Amerika berburu Osama
Dr. Ijaz
Husein
Sorotan
terhadap Osama bin Laden baru-baru ini memperlihatkan
perkembangan besar yang kurang menyenangkan. Pertama,
seperti pesan Amerika yang didengungkan secara jelas dan
keras oleh Asisten Menlu Urusan Asia Selatan, Inderfurth,
yang meminta kerja sama Pakistan dalam penangkapan Osama.
Sikap ini diikuti oleh resolusi Dewan Keamanan PBB yang
meminta pemerintah Taliban untuk tidak memberikan "istana"
dan fasilitas berlatih kepada para teroris internasional.
Hal ini dipertegas oleh reportase pers Barat yang menuduh
Bin Laden telah membangun kembali "Universitas Teroris" di
Afghanistan dan mengingatkan kemungkinan serangan yang akan
dilancarkan oleh jaringan-jaringan dia di berbagai kota di
daratan Eropa.
Di tengah ramai dan semaraknya reportase tersebut, AS
dilaporkan telah memulai langkah-langkah nyata untuk itu,
dengan menutup semua misi diplomatik di Afrika, kecuali di
Kenya, Afrika Selatan, dan Burkina Faso. Dan, yang paling
menyakitkan lagi dan perkembangan tersebut, yaitu berita dan
jubir Taliban bahwa Arab Saudi telah menyewa pembunuh
bayaran untuk membunuh Osama, kendati pemerintah Saudi
secara resmi mengingkari keterlibatan mereka di dalam
konspirasi ini. Karena itu, bukan hal yang aneh kalau AS
akan kembali menghujani Afghanistan atau mencoba menculik
dan membunuh Bin Laden.
Yang mereka lakukan dapat dipahami. Namun, apakah rencana
aksi serangan AS kepada seorang tertuduh teroris merupakan
jalan penyelesaian yang terbaik? Kedua, konsekuensi apa yang
mungkin akan muncul dari serangan AS ke Afghanistan?
Dalam situasi seperti sekarang ini, operasi militer AS
apa pun terhadap Afghanistan untuk menangkap atau membunuh
Bin Laden, atau menghancurkan hal yang dianggap sebagai
"universitas teroris", sama sekali tidak dapat dibenarkan
dengan dalih hak untuk mempertahankan diri. Sebelum
melancarkan serangan itu, AS harus dapat menunjukkan
bukti-bukti nyata keterlibatan Osama dalam aktivitas
terorisme yang dituduhkannya. Tanpa itu semua, aksi Amerika
bukan apa-apa, kecuali suatu tindakan terorisme negara. Dan
yang terjadi di lapangan, serangan AS atas Sudan dan
Afghanistan pada 20 Agustus 1998 masuk di dalam kategori ini
karena mereka gagal membuktikan kebenaran hubungan antara
aksi-aksi teroris melawan AS dengan Bin Laden.
Dalam persoalan Sudan, pabrik yang dipersepsi kriminal
dan menjadi sasaran tembak AS ternyata hanya pabrik yang
memproduksi obat-obatan farmasi, jauh dari tuduhan AS bahwa
di sana diproduksi bahan-bahan persenjataan kimia. Ini bisa
menjadi alasan mengapa AS menolak mentah-mentah permintaan
Sudan mengirim tim khusus untuk menginvestigasi reruntuhan
pabrik tersebut. Begitu juga halnya dengan kasus di
Afganistan, AS tidak mengajukan bukti sedikit pun pada waktu
operasi ataupun sesudahnya. Menurut reportase pers, Jaksa
Agung AS, Janet Reno, telah memperingatkan Menlu AS,
Madeleine Albright, untuk tidak mengambil tindakan dalam
operasi militer melawan Afghanistan tanpa bukti-bukti yang
kuat.
Pada kenyataannya, satu pembenaran atas aksi AS (peran
Bin Laden di dalam pembunuhan tentara-tentara AS di Arab
Saudi) ternyata kandas saat pemerintah Arab Saudi
membebaskan Bin Laden dari tuduhan keterlibatannya dalam
berbagai serangan teroris baru-baru ini .
Kalau memang AS mengatakan bahwa mereka punya bukti-bukti
atas keterlibatan Bin Laden di dalam aktivitas teroris
melawan kepentingan AS, mereka harus secara sukarela
memenuhi permintaan pemerintah Taliban dan bukan dengan
memaksakan kehendak kepada mereka sementara mereka sendiri
bungkam tidak memberikan bukti. Kebungkaman AS pada waktu
itu terdapat banyak intrik dan akan menghasilkan persepsi
publik yang berbeda kepada AS yang telah gagal menunjukkan
bukti. Sebagai contoh, dikatakan bahwa AS tidak melakukan
itu untuk menghindari pengakuan atas pemerintahan
Taliban.
Kemudian, keengganan untuk memenuhi tuntutan Taliban
tetap dipertahankan untuk menjaga kerahasiaan sumber-sumber
informasi yang paling rahasia. Dan, alasan terakhir,
reservasi AS dalam kasus ini dapat dijustifikasi dengan
alasan tidak menerima peradilan syariat yang ditawarkan,
hanya karena berkarakter tidak sekular dan antagonistik
dengan nilai-nilai Amerika. Kalau memang keberatan-keberatan
ini relevan dalam konteks pengaktifan kembali peradilan
syariat, kami usulkan untuk meninjau hal-hal berikut ini
.
Kalau memang mengkhawatirkan keabsahan pemerintahan
Taliban, lalu tetap bersikap bulat untuk tidak mengakuinya,
maka dengan hanya menyerahkan bukti di depan peradilan
syariat tidak dapat dijadikan alasan sebagai pengakuan
terhadap pemerintahan Taliban dengan imajinasi apa pun.
Banyak yurisprudensi di dalam kasus semisal yang mendukung
persoalan sekarang. Satu contoh yang kasat mata adalah
negosiasi antara pemerintah Pakistan dan wakil pemerintah
Afghanistan pada 1980-an, yang akhirnya menghasilkan
perjanjian Jenewa. Kendati demikian, pemerintah Pakistan
tetap menolak untuk mengakui pemerintahan di Kabul.
Dalam hal proteksi sumber-sumber informasi, sama-sama
tidak dapat dipertahankan. Kasus yang dibawa ke depan
peradilan dunia oleh Nikaragua melawan AS pada 1980-an,
sebagai protes terhadap penambangan AS di pelabuhan
Nikaragua guna menghalangi kapal-kapal Soviet yang membawa
peralatan perang, memberikan ilustrasi pemikiran ini.
Administrasi Reagan akhirnya harus memboikot laporan sidang
menurut tingkatan baik-buruknya di lapangan karena adanya
hakim Soviet di sana. AS ketika itu tidak dalam posisi untuk
membeberkan informasi yang dapat mempertahankan persoalan
keamanan yang sensitif dan rahasia.
Dalam persoalan ini, alasan AS hanyalah dalih untuk bisa
lari dan kenyataan bahwa aksi militernya benar-benar aksi
yang ilegal dan tak dapat dipertahankan. Kelihatannya,
penolakan dan keengganan untuk menyerahkan bukti di dalam
kasus sekarang ini bukan semata-mata karakter
kerahasiaannya, tetapi suatu pernyataan maaf.
Akhirnya, di dalam persoalan persidangan Osama dengan
peradilan syariat, adalah prinsip hukum umum internasional
bahwa sah-sah saja jika seorang kriminal buronan punya dua
pilihan: baik diekstradisi atau diadili di negara yang
melindunginya. Kalau memang pemerintah Taliban siap untuk
membawa Osama ke meja hijau di Afghanistan, AS seharusnya
bekerja sama dengan membantu secara maksimal serta
menyerahkan bukti-bukti yang relevan. Dan AS dapat meminta
agar persidangan dilakukan dengan transparan dan terbuka
untuk media internasional. AS juga harus melihat bahwa di
dalam persidangan nanti, perwakilan mereka diizinkan untuk
keluar masuk persidangan memonitor berlangsungnya
peradilan.
Kalau memang ternyata Taliban menolak
persyaratan-persyaratan di atas, AS telah menemukan landasan
kuat untuk menentang Taliban sekaligus memberikan
justifikasi untuk memperlakukan pemerintahan Kabul dengan
cara yang setimpal. Mengecam sistem peradilan domestik suatu
negara --dengan mengatakan itu tidak sekular atau tidak
berkarakter Barat sementara tidak melakukan persidangan
secara fair terhadap teroris teroris lain-- pada saat
yang bersamaan tidak hanya menentang prinsip-prinsip akal
sehat dan hukum internasional, tetapi juga pukulan
imperialisme budaya.
Kalau memang AS akan tetap melancarkan serangan militer
baru atau berhasil menangkap Bin Laden, lalu membunuhnya
atau menculiknya, itu tidak akan menyelesaikan persoalan
terorisme secara mendasar. Ini merupakan proses pemupukan
kebencian dan amarah massa Muslim di dunia. Mereka sudah
cukup berang terhadap Barat karena nyata-nyata mendukung
serangan udara AS-Inggris melawan bangsa Irak yang tak
berdosa. Sebuah persepsi akan semakin mengkristal bahwa
Barat adalah anti-Islam.
Jangan lupa bahwa Bin Laden bukan sosok Ramzi Yousef atau
Aimal Kanzi, melainkan seorang pahlawan di belahan dunia
ini. Apa saja operasi AS di bumi Afghanistan hanya akan
semakin meradikalisasikan masyarakat yang sudah menderita
selama dua dekade peperangan sehingga keadaan ini dapat
dimanfaatkan oleh Taliban untuk melawan Barat. Kalau ini
yang terjadi, bahayanya adalah Afghanistan kembali akan
menjadi benteng-pertahanan Islam radikal di dunia. Dalam
situasi seperti ini, bukan mustahil akan terjadi serangan
radioaktif nuklir Pakistan.
Inilah skenario yang kelihatan akan terjadi di belahan
dunia ini. Untuk alasan ini dan demi terealisasinya rule
of law di tengah komunitas internasional, AS seharusnya
bisa menangani kasus Osama dalam siklus pendekatan yang
konstruktif dengan pemerintah Afghanistan ketimbang harus
memperlihatkan arogansi kekuatannya.
|