|
DUA PULUH LIMA
ISRAEL DAN PROSES PERDAMAIAN
Mantan Menteri Luar Negeri James Baker suka mengatakan
bahwa perdamaian dapat muncul di Timur Tengah hanya jika
semua pihak dalam konflik itu menghendakinya. Namun catatan
Israel dengan jelas menunjukkan bahwa ia telah secara
konsisten lebih memilih tanah daripada perdamaian.
Sebagaimana ditulis oleh Perdana Menteri pertama Israel,
David Ben-Gurion, dalam buku hariannya pada 1949: "
Perdamaian memang penting tetapi tidak untuk ditukar dengan
harga berapa pun."1
Itulah prinsip yang menuntun setiap pemimpin Israel
selanjutnya.
Meskipun Israel telah ditawari sejumlah rencana
perdamaian dengan kepercayaan yang baik selama
bertahun-tahun, ia selalu menolak semuanya dan lebih suka
mempertahankan wilayah yang direbutnya melalui kekerasan.
Ini termasuk penolakannya untuk menerima kembali para
pengungsi Palestina yang tercipta pada 1948 akibat
pendudukan tanah Palestina, penolakannya terhadap berbagai
usulan perdamaian setelah penaklukan pada 1967, dan
desakannya belum lama ini untuk terus menduduki
bagian-bagian dari wilayah Yordania, Lebanon, dan
Syria-serta meneruskan pendudukan militer atas 1,7 juta
orang Palestina. Dalam waktu hampir setengah abad, Israel
baru menjalin perdamaian dengan Mesir, dan dengan demikian
menetralkan negara Arab yang secara militer paling kuat,
yang wilayahnya berdekatan dengan negara Yahudi
tersebut.
OMONG KOSONG
"Israel menginginkan perdamaian.
Menginginkannya lebih dari semua negara lainnya."
--Menachem Begin, perdana menteri Israel,
19792
FAKTA
Tidak kurang dari sahabat Israel Henry Kissinger yang
telah mengakui bahwa Israel lebih memilih tanah daripada
perdamaian. Mantan menteri luar negeri AS itu menulis pada
1992: "Israel menganggap penundaan sebagai strategi yang
paling baik... Bagaimana proses perdamaian itu berkembang
tampaknya menegaskan penilaian ini. Pada 1948 negara-negara
Arab tetangga Israel lebih suka berperang daripada menerima
negara Yahudi itu. Pada '50-an dan '60-an, sebagian dari
mereka mulai bergerak menuju sikap menerima batas-batas '47
namun bukan yang ada saat itu. Misalnya, pada 1954 Presiden
Mesir Gamal Abdel Nasser menuntut agar Israel berhenti pada
batas yang dibuat dalam Rencana Pembagian PBB tahun 1947
yaitu, mengurangi luas Israel, seperti yang telah
ditetapkan, menjadi sekitar 40 persen dari ukurannya dan
membiarkan Jerusalem tetap sebagai kota internasional yang
dikelilingi oleh wilayah Arab. Demikian pula, Anthony Eden,
yang juga berbicara atas nama Amerika Serikat, menyarankan
kompromi antara batas tahun 1947 dan Batas yang ada saat itu
(yang kini kami gambarkan sebagai batas tahun '67).
Pada'70-an dan'80-an, Amerika Serikat dan beberapa rezim
Arab moderat, meskipun bukan PLO, menerima batas '67, tetapi
sekali lagi ditolak keras dengan adanya Batas-Batas yang ada
sekarang.
"Menghadapi tawaran-tawaran yang terus meningkat ini,
Israel tidak akan kehilangan apa-apa dan justru banyak
mendapatkan keuntungan dari sikapnya yang selalu
menunda-nunda."3
Mantan menteri luar negeri Abba Eban pernah mengaku bahwa
preferensi Israel pada tanah terutama dapat dicatat dalam
tahun-tahun sebelum perang 1973: "Saya akan jujur:
keruntuhan diplomasi Israel dimulai di bawah Pemerintahan
Buruh, bukan di bawah Likud... Memang benar kebijakan resmi
Buruh adalah bahwa wilayah-wilayah itu merupakan kartu
tawar-menawar sementara sampai perdamaian tercapai. Tetapi,
pada saat yang sama, [Menteri Pertahanan Moshe]
Dayan berkata, 'Sharm El-Sheikh itu lebih penting dari pada
perdamaian,' dan lebih-lebih lagi Tepi Barat.
"Siapa pun yang mengamati kami pada tahun-tahun sebelum
Perang Yom Kippur akan mendapat kesan bahwa kami benar-benar
tidak tertarik pada perdamaian kami adalah sebuah negara
yang sudah cukup puas tanpa itu. Kami merasa bahwa kami
memegang kartu truf di tangan kami, dan kami senang sekali
memegangnya, namun sejalan dengan berlalunya waktu, kami
mulai menyukainya, dan kami tidak siap untuk
memainkannya."4
OMONG KOSONG
"Kami siap untuk membahas perdamaian dengan
tetangga-tetangga kami, setiap hari dan mengenai semua
hal." --Golda Meir, perdana menteri Israel,
19755
FAKTA
Setiap presiden AS telah diyakinkan oleh para pemimpin
Israel bahwa Israel menginginkan perdamaian. Namun ketika
Amerika Serikat berusaha menemukan rumusan perdamaian, para
presiden itu menyadari selama beberapa dasawarsa bahwa
Israel mempunyai prioritas-prioritas lain.
Presiden Harry Truman adalah presiden pertama yang
mengetahui sikap Israel yang sebenarnya terhadap perdamaian
dan tanah.6 Waktu
berlangsung pembicaraan perdamaian di Lausanne, Swiss, pada
1949, Truman merasa prihatin bahwa Israel membuat
"klaim-klaim luas" atas wilayah. Pesannya kepada Israel
berisi peringatan bahwa Amerika Serikat "sangat terganggu
oleh sikap Israel dalam kaitan dengan penetapan wilayah di
Palestina dan dengan masalah para pengungsi Palestina...
Pemerintah AS sangat khawatir kalau-kalau Israel kini
mengancam kemungkinan untuk sampai pada suatu solusi masalah
Palestina dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat
memberikan sumbangan pada jalinan hubungan yang baik dan
bersahabat antara Israel dan tetangga-tetangganya.
Pemerintah Israel hendaknya tidak menyimpan keragu-raguan
apa pun agar Pemerintah AS dapat mempercayainya untuk
mengambil tindakan yang bertanggung jawab dan positif
menyangkut para pengungsi Palestina dan agar, jauh dari
mendukung klaim-klaim luas Israel atas lebih banyak wilayah
di Palestina, Pemerintah AS percaya bahwa penting bagi
Israel untuk menawarkan kompensasi teritorial bagi wilayah
yang diharapkannya untuk diperoleh di luar batas-batas yang
ditentukan Rencana Pembagian PBB."7
Presiden Dwight Eisenhower menghadapi kekerasan pendirian
yang sama dari Israel. Presiden telah mengirim seorang
utusan rahasia ke Timur Tengah pada awal 1956 untuk
mendorong tercapainya perdamaian antara Israel dan Mesir.
Namun Eisenhower mendapati bahwa "para pejabat Israel...
sama sekali tidak mau menyerah dalam sikap mereka untuk
tidak membuat konsesi-konsesi apa pun demi mencapai
perdamaian."8
Eisenhower mencatat dalam buku hariannya kesannya tentang
sikap angkuh Israel yang diketahuinya dalam suatu kunjungan
dua orang muda Israel kepadanya: "Kedua orang itu meremehkan
negara-negara Arab dalam setiap hal... Mereka dengan besar
mulut menyatakan bahwa Israel tidak memerlukan apa pun
kecuali beberapa senjata pertahanan, dan mereka akan menjaga
diri mereka sendiri selamanya dan tanpa bantuan apa pun dari
Amerika Serikat. Saya mengatakan pada mereka bahwa mereka
keliru --bahwa saya telah berbicara dengan banyak pemimpin
Arab, dan saya yakin mereka sedang membangunkan ular tidur
dan jika mereka dapat memecahkan masalah pertama secara
damai dan tanpa melakukan tindak kekerasan yang tidak perlu
demi kehormatan diri dan kepentingan negara-negara Arab,
mereka akan mendapatkan keuntungan yang tak terhitung
banyaknya dalam jangka panjang."9
Pemerintahan Eisenhower cukup prihatin melihat kesukaan
Israel untuk berperang sehingga ia secara terbuka
memperingatkan Israel agar "menghilangkan sikap sebagai
penakluk dan keyakinan bahwa kekerasan dan kebijaksaan untuk
melakukan pembunuhan-pembunuhan balas dendam merupakan
satu-satunya kebijaksanaan yang akan dapat dipahami
tetangga-tetangga Anda. Anda hendaknya berusaha membuat
perbuatan-perbuatan Anda sesuai dengan ucapan-ucapan yang
sering Anda lontarkan mengenai keinginan Anda untuk mencapai
perdamaian."10
Presiden John Kennedy dan Lyndon Johnson tidak melakukan
usaha-usaha yang serius untuk mencapai perdamaian, terutama
dikarenakan simpati kuat pro Israel Johnson, sehingga mereka
tidak menemui konflik serius dengan Israel.
Presiden Richard Nixon pada awal 1973 menulis sebuah
catatan kepada Penasihat Keamanan Nasional Henry Kissinger
yang berisi keluhan: "Kita sekarang merupakan satu-satunya
teman utama Israel di dunia. Saya toh belum melihat sikap
memberi sedikit pun di pihak mereka --yang mengakui bahwa
Yordania dan Mesir belum cukup memberi di pihak mereka...
Telah tiba waktunya untuk berhenti mengabdi pada kekerasan
pendirian Israel. Tindakan-tindakan kita di masa lalu telah
mendorong mereka untuk beranggapan bahwa kita akan berdiri
bersama mereka tanpa peduli betapapun keterlaluannya
mereka."11
Pada saat lain Nixon. mengusulkan untuk bergabung dengan
Uni Soviet demi tercapainya perdamaian di wilayah itu.
Menurut Kissinger, waktu itu menteri luar negeri, Nixon
mengirimkan sebuah pesan padanya di tengah perang 1973
sementara Kissinger berada di Moskow. Kissinger, yang
setengahnya menguraikan dengan kata-katanya sendiri pesan
itu dalam memoarnya, menulis bahwa Nixon mengusulkan: "Kita
akan memenuhi bahkan kepentingan-kepentingan Israel yang
paling besar jika kita kini menggunakan 'tekanan apa pun
yang mungkin dibutuhkan untuk mendapatkan persetujuan bagi
suatu penetapan yang masuk akal dan yang dapat kita mintakan
pada Soviet untuk menekan negara-negara Arab.' Nixon
kemudian menuliskan daftar rintangan yang selama itu telah
menghalangi tercapainya suatu pemecahan: kekerasan pendirian
Israel, penolakan negara negara Arab untuk tawar-menawar
secara realistis, dan 'keasyikan kita sendiri dengan
inisiatif-inisiatif lain."' Nixon menambahkan: "Saya ingin
Anda tahu bahwa saya siap untuk menekan orang-orang Israel
sampai batas yang kita butuhkan, tanpa mengingat
konsekuensi-konsekuensi politik di dalam negeri
[sic]."12
Presiden Gerald Ford merasa begitu terganggu dengan
penolakan Israel untuk membuat konsesi-konsesi guna mencapai
persetujuan Sinai.kedua sehingga dia mengirimkan sebuah
surat keras pada 22 Maret 1975 kepada Perdana Menteri
Yitzhak Rabin: "Saya kecewa mengetahui bahwa Israel belum
bergerak sama sekali." Ford menambahkan bahwa jika Israel
tidak menjadi lebih lunak, Amerika Serikat terpaksa akan
mempertimbangkan kembali kebijaksanaan Timur Tengahnya,
"termasuk kebijaksanaan kami terhadap
Israel."13
Gertakan itu menjadi bumerang. Pemerintahan Rabin justru
menjadi semakin keras kepala dan pembicaraan gagal di hari
berikutnya. Ford mengeluh bahwa meskipun Amerika Serikat
telah membantu Israel untuk menjadi "lebih kuat secara
militer dibanding jika semua tetangga Arab[nya]
disatukan" dengan harapan bahwa ia akan menjadi lebih lunak,
pendiriannya malah semakin keras dan "perdamaian tidak
menjadi lebih dekat dibanding
sebelumnya."14
Kata Kissinger: "Saya minta Rabin untuk membuat
konsesi-konsesi, dan dia mengatakan bahwa dia tidak bisa
sebab Israel terlalu lemah. Maka saya memberinya
persenjataan, dan dia mengatakan bahwa dia tidak perlu
membuat konsesi-konsesi sebab Israel sudah
kuat."15
Upaya-upaya Presiden Jimmy Carter untuk sampai pada
perjanjian perdamaian Mesir-Israel pada 1979 menyebabkan
dirinya terlibat konflik yang tak habis-habisnya dengan
Israel.16 Dia
mencatat dalam buku hariannya: "[Perdana Menteri Israel
Menachem Begin] tidak bersedia menarik diri secara
politis atau militer dari bagian Tepi Barat mana pun; tidak
bersedia menghentikan pembangunan pemukiman-pemukiman baru
atau perluasan pemukiman-pemukiman yang ada; tidak bersedia
menarik para pemukim Israel dari Sinai atau bahkan
membiarkan mereka di sana di bawah perlindungan PBB atau
Mesir; tidak bersedia mengakui bahwa Resolusi PBB 242
berlaku untuk daerah Tepi Barat Gaza; tidak bersedia memberi
otoritas nyata kepada orang-orang Arab Palestina, atau suara
untuk menentukan masa depan mereka
sendiri."17
Pada saat lain Carter berkata: "Setiap kali kami
tampaknya telah mencapai sedikit keberhasilan dengan
negara-negara Arab, Begin mengemukakan didirikannya
pemukiman-pemukiman baru atau membuat pernyataan-pernyataan
provokatif. Perilaku ini... secara serius mengancam prospek
perdamaian."18
Presiden Ronald Reagan menghadapi
pertentangan-pertentangan tajam dengan Israel, meskipun dia
adalah presiden yang paling pro
Israel.19
Ketika Reagan pada September 1982 mengemukakan rencananya
untuk perdamaian Perdana Menteri Begin serta-merta
menolaknya. Ketika gagasan mengenai suatu konferensi
perdamaian internasional dikemukakan pada 1987 kepada
Perdana Menteri Israel Yitzhak Shamir, dia menanggapi dengan
menyebutnya "gagasan menentang dan kriminal ini," sambil
menambahkan, "Kami mutlak menolak gagasan
ini."20
Presiden George Bush berkata secara terbuka pada 1 Juli
1991, bahwa pemukiman-pemukiman Israel sangat tidak
produktif dan "hal terbaik yang harus dilakukan Israel
adalah menjaga komitmennya... tidak masuk dan membangun
pemukiman-pemukiman lebih jauh." Tepat pada hari berikutnya
para anggota kabinet Israel meresmikan dua fasilitas pada
pemukiman-pemukiman di Tepi Barat.21
Ketika menteri luar negeri pemerintahan Bush, James Baker
mengajukan usulan pada pertengahan 1991 untuk
menyelenggarakan suatu konferensi perdamaian internasional,
Perdana Menteri Shamir menampiknya di TV Israel, dengan
mengatakan bahwa dia, Shamir, tidak percaya pada
pengembalian wilayah dan bertanya: "Di mana Anda dapat
menemukan di antara berbagai negara di dunia ini suatu
bangsa yang bersedia menyerahkan wilayah tanah air
mereka?"22
OMONG KOSONG
"Setiap pemerintahan Israel... lebih menyukai
penyelesaian komprehensif dan menyatakan keinginannya
untuk mengadakan pembicaraan damai dengan para pemimpin
dari setiap atau semua negara Arab tetangga."
--AIPAC,198923
FAKTA
Israel telah menolak setiap rencana perdamaian yang
dikemukakan oleh negara-negara Arab dan Amerika Serikat
kecuali untuk perjanjian bilateral dengan Mesir. (Lihat
lebih banyak mengenai perjanjian Mesir-Israel di bawah.)
Berikut ini adalah usulan-usulan
utama untuk perdamaian dan reaksi Israel:
* Misi Jarring PBB 1967-1971. Diplomat Swedia
Gunnar Jarring dipilih sebagai perantara khusus PBB di Timur
Tengah di bawah ketentuan-ketentuan Dewan Keamanan PBB 242,
yang menyerukan pertukaran tanah untuk perdamaian. Tugasnya
adalah "menjalin dan mempertahankan kontak-kontak dengan
negara-negara [Timur Tengah) yang terkait untuk
mengusulkan perdamaian dan membantu upaya-upaya mencapai
penyelesaian damai dan dapat diterima sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dalam resolusi ini."
Jarring bekerja sepanjang tahun 1968 tanpa menemui
keberhasilan dan kemudian pada 1971 melakukan usaha terakhir
dengan menuntut agar Israel setidak-tidaknya mengungkapkan
dukungannya pada seruan Resolusi 242 bagi penarikan mundur
dari wilayah-wilayah Arab yang didudukinya pada 1967.
Jawaban Israel: "Israel tidak akan mundur dari batas-batas
pra-5 Juni,1967." Dengan itu, misi Jarring berakhir dan
Amerika Serikat tidak melakukan usaha lebih jauh untuk
melaksanakan Resolusi 242.24
* Rencana Rogers 1969. Menteri Luar Negeri William
P. Rogers pada 9 Desember menguraikan suatu rencana yang
menyerukan dilaksanakannya Resolusi PBB 242. Rencana itu
mencakup penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah yang
diduduki pada 1967 dan penerimaan Arab akan perdamaian
permanen dengan Israel serta "penyelesaian yang adil" bagi
masalah pengungsi Palestina.25
Usulan lunak ini menyebabkan dilangsungkannya sesi krisis
dalam kabinet Israel. Pada 11 Desember pagi kabinet
mengeluarkan suatu pernyataan menolak mentah-mentah usulan
itu.26
* Rencana Perdamaian Komprehensif Carter 1977.
Lima bulan lebih sedikit setelah menduduki jabatan sebagai
presiden, Jimmy Carter mengemukakan gagasan-gagasannya untuk
suatu perdamaian komprehensif. Pada 27 Juni, pemerintahnya
mengeluarkan suatu naskah yang berisi pandangan-pandangannya
mengenai unsur-unsur suatu perdamaian komprehensif yang
didasarkan atas Resolusi PBB 24227
Naskah itu berbunyi: "Kami beranggapan bahwa resolusi ini
berarti penarikan mundur [Israel] pada tiga garis
depan yaitu Sinai, Golan, Tepi Barat Gaza...[Tidak]
ada wilayah, termasuk Tepi Barat, yang secara otomatis tidak
termasuk dalam pokok-pokok yang harus
dirundingkan."28
Ditambahkan bahwa ada "kebutuhan akan tanah air bagi bangsa
Palestina."29
Dalam suatu pertemuan dengan Carter, Perdana Menteri
Menachem Begin menyatakan bahwa Israel tidak akan pernah
menerima "kekuasaan asing" atas "Judea dan Samaria." Dia
juga tidak mau menerima penafsiran umum bahwa Resolusi 242
berarti penarikan mundur dari semua garis depan. Dia
berkeras bahwa itu berarti penarikan mundur dari beberapa
garis depan.30
Carter kemudian memberikan pada Begin suatu kelonggaran
besar. Dia menyetujui permintaan Begin untuk tidak
menggunakan di muka umum frasa "penarikan mundur dengan
sedikit penyesuaian," dengan mengatakan bahwa jika
Washington menggunakan rumusan semacam itu akan timbul
prasangka terhadap perundingan-perundingan di masa
mendatang. Meskipun penarikan mundur dengan sedikit
penyesuaian merupakan kebijaksanaan tradisional AS, Carter
setuju.31
Carter sangat kecewa dengan sikap Begin yang tidak mau
memberikan tanggapan terhadap suatu isyarat yang begitu
murah hati yaitu kunjungan dramatis Presiden Mesir Anwar
Sadat ke Jerusalem pada akhir 1977. Setelah hampir setahun
menghadapi jalan buntu, Carter, Begin, dan Sadat bertemu di
Camp David selama tiga belas hari untuk menemukan rumusan
bagi perdamaian. Ketika pembicaraan mereka berakhir pada 17
September 1978, bayangan Carter mengenai suatu persetujuan
komprehensif hancur lebur, bangsa Palestina telah dihina
dengan suatu tawaran "otonomi" palsu, Jerusalem tidak
disebut-sebut, dan Anwar Sadat mendapatkan kembali hanya
wilayah-wilayah Mesir sendiri.32
Itu jelas hanya suatu persetujuan bilateral, tidak lebih
dari yang mungkin dapat diperoleh Mesir sejak ia kehilangan
Sinai pada 1967.33
Israel akhirnya menerima perjanjian damai dengan Mesir
pada 1979 hanya setelah Mesir dan Amerika Serikat secara
mendasar setuju untuk mengabaikan bangsa Palestina dan
Amerika Serikat menjanjikan Israel sampai $3 milyar dalam
bentuk bantuan ekstra di luar jumlah tahunan yang
diterimanya sekitar $2 milyar serta sejumlah besar peralatan
militer tambahan untuk modernisasi angkatan bersenjata
Israel, termasuk dipercepatnya pengiriman pesawat-pesawat
perang F-16, yang terbaru dari angkatan udara
Amerika.34
* Rencana Perdamaian Pangeran Fahd 1981. Putra
Mahkota Saudi Arabia Fahd bin Abdul Aziz mengemukakan pada 8
Agustus suatu rencana perdamaian yang secara khusus
"menegaskan hak negara- negara di wilayah itu untuk hidup
damai."35
Rencana Fahd menyerukan penarikan mundur Israel dari semua
tanah Arab yang direbut pada 1967, termasuk Jerusalem Timur
Arab; ditinggalkannya pemukiman-pemukiman yang didirikan di
wilayah-wilayah pendudukan sejak 1967; dan didirikannya
sebuah negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai
ibukotanya.
Israel dengan segera menolak usulan itu, melalui
pernyataan Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamir yang
menyebutnya "sebuah belati beracun yang ditusukkan ke dalam
jantung eksistensi Israel."36
Israel mengumumkan bahwa ia akan menentang rencana tersebut
dengan mendirikan lebih banyak pemukirnan di Tepi
Barat.37
* Rencana Perdamaian Reagan 1982. Pemerintah
Reagan pada 1 September menawarkan suatu rencana yang
menyerukan penarikan mundur Israel dari semua garis depan di
bawah garis-garis pedoman Resolusi PBB 242. Rencana itu
mengusulkan penghentian kegiatan di pemukiman-pemukiman
Israel, otonomi penuh bagi bangsa Palestina --namun menolak
gagasan tentang sebuah negara Palestina merdeka-- dan
mendesak agar Jerusalem tetap terbagi dan masa depannya
dirundingkan di antara pihak-pihak terkait. Usulan itu
menambahkan bahwa komitmen Amerika terhadap keamanan Israel
"sangat kuat." Meskipun ada janji resmi berupa komitmen kuat
untuk keamanan Israel dan dibatalkannya tawaran Carter
menyangkut sebuah "tanah air" bagi bangsa Palestina, Perdana
Menteri Begin menolak rencana Reagan sebagai suatu "ancaman
serius" bagi Israel dan mencap setiap orang Israel yang
menerimanya sebagai seorang
"pengkhianat."38
Begin menambahkan: "Kami tidak mempunyai alasan untuk
bertekuk lutut. Tak ada yang boleh menentukan untuk kami
batas-batas Tanah Israel."39
Hari berikutnya kabinet Israel secara resmi menolak rencana
Reagan dan pada saat yang sama mengumumkan niatnya untuk
mendirikan empat puluh dua pemukiman baru dan mengungkapkan
sebuah rencana tiga puluh tahun untuk memukimkan 1,4 juta
orang Yahudi di wilayah-wilayah
pendudukan.40
Begin berkata: "Pemukiman semacam itu merupakan hak yang
tidak dapat dicabut dan bagian integral dari keamanan
nasional kami. Karena itu, tidak akan ada penghentian
aktivitas bagi pemukiman."41
* Rencana Perdamuian Fez Arab 1982. Suatu
pertemuan puncak para pemimpin negara-negara Arab di Fez,
Maroko, pada 9 September menerima rencana perdamaian Fez.
Itu terutama didasarkan atas usulan Pangeran Fahd setahun
sebelumnya, yang menonjol terutama karena memberikan
dukungan kuat pada Organisasi Pembebesan Palestina sebagai
satu-satunya wakil sah bangsa
Palestina.42
Rencana itu menawarkan pengakuan implisit terhadap Israel
dengan menyerukan pada Dewan Keamanan PBB agar memberikan
"jaminan bagi perdamaian untuk semua negara di wilayah
itu."43
Pemerintah Israel menolak rencana perdamaian Fez hari
berikutnya, dengan Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamir
menyatakannya sebagai suatu "deklarasi perang yang
diperbarui terhadap Israel... yang tidak punya bobot, tidak
punya nilai... dan mengandung kebencian yang sama,
penentangan yang sama terhadap
perdamaian."44
* Rencana Perdamaian PLO 1988. Dewan Nasional
Organisasi Pembebasan Palestina pada 5 November meninggalkan
terorisme, menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 dan 338,
dan menyerukan diadakannya konferensi perdamaian
internasional. Dewan itu menegaskan "kebulatan tekad
Organisasi Pembebasan Palestina untuk mencapai suatu solusi
damai yang komprehensif dari konflik Arab-Israel dan
esensinya, masalah Palestina, di dalam kerangka Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan legitimasi internasional, aturan-aturan
hukum internasional, resolusi-resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (yang terakhir adalah Resolusi Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa 605, 607, dan 608), dan
resolusi-resolusi dari pertemuan puncak Arab dalam suatu
cara yang menegaskan hak-hak bangsa Arab Palestina untuk
kembali, menentukan nasib sendiri dan mendirikan negara
nasionalnya yang merdeka di atas wilayah nasionalnya, dan
menciptakan pengaturan-pengaturan keamanan dan perdamaian
bagi semua negara di wilayah itu."45
Israel segera menolak usulan PLO: "Sekali lagi,
organisasi yang menyatakan dirinya mewakili bangsa Palestina
terbukti tidak mampu atau tidak bersedia mengakui kenyataan.
Dalam pernyataan-pernyataannya yang baru, ambiguitas dan
pembicaraan ganda kembali digunakan untuk mengaburkan
dukungannya terhadap kekerasan, pemihakannya pada terorisme
dan kepatuhannya pada pendapat ekstrem. Maka, setiap
pengakuan atau keabsahan dari deklarasi itu tidak akan
menunjang perdamaian di Timur
Tengah."46
Reaksi AS hangat-hangat saja. Charles E. Redman, juru
bicara Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa sementara
pernyataan PLO "menumbuhkan semangat," dibutuhkan lebih
banyak konsesi dari PLO 47
Namun, atas dasar pernyataan itu Amerika Serikat akhirnya
setuju untuk menyelenggarakan pembicaraan bilateral resmi
dengan PLO untuk pertama kalinya. Pembicaraan itu berlanjut
tanpa adanya kemajuan serius selama lebih dari dua tahun,
ketika mereka akhirnya dihentikan pada Mei 1990 oleh Amerika
Serikat atas desakan Israel.48
* Rencana Perdamaian Bush 1989. Pemerintah Bush
berpegang pada Resolusi 242 sebagai landasan bagi
perdamaian. Pada 22 Mei ia mendesak semua pihak untuk
mengambil sikap moderat agar suatu proses perdamaian dapat
dimulai. Menteri Luar Negeri James Baker menasihati Israel
bahwa "kini sudah waktunya untuk mengesampingkan, untuk
selamanya, bayangan yang tidak realistik tentang Israel yang
lebih besar. Kepentingan-kepentingan Israel di Tepi Barat
dan Gaza, berkaitan dengan keamanan atau tidak, dapat
diakomodasikan melalui suatu penyelesaian yang didasarkan
atas Resolusi 242. Berjanjilah untuk menghentikan
pencaplokan. Hentikan aktivitas pemukiman. Izinkan
sekolah-sekolah dibuka kembali, rengkuhlah orang-orang
Palestina sebagai tetangga yang patut mendapatkan hak-hak
politik mereka."49
Perdana Menteri Yitzhak Rabin dengan segera mencap pidato
itu "tidak berguna."50
Pada 1990 rasa frustrasi tumbuh di kalangan pemerintahan
Bush dengan dipercepatnya aktivitas pemukiman Israel. Baker
pada 13 Juni secara terbuka menyesalkan pemukiman-pemukiman
Israel dan berkata: "Saya harus mengatakan pada Anda bahwa
setiap orang di sana [di Israel] hendaknya
mengetahui bahwa nomor telepon [Gedung Putih]
adalah: 1-202-456-1414. Jika Anda serius mengenai
perdamaian, telepon kami."51
Israel mengabaikan perkataan Baker dan meneruskan
pembangunan pemukiman-pemukiman ambisiusnya sepanjang tahun
itu.
Pada 1991 Baker secara pribadi turun tangan dengan
mengadakan serangkaian perjalanan yang sulit ke Israel dan
negara-negara Arab untuk mencari cara membuat kedua pihak
bersedia mengadakan pertemuan. Setelah empat perjalanan,
Baker melapor kepada Subkomite Urusan Luar Negeri DPR pada
22 Mei mengenai Operasi-operasi Luar Negeri: "Tidak ada yang
lebih mempersulit usaha saya untuk menemui mitra Arab dan
Palestina bagi Israel daripada sambutan oleh sebuah
pemukiman baru setiap kali saya tiba [di Israel].
Saya kira tidak ada rintangan yang lebih besar bagi
perdamaian daripada aktivitas pemukiman [oleh
Israel] yang terus berlanjut bahkan dengan kecepatan
semakin tinggi. Ini benar-benar melanggar kebijaksanaan
Amerika Serikat... Saya telah mengemukakan masalah ini dalam
sejumlah kesempatan kepada para pemimpin dalam pemerintahan
Israel namun tidak ada hasilnya."52
Meskipun pada 22 Juli 1991 Baker menerima persetujuan
yang belum pernah ada sebelumnya dari Mesir, Yordania,
Lebanon, Saudi Arabia, dan Syria untuk bertemu muka dengan
Israel,Perdana Menteri Shamir menolak gagasan itu
53 Kata Baker:
"Selama 43 tahun Israel telah berusaha mengadakan
perundingan langsung dengan tetangga-tetangganya... Dan kini
ada kesempatan nyata untuk mengadakan perundingan tatap muka
itu. Untuk sekarang, kami akan sangat berharap ada tanggapan
dari Perdana Menteri Shamir dan
rekan-rekannya."54
Jawaban Shamir: "Saya tidak percaya pada kompromi
teritorial."55
Baker perlu mengadakan tiga kali perjalanan lagi ke
Israel untuk akhirnya mendapatkan persetujuan Shamir untuk
bertemu dengan orang-orang Palestina dan negara-negara Arab
tetangganya. Terobosan itu muncul pada 18 Oktober 1991,
ketika Uni Soviet tunduk pada tuntutan Israel dan
memperbaiki hubungan diplomatiknya dengan Israel, yang putus
sejak 1967.56
Para pejabat Arab dan Israel bertemu di Madrid mulai 30
Oktober dan di kemudian hari, dalam pembicaraan bilateral di
Washington, Shamir menjelaskan bahwa dia lebih tertarik
untuk membangun pemukiman-pemukiman daripada berbicara
tentang perdamaian. Pembicaraan damai itu berlangsung lambat
sekali dan tidak meyakinkan, dengan Israel menolak untuk
mengadakan pertemuan lebih dari beberapa hari setiap bulan.
Setelah Shamir kalah dalam pemilihan pada Juni 1992, dia
mengakui bahwa tidak adanya kemajuan dalam pertemuan itu
memang disengaja, dan merupakan suatu taktik penundaan yang
siap untuk dijalankannya selama sepuluh tahun agar tersedia
cukup waktu untuk menjajah wilayah-wilayah
pendudukan.57
Perdana Menteri yang baru Yitzhak Rabin memperpanjang
pembicaraan itu menjadi sesi-sesi sepanjang bulan namun
tidak mengubah kebijaksanaan Shamir secara mendasar.
Akibatnya, setelah pernbicaraan pada September, Oktober, dan
November 1992, tidak ada kemajuan yang dilaporkan dalam
semua perundingan bilateral itu kecuali dengan Yordania,
yang dengannya Israel akhirnya menyetujui suatu agenda untuk
menyelenggarakan pembahasan-pembahasan di masa mendatang.
Pembicaraan-pembicaraan dengan Lebanon dan Syria gagal,
terutama karena Israel mendesak bahwa pasukannnya harus
tetap berada di Lebanon selatan untuk melindungi kota-kota
perbatasan Israel dari serangan-serangan gerilya dan karena
Israel menolak konsep penarikan mundur menyeluruh terhadap
pasukannya dari Dataran Tinggi Golan. Pembicaraan dengan
Palestina tetap terganggu oleh penolakan Israel terhadap
Resolusi PBB 242 58
Pihak-pihak Arab menangguhkan baik pembicaraan
multilateral maupun pembicaraan bilateral pada Desember
1992, ketika Israel mengusir 413 orang Palestina dari
wilayah-wilayah pendudukan ke sebuah puncak bukit di sebelah
utara jalur yang dikuasai Israel di Lebanon Selatan.
Meskipun Pemerintahan Bush memberikan suara setuju pada
resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam Israel karena
tindakan itu dan menuntut, sesuai dengan hukum
internasional, agar orang-orang Palestina dikembalikan ke
rumah-rumah mereka tanpa ditunda-tunda lagi, penggantinya
dalam jabatan itu dengan segera mengembalikan tradisi
Amerika untuk selalu terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan Israel. Warren Christopher, menteri luar
negeri Presiden Clinton, menerima tawaran Perdana Menteri
Israel Yitzhak Rabin untuk mengembalikan seratus orang dari
413 orang Palestina itu dengan segera dan sisanya
dikembalikan tahun depan, sambil mengatakan bahwa tawaran
ini harus dapat menghapuskan setiap tuntutan dari Dewan
Keamanan untuk mempertimbangkan sanksi-sanksi terhadap
Israel. Yang tidak disebutkan dalam pengumuman Christopher
dan diabaikan oleh media AS adalah pernyataan Israel bahwa
keseratus orang itu akan dipenjara, bukan dikembalikan ke
rumah-rumah mereka. Sisanya kemungkinan akan menghadapi
nasib yang sama jika dikembalikan tahun depan.
Bahkan tanpa adanya ledakan kontroversi, prospek
keberhasilan dalam pembicaraan damai cukup suram. Yang jelas
tidak akan ada kemajuan serius kecuali jika Amerika Serikat
secara langsung ikut campur tangan menangani masalah-masalah
yang sebenarnya.
Catatan kaki:
1 Segev,1949, 6. Juga
lihat Ball, The Passionate Attachment, 298.
2 Konferensi pers Begin,
1 Maret 1979, dikutip dalam Medzini, Israel's Foreign
Relations, 5: 644.
3 Henry Kissinger, "The
Path to Peaceful Coexistence in the Middle East,"
Washington Post rubrik Outlook, 2 Agustus 1992.
4 Fred J. Khouri, "Major
Obstacles to Peace: Ignorance, Myths and Misconceptions,"
American- Arab Affairs, Musim Semi 1986, 60.
5 Meir, My Life,
383.
6 Untuk laporan-laporan
mengenai kekerasan pendirian Israel selama masa ini, lihat
laporan-laporan semacam itu dalam Kementerian Luar Negeri
AS, Foreign Relations of the United States
(FRUS)1949, "The Minister in Lebanon (Pinkerton) to the
Secretary of State" (dari Ethridge), 28 Maret 1949,6:878;
FRUS 1949, "The Minister in Lebanon (Pinkerton) to
the Secretary of State" (dari Ethridge), 28 Maret 1949,6:
876-77; FRUS 1949, "The Consul at Jerusalem (Burdett)
to the Secretary of State;" 28 Februari 1949, jam 9 pagi, 6:
775; FRUS 1949, "The Consul at Jerusalem (Burdett) to
the Secretary of State;" 20 April 1949, jam 4 sore, 6:
928-30.
7 FRUS 1949, "The
Acting Secretary of State to the Embassy in Israel;" 28 Mei
1949, jam 11 pagi, 6: 1072-74. Juga lihat Ball, The
Passionate Attachment, 33-41.
8 Buku harian Eisenhower,
13 Maret 1956, Perpustakaan Eisenhower.
9 Buku harian Eisenhower,
8 Maret 1956, Perpustakaan Eisenhower, dikutip dalam Neff,
Warriors at Suez, 50-51.
10 Neff, Warriors at
Suez, 44. Juga lihat New York Times, 10 April
1954.
11 Kissinger, Years
of Upheaval, 212.
12 Ibid., 55G-51.
13 Sheehan, The
Arabs, Israelis, and Kissinger, 159.
14 Ford, A Time to
Heal, 245.
15 Sheehan, The
Arabs, Israelis, and Kissinger, 199.
16 Ball, Passionate
Attachment, 84-107.
17 Carter, Keeping
Faith, 312-13.
18 Khouri, "Major
Obstacle to Peace;" 60.
19 Ball, The
Passionate Attachment, 108-30.
20 Thomas L. Friedman,
New York Times, 13 Mei 1987.
21 Linda Gradstein,
Washington Post, 3 Juli 1991. Kutipan-kutipan
terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal
of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,185-86.
22 Thomas L. Friedman,
New York Times, 25 Juli 1991.
23 Davis, Myths and
Facts, 1989, 69.
24 Quandt, Decade of
Decisions, 136. Juga lihat Kissinger, White House
Years, 1278-79; Neff, Warrior against Israel, 46;
Whetten, The Canal War, 210.
25 Teks mengenai
pernyataan Rogers terdapat dalam Lukacs, The
Israeli-Palestinian Conflict, 55-60.
26 Brecher,
Decisions in Israel's Foreign Policy, 479-83. Teks
pernyataan kabinet itu terdapat dalam Lukacs, The
Israeli- Palestinian Conflict, 182-83.
27 Teks itu terdapat
dalam Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy
1977-1980, 617-18, dan New York Times, 28 Juni
1977.
28 Quandt, Camp
David, 73.
29 Carter pertama kali
secara terbuka menyebut kata "tanah air" pada 16 Maret 1977;
lihat teks itu dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian
Conflict, 69-70. Reaksi di kalangan para pendukung
Israel atas pernyataan "tanah air" Carter begitu kerasnya
sehingga Gedung Putih dengan segera mengubah perkataan itu,
dengan menyatakan, "Definisi yang paling tepat dari apa yang
dimaksudkan sebagai tanah air, tingkat kemerdekaan entitas
Palestina, hubungannya dengan Yordania, atau barangkali
Syria dan yang lain-lainnya, batas-batas geografisnya,
semuanya harus dibicarakan oleh pihak-pihak terkait." Lihat
Rurenberg, Israel and the American National Interest,
210-11. Isu tanah air itu pada akhimya dibatalkan Carter
dikarenakan adanya tentangan dari Para pendukung Carter,
menurut laporan analis William Quandt: "Namun, tidak lama
kemudian, Carter mulai merasakan suhu tinggi politik, dan
pernyataan-pernyataannya mengenai bangsa Palestina menjadi
lebih hati-hati, mula-mula menekankan preferensinya pada
kaitan antara tanah air Palestina dan Yordania, kemudian
membatalkan semua acuan pada tanah air, dan akhirnya
menyampaikan tentangannya pada suatu negara Palestina
merdeka;" lihat Quandt, Camp David, 60.
30 Quandt, Camp
David, 84.
31 Ibid., 81.
32 Quandt, Camp
David, adalah penjelasan paling bagus mengenai
perundinganperundingan dan makna dari
persetujuan-persetujuan itu. Quandt adalah anggota tim AS
dan membawa wawasan sebagai orang dalam pada peristiwa
itu.
33 Sejak Agustus 1967
Israel telah secara rahasia menawari Mesir pengembalian
Sinai sebagai pertukaran bagi demiliterisasi dari wilayah
gurun, navigasi bebas di Terusan Suez, internasionalisasi
Selat Tiran, dan suatu perjanjian damai resmi; lihat
Aronson, Conflict and Bargaining in the Middle East,
86. Tawaran Israel ini dianggap sebagai suatu cara untuk
memisahkan musuhnya yang paling kuat dari negara-negara Arab
lainnya --dan dengan kasar ditolak oleh pemimpin Mesir Gamal
Abdel Nasser. Juga lihat O'Brien, The Siege, 489, dan
teks- teks dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh
PLO, Saudi Arabia, Yordania, Lebanon, Syria, Kuwait,
Tunisia, Maroko, bangsa Palestina, dan seterusnya, dalam
"Documents and Source Material;" Journal of Palestine
Studies, Musim Dingin 1979, 177-204.
34 Kementerian Luar
Negeri AS, American Foreign Policy 1977-1980,
667.
35 Teks itu terdapat
dalam "Documents and Source Material;" Journal of
Palestine Studies, Musim Gugur 1981, 241-43. Lihat
Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 425.
36 Rurenberg, Israel
and the American National Interest, 259. Juga lihat
O'Brien, The Siege, 617-18, untuk spekulasi tentang
bagaimana rencana perdamaian itu merepotkan Israel mengingat
hubungan hangat antara Amerika Serikat dan Saudi Arabia dan
mendorongnya pada keputusan untuk menyerang Lebanon pada
tahun 1982.
37 Rurenberg, Israel
and the American National Interest, 259.
38 Teks itu terdapat
dalam New York Times, 2 September 1982, dan
"Documents and Source Material," Journal of Palestine
Studies, Musim Panas/Gugur 1982, 340-43. Juga lihat
Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 436-41; Peck,
The Reagan Administration and the Palestinian
Question, 83-99.
39 Ball, Error and
Betrayal in Lebanon, 53, dan Tom Wicker, New York
Times, 24 September 1982.
40 Khouri, The
Arab-Israeli Dilemma, 438. Teks surat Begin kepada
Reagan yang menjelaskan posisi Israel terdapat dalam New
York Times, 5 September 1982, dan "Documents and Source
Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Dingin
1983,211-18.
41 Rurenberg, Israel
and the American National Interest, 309.
42 Teks itu terdapat
dalam New York Times, 10 September 1982, dan
"Documents and Source Material;" Journal of Palestine
Studies, Musim Dingin 1983, 202-3. Juga lihat Cobban,
The Palestine Liberation Organization, 127.
43 Peck, The Reagan
Administration and the Palestinian Question, 83-99.
44 Rurenberg, Israel
and the American National Interest, 313.
45 Teks dari "Komunike
Politik" itu terdapat dalam Lukacs, The
Israeli-Palestinian Conflict, 411-15. Suatu telaah
mengenai pertemuan dewan dan kebijaksanaan AS terdapat dalam
Rashid Khalidi, "The 19th PNC Resolutions and American
Policy," Journal of Palestine Studies, Musim Dingin
1990. Juga lihat Muhammad Muslih, "Towards Coexistence: An
Analysis of the Resolutions of the Palestine National
Council," Journal of Palestine Studies, Musim Panas
1990,3-19.
46 46 Joel Brinkley,
New York Times, 16 November 1988. Teks pernyataan
Israel itu terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian
Conflict, 216-18.
47 Robert Pear, New
York Times, 16 November 1988.
48 Thomas L. Friedman,
New York Times, 21 Juni 1990. Teks
penyataan-pemyataan resmi PLO mengenai masalah itu terdapat
dalam Journal of Palestine Studies, "Documents and
Source Material;" Musim Gugur 1990, 159-63. Teks dari
komentar Presiden Bush terdapat dalam jumal yang
sama,186-90.
49 Thomas L. Friedman,
New York Times, 23 Mei 1989. Sebagian teks dari
perkataan Baker terdapat dalam terbitan yang sama. Teks
lengkap terdapat dalam Department of State Bulletin, Juli
1989, dan "Documents and Source Material;" Journal of
Palestine Studies, Musim Panas 1989,172-76. Juga lihat
Ellen Flesichmann, "Image and Issues and the AIPAC
Conference, 21-23 May 1989," Journal of Palestine
Studies, Musim Panas 1989, 84-90.
50 David S. Broder,
Washington Post, 24 Mei 1989; Thomas L. Friedman,
New York Times, 24 Mei 1989. Juga lihat James
Morrison dan Martin Sieff, Washington Times, 24 Mei
1989.
51 Thomas L. Friedman,
New York Times, 14 Juni 1990.
52 Thomas L. Friedman,
New York Times, 23 Mei 1991. Teks itu terdapat dalam
Sicherman, Palestinian Self-Government (Autonomy),
Lampiran XVI.
53 Teks mengenai
penahaman Syria tentang janji-janji AS mengenai konferensi
itu terdapat dalam "Documents and Source Material,"
Journal of Palestine Studies, Musim Gugur
1991,169.
54 Thomas L. Friedman,
New York Times, 23 Juli 1991. Teks pernyataan yang
diserahkan pada Baker oleh orang-orang Palestina itu
terdapat dalam "Documents and Source Material," Journal
of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,16&69.
55 Thomas L. Friedman,
New York Times, 25 Juli 1991.
56 Jackson Diehl,
Washington Post, 19 Oktober 1991. Juga lihat Thomas
R. Mattair, "The Arab-Israeli Conflict: The Madrid
Conference, and Beyond;" American-Arab Affairs, Musim
Panas 1991.
57 Clyde Haberman,
New York Times, 27 Juni 1992.
58 Muhammad Hallaj,
"The Seventh Round of the Bilateral Peace Talks;" Middle
East International, 6 November 1992.
|