Persepsi dan Salah Persepsi | |
|
Perubahan Persepsi dari Perang SalibBagi studi dewasa ini, masalah sentral tentang Perang Salib adalah bagaimana peristiwa.peristiwa itu sendiri terjadi dan refleksi-refleksi tentangnya di abad-abad terkemudian, mempengaruhi persepsi-persepsi Islam terhadap Kristen. Hal pertama yang harus ditegaskan adalah bahwa Perang Salib berasosiasi dengan meningkatnya rasa keagamaan yang dahsyat di Eropa Barat. Ada banyak gerakan bagi pembaharuan Gereja, ditunjukkan dengan memerangi kekejaman dan penghianatan yang khusus. Sebuah biara yang didapatkan di Cluny, Perancis, tahun 910 Masehi dalam membantu berkembangnya ketaatan kepada kekuasaan monastik Benedictine dan sedemikian baiknya didukung sejak abad ke sebelas oleh lebih dari dua ratus rumah anak perempuan. Semangat keagamaan juga ditunjukkan sendiri oleh ikut sertanya dalam hijrah untuk meningkatkan jumlah penduduk. Satu sentra penting adalah tempat suci Santiago (Saint James) di Compostela Spanyol barat laut, namun untuk mencapai tujuan itu dengan kemampuan hijrah paling tinggi adalah ke kuburan suci di Jerusalem. Tiga puluh tahun sebelum Perang Salib Pertama, gerombolan dari tujuh ribu penduduk dinyatakan telah pergi meninggalkan Rhine ke Jerusalem, dipimpin oleh Uskup Agung dan uskup di bawahnya. Pada tahun 1076 Masehi Jerusalem berada di bawah kekuasaan langsung Amir Turki yang amat menyulitkan bagi orang-orang yang berziarah ke sana. Ini agaknya menjadi salah satu faktor di samping Paus Urban II yang menyatakan keputusannya untuk mengobarkan Perang Salib di tahun 1095 Masehi pada konsili Clermont di Perancis. Walaupun demikian, Paus dan negarawan senior itu sadar akan alasan-alasan tertentu yang sifatnya lebih klasik bagi Perang Salib. Akhirnya kaisar Byzantine harus meminta bantuan kepada Paus, mungkin bantuan ini dalam bentuk prajurit upahan. Rakyat Byzantine harus menderita kekalahan yang serius dari umat Islam di Manzikert pada tahun 1071 Masehi dan harus menarik diri dari Asia Kecil. Lebih dari itu, telah terjadi kemunduran hubungan-hubungan antara separuh Gereja Barat dan timur pada tahun 1054 Masehi, sekalipun tidak mengalami kehancuran sempurna secara total. Maka tak pelak lagi, Paus diharapkan dapat mengirimkan bantuan untuk memperbaiki hubungan-hubungan tersebut. Abad ke sebelas bagi rakyat biasa di Eropa Barat menjadi zaman keamanan yang lebih besar dan makin meningkatnya kemakmuran. Namun ini berarti bahwa bagi keluarga para bangsawan akan lebih tertutup kesempatannya untuk berkuasa dan mengakibatkan banyak terjadi perlawanan rakyat dan meredusir perselisihan di antara umat Kristen. Peristiwa ini agaknya tidak terjadi bagi Islam sebagaimana pola Nabi Muhammad SAW yang diikuti oleh suku-suku bangsa Arabia. Paus Gregory VII (1073-1085 Masehi) mengabsahkan perubahan sikap Kristen terhadap perang. Prajurit-prajurit yang sebelumnya, walaupun karena suatu sebab mereka berselisih, seperti pasukan William Sang Penakluk di Hasting pada tahun 1066 Masehi, menuntut adanya penebusan dosa bagi kematian. Kendatipun demikian, Paus kini menyatakan bahwa kematian mereka itu terhormat, tidak berdosa, berjuang untuk mengangkat hak bagi masyarakat. Hal ini barangkali terjadi sebagai akibat Reconquista bangsa Spanyol. Ahli sejarah, Arnold Toynbee, dari perspektif yang luas menulis dalam buku Study of History, melihat Perang Salib itu dimulai pada tahun 1018 Masehi ketika bantuan dari sekelompok orang Kristen di sana dilancarkan untuk memerangi kaum muslimin. [4] Selama waktu berkunjung ke Santiago, telah menumbuhkan popularitas sebelah