|
DUA PULUH TUJUH
ISRAEL SEBAGAI SEKUTU STRATEGIS
Israel sering dikatakan sebagai sekutu strategis Amerika
Serikat. Ini merupakan penggambaran yang sangat tidak tepat
yang mengganggu dan cenderung menjauhkan negara-negara dan
gerakan-gerakan politik yang kerja samanya sangat kritis
terhadap perdamaian. Dari sudut pandang hukum dan praktis,
Israel bukanlah sekutu Amerika Serikat. Tidak ada perjanjian
persekutuan apa pun antara kedua negara itu. Memorandum
of Understanding on Strategic Cooperation yang
ditandatangani pemerintah Reagan dengan Israel pada 29
November 1983 bukanlah suatu perjanjian dan tidak mempunyai
kekuatan dalam hukum internasional. Itu hanya mengikat
pemerintah yang menandatanganinya.
Israel tidak mempunyai tanah atau penduduk untuk
mendukung peranan sebagai sekutu strategis bagi Amerika
Serikat. Meskipun ia secara militer merupakan adidaya di
Timur Tengah, catatan permusuhannya dengan para penduduk
tetangganya menjadikannya beban serius dari sudut pandang
kepentingan-kepentingan keamanan AS. Amerika Serikat memang
adalah aset dengan makna strategis sangat besar bagi Israel,
namun yang sebaliknya tidaklah benar.
OMONG KOSONG
"Orang-orang Amerika telah... mengakui makna
penting yang sangat besar dari Israel --sebagai mitra
dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dan demokrasi,
sebagai suatu bangsa yang mempunyai cita-cita yang sama
dengan kita, dan sebagai sekutu strategis yang
penting." --George P. Shultz, menteri luar
negeri,19851
FAKTA
Pernyataan bahwa Israel adalah "aset strategis" berhasil
dipromosikan pada 1980-an oleh lobi Israel yang dipimpin
oleh AIPAC, Komite Urusan Publik Israel Amerika. Inti
argumen AIPAC adalah bahwa Israel merupakan sekutu strategis
untuk melawan serbuan Soviet ke wilayah itu karena
stabilitas politik, kemampuan militer, dan dinas
intelijennya. Untuk mendukung kasusnya, lobi itu
mengeluarkan serangkaian risalah, AIPAC Papers on
US-Israeli Relations, yang berusaha menunjukkan
keuntungan dari hubungan erat AS-Israel dalam bidang
keamanan.2
Para presiden dan menteri luar negeri sebelumnya telah
menghindari persekutuan resmi dengan Israel, meskipun mereka
sering bertindak seakan-akan persekutuan semacam itu ada.
Namun pada tingkat resmi, Washington telah secara konsisten
menolak usaha-usaha Israel untuk menjalin ikatan-ikatan
resmi. Misalnya, pada pertengahan 1950-an Israel telah
berusaha untuk menjalin suatu hubungan keamanan resmi dengan
Amerika Serikat namun Menteri Luar Negeri John Foster Dulles
menolak dengan menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak dapat
diharapkan untuk "menjamin batas-batas gencatan senjata
sementara; ia hanya dapat menjamin batas-batas perdamaian
yang telah disetujui secara
permanen."3
Dengan kata lain, Dulles menyuruh Israel untuk menentukan
batasan-batasannya dan tinggal di dalamnya.
Menteri Pertahanan Presiden Carter, Harold Brown, menolak
mentah-mentah gagasan tentang Israel sebagai aset strategis,
dengan mengatakan: "Seluruh pernyataan bahwa Israel adalah
aset kita, tampak gila di mata saya. Orang-orang Israel itu
akan berkata, 'Biar kami membantu kalian,' dan kemudian
akhirnya kalian dijadikan alat mereka. Orang-orang Israel
mengutamakan kepentingan keamanan mereka sendiri dan kita
mengutamakan kepentingan kita sendiri. Keduanya tidak
sama."4
Presiden Reagan menentang kecenderungan ini. Pada 30
November 1981, Amerika Serikat, atas desakan Menteri Luar
Negeri Alexander Haig, menandatangani Memorandum of
Understanding on Strategic Cooperation dengan Israel.
