Persepsi dan Salah Persepsi | |
|
Awal DialogDi samping kuatnya fundamentalisme dalam kebangkitan itu, ada isyarat gerakan bagi kelompok kelompok muslim ke arah dialog dengan agama-agama lain, terutama dengan Kristen. Kelompok fundamentalis tidak dapat memasuki dialog tanpa mengkompromikan kepercayaannya kepada finalitas dan superioritas Islam dan tentu cara ini tidak mereka kehendaki. Di antara orang-orang yang saya sebut kelompok "liberal" acapkali ada keterbukaan untuk dialog, namun sebagian mereka teruama yang tertarik (hanya kebenaran seperti adanya) pada pemikiran ulang aspek-aspek tradisional jati diri Islam, dan hanya sedikit waktu untuk melihat hubungan hubungan Muslim-Kristen secara terinci. Selama seperempat abad terakhir dosen-dosen dalam seminar, konferensi dan pertemuan-pertemuan kelompok yang lain, dimana umat Islam dan Kristen bekerjasama untuk mendiskusikan pokok-pokok masalah umum di bidang keagamaan yang menarik. Sebagiannya secara ekstrem bersifat informal, sebagian lainnya bersifat resmi atau semi-resmi. Di antara yang selanjutnya kita dapat menyebut kunjungan oleh suatu partai dari Vatican ke Universitas Al-Azhar di Kairo di bulan April 1978 dan Kolonel Qadhafi dalam Seminar tentang Dialog Islam-Kristen di Tripoli bulan Februri 1976, dimana tim sekitar lima belas orang Islam dan Kristen (yang belakangan ini dari Vatican) mendiskusikan sejumlah materi persoalan yang dihadiri oleh lima ratus pengamat, saya mendapat undangan istimewa di sana. Kendatipun demikian, pertemuan-pertemuan informal barangkali telah dilakukan dengan jumlah lebih dari pertemuan pertemuan resmi. Secara jujur catatan lengkap pertemuan-pertemuan di atas diperoleh pada Islamo-christiana, yang dipublikasikan setahun sekali sejak 1975 oleh Pontificio Istituto di Studi Arabi di Roma. Setidaknya, seorang dosen dapat memahami perbedaan kaum muslimin yang berpartisipasi pada penerbitan ini. Catatan itu memuat sebagian pokok masalah yang didiskusikan pada karya terakhir, mulai dari bibliografi polemik-polemik awal dan apologetika-apologetika sampai kepada tinjauan buku-buku mutakhir, dan mereproduksi banyak makalah yang dibagikan pada pertemuan pertemuan dialog itu. Laporan ini memuat terjemahan artikel-artikel dimana golongan fundamentais muslim mengekspresikan kecurigaannya yang mendalam terhadap keseluruhan konsepsi dialog. [45] Di pillak lain, sebagian penyumbang muslim itu amat kritis terhadap fundamentalisme Islam. Seorang penulis, Mohammad Talbi dari Universitas Tunis dalam tinjauan panjang koleksi Imam Khomeini dalam "Pour un gouverenement islamique." [46] Lagi dalam artikel yang bertajuk "Emergences et problemes dans le monde musulman contemporain (1960-1985)" Muhammad Arkoun dari Sorbonne mendapatkan kreatifitas tidak benar dalam kebangkitan, karena imajinasi keagamaan digunakan untuk menciptakan suatu identitas baru yang secara ideologis memang lebih ampuh namun secara intelektual kurang jelas. [47] Banyak artikel yang menunjukkan bagaimana para partisipan dalam dialog itu, baik muslim maupun Kristen, mulai merasakan caranya untuk apresiasi lebih dalam terhadap tradisi masing-masing; ini diilustrasikan oleh artikel tentang Ibrahim oleh Mohammad Talbi -- "Foi d'Abraham et foi islamique" dan "La foi d'Abraham: le sens d'un non-sacrifice." [48] Bagi umat Kristen, catatan itu menarik untuk memahami bagaimana sebagian kecil umat Islam yang melihat sekali lagi pada agama Kristen, melepaskan ide bahwa kitab Bibel itu secara keseluruhan korup dan mencoba menafsiri dari sudut pandang seorang muslim terhadap beberapa aspek ajaran Kristen dan Injil. Pada tahun 1860-an, jauh sebelum gerakan- gerakan dialog belakangan ini, Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), telah mulai menulis komentar tentang Bibel dan memuat sebelas bab pertama Genesis dan lima bab pertama Matius. [49] Pada paruh abad ke dua puluh penulis Mesir, M. Kamel Hussein (1901-1977), menulis sebuah novel, Qaryah Dzalimah -- Kota yang Tidak Ideal, berkenaan dengan peristiwa-peristiwa di Jerusalem sebelum dan sesudah penyaliban Jesus, walaupun mati secara damai di atas salib secara aktual dan kemudian menghindarkan pertanyaan apakah Jesus itu mati di tiang salib. Dalam pernyataan Uskup Kenneth Cragg yang diterjemahkan ke bahasa Inggris:
