. Jerusalem
akan menjadi ibukota Israel dan juga Palestina baru.
Beberapa pejabat Arab telah menyetujui konsep itu, namun
orang-orang Israel sejauh ini belum.2
Di atas semua tantangan ini, yang sangat penting, adalah
pelanggaran yang terus dilakukan Israel terhadap hak-hak
asasi manusia bangsa Arab dan kolusi AS dalam
praktek-praktek tersebut. Sebagaimana dinasihatkan Noam
Chomsky: "Kita harus memberikan dukungan bagi tegaknya
Israel yang lebih besar dengan segala akibatnya dan menahan
diri untuk tidak mengecam konsekuensi buruk dari keputusan
itu, atau kita menarik sarana-sarana dan izin bagi
pelaksanaan program-program ini dan bertindak untuk
memastikan bahwa tuntutan-tuntutan yang sah dari bangsa
Israel dan Palestina dipenuhi."3
Demi kepentingan Amerika sendiri dan juga kepentingan
semua pihak lain, Amerika Serikat harus menekan Israel untuk
mengakhiri pelanggaran-pelanggarannya tanpa penundaan lebih
lama. Pemerintah AS harus memperingatkan Israel dengan tegas
bahwa semua bantuan AS akan ditangguhkan hingga Israel
setuju untuk menarik diri dari wilayah-wilayah pendudukan
dan memberikan hak-hak yang sama pada semua warga
negaranya.
Dengan mengemukakan ultimatum ini, pemerintah AS akan
mengakhiri keterlibatan Amerika dalam
pelanggaran-pelanggaran Israel. Hal itu juga akan
mendatangkan banyak keuntungan bagi Israel: sebagaimana
dikemukakan mantan Wakil Menteri Luar Negeri George W. Ball
ketika merekomendasikan cara penanganan yang sama pada 1977,
penarikan bantuan AS dapat menyelamatkan Israel dari beban
yang mengancam kesejahteraannya
sendiri.4 Empat
belas tahun kemudian, nasihat Ball yang bijaksana masih
belum dipertimbangkan dengan serius.
Masalah itu menunjukkan tiadanya kemauan yang sangat
kritis di pihak para pejabat baik di Kongres maupun di
cabang eksekutif. Kebanyakan mereka mengakui ketololan
kebijaksanaan yang dijalankan sekarang dan perlunya
kepemimpinan AS yang kuat di Timur Tengah, namun mereka
terintimidasi sedemikian rupa oleh pemerintah Israel dan
para pendukungnya di AS sehingga mereka takut untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan AS sendiri.
Intimidasi ini sangat membahayakan bagi
kepentingan-kepentingan dasar Israel, bukan hanya Amerika
Serikat, dan itu harus diakhiri tanpa penundaan lagi. Namun
masih ada sedikit harapan bahwa para pemimpin terpilih AS
akan mengumpulkan keberanian yang dibutuhkan untuk bertindak
hingga mereka mendengar tuntutan keras dari seluruh negeri.
Rakyat Amerika tidak lagi bersedia menyerahkan pemecahan
masalah konflik Arab-Israel kepada kepentingan-kepentingan
yang kuat, di dalam atau di luar pemerintahan, yang telah
menunjang kolusi yang mahal dan merusak ini selama lebih
dari seperempat abad. Pembaruan harus dilakukan dan
dijalankan oleh orang-orang yang gigih di tingkat
masyarakat, yang mendesakkan agar pemerintah kita sekali
lagi berdiri menentang penindasan dan mendukung martabat
umat manusia []
Catatan Kaki:
1 Gagasan bahwa
negara-negara Arab dan Israel akan dilindungi dari serangan
diusulkan pada 1970 dalam sebuah pidato utama oleh Senator
J. William Fulbright yang berjudul "Old Myths and New
Realities--The Middle East." Lihat Tad Szulc, New York
Times, 23 Agustus 1970; kutipan-kutipan utarna dari
pidato ini terdapat dalam edisi yang sama.
2 John Whitback,
Chicago Tribune, 21 Juli 1992. Suatu versi yang lebih
lengkap muncul dalam edisi bahasa Inggris dari
Al-Fajr, 13 juli 1992.
3 Chomsky, The Fateful
Triangle, 6.
4 George W. Ball, "How to
Save Israel in Spite of Herself," Foreign Afairs,
April 1977.
|