Persetujuan itu menuntut kerja sama AS-Israel melawan
ancaman-ancaman di Timur Tengah "yang disebabkan oleh Uni
Soviet atau kekuatan-kekuatan yang dikontrol oleh Soviet
dari luar wilayah itu."5
Majelis Umum PBB bereaksi dengan mengeluarkan sebuah
resolusi yang menuduh bahwa persetujuan itu akan "mendorong
Israel untuk menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan serta
praktek-praktek agresif dan ekspansionisnya di
wilayah-wilayah pendudukan" dan akan mempunyai "pengaruh
merugikan atas usaha-usaha untuk mencapai perdamaian
komprehensif, adil, dan abadi di Timur Tengah dan akan
mengancam keamanan wilayah itu."6
Pada 14 Desember 1981, Israel menentang pendapat dunia
dan benar-benar mencaplok Dataran Tinggi Golan milik Syria.
Amerika Serikat bergabung dengan Dewan Keamanan PBB mencela
tindakan itu dan menyatakannya "batal dan tidak
sah."7 Washington
juga menangguhkan persetujuan kerja sama strategis dengan
Israel.8 Namun,
pada 29 November 1983, pemerintah Reagan menghidupkan
kembali persetujuan kerja sama strategis itu. Pada hari itu
Israel dan Amerika Serikat sekali lagi secara resmi
sama-sama berjanji akan berjuang melawan serangan komunis ke
Timur Tengah.9
Kebijaksanaan itu mendapat dukungan kuat dari Menteri
Luar Negeri Shultz, dengan mengesampingkan tentangan dari
Menteri Pertahanan Caspar Weinberger dan beberapa pejabat
dari Kementerian Luar Negeri dan CIA. Mereka semua
memperingatkan telah diabaikannya ikatan-ikatan persahabatan
dengan negara-negara Arab dan dijadikannya Amerika Serikat
"sandera dari kebijaksanaan Israel."10
OMONG KOSONG
"Israel adalah sekutu terkuat dan sahabat
terbaik kita, bukan hanya di Timur Tengah, melainkan juga
di tempat-tempat lain di dunia ini." --Senator Albert
Gore, kandidat wakil presiden
Demokrat,199211
FAKTA
Ilmuwan Cheryl A. Rurenberg menulis: "Dalam hubungan
AS-Israel, Amerika Serikat telah memberikan dukungan mutlak,
namun Israel telah berulang kali melakukan tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan Amerika
bahkan sering membahayakan kepentingan-kepentingan
tersebut."12
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri George W. Ball menambahkan:
"[Israel] tidak pernah siap untuk berurusan dengan
Amerika Serikat dengan cara dan semangat yang diharapkan
dari seorang sekutu. Ia tidak sepakat dengan kita bahwa
sasaran utama adalah tercapainya perdamaian abadi di wilayah
itu, kecuali dalam pengertian ekspansionisnya sendiri. Ia
tidak --dan tidak bersedia untuk--berunding dengan kita atau
berusaha untuk menyelenggarakan suatu kebijaksanaan bersama.
Ia terus-menerus mengelabui Amerika Serikat mengenai
gerakan-gerakan yang diharapkan, sering kali dengan
merugikan rencana-rencana dan kepentingan-kepentingan
Amerika Serikat."13
Yang menyulitkan hubungan itu adalah kenyataan bahwa
secara turun-temurun pemerintah-pemerintah Amerika Serikat
telah berkolusi dengan Israel melawan negara-negara Arab,
seringkali dengan melanggar kebijaksanaan resmi AS.
Sekalipun demikian, Israel telah berkali-kali menolak dengan
angkuhnya nasihat AS, memamerkan pelanggaran-pelanggarannya
atas kebijaksanaan AS, tidak mau berunding dengan Washington
sebelum mengambil tindakan-tindakan yang begitu keras
seperti mencaplok Jerusalem, dan, sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, memata-matai Amerika Serikat.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakannya
--seperti serangan-serangannya atas Lebanon, pendudukan
wilayah yang terus-menerus dilakukannya dengan kekerasan,
pelanggaran-pelanggarannya terhadap Piagam PBB dan Konvensi
Jenewa Keempat-- yang secara langsung bertentangan dengan
kebijaksanaan-kebijaksanaan Amerika Serikat. Tetapi meskipun
tindakan-tindakan itu telah membatalkan Israel sebagai
sekutu sejati, pemerintah Reagan tetap memanjakan Israel
dengan serangkaian konsesi luar biasa bahkan lebih dari
sekadar menetapkan negara Yahudi itu sebagai sekutu
strategis.
Pada 1985, pemerintah Reagan menetapkan suatu zona
perdagangan bebas yang unik dengan Israel. Pakta itu membuka
pasar-pasar AS untuk barang-barang Israel, yang bebas bea,
untuk bersaing langsung dengan produk-produk Amerika seperti
tekstil dan sitrus. Itu adalah kali pertama Amerika Serikat
memberikan akses semacam itu untuk pasarnya kepada suatu
pemerintahan asing.14
Pada 1986, Israel diberi hak untuk ikut serta dalam riset
canggih untuk Inisiatif Pertahanan Strategis (SDI) Presiden
Reagan yang kontroversial, yang dikenal sebagai Star
Wars. Israel menjadi negara ketiga yang terdaftar dalam
program itu, setelah Inggris dan Jerman
Barat.15 Selama
itu Israel telah menerima $126 juta untuk mendanai
pengembangan sistem pertahanan antimisil Arrow di bawah
program SDI, dengan $60 juta lainnya yang diberikan untuk
kelanjutan Arrow dalam tahun fiskal 1992 dan, menurut
Senator Robert Byrd, kemungkinan beberapa ratus juta dollar
lebih di masa mendatang.16
Pada 1987, Israel bersama dengan sekutu-sekutu AS seperti
Australia dan Jepang ditetapkan sebagai "sekutu non-NATO;"
yang berarti bahwa ia dapat ikut serta memproduksi senjata,
menawarkan kontrak-kontrak pelayanan dan pemeliharaan,
menggunakan dana AS untuk proyek-proyek riset dan
pengembangan, serta menjual sistem-sistem senjata
konvensional kepada angkatan bersenjata
AS.17
Komentar Direktur Eksekutif Thomas A. Dine pada 1986:
"Kita berada di tengah-tengah suatu revolusi yang membawa
hubungan AS-Israel ke tingkat yang baru... Orde lama di mana
Israel dianggap sebagai suatu beban, suatu perintang bagi
hubungan Amerika dengan dunia Arab, seorang anak yang ribut
dan nakal-telah hancur. Sebagai gantinya, suatu hubungan
baru sedang dibangun, yaitu hubungan di mana Israel
diperlakukan sebagai --dan bertindak sebagai-- sekutu, bukan
sekadar sahabat, sebuah aset dan bukan beban, mitra yang
matang dan mampu, bukan negara pengikut
semata."18
OMONG KOSONG
"Lebih dari sekadar kerja sama strategis;
hubungan AS-Israel telah memberikan pada negara kita
intelijen keamanan yang tak ternilai selama
bertahun-tahun." --Hyman Bookbinder, mantan wakil
Komite Yahudi Amerika, 198719
FAKTA
Menurut mantan Direktur Intelijen Pusat Stansfield
Turner: "Intelijen Israel telah gagal. Sembilan puluh persen
dari pernyataan-pernyataan yang dikemukakan mengenai
sumbangan-sumbangan Israel pada keamanan Amerika hanyalah
pernyataan humas. Menanggapi seorang wartawan dalam suatu
wawancara, Turner menambahkan: "Anda telah gagal dalam
penanganan teror Anda. Anda telah gagal dalam membaca
persiapan data di Lebanon [sebelum invasi 1982].
Anda mengira bahwa Anda akan dapat mendirikan sebuah
pemerintahan Kristen di sana. Anda mengira Anda akan dapat
mengusir orang-orang Syria. Anda bahkan telah gagal
mengatasi teror di dalam Israel. Intelijen Israel memang
bagus, namun tidak dalam semua bidang. Ia bagus terutama
karena terlalu berlebihan menjual kemampuan-kemampuannya
sendiri."20
OMONG KOSONG
"Israel adalah sekutu yang unik dan
mengesankan." --Profesor Steven L. Spiegel,
198321
FAKTA
Dalam perang 1990-1991 melawan invasi Irak ke Kuwait,
sumbangan terbesar yang dapat diberikan Israel hanyalah
tidak berbuat apa-apa dan berada di luar kancah perang
sementara pasukan Amerika menghadapi pertempuran. Para
pejabat AS dengan segera mengakui bahwa Israel, bukannya
menjadi aset, justru merupakan rintangan besar. Amerika
Serikat harus mengirim para pejabat tinggi ke Israel untuk
menjelaskan bahwa Israel tidak diterima sebagai anggota
pasukan internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat,
karena adanya kecurigaan besar bahwa Israel mungkin akan
memanfaatkan perang itu untuk mengejar
kepentingan-kepentingan ekspansionisnya sendiri dan karena
peran sertanya akan membahayakan persekutuan negara-negara
Arab yang dibentuk oleh Washington.22
Biaya yang harus dibayar Amerika Serikat untuk tidak
melibatkan Israel adalah tambahan $650 juta untuk dana
bantuan tahunan $3 milyar; pemberian senjata-senjata bekas
senilai $700 juta yang ditarik dari Eropa; misil-misil
Patriot seharga $117 juta; dan garansi pinjaman perumahan
sebesar $400 juta.23
Israel kini sedang mencari pembenaran-pembenaran baru
untuk melanjutkan persekutuan. Dasar pemikiran yang paling
popular dan mutakhir adalah menghidupkan kembali sebuah
gagasan lama, yaitu bahwa Israel dapat memenuhi
kepentingankepentingan AS dengan bertindak sebagai basis
penyimpanan terdepan. Sebagaimana dikemukakan salah seorang
Israel kepada Washington Post pada pertengahan 1992,
Israel dapat berperan sebagai "pangkalan [pesawat]
terbesar di Laut Tengah."24
Dalam skenario ini, pelabuhan di Haifa menjadi sangat
penting. Ia telah melayani dan memperbaiki sekitar dua puluh
lima kapal perang AS dari Armada Keenam setiap tahun dan
juga telah berperan sebagai pelabuhan persinggahan reguler
untuk armada itu. Sekitar 45.000 pelaut Amerika dijadwalkan
untuk menikmati cuti laut di Haifa pada 1992. Selain itu,
Industri Pesawat Israel kini melayani seluruh pesawat perang
AS F-15 yang ditempatkan di Eropa, dan Amerika Serikat dan
Israel secara bersama-sama tengah mengembangkan misil
antimisil Arrow.25
Catatan kaki:
1 Teks dalam "Special
Document;" Journal of Palestine Studies, Musim Panas,
1985, 122-28.
2 Judul dari risalah-
risalah itu termasuk The Strategic Value of Israel:
Israel and the US Air Force; Israel and the US Navy; Israeli
Medical Support for the US Armed Forces; US Procurement of
Israeli Defense Goods and Services. Untuk tinjauan
mengenai risalah-risalah itu, lihat Muhammad Hallaj,
"Israel's Plans for Knotting Its US Ties;" Middle East
International, 26 Oktober 1984. Lobi AIPAC sebagai salah
satu yang paling efektif di Washington digambarkan dalam
New York Times, 24 Maret 1984; David K. Shipler,
New York Times, 6 Juli 1987.
3 Eban, An
Autobiography, 184. Secara pribadi, Dulles telah
mengatakan pada Presiden Eisenhower pada 19 Agustus 1955,
bahwa Israel menginginkan "terutama sebuah perjanjian
keamanan dengan Amerika Serikat"; lihat Foreign Relations
of the United States 1955, Surat dari Menteri Luar
Negeri kepada Presiden, 19 Agustus 1955, 368-69. Dulles di
kemudian hari menyatakan bahwa dia mengkhawatirkan Israel
benar-benar ingin Amerika Serikat mendukung Israel
sepenuhnya melawan negara-negara Arab; lihat Foreign
Relations of the United States 1955, Telegram dari
Menteri Luar Negeri kepada Kementerian Luar Negeri, 8
November 1955, tengah hari, 717.
4 Hersh, Samson
Option, 270.
5 Khouri, The
Arab-Israeli Dilemma, 426-27. Teks memorandum itu
terdapat dalam New York Times, 1 Desember 1981, dan
Lembaga untuk Telaah-telaah Palestina, International
Documents on Palestine 1981, 405-6. Juga lihat Ball,
The Passionate Attachment; Chomsky, The Fateful
Triangle; McGovern, "The Future Role of the United
States in the Middle East," Middle East Policy, 1 no.
3 (1992); Rurenberg, Israel and the American National
Interest; Tivnan, The Lobby.
6 Resolusi 36/266 A. Teks
itu terdapat dalam Sherif, United Nations Resolutions on
Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 2: 175-77.
7 Resolusi 497. Teks itu
terdapat dalam Sherif, United Nations Resolutions on
Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 2:200, dan
Mallison, The Palestine Problem in International Law and
World Order, 476-77.
8 New York Times,
19 Desember 1981.
9 New York Times,
30 November 1983. Juga lihat Bernard Gwertzman, "Reagan
Turns to Israel;" New York Times Magazine, 27
November 1983; Rurenberg, Israel and the American
National Interest, 353; John M. Goshko, Washington
Post, 22 November 1983; Charles R. Babcock,
Washington Post, 5 Agustus 1986; "Free Trade Area for
Israel Proposed;" Mideast Observer, 15 Maret
1984.
10 Smith, The Power
Game, 617; Fred J. Khouri, "Major Obstacles to Peace:
Ignorance, Myths, and Misconception;" American-Arab
Affairs, Musim Semi 1986. Juga lihat Ball, The
Passionate Attachment, 297-99.
11 Near East
Report, 20 Juli 1992.
12 Rurenberg, Israel
and the American National Interest, 330-31.
13 George W. Ball,
"What Is an Ally?" American-Arab Affairs, Musim Gugur
1983.
14 Joseph C. Harsh,
Christian Science Monitor, 30 Oktober 1984. Juga
lihat Pusat Riset dan Kebijakanaan Timur Tengah,
Executive Report, April 1985; "US, Israel Move toward
Free Trade Pact;" Congressional Quarterly, 29
Desember 1984, Teks persetujuan itu terdapat dalam
Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1986,
119-31.
15 Fred Hiatt,
Washington Post, 7 Mei 1986.
16 Congressional
Record, 1 April 1992.
17 Pusat Riset dan
Kebijaksanaan Timur Tengah, Februari 1987.
18 Dari pidato Dine
pada Konferensi Kebijaksanaan Tahunan AIPAC ke-27, 6 April
1986. Teks itu terdapat dalam "Special Document;" Journal
of Palestine Studies, Musim Panas 1986,134- 43.
19 Bookbinder dan
Abourezk, Through Different Eyes, 67.
20 Cheryl A. Rurenberg,
"the Misguided Alliance," The Link, Oktober/November
1986; Alexander Cockburn, "Beat the Devil;" The
Nation, 3 Maret 1986.
21 Steven L. Spiegel,
"Israel as a Strategic Asset;" Commentary, Juni
1983.
22 Michael R. Gordon,
New York Times, 12 Januari 1991.
23 Thomas L. Friedman,
New York Times, 6 Maret 1991; John E. Yang,
Washington Post, 6 Maret 1997. Juga lihat Clyde Mark,
"Israel: U.S. Foreign Assistance Facts," Divisi Pertahanan
Nasional dan Urusan Luar Negeri, Pelayanan Riset Kongres,
diperbarui 5 Juli 1991
24 David Hoffman,
Washington Post, 28 Juli 1992.
25 Ibid.
|