|
Bismillah Walhamdulillah Was Salaatu Was Salaam 'ala
Rasulillah
MENCOBA DIALOG DENGAN ROMO ALEX WIJOYO
Romo Alex:
Berita pembakaran gereja di Indonesia akhir-akhir ini
membuat kita prihatin. Lepas dari motif yang
melatarbelakanginya, secara prinsip kita perlu dengan tegas
menolak segala bentuk perusakan rumah-rumah ibadat, baik itu
gereja, mesjid, maupun kuil. Sebagai orang beriman
keprihatinan kita tidak boleh terbatas pada apa yang terjadi
di Indonesia saja, melainkan juga apa yang terjadi di
Bosnia, dan di Ayodya (India) beberapa hari yang lalu.
Pembantaian masal kaum Muslimin di Bosnia, pertikaian umat
Hindu dan Muslim di India, dan merosotnya kerukunan antar
umat beragama di Indonesia membuat kita merenung dan
bertanya bahkan mempertanyakan fungsi agama dalam masyarakat
majemuk. Apakah agama masih bisa mempersatukan manusia,
membuat mereka bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan?
Imam Prasodjo:
Saya tergerak untuk menanggapi posting Romo Alex karena
dalam posting itu banyak hal yang bisa kita tarik manfaat
dalam rangka memahami masalah sosial yang relevan kita
jadikan titik awal membina kerukunan hidup ANTAR UMAT
BERAGAMA (mohon dibedakan dengan istilah KERUKUNAN
BERAGAMA). Sejalan dengan pemikiran Romo Alex, saya juga
merasa prihatin dan sangat tidak setuju bila terjadi
perusakan tempat-tempat ibadah, baik itu gereja, masjid,
kuil dsb. Sejarah umat beragama yang penuh dengan darah
memang harus segera dihentikan. Pertikaian itu tidak saja di
Bosnia, India dan dalam kadar lebih ringan di Indonesia,
tetapi juga di Libanon, Palestina, Filipina, Amerika Latin,
dan Amerika Serikat (refer Klu Klux Klan). Kurang
beruntungnya, kejadian ini seringkali dikeruhkan oleh
pihak-pihak tertentu yang ingin mengeruk keuntungan ekonomis
dan kemashuran pribadi/bangsa. Dalam sejarah Barat yang
belum lama berselang, slogan "GOD, GOLD and GLORY," sudah
cukup banyak bisa berkata betapa agama dapat berhimpit
(kalau tidak bisa dikatakan terlibat) dengan kepentingan
menumpuk kekayaan dan kejayaan negara tertentu yang
mengakibatkan penderitaan umat manusia ratusan tahun
lamanya. Kejadian serupa juga terdapat pada sejarah
KESULTANAN di banyak bagian dunia, yang dalam melaksanakan
pemerintahan seringkali mengatas-namakan agama, di tengah
melakukan penindasan/ketidak-adilan.
Sehubungan dengan berita perusakan gereja yang terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini, saya, sebagai bagian umat Islam,
benar-benar merasa prihatin. Banyak teman di ISNET yang
sejak dini menyatakan ketidak-setujuannya terhadap apa yang
terjadi ini. Sayang, usaha yang baru dapat dilakukan saat
ini hanyalah mencegah berkembangnya pemikiran yang menjurus
ke arah semangat melakukan tindakan kekerasan semacam ini
lalui kata-kata. Itupun baru dikalangan yang terbatas
seperti ISNET atau pengajian.
Di sisi lain, yang perlu disadari dan difahami benar,
berbagai kejadian pembakaran gereja semacam ini juga
seringkali ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Dalam pemberitaan yang lalu, misalnya, dikabarkan bahwa
kejadian pembakaran gereja itu terjadi akibat hasutan dari
tokoh-tokoh organisasi Islam tertentu. Pemberitaan semacam
ini sudah menjadi biasa bagi telinga umat Islam Indonesia.
Nada memojokkan semacam ini sudah menjadi jargon politik
sehari-hari, tidak saja terdengar di dalam negeri tetapi
bahkan lebih sering lagi di luar negeri.
Namun, dalam kaitan dengan kejadian pembakaran gereja di
Indonesia akhir-akhir ini, saya juga mendapat kabar via
tilpon dari seorang yang bicara dengan pengurus teras
organisasi itu di Jakarta bahwa kejadian perusakan gereja
itu erat hubungannya dengan selebaran-selebaran yang
menghasut dan membuat marah penduduk muslimin setempat
sehingga membakar gereja. Setelah diteliti, kabarnya
selebaran itu berasal dari seorang yang beragama Nasrani.
Kalau benar bahwa ini yang terjadi, tentu perilaku
tidak-bertanggung jawab semacam ini sangat ditentang juga
oleh orang-orang seperti Romo Alex ini. Saya sendiri
menganggap bahwa berita yang mengkaitkan pembakaran itu,
baik dengan tokoh organisasi Islam maupun dengan selebaran
dari aktivis nasrani, keduanya berupa desas-desus karena
tidak ada bukti yang kuat, yang meyakinkan saya.
Nah saya tidak tahu mana yang betul dari berita ini, tapi
inti dari ceritera itu adalah bahwa suatu kejadian akan
selalu memiliki rangkaian sebab-akibat yang panjang.
Masing-masing pihak bisa saja mengeruhkan suasana dengan
membuat analisa-analisa sesuai dengan kepentingannya. Oleh
karena itu, menurut hemat saya, tugas kita adalah selain
kita sama-sama berkewajiban mencegah segala kemungkinan yang
bisa menjadikan sebab awal dari letupan, kita juga harus
menghentikan rangkaian akibat letupan itu yang bisa terus
membesar dan memanjang.
Romo Alex:
Pertanyaan itu sangat relevan bagi kita orang Indonesia
khususnya, karena tenunan masyarakat Indonesia yang begitu
majemuk. Marilah kita lihat keluarga kita sendiri. Saya rasa
sebagian besar keluarga kita mempunyai sanak-saudara yang
beragama lain. Adik saya sendiri menikah dengan seorang
Muslim. Dan keluargaku hanyalah satu-satnya keluarga
katolik, dan paman dan bibi saya semuanya Muslim. Selama ini
belum pernah ada soal bagaimana kita menghormati satu sama
lain, bahkan sebaliknya kita saling mengingatkan akan
kewajiban kita masing-masing.
Saya masih ingat betapa bibi saya, seorang Muslim yang
taat, selalu membangunkan saya untuk pergi ke gereja, ketika
saya malas bangun pagi di hari Minggu. Saya juga masih ingat
bagaimana bibi saya yang lain sebelum naik haji ke Mekkah
meminta saya untuk memberi ringkasan tentang upacara naik
haji. Bibi saya tidak merasa canggung untuk bertanya kepada
saya, karena kebetulan memang saya sedikit banyak tahu
secara teoritis urutan upacara haji itu, dan beberapa doa
kecil yang perlu dihafalkan. Saya terharu sekali waktu bibi
kami jemput di lapangan terbang terus mencari saya, "Endi si
tole kyahi Romo Alex," dan memberikan oleh-oleh khusus bagi
saya dari tanah Arab. Bagi keluarga kami, hari itu pesta
besar.
Cerita saya ini sekedar gambaran betapa kerukunan antar
orang yang beriman lain itu bisa terjadi, dan saya tetap
berharapan bahwa akan tetap terjadi demikian pula.
Imam Prasodjo:
Mendengar ceritera ini saya lantas teringat pada anjuran
toleransi yang seringkali dikumandangkan, yang
"kontroversial" di kalangan Islam. Ceritera Romo Alex secara
sepintas menggambarkan keharmonisan berinteraksi dalam
keluarga yang berlainan dalam beragama. Dari gambaran ini,
mungkin Romo Alex menjadikannya model ideal dalam membentuk
masyarakat kita yang toleran, yang harus kita tuju. Semangat
dari tulisan itu dasarnya baik, tapi ada bagian yang mungkin
kurang disepakati oleh banyak umat Islam dalam uraian itu.
Karena itu perkenankanlah saya mengemukakan salah satu sisi
yang difahami di kalangan umat Islam dalam kaitan dengan
arti toleransi yang difahami berbeda dengan penafsiran Romo
Alex.
Kasus yang dikemukakan Romo Alex di atas, di banyak
kalangan umat muslim, cenderung dianggap sebagai kekeliruan
dalam menafsirkan tindakan bertoleransi seorang muslim
kepada umat beragama lain. Dasar dari penolakan ini
berpangkal dari ajaran, yang tentunya Romo Alex mengetahui,
yang berintikan pada doktrin "bagimu agamamu, bagiku
agamaku". Dalam Al-Qur'an, yang juga Romo Alex ketahui,
Surah Al-Kafiruun 6 dimengerti agar sikap seorang muslim:
- Di satu sisi harus "menghormati" umat beragama lain
yang manifestasi penghormatan itu dicerminkan pada
tindakan yang tidak menghalangi kegiatan beribadah umat
beragama lain,
- Di sisi lain juga tidak diperkenankan bagi seorang
muslim untuk "encourage" atau melakukan tindakan yang
secara langsung atau tidak langsung "mendukung",
"menopang", "men-support" praktek-praktek beragama pihak
lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ini adalah
sebagai konsekwensi logis dari pengikraran TAWHID yang
mengakui tiada tuhan selain Allah. Oleh karena prinsip
inilah, sebaliknya umat Islam yang wajar sebenarnya tidak
menuntut atau meminta datangnya "nasehat" atau
"peringatan" dari kalangan non-muslim agar si Muslim
selalu menetapi kewajiban keislamannya. Mengapa demikian?