utara kota Pyrenee dan sebagian harus mengetahui kehancuran yang diakibatkan oleh umat Islam pada tahun 997 Masehi, sungguhpun mereka mengecualikan peninggalan aktual Saint James. Banyak lagi ekspedisi dari Perancis ke Spanyol yang lain pada abad sebelas yang dilakukan dengan restu Gereja, sebab ekspedisi-ekspedisi itu dilakukan atas nama umat Kristen sebagai suatu keseluruhan. Hal ini tidak mengherankan karena banyak orang lelaki Perancis menanggapi panggilan Paus menuju Perang Salib Pertama. Para serdadu yang ikut berpartisipasi dalam Perang Salib berkumpul di Constantinople di tahun 1097 Masehi, lalu bergerak ke selatan lewat Asia Kecil, dan pada gilirannya mereka dapat merebut kota Jerusalem di tahun 1099 Masehi. Empat negara Perang Salib yang berdiri adalah: kerajaan Jerusalem, Antioch, Edessa dan Tripoli. Edessa direbut kembali oleh umat Islam di tahun 1144 Masehi, namun Jerusalem tetap bertahan 1187 Masehi. Sama sekali ada penggabungan ke Perang Salib dan ekspedisi-ekspedisi yang lain pada suatu tipe Perang Salib, sebagian di Eropa menentang heretika (bidaah) Kristen. Namun hasil yang paling solid menentang umat Islam adalah perebutan Acre dan sebidang pesisir Palestina di tahun 1991 Masehi dan peninggalan mereka selama satu abad. Dalam waktu yang lama umat Kristen menunjukkan pembasmian etnis manusia besar-besaran dalam suasana yang romantis. Diasosiasikan dengan semangat agama dan sarat dengan cita-cita kesatriaan Kristen. Dengan baik hal ini dapat diapresiasikan oleh Shakespeares dalam judul buku Henry IV, bab I, dimana letaknya untuk terus mengadakan pembunuhan besar-besaran, bukan sekedar sebagian bantuan sebagai cita-cita menuju perjuangan akhir antara zaman Pencerahan, melainkan juga sebagai tugas Kristen:
Kata "crusade" sekarang telah lazim dipakai secara umum untuk arti "gerakan agresif atau kegiatan menentang kejahatan publik, atau institusi atau sekelompok orang yang dianggap sebagai jahat." [5] Kata ini kini lazim dipakai oleh para jurnalis di hampir semua jenis pekerjaan untuk menyatakan menuju kebaikan, bahkan ketika kekuatan kecil yang agresif itu berkembang. Walaupun demikian, banyak orang Kristen memahami asal-usul Perang Salib yang asli adalah demi mendapatkkan kembali Tempat-Tempat Suci pada cahaya yang berbeda. Kata "Crusade" ini bukan hanya anggota anti-perang dan anti sumpah atau Masyarakat Persaudaraan yang melihat bahwa tidak ada perang yang diperbolehkan berdasarkan atas prinsip-prinsip Kristen. Sungguhpun demikian, bahkan pada abad ke delapan belas para sejarawan mulai berfikir kritis tentang keseluruhan ide Perang Salib (atau pembasmian manusia). Edward Gibbon adalah seorang pemikir bebas yang menentang sistem Gereja, yang tidak mempunyai belas kasihan membeberkan penjarahan dan pembunuhan besar-besaran yang mengambil tempat ketika pasukan Perang Salib merebut Jerusalem di tahun 1099 Masehi. [6] Bahkan pemuja seperti sang novelis romantis, Sir Walter Scott, yang sadar akan kekejaman dan kebengisan heronya Richard Yang Berhati Singa (Richard the Lionheart). Pada pendahuluan kisahnya tentang peristiwa-peristiwa Perang Salib, The Talisman, dia menulis:
Tentang sejarawan dunia Islam, keseluruhan konsepsi Perang Salib adalah bersifat membabi buta dan gila. Paus dan semua yang mengorganisir angkatan bersenjata akan dapat sedikit punya ide tentang kondisi yang akan mereka hadapi, meskipun telah mengadakan perjalanan ke Jerusalem. Mereka tidak punya sedikit ide tentang peluasan kekuasan muslim. Berbagai kesuksesan yang mereka raih barangkali karena sekitar tahun 1100 Masehi umat Islam Palestina dan Syria biasanya berada di bawah kekuasaan khalifah di Baghdad, merupakan negeri-negeri kecil merdeka yang saling bersitegang satu dengan yang lain, namun kadangkala siap-sedia bekerjasama dengan raja-raja Kristen untuk menentang rival-rival negeri Islam. Karena negeri-negeri itu berada di bawah penguasa muslim yang kuat, maka nasib negeri-negeri Kristen segera tertutup. Mungkin ekspresi paling baik dari pandangan Kristen kontemporer yang seimbang tentang Perang Salib dapat diperoleh dalam kata-kata Sir Steven Runciman, pada kesimpulan ketiga buku sejarahnya tentang Perang Salib:
Menghadapi jawaban yang telah kita kembangkan tentang kontribusi Perang Salib terhadap persepsi-persepsi Kristen terhadap Islam adalah jawaban yang sedikit mereka rubah. Banyak orang Kristen yang mengapresiasikan keperwiraan dan kemurahan hati seorang Saladin, namun hanya sedikit karya ilmiah yang dibuat. Para ilmuwan Eropa Barat dan Perancis yang menciptakan gambaran baru dan lebih terinci tentang Islam di negeri-negeri Perang Salib, secara pasti hampir memperkuat hasrat bagi inforrnasi yang lebih banyak dan lebih akurat. Persepsi Islam kontemporer tentang Perang Salib secara implisit berbeda dengan persepsi Kristen. Mayoritas umat Islam memandang Perang Salib tidak lebih dari insiden kekejaman dan kebengisan umat Kristen yang jauh melampaui batas, dapat diperbandingkan dengan persepsi Inggris tentang peristiwa yang terjadi di barat laut India-Inggris di abad sembilan belas. Kekhalifahan di Baghdad yang diinformasikan namun tidak menarik itu, walau memang tidak memiliki kekuatan politik sebenarnya di masa itu. Pencuri yang mengontrol kekuatan dunia luar adalah dinasti Saljuk, namun pusat-pusat utamanya adalah beratus-ratus mil sebelah timur Baghdad. Bila mereka mendengarkan tentang Perang Salib, mereka akan memandang Perang Salib ini sebagai varian semata dari bentuk perselisihan yang terus-menerus berlangsung di kawasan khusus ini selama paruh akhir abad ini. Tentu saja berbeda karena bagi umat Islam yang terpengaruh secara langsung, sungguhpun mereka terbiasa dengan ekspedisi-ekspedisi penggerebegan Byzantine. Segera mereka menyatakan bahwa ada perbedaan nyata antara bangsa Byzantine, bangsa Rum dan bangsa Frank atau Franj, namun boleh jadi mereka masih belum sadar akan motif-motif dan tujuan- tujuan keagamaan lebih lanjut. Sebagaimana yang telah dicatat, sebagian pemimpin muslim berencana untuk ikut beraliansi dengan para pemimpin Kristen dalam memerangi rival-rival mereka yang muslim. Semenjak bangsa Frank menetap di negeri-negeri Salib dalam waktu yang lama, mereka mengadopsi adat-istiadat dan pakaian lokal, mereka nampak tidak berbeda dengan pemimpin-pemimpin muslim. Usaha menciptakan kekuatan yang tangguh sepenuhnya diikhtiarkan untuk menggagalkan para partisipan Perang Salib, dimulai ketika seorang lelaki yang bernama Zengis yang ditunjuk sebagai gubemur Mosul oleh Sultan Saljuk di tahun 1127 Masehi dan sejak tahun 1144 Masehi sudah benar-benar kuat untuk mendapatkan kembali Edessa. Putranya yang menggantikan kedudukan Zengis ini dikirim menjadi prajurit untuk melawan dinasti Fatimiah di Mesir pada tahun 1169 Masehi. Pada tahun ini juga jenderal wafat, kemenakan lelaki Saladin menduduki jabatan Zengis ini, maka segeralah Saladin menyatakan dirinya sebagai penguasa Mesir. Pada tahun 1174 Masehi atas kematian putra Zengis, ia diperkenalkan oleh khalifah sebagai sultan di seluruh kawasan mulai dari kota Mosul sampai kota Kairo. Selain konsultasi pemerintahannya atas wilayah ini. Tujuan yang utama adalah untuk memukul mundur negeri-negeri yang ikut berpartisipasi dalam Perang Salib. Dengan cara ini, secara luas Saladin menggantikan wilayah-wilayah negeri yang ikut aktif dalam Perang Salib menjadi berada di bawah kekuasaan Islam, menaklukkan Jerusalem di tahun 1187 Masehi. Beberapa tahun sebelum peristiwa di atas terjadi, pangeran Saladin telah menyerukan jihad atau perang suci melawan umat Kristen. Beliau mengumandangkan jihad ini karena kebodohan baru yang diakibatkan pemimpin Kristen yang mengirim armada ke Laut Merah dari Teluk Aqabah dan pada tahun 1182 Masehi menenggelamkan kapal milik orang muslim yang melewati rute perjalanannya ke Mekah. Insiden ini begitu dikenal secara luas dan makin meningkatkan kemarahan dunia Islam yang lebih besar ketimbang berdirinya negeri-negeri Franka. Kendatipun demikian, secara pribadi Saladin tetap ramah kepada umat Kristen, paling kurang pada waktu itu. Namun hubungan-hubungan mesra ini hanya sedikit meningkatkan persepsi Islam terhadap Kristen. Ada catatan yang cukup baik dari sejarawan kenamaan, Ibnu al-Athir (1160-1233 Masehi), yang karyanya telah dijelaskan pada bab terdahulu. Sejarawan ini adalah penduduk Mosul dan pernah ikut secara aktual dalam barisan tentara pangeran Saladin. Dia mencatat penaklukan Antioch oleh bangsa Frank di tahun 491 Hijrah (1098 Masehi). Namun ia memandang agresi bangsa Frank ini telah didahului oleh pendudukan Toledo pada tahun 478 Hijrah (1085 Masehi) dan Sicilia pada tahun 484 Hijrah (1091 Masehi). Peristiwa pendudukan ini mengantarkannya untuk berfikir tentang gerakan Perang Salib sebagai orang Kristen yang melawan umat Islam, namun sama sekali gerakan ini bukan sebagai aktifitas yang terpusat dan hanya sebagai salah satu dari sejumlah tema yang luas yang ditindak lanjuti pada periode itu. Bahkan persepsinya tentang Perang Salib adalah sebagai jihad yang tidak mungkin disumbangkan oleh mayoritas umat Islam di Iraq dan negeri-negeri lain di timur. Pada gilirannya penting untuk menyatakan bahwa umat Islam kini memandang Perang Salib sebagai awal dimulainya kolonialisme Eropa. Pandangan ini bukan berasal dari para sejarawan muslim tempo dulu, melainkan akibat umat Islam datang ke barat sebagai mahasiswa dan mempelajari tulisan-tulisan para sejarawan barat. Mereka mencatat bahwa ada kesejajaran bentuk antara Perang Salib dan kolonialisme yang mereka alami di negeri-negeri asalnya. Barangkali sebagian mustahil bagi orang yang sedemikian jauh seperti Kolonel Qadhafi di Libya dan invasi Napoleon di Mesir pada tahun 1798 Masehi sebagai Perang Salib ke sembilan dan berdirinya negeri Israel berkat bantuan Amerika sebagai Perang Salib ke sepuluh. Tentu saja, ini bukan peristiwa Perang Salib yang sesungguhnya. Sebagian golongan fundamentalis "Kristen Bibel" yang memang telah menyambut negeri Israel sebagai pemenuhan kebutuhan yang diidam-idamkan dan hal itu dilihat sebagai bukti kebenaran Bibel dan penolakan terhadap kritik apapun tentang kebenaran Bibel ini. Sementara di pihak lain, sebagian besar umat Kristen melihat penempatan Tempat-tempat Suci Kristen di tangan bangsa Yahudi itu benar-benar sebagai bertentangan dengan tujuan Perang Salib. Maka secara historis, pemikiran Kristen dewasa ini amat tidak bangga kepada Perang Salib dan memperkenankan adanya unsur kolonialisme terhadap Perang Salib itu. Akan tetapi dia melihat bukan kesinambungan dan identitas antara gerakan Perang Salib dan kolonialisme Eropa selama abad-abad belakangan ini. |
|
|
|
| Indeks Antar Agama | Indeks Artikel | Tentang Pengarang | | ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | |