Sejarah hubungan Islam-Kristen bermula dengan lahirnya
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SA. Sejarah ini telah
diwarnai oleh aneka macam corak. Terkadang kooperatif
konstruktif yang dilandasi oleh semangat saling pengertian,
namun lebih sering menampakkan wajah dan watak saling curiga
bahkan permusuhan. Fenomena sejarah ini --mau tidak mau--
telah mengundang aneka analisis dan teori. Tentu saja yang
lebih banyak diteliti adalah aspek negatif dari hubungan
ini.
Ada yang berpendapat bahwa ajaran kedua agama turut
berperan menyulut penganut masing-masing untuk berperilaku
curiga. Alquran, misalnya sejak awal menyatakan bahwa
beberapa ajaran Isa a.s, telah mengalami tahrif (distorsi).
Lebih jauh Alquran mengecam doktrin Trinitas dan konsep
"Anak Tuhan" yang berkembang dalam tradisi Kristen.
Sebaliknya doktrin agama Kristen jauh sebelum diutusnya
Nabi Muhammad SAW, menyatakan bahwa satu-satunya jalan
keselamatan dunia akhirat hanya ditawarkan oleh Yesus.
"Siapa tidak besama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak
berkumpul bersama Ku bercerai-berai" (Matius 12:30) yang
kemudian berkembang dengan slogan extra eccelesias nulla
salus (di luar gereja tak ada keselamatan).
Selain pandangan absolutis kedua penganut agama yang
merupakan kendala terciptanya hubungan harmonis, masih
terdapat sekian penyebab lainnya yang patut digarisbawahi.
Antara lain menurut Guru besar hubungan Kristen-Islam,
Mahmud Ayoeb, adalah orientalisme, kolonialisme, dan misi
Kristen. Kalau penyebab pertama dan kedua telah berangsur
pudar, faktor ketiga (misi Kristen) masih merupakan kendala
bagi hubungan harmonis Kristen-Islam.
Misi Kristen
Dalam rentang waktu sekitar 2.000 tahun, misi Kristen
secara dinamis telah mengalami evolusi, pergeseran, dan
perubahan yang tidak terlepas dari aneka faktor. Hasil
interaksi dengan kebudayaan setempat, interpretasi inovatif
terhadap teks, dan gerakan reformis dalam tubuh gereja,
kesemuanya memberikan sumbangsih dalam memformulasikan garis
misi Kristen. Pada masa formatif Kristen, misi atau
ajakan/da'wah Kristiani tidak melampaui batas suatu
aktivitas sederhana yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
Mereka mengajak sesamanya untuk bergabung dalam keluarga
besar pengikut Yesus yang pada waktu itu sangat dipengaruhi
oleh keyakinan akan hadirnya hari kiamat yang akan ditandai
dengan kebangkitan kembali Yesus. Olehnya mereka yang
memancarkan misi tidak menaruh perhatian akan program atau
kelangsungan hidup institusi gereja.
Pelebaran sayap Kristen ke daerah Yunani yang bercorak
kosmopolitan menghadapkan agama Kristen kepada tantangan
baru yakni pengaruh filasafat Yunani. Perhatian kepada
kebangkitan Yesus ke dunia mulai tersisihkan sebagai sarana
menyingkap misteri Tuhan. Berangsur gereja menjelma menjadi
simbol kehadiran tuhan di bumi melalui sakramen tertentu.
Fase berikutnya, misi mengambil corak legalistik yang
dipinjam dari -peradaban Roma semasa agama Kristen menerangi
Eropa Barat. Gereja zaman Pertengahan Eropa, misalnya,
menekankan konsep dosa kemanusiaan yang dapat dihapus
melalui keimanan terhadap Yesus. Sebagai konsep logis, misi
lebih mengacu kepada konsep obligasi yang bersanksi hukum
ketimbang suatu pengalaman spiritual pendekatan kepada
Tuhan.
Dalam usaha untuk melakukan pembaharuan dalam tubuh
gereja, tokoh-tokoh pembaharuan dalam abad ke 16, Marthin
Luther dan John Calvin, menawarkan pengertian baru. Misi
Kristen tidak lagi dikaitkan dengan kewajiban dan sakramen,
tapi menjurus ke teologi yang menekankan kepada keselamatan
melalui anugerah Tuhan dan Kitab Suci (sola Sciptura).
Betapapun ragamnya pengertian misi Kristen, namun
puncaknya terekspresi pada abad ke 19 dan ke 20 dengan
memfokuskan kepada teks Mathew 28:18-20 yang berbunyi
"Pergilah dan ciptakan pengikut dari segala bangsa lakukan
pentahbisan (Baptis) terhadap mereka atas nama Bapak dan
Anak serta Ruh Kudus ..." Jelas pengertian misi berarti
suatu tugas suci (holy burden) untuk mematuhi perintah
Tuhan. Misi ini juga dikenal sebagai Great Commission
(Perintah Agung) bagi setiap penganut Yesus untuk
meng-Kristenkan siapapun dan dimanapun dan kapanpun, jika
kesempatan memungkinkan.
Tidak dapat disangkal bahwa Great Commission telah
membuahkan hasil positif dan sekaligus menciptakan dampak
negatif. Hasil positif tercermin dalam bertebarnya instansi
pendidikan dan kesehatan atas nama Yesus, namun pada saat
yang sama benih konflik dan permusuhan juga tumbuh subur
dalam tubuh umat agama lain yang menjadi sasaran Great
Commission. Menyadari dampak negatif ini, beberapa tokoh
Kristen melakukan refleksi mendalam tentang esensi misi yang
sesuai dengan tuntutan masa kini. Mereka berupaya untuk
mempekenalkan suatu paradigma baru dengan menawarkan teologi
misi yang dapat mempertahankan aspek positif dan mengikis
dampak negatifnya.
Paradigma baru
Secara teoritis, teologi misi modern ini pertama-tama
menjelaskan bahwa teks Bible (Mat. 28 :18-20) yang menjadi
acuan misi "conversion" (Peng-Kristen-an) masih
dipertanyakan keabsahannya serta otentitasnya. Kedua.
Terlepas dari nilai keabsahan teks tersebut, yang jelas
tidak sejalan dengan pandangan pluralisme agama nonabsolutis
masa kini, paradigma baru ini lebih mengarah kepada saling
pengertian dan kebersamaan dalam mencari kebenaran.
Paradigma yang beranjak dari hermeneutics of suspicion,
yakni melakukan kritik intern atas interpretasi teks kepada
hermeneutics of retrieval berarti upaya untuk menemukan
kembali semangat kooperatif, liberatif , dan kasih sayang
yang terkandung dalam teks.
Paradigma lama yang berusaha menonjolkan superioritas
agama Kristen dan mendiskreditkan agama lain harus
ditinggalkan karena ia justru counter- productive. Paradigma
baru juga menekankan rasa tanggung jawab kolektif yang
diemban oleh semua penganut agama demi terciptanya kedamaian
dan kerukunan di bumi. Atau meminjam ungkapan pemuda gerja
St. Iraeneus, "The glory of God is the well-being of God's
creatures"(Keagungan Tuhan terpancar pada kesejahteraan
makluk-makluk-Nya).
Teologi misi yang ditawarkan ini sama sekali tidak
berarti bahwa komitmen keagamaan penganut Kristen memudar,
tapi justru menunjukkan bahwa semangat cinta kasih dan
persaudaraan yang diajarkan Yesus akan tampak lebih nyata
dan terasa. Menurut Paul Knitter, konversi (peng-Kristen-an)
bukanlah tujuan akhir gereja, tapi yang penting adalah upaya
untuk mengangkat derajat manusia agar lebih dekat dengan
Tuhan; dan upaya ini harus dilakukan oleh secara kolektif
kooperatif oleh semua penganut agama.
Kalau saja paradigma baru dalam pengertian misi Kristen
ini dapat dipahami oleh pemuka agama Kristen dunia, jelas
warna hubungan Kristen-Islam akan mengalami perubahan ke
arah positif. Apa yang selama ini menjadi titik rawan paling
utama dalam hubungan Kristen-Islam adalah keberatan umat
Islam terhadap pengertian "tugas suci" (yang berorientasi
pada peng-Kristen-an) yang masih diyakini oleh mayoritas
penganut Kristen.
Memang benar, perubahan suatu pradigma-khususnya yang
menyangkut pengertian keagamaan bukanlah hal yang mudah. Ia
merupakan proses yang membutuhkan keberanian, pandangan
jauh, dan teristimewa kejernihan pikiran akan pemahaman
semangat ajaran agama itu sendiri. Keberanian yang dimaksud
adalah upaya untuk melakukan koreksi atas suatu kekeliruan
yang telah mapan diterima; pandangan jauh dalam membina
suatu suasana keakraban dengan umat agama lain; kejernihan
pemahaman tidak lain adalah penekanan terhadap sasaran serta
tujuan akhir dari ajaran yang dianut.
Hal ini semua dibutuhkan dari segenap pemuka agama,
karena dipundak mereka terletak suatu tanggung jawab besar
untuk mewujudkan suasana damai rukun di atas permukaan bumi.
Semoga bermanfaat dalam upaya kita bersama untuk
meningkatkan kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Republika, Jum'at, 6 Juni 1997
CATATAN DARI KOMITE MEDIA ISNET:
Sebagai perbandingan dari artikel Alwi Shihab di
atas, di bawah ini disajikan artikel mengenai persepsi
umat Hindu terhadap dakwah yang dilakukan oleh para
misionaris Kristiani terhadap umat Hindu (dalam bhs
Indonesia, dalam bhs
Inggris, situs
aslinya)
|