Karena nasihat semacam itu adalah menjadi kewajiban
saudara seagama, bukan dari kalangan umat lain, yang
jelas-jelas berbeda keyakinannya.
Jelasnya, kalau kita kembalikan dalam kasus Romo Alex,
adalah kewajiban umat Katolik lain lah yang seharusnya
selalu mengingatkan Romo Alex untuk pergi ke gereja, saat
Romo Alex malas-malasan di hari minggu itu, dan bukan Si
Bibi yang muslim itu. Betapapun baiknya tindakan Si Bibi itu
bagi Romo Alex, secara akidah Islam tidak cocok dalam logika
prinsip tawhid. Jadi singkatnya, dalam berinteraksi, ajaran
Islam yang difahami oleh umat Islam adalah mengajarkan untuk
tidak bertoleransi dalam keyakinan beragama, tetapi harus
bertoleransi dalam pergaulan hidup, dalam arti "membiarkan"
tidak menghalangi orang lain untuk memiliki keyakinan
berbeda dan melakukan ibadatnya.
Ajaran untuk tidak bertoleransi dalam keyakinan itu,
dalam satu kalimat disimbolkan "Bagimu agamamu, bagiku
agamaku!". Sementara itu toleransi dalam berperilaku
terhadap umat beragama lain disebutkan dalam Al-Qur'an surat
Al Mumtahanah ayat 7, 8 dan 9 sbb:
"Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang
antara kamu dengan orang-orang yang kamu (anggap saat ini)
sebagai sebagai musuh. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan
Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (mohon dimengerti
konteks ayat ini yang diturunkan dalam suasana perang --dari
saya)
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sungguh
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil"
"Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama
dan me- ngusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain)
untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim"
Sementara itu pula, dalam Al-Quran juga disebutkan (Al
An'aam 108):
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan malampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Allah mengabarkan kepada mereka apa yang mereka
kerjakan."
Jadi, yang diinginkan oleh banyak kalangan Islam adalah
menyebarkan pengertian toleransi yang terbatas dalam arti
kewajiban untuk "menghormati" (tanpa perlu melakukan
encouragement) dan juga melindungi siapapun lain dari
gangguan tindakan anti-toleransi seperti menghalang-halangi,
merusak, dan mengintimidasi umat beragama lain dalam
melakukan peribadatannya. Bagi Islam, jelas bahwa "Tiada
paksaan untuk (memasuki) (agama) Islam; sesungguhnya telah
jelas agama yang benar daripada yang salah ..."(Al Baqarah
256). Prinsip semacam itu juga tentunya ada pada agama lain.
Atas dasar itulah, praktek pelaksanaan toleransi yang
saat ini didengung-dengungkan seperti saling membantu di
kalangan umat beragama dalam mendirikan masjid, gereja,
kuil, candi dsb, sering diterima sebagai "TUNTUTAN" yang
terlalu berlebihan yang harus dilakukan umat Islam. Bahkan
lebih sedihnya, karena penafsiran TOLERANSI BERAGAMA semacam
ini seringkali dipaksakan untuk dilaksanakan, dengan
mengabaikan apa yang difahami oleh banyak kalangan umat
Islam, maka sering muncul dugaan bahwa penafsiran kata
toleransi semacam itu adalah akibat "penunggangan" dari
pihak-pihak tertentu.
Sebagai contoh yang sangat jelas dalam masalah ini adalah
berkaitan dengan masalah ketegangan mengenai anjuran natalan
bersama yang ditentang keras oleh almarhum Buya Hamka. Saat
itu saya masih ingat bahwa doktrin toleransi/gambaran
kerukunan beragama yang yang dijabarkan adalah dengan
melakukan NATALAN BERSAMA, dirasakan sulit diterima di
kalangan umat Islam karena alasan prinsip Tawhid. Namun
karena begitu kuatnya tekanan yang dirasakan untuk ikut
melaksanakan acara natalan bersama itu, maka muncul
dugaan-dugaan bahwa kejadian ini berkaitan dengan perjuangan
politis yang bila dapat terus berhasil diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat akan memiliki implikasi sangat jauh.
Sebagai contoh, dengan adanya doktrin toleransi NATALAN
BERSAMA yang dianggap sebagai penjabaran sikap Pancasilais,
maka dikhawatirkan orang-orang tidak bersedia menghadiri
perayaan NATALAN BERSAMA akan dituduh tidak toleran atau
bahkan tidak Pancasilais.
Lebih jauh dari itu, bila penafsiran ini benar-benar
secara ketat dilakukan, tidak mustahil gereja-gereja atau
kantor-kantor/depertemen-departemen pada saat perayaan natal
akan penuh dengan umat Islam karena karena takut dianggap
tidak toleran. Demikian juga, gereja-gereja yang saat ini
banyak berdiri di tengah kampung berpenduduk Islam, dan cuma
memiliki jemaah beberapa saja, akan penuh-penuh dengan
orang-orang Islam, yang yang jumlahnya akan jauh lebih
banyak dari umat Kristen sendiri. Gambaran semacam itu tentu
wajar saja terjadi dalam benak orang-orang Islam maupun
Kristen. Yang berbeda mungkin adalah response dari gambaran
semacam itu.
Atas dasar itulah, Buya Hamka dengan teguh menolak
doktrin TOLERANSI yang ditafsirkan dan dijabarkan seperti
itu, walaupun dia harus mundur dari jabatan ketua Majelis
Ulama Indonesia untuk mempertahankan prinsip ini.
Nah, mudah-mudahan ceritera ini bisa menjadi tambahan
informasi bagi Romo Alex bahwa masalah yang harus
direnungkan memang agak rumit. Usaha untuk terus ber-empati,
saya kira akan banyak membantu mengatasi masalah-masalah
semacam ini.
Romo Alex:
Pernah, suatu hari, keluarga bibi kedatangan beberapa
orang dari anggota Saksi Yehovah. Kami semua tidak setuju
dengan cara mereka menyebarkan faham mereka. Kalau kebetulan
saya di rumah, biasanya bibi dan saudara-saudara menyuruh
saya menyambut mereka itu. Waktu itu saya masih "berdarah
muda." Biasanya langsung saya katakan bahwa kami di sini
sudah beriman kepada Allah. Ada kalanya mereka langsung
pergi, tapi ada kalanya ngotot pula. Bahkan semakin semangat
mereka itu ketika tahu kalau saya seorang katolik, yang
dikatakan belum menerima Kristus sebagai penyelamat. Wah,
ini bikin darah muda mendidih, langsung adu ayat kitab
sucipun berlangsung. Saya sadari sekarang bahwa cara
demikian itu tidak ada gunanya, karena saya masuk perangkap
mereka dalam menggunakan ayat-ayat kitab suci sebagai
senjata. Padahal bukan begitulah orang seharusnya membaca
kita suci.
Rupa-rupanya cara penyebaran Injil yang demikian inilah
yang amat menyakitkan kaum Muslimin. Tapi saya juga
menyayangkan bahwa kaum Muslimin terkadang "menggebyah uyah"
(menyamaratakan) bahwa kami kaum kristiani itu begitu semua.
Apalagi sering terdengar bahwa gerakan semacam itu merupakan
suatu "policy" suatu gerakan yang terorganisir secara ketat
dari pusat gereja. Padalah saya tahu dengan jelas, khususnya
dalam gereja katolik, tidak ada usaha terorganisir semacam
itu.
Imam Prasodjo:
Kalimat Romo Alex bahwa "kaum Muslimin terkadang
'menggebyah uyah" (menyamaratakan) bahwa "kaum kristiani itu
begitu semua" juga merupakan statement yang kedengaran bagi
telinga saya sebagai ucapan "gebyah uyah" juga.:-)
Kebanyakan dari ucapan yang dikeluarkan orang seperti M.
Natsir, Pak A.R., dan bahkan Pak Munawir Sadzali, saya kira
merefer secara jelas kepada kejadian-kejadian yang memiliki
bukti dokumen maupun laporan konkrit yang bisa dicek
kebenarannya. Dari pihak Kristen sendiri, sepengetahuan
saya, juga tidak ada sanggahan formal terhadap rencana
kristenisasi itu karena memang itu merupakan misi yang harus
dijalankan. Romo Alex sendiri mengatakan:
"Kita tahu bahwa baik agama Islam maupun
agama Kristen adalah agama misioner yang mewajibkan
anggota-anggotanya untuk menyebarkan ajarannya bagi semua
orang."
Malah bagi saya, sangat mengherankan bila organisasi
semacam gereja Katolik tidak memiliki policy di bidang misi
ini. Pendapat Romo Alex yang mengatakan: "Padalah saya tahu
dengan jelas, khususnya dalam gereja katolik, tidak ada
usaha terorganisir semacam itu", bagi saya sulit diterima
dengan akal sehat. Atau mungkin Romo Alex sendiri perlu
mengecek ulang hal ini lebih jauh.:-). Sudah seharusnyalah,
organisasi semacam gereja Katholik memiliki policy semacam
itu. Bagi saya, hal itu sangatlah wajar dan masuk logika
akal sehat. Saya sebagai seorang muslim, juga dapat menerima
kenyataan keadaan ini.
Menurut pemahaman saya, yang dipersoalkan oleh banyak
kalangan umat Islam itu bukanlah ada tidaknya "policy"
kristenisasi oleh gereja, tetapi adalah seberapa jauh usaha
"misi" yang disebutkan Romo Alex sebagai kewajiban itu, akan
berdampak terhadap munculnya keresahan yang mengganggu
kesatuan berbangsa atau kerukunan hidup antar umat beragama
di negara kita.
Karena dalam melakukan misi ini terjadi langkah dengan
tingkatan intensitas yang berbeda-beda, dan masing-masing
individu juga bisa melaksanakan dengan cara yang berbeda
beda pula, maka response dari kalangan yang dikenai misi
juga beragam. Ada yang tetap tenang, ada yang blingsatan,
dan juga ada yang tidak sadar atau tidak perduli akan
kejadian itu. Nah kalau ternyata dalam intensitas tertentu
misi yang dilakukan itu berakibat pada response yang dapat
meletupkan dan memecah kesatuan kehidupan berbangsa, maka
perlu kiranya kita mencari jalan keluar yang adil dan
bijaksana.
Salah satu tindakan bijak yang pernah dilakukan,
dicontohkan oleh Bung Hatta. Ia dulu memutuskan untuk
melakukan tindakan "mengalah" demi kesatuan bangsa, dengan
membatalkan "tujuh kata" dalam rumusan Piagam Jakarta yang
sebenarnya secara konstitutional telah secara sah
disepakati, karena pihak Kristen di Indonesia Timur (refer
Biography Bung Hatta) mengatakan akan memisahkan diri bila
"tujuh kata" itu tidak dihapus. Padahal, menurut M. Natsir,
tujuh kata yang tercantum itu sebenarnya tidak ada sangkut
pautnya dengan kepentingan langsung umat Kristen karena
rumusan itu hanya menyebutkan kewajiban umat Islam untuk
menjalankan syariat agamanya (refer surat terbuka M. Natsir
yang diposting beberapa waktu yang lalu). Karena adanya
keberatan semacam itu, mengakibatkan Natsir berspekulasi
bahwa sebagian umat Kristen keberatan bila umat Islam
menjalanan syariat agamanya sendiri, yang tentunya ini tidak
terjadi pada diri Romo Alex.
Saya sendiri menganggap bahwa apa yang dilakukan Hatta
bisa dimengerti, apalagi melihat bahaya perpecahan saat itu.
Nah, bila masalah kristenisasi ini bisa ditempatkan dalam
posisi itu, maka wajar saja umat Islam "concern" lagi
tentang masalah kesatuan itu. Apalagi keresahan dan bahkan
tindakan-tindakan kekerasan yang mungkin saja bisa terjadi,
dapat merupakan reaksi yang sudah dapat diduga sebelumnya.
Oleh karena itu, salah satu alternatif yang mungkin bisa
diajukan seluruh bangsa Indonesia yang "concern" terhadap
persatuan dan mudah-mudahan bisa diterima oleh sebagian
besar umat Kristen adalah adalah usulan untuk
menangguhkannya atau menurunkan kadar intensitas misi
pengkristenan di kalangan umat Islam, terutama di kalangan
umat Islam yang secara ekonomi dan pendidikan masih kurang,
sambil menunggu agar umat Islam yang menjadi sasaran misi
itu memepelajari agamanya dengan baik, serta memperbaiki
kehidupan ekonominya.
Sementara itu, untuk adilnya, saya setuju saja kalau misi
pengkristenan itu diarahkan ke orang-orang seperti
Nurcholish Madjid, Amin Rais, Bakhtiar Muin, Taura, Qodri
Azizi, Indra Jaya, Ucok Hasibuan, Yusron, Muis Naharong dan
lain-lain orang-orang yang sudah cukup mapan dalam berfikir
serta tidak terdesak secara ekonomi. Let's see what
happen!..:-)
Bila orang-orang semacam mereka pindah agama, saya baru
percaya bahwa itu didasarkan karena pilihan bebas (hasil
analisa pemikiran) dan bukan karena desakan ekonomi atau
lainnya. Nah dalam konteks se macam itulah, mari kita bicara
masalah hak asasi individu!
NOTE:
Kalau masalah JEHOVA yang gedor-gedor pintu
itu saya kira hanya bagian kecil dari masalah misi oleh
sebagian kelompok kristen tertentu yang bisa menimbulkan
ketegangan. Kalau Romo Alex merasa dirugikan dengan
perbuatan mereka, maka Romo Alex bisa pula merasakan
sesaknya nafas banyak umat Islam yang berfikiran sehat,
akibat dari tindakan segelintir orang Islam yang membakar
gereja itu dan memaki-maki umat Kristen yang sebenarnya
perbuatan itu jelas dilarang oleh ajaran Islam sendiri.
Romo Alex:
Kata "kristenisasi," atau lebih tepat "nasranisasi"
berkembang menjadi suatu "ideologi momok," mirip seperti
"tuduhan PKI, atau komunis" yang sering terdengar di media
masa. Istilah "nasranisasi" berkembang mirip dengan istilah
"holocaust" di negeri Barat ini. Ideologi itu dibuat orang
untuk menakut-nakuti orang agar mereka tidak "mengulangi
pengorbanan orang lain." Saya rasakan akhir-akhir ini
"nasranisasi" mirip dengan tuduhan "anti-semitik."
Imam Prasodjo:
Saya merasa statement Romo Alex kali ini terlalu
berlebihan:-) Saya khawatir ucapan semacamam itu didasari
anggapan bahwa umat Islamlah yang menjadikan kata
"kristenisasi" itu momok. Padahal yang lebih benar adalah
tumbuhnya kesadaran yang wajar dari banyak kaum muslimin
yang saudara-saudaranya, bibinya, keponakannya, dan bahkan
anaknya pindah ke agama lain. Berpindahnya agama itu
tentunya tidak terjadi begitu saja tanpa melalui suatu
proses. Dalam diskusi di Isnet, telah dibahas sebab-sebab
internal seperti kurangnya kwalitas muslim itu sendiri dalam
memahami ajaran agamanya, kurangnya kepedulian dari kalangan
umat Islam lain dalam memperhatikan kesulitan-kesulitan
ekonomi sesama muslim, dan belum dilaksanakannya zakat
secara benar dls..yang semuanya itu bisa menyebabkan proses
berbindahnya agama.
Dalam menganalisa faktor eksternal, antara lain memang
disebutkan adanya usaha dari kaum Nasrani untuk
mengkristenkan umat Islam itu. Saya kira, faktor eksternal
ini memang ada, dan itu bukanlah hal yang harus disanggah
karena memang itulah salah satu misi yang wajib dilakukan
oleh agama Kristen, sebagaimana juga Islam. Oleh karena itu,
sebagai agama yang memiliki wadah organisasi formal, adalah
wajar saja kalau umat Kristen juga memiliki "policy" atau
"strategi" penyebaran agama, sebagaimana saya kemukakan
sebelumnya.
Jadi kalau Romo Alex menganggap bahwa isu kristenisasi
seolah-oleh saat ini dijadikan momok dikalangan masyarakat
Islam, maka seorang muslim bisa saja menduga-duga
jangan-jangan Romo Alex menganggap bahwa tumbuhnya kesadaran
untuk melindungi agar saudara sesama muslim untuk tidak
pindah agama, sebagai momok juga bagi anda. Saya malah
mengharap agar adanya kesadaran di kalangan umat Islam
semacam ini tidak dikaitkan dengan sebutan-sebutan dari
sementara pihak (yang jelas bukan Romo Alex) gerakan
EKSTRIMIST, kaum FANATIK, atau ORTODOK; label-label yang
beredar secara gencar didalam jargon-jargon politik sejak
jaman Belanda hingga sekarang, entah siapa yang selalu rajin
mempopulerkan.
Dari pada kita saling melempar kata-kata, dan bermain
semiotik semacam ini, lebih baik kita gunakan waktu untuk
berusaha saling memahami apa yang dirasakan masing-masing
dari kita yang kebetulan berbeda agama, agar kita,
mudah-mudahan, dapat mencari jalan keluar dari masalah ini
secara lebih jernih.
Romo Alex:
Kita tahu bahwa baik agama Islam maupun agama Kristen
adalah agama misioner yang mewajibkan anggota-anggotanya
untuk menyebarkan ajarannya bagi semua orang. Melarang
penyebaran agama bagi orang beragama lain bertentangan
dengan hakekat agama misioner tersebut. Maka dari itu baik
"islamisasi," "hindunisasi," "budhaisasi," dan
"kristenisasi" harus tetap diperbolehkan. Nah, mengenai
caranya, kita selalu bisa berdebat.
Imam Prasodjo:
Bila dulu umat Kristen keberatan dengan "tujuh kata"
dalam piagam Jakarta yang telah disepakati itu dengan
mengatakan akan memisahkan diri, apakah itu ini berarti
secara tidak langsung bertentangan dengan pendapat Romo Alex
ini. Mengapa ini saya tanyakan, karena "tujuh kata" kata
itu, menurut Natsir, hanyalah sekedar penegasan agar umat
Islam menjalankan syariat agamanya sendiri, dan sama sekali
tidak mengatakan bahwa umat lain berkewajiban mengikuti
kewajiban syariat Islam. Dus artinya adalah keinginan umat
Islam untuk melakukan Islamisasi di umatnya sendiri. Kalau
itu hal tidak disetujui, apakah ini berarti umumnya umat
Kristen menerapkan logika khusus, yaitu tidak keberatan bila
umatnya dijadikan sasaran misi pengislaman, tetapi keberatan
umat Islam melakukan islamisasi di kalangannya sendiri?
Agar kiranya kita tidak terjebak pada hal lain, menurut
hemat saya, inti masalah bukanlah tentang BERHAK ATAU
TIDAKNYA AGAMA MENJALANKAM MISI, tetapi fokusnya adalah
seberapa jauh misi-misi yang dilakukan Kristen maupun Islam
itu dapat berdampak mengancam kesatuan berbangsa. Bila pihak
diluar Islam hanya menuntut agar umat Islam bersikap toleran
(dalam arti menghormati umat lain dalam melaksanakan
peribadatan agama yang diyakininya) saya kira itu tidak akan
ada masalah, atau bahkan itulah yang harus dilakukan umat
Islam. Tetapi kalau yang diminta adalah membiarkan keluarga,
sahabat, dan para tetangga semuslim, apalagi yang kurang
terdidik dan lemah ekonomi, dari sasaran dan bujukan misi,
saya kira terlalu sulit untuk diterima. Analogi yang mungkin
tepat adalah dapat dikemukakan begini: terlalu sulit bagi
seorang muslim untuk membiarkan anaknya, yang belum banyak
mengetahui tentang ajaran agamanya sendiri, dibujuk dan
dijadikan sasaran misi dari agama lain, apalagi kalau
keadaan anaknya itu dalam keadaan belum terdidik dan lemah
ekonomi. Kalau hal itu terjadi, maka setidaknya orang-tua
muslim yang wajar akan mengatakan "leave him/her alone"!
Kalau kata-kata itu sudah diucapkan dan misi terus
dilakukan, maka yang akan mucul adalah ketegangan.
Oleh karena itu, sangatlah tidak masuk akal bagi umat
Islam untuk menerima argumentasi bahwa pindah agama itu
adalah hak azasi seseorang dalam konteks semacam ini. Oleh
karena itu, pendapat Romo Alex berikut ini, bila diresapi
secara dingin, akan menimbulkan "kontroversi" di dalam hati
setiap muslim.
Romo Alex:
Beberapa rekan Muslim terkadang mengira bahwa kewajiban
melindungi saudara-saudarinya yang seiman dari bahaya
menyeberang hanya berlaku bagi kaum muslimin saja. Ini tidak
benar. Kita orang kristiani wajib melindungi iman
saudara-saudari kita dari penyeberangan. Namun, kaum
kristiani, paling tidak orang katolik, diajarkan bahwa
berpindah agama itu tetap menjadi kesadaran hati nurani
seseorang. Itu hak asasinya. Sayapun akan menangis dan marah
kalau ada saudara saya yang katolik berpindah agama. Namun,
tangis itu tetap kalah dengan kesadaran bahwa itulah hak
asasi saudara saya ini.
Imam Prasodjo:
Apakah dengan alasan hak asasi pribadi itu, seorang
muslim lain tidak sepantasnya untuk mengupayakan saudaranya
agar tidak pindah agama, atau mengupayakan agar tidak
terbujuk dari misi agama lain? Saya kira tidak begitu maksud
Romo Alex. Yang mungkin Romo Alex maksud adalah "bergiatlah
saling nasehat-nasehati dalam menetapi ajaran Islam,
intensifkanlah umat Islam mengajari saudara-saudara
se-muslimnya kalau tidak mau mereka pindah ke agama lain.
Sadarlah bahwa misi agama non-Islam ini selalu akan hadir.
Buanglah rengekanmu kalau saudara semuslimmu sudah masuk
dalam pelukan Kristus. Itu salahmu sendiri!" Begitulah moral
dari tulisan itu yang saya fahami!
Romo Alex:
Keluhan dan kritik kaum Muslim atas cara-cara penginjilan
sementara kelompok kristen berdasar. Memang
kelompok-kelompok itu sering menggunakan bujukan material
untuk menarik-narik seseorang yang sudah mapan di agamanya
sendiri untuk masuk ke faham kelompok itu. Saya tahu bahwa
itu terjadi dan betul-betul ada. Namun saya menolak tuduhan
bahwa itu dilakukan secara sistematis oleh gereja katolik.
Selama pendidikan saya sebagai seorang imam katolik, belum
pernah saya dengar ada rencana teroganisir semacam itu.
Karena itu praktis komersialisasi iman, dan merendahkan
derajat dan nilai dari kekristenan sendiri.
Kelompok-kelompok itu umumnya berasal dari gereja
pantekostal, yang mempunyai banyak hubungan dengan
gereja-gereja pantekostal di Amerika ini.
Imam Prasodjo:
Saya percaya pada ucapan Romo Alex ini, yang tentu
dasarnya terbatas pada pengalaman pribadi selama dia
mengikuti pendidikan sebagai Imam Katolik hingga saat ini.
Bila kelak Romo Alex ternyata menjumpai rencana yang
sistematis dari gereja, di saat terjun ke lapangan, bagi
saya justru lebih wajar. Namun, karena Romo Alex sendiri
tidak setuju dengan praktek-praktek pengkristenan dengan
menggunakan lubang ekonomi di kalangan masyarakat Islam yang
belum terdidik dan miskin, maka adalah tugas Romo Alex juga
untuk mengingatkan saudara-saudara kita dari kelompok
kristen lain yang di sebut Romo Alex itu, untuk menghindari,
atau setidaknya mengurangi ketegangan yang terjadi selama
ini. Apalagi Romo Alex sendiri mengatakan bahwa:
"keluhan dan teriakan" kaum Muslimin di
Indonesia itu MIRIP sekali dengan "keluhan dan teriakan"
Paus Yohannes Paulus II dalam kunjungannya baru-baru ini di
Amerika Latin. Dalam pidato pembukaannya pada Konferensi
Umum IV para Uskup Latin Amerika baru-baru ini, Paus berkata
bahwa beberapa sekte kristen bertindak seperti "serigala
yang ganas" yang mengunyah umat katolik Amerika Latin dan
menyebabkan "perpecahan dan ketidakrukunan dalam umat." Bapa
Suci juga menekankan adanya bahaya kalau lengah terhadap
"strategi tertentu" yang menggunakan keunggulan ekonomis
material untuk memecahkan kesatuan umat katolik di Amerika
Latin.
Bila memang demikian, maka jelas banyak titik kesepakatan
antara pendapat Romo Alex dan Paus sendiri dengan salah satu
butir SK Menteri Agama RI yang melarang misi dengan
menggunakan keunggulan material. Jadi semangat pendapat Romo
Alex, Paus, SK Menteri Agama, adalah tidak melarang misi itu
sendiri tetapi melarang cara-cara dari misi yang selama ini
banyak dilakukan dilakukan oleh sebagian kalangan. Aturan
pelarangan cara-cara misi semacam itu tentunya juga berlaku
untuk para penda'wah Islam juga. Saya dalam hal ini, sebagai
bagian dari uamt Islam (dengan segala kekurangan di sana
sini) perlu mengakui juga bahwa umat Islam yang beragam ini
tidak selalu tepat juga dalam melakukan cara berda'wah.
Secara wajar, tidak juga ter tutup kemungkinan akan adanya
kekurangan dari kalangan Gereja Katolik . Jadi, saya
mengira, kekurangan tidak selalu harus ditujukan pada
kelompok Mormon atau Yehovah saja sebagaimana tertulis dalam
statement Romo Alex berikut:
"Para Uskup Amerika Latin khususnya menunjuk
pada ulah beberapa sekte seperti Saksi Yehovah, Mormon.
Mereka itu menggunakan metode "kunjungan rumah ke rumah"
untuk "mempertobatkan" orang katolik. Banyak dari kelompok
itu mengkotbahkan "kekristenan yang ekslusif" dengan
slogan-slogan seperti "Orang katolik tidak akan
diselamatkan," "Katolik mempunyai iman yang mati," "katolik
adalah pelacur-pelacur dari Babel," dan "orang baru
betul-betul kristen kalau dia berhenti sebagai orang
katolik."
Imam Prasodjo:
Sebagai akhir tanggapan saya yang panjang ini saya akhiri
dengan kutipan posting dari Bung Ales yang bisa kita ambil
manfaat bersama:
"Saya rasa Anda sendiri juga ada yang
mengalami hal-hal semacam ini di Amerika ini, bukan? Di
Amerika, ulah seperti itu diperbolehkan dan dijamin oleh
Undang-Undang. Namun dalam konteks Amerika Latin, dan juga
Indonesia, ulah semacam itu betul-betul meresahkan umat dan
justru meretakkan kerukunan yang sudah berabad-abad dihayati
sebagai peristiwa sehari-hari.
Saya tulis hal-hal negatip di atas, karena kita perlu
mengakui bahwa hal itu betul-betul terjadi. Dan di konteks
masyarakat Indonesia, orang-orang kristen yang tidak
melakukan hal itu kena getahnya pula. Yah, itu salib kita.
Namun kita tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa "membuat
masyarakat dilandasi semangat kristiani" adalah kewajiban
setiap orang kristiani, sebagaimana "membuat masyarakat
dilandasi semangat islami" merupakan hak dan kewajiban umat
Islam.
Paroki-net ini dibentuk persis untuk merenungkan bersama,
berdiskusi bersama bagaimana kita sebagai orang kristiani,
muslim, hindu, maupun buddhis, sembari kita memperdalam iman
kita masing-masing, kita berusaha sebagai warga bangsa
Indonesia bersama-sama memajukan kesejahteraan masyarakat.
Setiap pembakaran gereja, mesjid, ataupun kuil merupakan
seribu langkah mundur.
+ALEX Wijoyo
IMAM PRASODJO
To: isnet@isnet.org
Date: Sat, 28 Dec 1996 13:37:21 -0500
From: Imam_Prasodjo@brown.edu (Imam Prasodjo)
Subject: POSTING ULANG MENYAMBUT PERISTIWA TASIKMALAYA
|