Kamel Hussein juga banyak menulis buku lain yang relevan dengan hubungan Muslim-Kristen. Orang ini tidak setuju dengan doktrin korupsi sempurna pada Bibel dan menjelaskan semacam modus vivendi dengan agama-agama lain di dunia ini. [51] Sumbangan paling penting pemahaman segar orang muslim terhadap Kristen, tanpa ragu, beberapa artikel yang ditulis oleh Professor Mahmoud M. Ayyoub. Professor ini adalah seorang muslim tunanetra Libanon (lahir 1935), terdidik dalam sebuah sekolah Kristen, yang mampu mempertahankan identitas Islamnya tanpa kehilangan sikap positifnya kepada Kristen. Barangkali orang ini memahami keimanan Kristen lebih baik ketimbang orang muslim lain, boleh jadi karena latar belakang Syi'ahnya. Selain ia menulis buku Redemptive Suffering in Islam, [52] sebuah bahasan sebelumnya yang relevan dengan pemikiran Kristen. Dua artikel Dunia Islam dengan judul umum "Towards an Islamic Christology." [53] Jumlah halaman pada paragraf-paragraf kecil berikutnya merujuk kepada kedua artikel tersebut. Artikel pertama "An Image of Jesus in Early Shi'i Muslim Literature" dengan terjemahan atas naskah-naskah terdahulu yang didapatkan pada kumpulan-kumpulan Hadith. Dengan cara demikian, Ayyoub berusaha mencari perhatian umat Kristen "kaya dan berbagai ragam image Kristus dalam kesalehan Islam." Karakter artikel ini dapat dijelaskan di bawah ini:
Kesimpulannya dia menulis:
Juga guna catatan adalah harapan-harapannya bagi hari depan:
Artikel kedua dengan sub-judul "Kematian Yesus: realitas atau khayalan", terutama berkenaan dengan tafsiran-tafsiran dalam ayat Al-Qur'an (4: 157) yang mengingkari kematian Yesus. Di samping komentar-komentar awal terhadap karya-karya para pemikir mutakhir, baik Shi'i maupun Sunni, yang dijelaskan. Ayyoub menyatakan dengan persetujuan buku City of Wrong karya Kamel Hussein mungkin sebagai "upaya orang muslim pertama untuk memahami tiang Salib dalam arti yang benar ... (sebagai) suatu pertimbangan bukan untuk menentang kelompok umat itu melainkan menentang kemanusiaan (116). Dia sendiri menyangkal kalau "Al-Qur'an ... tidak mengingkari kematian Kristus. Bahkan, hal ini merupakan tantangan bagi manusia yang dalam kebodohannya telah memperdaya kepercayaannya sendiri bahwa manusia itu menundukkan Firman Tuhan, Yesus Kristus Rasulullah" (116). Kesimpulan pandangannya dikutip secara penuh:
Di sini Al-Qur'an tidak menyebutkan tentang manusia, benar atau salah, walaupun dia melakukan demikian, melainkan Al-Qur'an menyatakan tentang Kalam Allah yang diturunkan ke bumi dan kembali kepada Allah. Jadi penolakan pembunuhan Yesus merupakan penolakan kekuasaan manusia untuk menaklukkan dan menghancurkan Kalam Ilahi, yang menang selamanya. Dari sini pernyataan: "Mereka tidak membunuhnya, juga mereka tidak menyalibnya", jauh lebih mendalam ketimbang peristiwa-peristiwa sejarah manusia yang berlangsung sementara; yang membersit ke hati dan kesadaran manusia. Tuntutan kemanusiaan (di sini yang dicontohkan pada masyarakat Yahudi mengenai keberadaan duniawi Kristus) untuk memiliki kekuatan menentang Tuhan hanya dapat menjadi illusi semata. "Mereka tidak membunuhnya ... melainkan diserupakan dengan mereka." Mereka hanyalah dibayangkan demikian. (117). Dalam beberapa artikel Mahmoud Ayyoub yang lain, meskipun memegangi kepercayaannya pada dialog dan harapan-harapan bagi perkembangannya, telah menyibukkannya untuk menyadarkan umat Kristen akan kritik kepercayaan dan praktek Kristen yang diekspresikan oleh pemikir-pemikir Muslim negeri ini, mulai dari Muhammad 'Abduh dan M. Rashid Rida sampai ke Sayyid Qutb dan Omar Farruk. [54] Akhirnya, pernyataan untuk harus membedakan karya ilmuwan Iran, Seyyed Hossein Nasr. Sungguhpun, sepanjang yang saya ketahui, hal ini tidak mengacu pada beberapa pertemuan dialog aktual, yang agaknya membuka peluang kemungkinan-kemungkinan. Pada tahun 1981 beliau menyampaikan ceramah-ceramah Cifford di Universitas Eidenburgh tentang masalah Knowledge and Sacred [55] -- Pengetahuan dan yang Keramat -- dan lebih kemudian dia telah mengedit buku tentang Islamic Spirituality: Foundations [56]. Sedangkan dia masih menyadari dirinya tetap sebagai seorang Muslim, dia amat dekat berasosiasi dengan kelompok masyarakat pemikir di lingkungan Rene Guenon, A.K. Coomaraswamy dan Fritjof Schuon yang mencoba mencari "kebangkitan tradisi di Barat berdasarkan atas penjelasan terinci doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran oriental yang sahih." [57] Kelompok ini terkadang memberi nama "Filsafat Perennial" untuk posisinya, namun nama ini mempunyai tendensi eksklusif, menegaskan bahwa ajarannya sendiri saja yang mampu menjawab problema-problema dunia. Ini yang menghalangi meluasnya dialog, sekalipun dalam respek-respek lain agaknya mereka siap untuk dialog itu. Seyyed Hossein Nasr sendiri menerima banyak ide ajaran Sufi yang bergaung pada mistisisme Kristen dan ini akan menjadikan perjalanan yang memungkinan ke arah dialog. Sungguhpun demikian, dalam mengambil jalan terakhir, rupanya tidak mungkin dari pandangan-pandangan Seyyed Hossein Nasr dan teman-temannya akan banyak berpengaruh atas mainstream Islam Sunni maupun Shi'i. |
|
|
|
| Indeks Antar Agama | Indeks Artikel | Tentang Pengarang | | ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | |