Salam Untuk Amerika, Saya
Osama
John Miller
Tembakan senjata api beberapa kali terdengar di udara,
hanya dalam beberapa menit kemudian tembakan kian memekakkan
telinga. Lusinan pemuda Arab mulai memuntahkan tembakan ke
udara setelah melihat aba-aba cahaya lampu sorot di atap
mobil pick-up gardan empat yang mengarah ke puncak
bukit.
Telinga kanan saya terasa pekak. Saya berbalik, berharap
dapat melihat meriam, namun sebaliknya, yang saya dapatkan
anak kecil sedang tersenyum --mungkin umurnya baru sekitar
lima belas tahunan dia menembakkan senjata otomatisnya hanya
beberapa inci dari telinga saya. Saya kira bahwa hanya
sebagai ujian, seperti yang biasa dilakukan. Dia berupaya
untuk menakuti. Saya adalah seorang reporter dan mantan
pejabat kepolisian di New York. Saya mendengarkan
tembakan-tembakan pelampiasan kemarahan. Sambil tersenyum
kepada anak kecil itu, perlahan saya dorong senjatanya. Ini
cara saya untuk berkata, "Upaya yang bagus sekali! Tapi
engkau tidak dapat membuat saya melompat terkejut." Walaupun
tembakan pelurunya hanya berjarak satu inci dari telinga
saya, itu tidak menjadi masalah. Sekarang, itu bukan perkara
lucu lagi. Saya marah kepadanya, tapi mari kita hadapi saja
anak kecil dengan senjata AK-47 dan selilit 30 rangkai
peluru. Seberapa lama saya dapat memelototkan mata? Satu hal
yang saya ketahui di New York saat ikut mendamaikan
peperangan di penghujung tahun delapan puluhan: anak belasan
tahun yang menenteng senjata-senjata otomatis paling cocok
untuk tidak dipukul. Saat saya saksikan seseorang datang dan
kemudian pasukan setianya meletakkan senjata-senjata mereka
dengan luapan kegembiraan, pemuda tadi hampir saja membuat
saya tuli.
Puncak bebukitan di bagian selatan Afghanistan ini memang
jauh dari rumah, tetapi dalam hal lain bukanlah demikian.
Pada malam itu, saya bisa dibilang yakin bahwa orang yang
akan saya temui adalah orang yang memerintahkan
tembakan-tembakan tadi, dan dia juga yang menekan tombol
peledakan gedung Pusat Perdagangan Dunia (World Trade
Center) di New York. Dunia ternyata kecil.
Beberapa menit sebelum upacara penyambutan yang
menegangkan, seorang berkata kepada saya, "Sebentar lagi
Tuan Osama bin Laden akan datang." Laki-laki yang bertubuh
jangkung dan berjenggot dengan serban yang melilit di
kepalanya itu tidak memperkenalkan jati dirinya, tetapi
kelihatannya dia adalah sekretaris urusan pers Osama. "Kami
telah persiapkan acara penyambutan yang meriah." Kapan pun
dia datang, akan selalu ada pesta.
Percikan-percikan api dan peluru yang ditembakkan membuat
garis panjang di udara, silang-menyilang di kegelapan malam
dan kesunyian langit yang penuh bintang. Kembang-kembang api
dinyalakan, dan memancar indah jatuh bagai hujan berwarna
kuning, lantas menguap sebelum sempat menyentuh bumi. Waktu
tembakan-tembakan senjata terus terdengar, serombongan mobil
bergardan empat melaju cepat di jalanan yang penuh
lumpur.
Sejumlah pengikut setia Osama bin Laden juga terlihat,
semua berbekalkan senjata otomatis buatan Rusia dan Cina.
Beberapa orang ditempatkan di pos-pos tempat strategis
dengan peluncur granat. Berbulan-bulan saya harus berupaya
untuk mengatur pelaksanaan wawancara dengan orang ini. Baru
sekarang dua bulan sebelum terjadi peledakan di Kedutaan
Besar Amerika di Kenya dan Tanzania oleh bom-mobil Bin Laden
--wawancara ini bisa dilakukan. Setelah larut malam, di atas
bukit ini, saat Osama bin Laden belum menjadi
"bulan-bulanan" Amerika Serikat.
Jaksa Agung di New York masih harus mencari dan
mendengarkan berbagai bukti lebih kurang satu tahun lamanya
tentang peranan Osama sebagai organisator dan donatur
gerakan terorisme anti-Amerika. FBI menuduh Osama --atau
paling tidak uangnya-- berada di balik semua peristiwa:
mulai dari pemboman Pusat Perdagangan Dunia, penembakan
jatuh helikopter Amerika di Somalia, pemboman di Arab Saudi
dan Yaman yang mentargetkan orang-orang Amerika di sana. Dan
sekarang, Osama baru tahu bahwa target-targetnya berbalik
mengancam eksistensi dirinya.
Itu yang menjadi alasan saya untuk mewawancarai Bin
Laden, namun itu berlalu dengan proses yang tidak mudah.
Aparat public-relation-nya ternyata sangat canggih
dan punya jaringan yang kompleks, harus melalui agen dan
penghubung. Pembicaraan pertama terjadi di sebuah hotel tua,
Jefferson Hotel, di Washington. Dua produser ABC News,
Chris Isham dan Len Tepper, membawa saya untuk menemui
salah seorang yang dipercaya dan punya relasi baik dengan
beberapa orang Muslim fundamentalis. Langsung saja orang ini
berkata, "Kami harus terbang ke London dan menemui salah
seorang pengikut Osama." Bin Laden kelihatannya punya
anggota dan simpatisan di seluruh dunia.
Dua pertemuan, keduanya di rumah bergaya Tudor, kira-kira
setengah jam perjalanan dari pusat kota London. Kami katakan
kepada mereka bahwa kami akan mengangkat isu-isu yang
berhubungan dengan dia (Osama) dan "para simpatisannya"
serta hal yang berhubungan dengan latar belakang hidupnya
supaya orang dapat memahami banyak tentang dirinya, "Supaya
orang tidak sekadar menghujatnya sebagai seorang teroris
yang hanya bersembunyi di pegunungan." Saya katakan kepada
agen Osama, "Kami dapat merangkum isu-isu tentang Amerika
dalam kemasan tertentu yang dapat membuat orang Amerika
memahami argumentasi dia." Orang itu hanya tersenyum.
"Mungkin lebih baik dia tidak muncul untuk membuatnya lebih
dipahami," tegasnya kembali.
Dari kota London, kami bergerak menuju Islamabad dan
menunggu instruksi-instruksi berikutnya di Hotel Marriot.
Satu langkah telah kami lalui. Setelah satu hari berada di
ibu kota Pakistan ini, datang seseorang yang mengaku bernama
Akhtar. Kami hanya tahu bahwa dia bernama Akhtar. Akan
tetapi, setelah beberapa minggu kemudian, rupanya dia
menjadi orang yang paling penting dalam urusan paspor dan
keselamatan hidup kami. Dia berperawakan tinggi, mungkin
hampir dua meter, kurus dan langkah jalannya tidak
terdengar, dengan tangan satu agak lebih kecil yang bergerak
perlahan. Berlenggak-lenggok gaya orang sombong, bak gaya
berjalannya anak hitam metropolitan. Dari mana dia belajar
itu saya tidak pernah tahu. Akhtar ternyata berkebangsaan
Afghanistan dan hampir tidak dapat berbicara bahasa Inggris
sama sekali dan hanya sedikit bahasa Arab ini cukup bagi
penterjemah warga Irak, yang kami panggil Ali, untuk dapat
memahami instruksi pemandu ini.
Akhtar mengabarkan kepada Ali bahwa dia akan menginspeksi
kamar dan perlengkapan kami. Kelihatannya dia bukan orang
yang remeh, itu yang membuat saya terkadang geli. Satu
pelajaran bagi orang yang datang dari New York, atau sebagai
orang Amerika, atau sebagai manusia biasa terkadang ingin
tertawa dalam kondisi yang tidak tepat, yaitu ketika hadir
seorang prajurit teguh yang dituduh pemerintah Anda sebagai
seorang teroris. Inspeksi yang dilaksanakan terhadap orang
asing merupakan satu ide yang baik dan masuk akal. Paling
tidak, sikap serius para prajurit ini menahan keinginan
untuk bercanda, khususnya ketika tuan rumah tidak terlalu
suka canda.
Pagi keesokan harinya, jendela kamar saya dikejutkan oleh
sebuah gedoran. Akhtar bersama seseorang yang berperawakan
tegap masuk ke dalam. "Mereka hanya ingin melihat Anda," Ali
menerangkan saat kedua orang tersebut mencermati saya yang
berperawakan seperti seorang petinju. Mereka memperhatikan
tas yang terbuka di atas tempat tidur. Akhtar dan temannya
mengecek kamar mandi. Saya tidak tahu apa gerangan yang
mereka cari. Mungkin mereka mengira kami sebagai agen CIA
atau sebangsanya. Kedua orang tersebut meninggalkan kami,
menuju kamar Ali untuk melanjutkan negosiasi. Pada malam itu
Akhtar memanggil Ali ke hotel.
'Ya, jadi!' kata Ali seraya mengulangi instruksi Akhtar.
"Bersiaplah pukul 7.00 malam, dan berpakaian seperti
dia."
Ali, kamerawan Rick Bennett, dan saya segera memesan
taksi dan hotel menuju tempat perbelanjaan dan menemukan
"Cash Department Store". Di sana kami masing-masing membeli
satu setel pakaian sesuai instruksi Akhtar, kira-kira AS
$15. Rick terus berbelanja dan menemukan rompi, baju panjang
sampai ke lutut, celana berbentuk baggy dengan tali
yang terbuat dari katun sebagai pengikat. Kami ragu akan
kepergian kami ke Afghanistan, namun ternyata kami tidak
perlu meminta visa untuk masuk ke sana atau untuk kembali ke
Pakistan. Akhtar hanya bilang bahwa orang-orang dia yang
akan mengurus semuanya.
Pagi berikutnya, ada instruksi-instruksi kasar: "Cepat ke
lapangan udara internasional Islamabad." Sebelum pergi, saya
sempat kirimkan duplikat lencana polisi dan kartu pengenal
pensiunan yang saya masukkan ke dalam amplop FedEx beralamat
Robert Tucker, pengacara saya di New York. Satu permintaan
terakhir saya kepada orang-orang Bin Laden untuk menemukan
lencana saya. Saya hanya bisa bersumpah sambil berupaya
memperlihatkan surat keterangan polisi, "Saya bersumpah,
saya hanya seorang juru tulis. Sungguh! Di bagian hubungan
kemasyarakatan!" (Tucker kemudian memberi tahu saya di
kemudian hari bahwa saat dia temukan lencana dan kartu
identitas tanpa berita, dia kira bahwa saya sudah terbunuh.
"Kemudian," dia bilang, "saya sudah berangan-angan untuk
memiliki mobil Anda.")
Waktu itu, Akhtar juga berada di lapangan terbang. Dia
hanya melihat kami dari kejauhan. Saya mengenakan celana
baggy berwarna coklat muda dan baju yang kebesaran
yang saya beli kemarin. Kelihatannya ini serbasama dengan
jutaan manusia di wilayah ini. Yang berbeda dengan mereka,
baik di lapangan terbang maupun di jalanan, hanyalah kaos
kaki putih yang saya kenakan dan kacamata Armani serta
cerutu Kuba yang saya bawa dari London. Kelihatannya saya
tidak terlalu serasi. Rick dan Ali juga berpakaian sama
dengan warna biru muda. Akhtar mengajak kami ke pintu
gerbang masuk. Kami bepergian dengan penuh instruksi.
Sesampainya di atas pesawat, kami serahkan tiket. Kami
menuju kota Peshawar, mutiara Pakistan.
Kabut sangat tebal sewaktu kami take-off. Kalau
Anda bepergian ke kota Peshawar, asap mobil memenuhi udara
dan terasa lengket di tenggorokan. Hampir di mana-mana
tercium bau sesuatu yang terbakar --sampah, kayu, atau ban.
Kami menginap di Grand Hotel, dengan dekorasi interior
seperti paritai Miami tahun 1950-an yang terletak di gang
jalan raya. Hotel dijaga oleh seorang berpakaian serba hijau
dan baret merah serta menyandang senjata otomatis buatan
Cina. Petugas hotel yang ramah mencantumkan nama-nama kami
di dalam daftar koleksi warga negara --Amerika, Kanada,
Irak, dan Pakistan-- mereka cukup paham untuk tidak
mempersoalkan tujuan kami datang ke kota Peshawar. Setelah
masuk, Akhtar menghilang di kegelapan malam dengan membawa
sebuah kantong plastik berisi barang-barangnya.
Saya keluar ke halaman lantai lima untuk menikmati
suasana Romeo-Juliet Churchills. Hanya satu yang
diperlukan oleh Peshawar: tambahan asap. Saya membayangkan
kesedihan ini, betapa hiruk-pikuk kota ini saat berlangsung
perang Afghanistan dan ketika ia diramaikan oleh para
mujahidin. Saat yang sama ia juga menjadi basis organisator
dan perekrut militan, para pejabat operasi CIA dan para agen
KGB. Bahkan sekarang pun masih menjadi basis pergerakan
militan Islam untuk daerah sekitar. Saya memandangi bulan
yang muncul di antara tebalnya kepulan asap.
Pada pagi hari, Akhtar menelepon ke hotel dan kembali
menyuruh kami untuk segera ke lapangan terbang Peshawar. Dan
seperti biasanya kami harus menyerahkan tiket dan menunggu.
Kami melangkah menuju kapal berbaling yang akan bepergian ke
Bannu, wilayah utara Pakistan. Dalam setiap pemberhentian,
lagi-lagi kami dibawa ke masa silam, setiap tempat terlihat
dengan adat dan gaya hidupnya yang primitif. Di sini,
keledai menarik gerobak, pria dan wanita memikul barang di
pundak atau keranjang di atas kepala mereka. Di Bannu, kami
menunggu di luar lapangan terbang kecil dengan mobil dan bus
berlalu-lalang melintas. Setelah satu jam, sebuah mobil yang
dipenuhi para penumpang lokal berhenti dan seorang tua
kelihatan turun menyapa Akhtar. Kami semua berjejal di mobil
tersebut yang sudah terlalu sesak. Kami diperintah untuk
tidak berbicara. Penumpang lain sudah tahu bahwa kami adalah
orang-orang Barat, tetapi mereka tidak perlu tahu bahwa di
antara kami ada orang Amerika.
Mobil melaju lebih kurang dua jam. Semua penumpang lain
turun; dua penumpang baru naik. Di kampung itu tidak ada
yang lain kecuali rumah-rumah yang terbuat dari tanah liat
dan beratapkan rerumputan, suara nyaring terdengar dari atas
atap mobil. Seorang pemuda dengan bundelan kain yang diikat
di potongan kayu melompat dari atap mobil, terus berlari
menuju tenda. Hanya mobil yang kami tumpangi ini yang
mengingatkan kami bahwa kami tidak hidup dua ribu tahun yang
lalu.
Catatan tambahan: Bagi hampir semua orang Amerika,
termasuk saya, mengalami sebuah kehidupan yang kuno ibarat
mengalami hal yang terdapat di dalam Injil. Di dalam kitab
suci terdapat berbagai cerita tentang dunia yang penuh
dengan wabah penyakit yang mematikan dan menimbulkan banyak
korban jiwa. Alam gubuk yang kumuh. Suatu kehidupan yang
tidak mengenal kalah dalam bertempur. Dalam sejarah modern
Amerika, kami sudah tidak punya keinginan lagi untuk
pertaruhan yang pasti, yang dapat membuat sesuatu penuh
dengan trik saat berhadapan dengan seseorang yang
mengkhawatirkan sesuatu dan berani mengorbankan segala
sesuatu. Di Bannu, kami merasa seperti sedang melintasi
dunia tersebut, namun dengan naskah yang tidak terlalu kuno,
meskipun para martir banyak berguguran.
Saat mobil kami tiba di suatu daerah, kami bergegas
menuju mobil lain yang mengambil waktu satu jam untuk
mengarah ke utara melalui pegunungan dan lembah-lembah yang
kosong, lantas berhenti di daerah paling akhir sebelum
memasuki wilayah ganas yang berbatasan dengan Afghanistan.
Seorang tua memarkir mobil di halaman rumah kecil, dan
gerbang besi ditutup, ini dilakukan demi menutupi keberadaan
kami di desa ini. Orang tua tadi mengatakan bahwa di sini
dahulu pernah menjadi tempat aman bagi para mujahidin yang
ingin terjun ke dalam kancah peperangan Afghanistan.
Dinding-dinding rumah penuh dihiasi dengan gambar-gambar
tank baja dan granat. Sepasang AK-47 tergantung di atas paku
dinding.
Akhtar datang dengan membawa mangkuk stainless
yang berisikan daging bertulang dan meletakkannya di
lantai sambil mempersilakan kami makan. Ada juga roti dan
Pepsi. Kami duduk di lantai dan makan dengan tangan. Setelah
dua jam, kami berada di jalanan lagi, dengan menaiki bagian
belakang mobil pick-up buatan Jepang, perbekalau kami
disembunyikan di bawah tumpukan karung-karung terigu. Di
dekat perbatasan Afghanistan mobil itu berhenti.
Sebagian besar wilayah Afghanistan sudah jatuh ke tangan
Taliban, kelompok Muslim fundamentalis yang meyakini bahwa
pesawat televisi itu tidak baik (pernyataan berbau sentimen
ini mendapat popularitas di Barat) dan mengharamkan
pengabadian makhluk hidup apa pun dalam bentuk foto atau
video. Sehingga kami, tiga orang jurnalis Amerika yang
merayap dengan perlengkapan kamera banyak mengalami hambatan
yang cukup menyulitkan di pos pemeriksaan perbatasan. Akhtar
memberi kami dua pilihan: (1) memakai kerudung panjang lebar
dengan sedikit lobang mata untuk melihat, lalu menyeberang
memasuki wilayah Afghanistan dengan menyamar sebagai wanita,
atau (2) berjalan melintasi gunung-gunung yang terlindungi
oleh kegelapan dengan harapan dapat menghindari patroli
Taliban. Ali sudah memiliki firasat yang kuat dalam perkara
ini. "Kami bukan wanita," tegasnya. "Kami tidak akan memakai
kerudung dan cadar. Kami akan berjalan sebagai pria."
Setelah satu jam perjalanan, Ali sesak napas dan hampir
tidak bisa melanjutkan perjalanan. Dia tidak memberi tahu
bahwa dia punya penyakit asma. "Saya mau kembali ke mobil
dan menjadi wanita sekarang," ucap Ali sebelum dia
memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan kembali. Saya
dan Ali ketinggalan di belakang, sementara Rick dan dua
orang penunjuk jalan kami terus berada di depan. Pada satu
kesempatan, saya perhatikan pemandu kami yang sedang
bergandeng tangan. "Ali," saya berbisik sambil menunjuk ke
arah mereka, "apakah Anda tidak perhatikan bahwa mereka
kelompok teroris gay?" Dalam keadaan asma, dengan sabar dia
memberi penjelasan bahwa di antara pria Muslim, berjalan dan
bergandengan tangan adalah hal biasa. ini merupakan tanda
persahabatan dan penghormatan, serta lambang kejantanan.
"Oh, begitu," ucap saya. "Saya cuma bercanda." Waktu terus
berlalu. Kami berjalan perlahan untuk menyelamatkan Ali yang
terus diserang asma. "Ali, maukah kaupegang tanganku?" tanya
saya. "Tidak," jawabnya.
Suasana sudah mulai gelap ketika kami masuk ke wilayah
Afghanistan. Sebuah mobil tengah menunggu dengan
perlengkapan kami. Kami terus berjalan untuk beberapa jam
lagi, kebanyakan melewati sungai yang kering, sebelum kami
sampai di tempat pertama dan tiga tempat pelatihan militer
milik Osama. Kemudian kami berhenti di jalanan yang kotor.
Dua orang pengikut Osama merebut kamera kami dan pergi
menghilang.
Kami tinggal di gubuk dan tidur di atas lantai yang hanya
beralaskan selimut berwarna merah dan cokelat. Bantal
bersandar di dinding. "Di sini bukan tawanan, tetapi tamu
kami," ujar salah satu pembantu Osama. "Kami menginginkan
kalian tinggal di dalam. Dan kami tidak ingin mengumumkan
kedatangan kalian."
Beberapa pasukan Osama ditugasi untuk melindungi kami.
Mereka tidur di gubuk sebelah kami. Kami membersihkan diri
dengan menggunakan baskom dan air yang diambil dan keran di
luar. WC-nya agak naik ke atas bukit. Kami menghabiskan
waktu dengan membaca atau merokok dan bersenda gurau dengan
para pengawal Osama, salah satu dan mereka dapat berbicara
dalam bahasa Inggris dengan baik. Kami menikmati roti yang
mengering dan daging, serta teh panas bersama mereka.
Wawancara yang kami inginkan mungkin dapat molor
berhari-hari, atau mungkin hanya beberapa hari, atau
mungkin juga dibatalkan sama sekali. ini yang kadang-kadang
terjadi. Berhari-hari menunggu dan tidak ada hasilnya. Itu
juga pernah terjadi --pada Castro atau Mu'ammar Al-Qadzafi--
namun di hotel yang cukup bagus. Dan inilah awal
penakilukan.
Akhirnya, setelah saya tidak lagi menghiraukan waktu,
kami ke jalan. Satu jam kemudian tiba-tiba terdengar suara
tembakan.
Tembakan yang cepat, dan senjata otomatis. Saya dapat
melihat semburan api dan moncong laras senjata. Suara itu
datanguya dari tempat yang tinggi. Empat kali ledakan
singkat serta lebih kurang tiga puluh kali tembakan dan
salah satu sisi jalan dan jumlah yang sama di sisi yang
lain. Pikiran saya jadi agak cemas. Dan beberapa kali dalam
perjalanan tiga jam antara satu markas ke yang lain,
orang-orang bersenjata melompat keluar dari kedua sisi jalan
dan berteriak dalam bahasa Arab untuk memberhentikan mobil,
dan meminta kami turun. Mereka ini merupakan bagian dari
jaringan Al-Qaeda, yang diklaim sebagai pasukan Osama. Lalu
siapakah yang menembaki kami? Dan mengapa? Haruskah kami
mati? Saya telah berupaya untuk menundukkan kepala di antara
kaki, tetapi karena kami bertiga, tidak ada lagi ruangan
untuk menundukkan kepala. Perut saya kejang. Sekarang saya
benar-benar berpikir ini brengsek.
Sekarang keadaan benar-benar tidak menguntungkan Mengapa
saya harus mati untuk mewawancarai orang yang berpandangan
radikal dan punya banyak uang ... Demi Jesus, saya juga
dapat melakukan itu di New York ... Kemudian terlintas
sesuatu di benak: suara tembakan tak terdengar lagi.
Tembakan-tembakan itu tidak mengenai sasaran. Pemandu kami
tidak merundukkan kepala. Jika kekhawatiran mereka telah
menghilang, berarti keadaan sudah mulai aman. Pelan-pelan
saya mulai mengangkat kepala.
Para penembak berteriak kepada kami untuk berhenti dan
membuka pintu. Tembakan itu hanya sebagai tembakan
peringatan. Di bawah cahaya lampu yang redup, saya dapat
memandangi wajah-wajah mereka yang tampak masih muda,
mungkin sekitar delapan atau sembilan belas tahunan.
Sepertinya mereka tidak menerima pesan radio dan tempat
pemeriksaan sebelumnya bahwa pemuda New York akan datang.
Malam itu memang agak dingin, tapi anehnya saya malah
mengelap keringat di dahi. Setelah sedikit ketegangan dan
pembicaraan panjang, sopir mobil dapat menyelesaikan
persoalan sehingga kami pun dapat melanjutkan perjalanan.
Kami melewati satu lagi P05 pemeriksaan --tanpa kejadian apa
pun-- sebelum sampai di markas tempat Osama akan menjumpai
kami.
Di markas ini terdengar gemuruh bunyi generator. Bau
bensin kuat tercium di udara. Rick Bennett merasa berang
karena orang Osama telah mengambil kameranya beberapa hari
yang lalu, dan sepertinya tidak akan dikembalikan lagi.
Sekarang mereka ingin memberikan kamera yang lain. Kamera
kecil bermerek Panasonic. Bennett tidak mungkin datang dan
jauh hanya untuk menyorot dengan kamera kecil itu. Dia
meminta kembali kamera TV seharga AS $65.000, dan meminta
untuk dikembalikan sekarang juga! Kemudian, rentetan
tembakan kembali bergaung. Ternyata konvoi Osama bin Laden
tiba. Sekarang tontonan yang diperlihatkan kepada kami sudah
siap, namun kami tidak punya kamera. Orang Bin Laden
memberikan kepada Bennett kamera Panasonic. Bennett mulai
menyorot. Saat itulah anak kecil menembakkan senjatanya
dekat telinga saya. Kemudian berlari mendekati Bennett dan
menembakkan senjata kembali dekat telinga Bennett, saat dia
perlahan mundur ke belakang untuk merekam kedatangan
Osama.
Dalam lindungan tembakan-tembakan, Osama berjalan dengan
cepat, dikelilingi oleh delapan pengawal. Masing-masing
dengan AK-47. Mata mereka dengan tajam mengarah ke semua
arah untuk mengantisipasi penyerang. Ini hanya untuk
memperagakan sebuah drama --atau tanpa tujuan apa pun--
karena dengan rentetan tembakan ke udara, itu tidak mungkin
untuk membidik seorang pembunuh. Di sebelah Osama adalah
komandan militer, Muhammad Atef. Di belakanguya, Ayman
Al-Zawahiri, pimpinan Al-Jihad Al-Islami, kelompok Mesir
yang tumbuh berkembang berkat sokongan militer Osama. Bin
Laden, dengan serban putih dan jenggot hitam yang panjang,
tinggi dan tertinggi di antara kelompoknya. Di tengah
suasana yang tegang, pandangan matanya tampak tenang dan
bersahaja, mantap dan tegap. Dia berjalan melewati saya dan
menundukkan kepalanya melangkah memasuki gubuk segi empat
yang sengaja didirikan untuk menemui kami. Salah satu
pembantunya menembakkan senjatanya, mungkin sebagai bagian
dari penyambutan. Semua orang ikut memuntahkan pelurunya.
Pada akhirnya, seluruh peluru kembali jatuh mencium
bumi.
Osama bin Laden telah memasuki ruangan. Setelah pengawal
keamanan yang ketat dan teliti berada di belakanguya, saya
ikut masuk ke dalam gubuk. Di samping postur tubuhnya yang
tinggi, satu hal yang membuat saya tercengang tentang Bin
Laden adalah suaranya: benar-benar lembut dan agak sedikit
tinggi, dengan sedikit serak seolah-olah menggambarkan
seorang paman yang tengah memberikan nasihat. Bin Laden
duduk di atas bangku yang dilapisi bantal merah di ruangan
bersegiempat yang berdinding tanah liat dan bercat putih.
Sambil duduk, dia meletakkan senjatanya ke dinding di
belakangnya. Dua puluhan pembantunya dengan senjata lengkap
berbaris duduk di sisi lain kamar yang panjang ini,
bersenderan, siap untuk mendengarkan apa saja yang mungkin
akan dibicarakan. Dan pakaian Osama terlihat bahwa dia
termasuk dalam kelompok ini. Dia mengenakan jaket tentara
berwarna hijau tanpa lencana. Sambil melepas jaket terlihat
di dalamnya pakaian tradisional Muslim yang membuat dia
tidak berbeda dengan saya.
Osama bin Laden berjabatan tangan dengan cukup mantap.
Kami bersenda gurau dalam sopan santun, namun itu pun terasa
kaku karena harus melalui penerjemah. Sejak kemarin para
pembantunya telah berulang-ulang menegaskan saya untuk
menyerahkan pertanyaan-pertanyaan tertulis yang mungkin akan
diajukan. Ketika Osama sudah siap, salah satu dari mereka
berkata kepada saya, "Saya punya berita bagus bagi Anda. Mr.
Bin Laden akan menjawab semua pertanyaan." Namun, dia
menambahkan bahwa jawaban Bin Laden tidak akan diterjemahkan
secara langsung. "Anda dapat membawa rekamannya ke New York
dan menerjemahkannya di sana."
"Kalau jawabannya tidak diterjemahkan sekarang, bagaimana
mungkin saya dapat mengembangkan pertanyaan?" tanya saya
kepada pembantunya.
"Oh, itu tidak akan menjadi persoalan," jawabnya singkat.
"Tidak ada pertanyaan follow-up."
Pada kesempatan ini, Rick, dengan agak kasar --yang
mungkin tidak akan dilakukan seseorang kepada teroris lain--
meminta untuk dikembalikan kameranya. Tiba-tiba, semua
perlengkapan muncul.
Untuk meredam ketegangan, saya katakan kepada penerjemah,
"Katakan kepada Mr. Bin Laden: sebagai orang yang lahir dan
keluarga kontraktor terkemuka dia mampu membangun jalan yang
lebih baik menuju tempat ini." Ya, saya akui itu tidak
terlalu berkesan bercanda, tetapi penterjemah Bin Laden
kelihatan kurang berkenan. "Tidak, tidak, tidak." Saya
katakan, "Tak usah diterjemahkan, tidak masalah
kok!" Untuk menghindari teguran. "Okelah,"
ucap saya, berusaha untuk menghindari musibah internasional.
Tidak lucu. Maaf Jesus.
Saya terus merayu untuk dapat iizinkan mengalihbahasakan
setiap pertanyaan, sementara ada lalat yang hinggap di wajah
Osama dan serban putihnya. Rasanya ini telah menurunkan
derajat seorang pemimpin. Pembantu Osama menyuruh temannya
untuk keluar dan menyemprot lalat di luar.
Beberapa menit kemudian, dalam ruangan yang penuh dengan
insektisida kami mulai wawancara.
Osama bin Muhammad bin Awad bin Laden lahir 41 tahun yang
lalu di Arab Saudi. Dia merupakan salah satu dari dua puluh
anak raja kontraktor kenamaan Muhammad bin Laden. Aset
kerajaan kelompok Bin Laden ini ditaksir lebih kurang AS $5
milyar. Jalinan relasi dengan keluarga kerajaan Saudi yang
terbina dengan baik membuat kelompok Bin Laden lebih mudah
mendapatkan proyek besar pembangunan jalan raya kota dan
padang pasir di Arab Saudi. Seharusnya suasana seperti ini
membuat Osama dapat menikmati sekolah dan kehidupan di kota
London serta memfokuskan diri kepada kemewahan hidup --kalau
saja tidak ada intervensi sejarah.
Pada 25 Desember 1979, Uni Soviet menginvasi Afghanistan.
Bin Laden yang ketika itu masih berumur 22 tahun tertarik
untuk meninggalkan Saudi dan bergabung dalam jihad yang
bergelora. Saat kedatangannya, dia tidak menyia-nyiakan
waktu sedikit pun. Dengan kekayaannya, dia membiayai
perekrutan, transportasi, dan mempersenjatai ribuan orang
Palestina, Tunisia, Somalia, Mesir, Arab Saudi, dan Pakistan
untuk berjihad melawan Uni Soviet.
Bahkan Bin Laden membawa buldozer-buldozer dan truk-truk
pribadinya. Para mantan mujahidin yang sudah tua masih ingat
bahwa pemuda itu sendiri yang menyopiri buldozer, menggali
parit-parit di front terdepan. Orang-orang yang mengikuti
Bin Laden dari awal telah mendengar kisah-kisah keteladanan
beliau, dan menceritakannya kepada anak-anak yang lebih
muda. Keterlibatan Bin Laden dalam jihad ini semata-mata
hanyalah pertimbangan pribadi. Dia mengatakan bahwa senjata
yang disandangnya sekarang ini direbut dari musuh di medan
perang.
"Kami telah melewati berbagai peperangan sengit dengan
Rusia," ungkap Bin Laden kepada saya. "Rusia terkenal dengan
kebrutalannya. Mereka menggunakan bermacam senjata kimia dan
gas beracun melawan kami. Saya termasuk korbannya. Kami
kehilangan banyak pejuang. Tapi kami dapat memukul mundur
serangan komando Rusia yang tidak pernah terjadi
sebelumnya."
Saya bertanya kepada Bin Laden, mengapa orang sekaya dia,
dan keturunan keluarga kuat dan kaya, harus pergi ke
Afghanistan untuk hidup di dalam parit-parit dan memerangi
penjajah Rusia di front terdepan.
"Ini sangat berat untuk dipahami oleh orang lain yang
tidak atau belum memahami Islam secara benar," ucap dia
dengan sabar sambil menerangkan pemahaman keislamannya
kepada warga negara yang dia bersumpah sebagai musuhnya. "Di
hari-hari jihad, ribuan pemuda yang berlatar belakang
keluarga kaya-raya secara sukarela meninggalkan Jazirah Arab
dan daerah-daerah lain untuk bergabung dalam jihad. Ratusan
mereka telah gugur di Afghanistan, Bosnia, dan
Chechnya."
Yang jelas, pada waktu kami bertemu, musuh sudah
hengkang. Uni Soviet sudah tidak ada lagi. Musuh mereka
adalah kami. Dan ketika saya tanyakan kepada Bin Laden
perihal apakah dia khawatir kalau-kalau nanti tertangkap
dalam operasi serangan Amerika. Dia langsung membantah
kekhawatiran itu, bahkan sebaliknya mengungkapkan beberapa
alasan kebencian dia kepada Amerika.
"Amerika memaksakan semua kehendaknya kepada orang lain.
Amerika menuduh anak-anak kami di Palestina sebagai teroris
--ketahuilah bahwa anak-anak itu tidak bersenjata dan bahkan
tidak cukup umur. Pada waktu yang bersamaan, Amerika membela
habis-habisan negara Israel yang mempunyai kebijaksanaan
untuk merusak masa depan semua anak-anak tersebut."
"Kami meyakini benar bahwa kami dapat menang melawan
Amerika dan kaumYahudi sebagaimana dijanjikan oleh
Rasulullah Saw. Hari kiamat tidak akan datang sampai Muslim
memerangi Yahudi, saat mereka bersembunvi di belakang
pohon-pohon dan bebatuan, dan pohon serta batu akan
berbicara dan berkata, Wahai Muslim! Di belakang saya ada
Yahudi. Kemarilah dan bunuh dia."
Dengan mendengarkan jawaban-jawaban Bin Laden tanpa
terjemahan, seseorang akan membayangkan bahwa dia sedang
membicarakan sesuatu yang tidak begitu penting baginya
karena saat bicara Bin Laden tidak pernah mengangkat tinggi
suaranya dan tidak juga tersenyum. Dia melanjutkan
pembicaraan dengan tetap menundukkan pandangannya ke arah
tangan seakan-akan dia sedang membaca catatan yang tidak
kelihatan. "Sikap Anda terhadap Muslim di Palestina
benar-benar memalukan --karena tidak ada lagi rasa malu di
Amerika. Rumah-rumah hancur berantakan, rata dengan bumi di
depan anak-anak tersebut. Begitu juga halnya dengan sanksi
yang diprakarsai Amerika atas Irak yang hanya menyebabkan
jatuhnya korban satu juta anak-anak yang tak berdosa. Dan
para tim penolong di Irak turut menjadi saksi bagi
pembantaian di Irak. Semua ini dilakukan atas nama
kepentingan Amerika. Kami yakin bahwa pencuri dan teroris
terbesar di dunia sekarang adalah Amerika. Hanya ada satu
cara bagi kami untuk membela din dan menghindari serangan,
yaitu dengan menggunakan cara yang sama. Kami tidak
mengkhawatirkan opini Amerika atau fakta bahwa mereka telah
'menghargai' kepala kami. Kami sebagai seorang Muslim
meyakini bahwa takdir sudah ada yang mengatur."
Teknik wawancara yang dilakukan Osama memang luar biasa.
Di samping keuntungan untuk tidak di-follow-up-i
secara langsung setiap jawaban, pendekatan Osama pada
setiap pertanyaan persis seperti yang diajarkan oleh para
penasihat public relations di Amerika: ungkapkan
pesan Anda, baru kemudian jawab pertanyaannya kalau
dihendaki.
Bin Laden percaya bahwa Amerika adalah negara yang banyak
terlibat saat pejuangan di Afghanistan berlangsung. AS telah
meremehkan pelajaran yang paling berharga dan mendalam dalam
operasi ini, yaitu bahwa dengan kemauan yang kuat, negara
adidaya pun dapat ditaklukkan.
"Ada pelajaran yang harus diingat bagi mereka yang mau
belajar," ucapnya. "Uni Soviet masuk ke Afghanistan pada
minggu terakhir tahun 1979, dan dengan pertolongan Allah
bendera mereka dapat dilipat beberapa tahun kemudian dan
dilempar dalam kehinaan, setelah itu tidak ada lagi yang
dinamakan Uni Soviet."
Perang benar-benar telah mengubah Bin Laden. Dan
Afghanistan memberikan pelajaran yang terbaik bahwa "Muslim
tahu persis hakikat mitos adidaya," ujarnya. Dia merupakan
pelopor yang menggalang resistensi Islam terhadap Barat. Dia
menjadi pahlawan bagi Muslim militan, mungkin lebih kurang
dan tiga ribu orang menunggu untuk ambil bagian. Tetapi ikut
dia ke mana, ke dalam peperangan? Banyak dan mereka sudah
tidak pernah pulang ke kampung halaman mereka lagi. Oleh
karena itu, perang sudah menjadi bagian hidupnya. Dan masih
banyak gudang amunisi persenjataan otomatis, granat, serta
peluncur roket vang dihibahkan oleh CIA untuk mujahidin.
Pada bulan Desember 1992, Bin Laden menemukan bahwa
perang sudah lama menunggu. Amerika memprakarsai misi
penyelamatan atas nama PBB di Somalia. Di tengah kelaparan,
pemerintahan negeri itu benar-benar hancur, dan suku-suku
yang berperang --sebagian besar Muslim-- telah diputus dan
segala macam bentuk bantuan kemanusiaan. Bangsa Somalia mati
kelaparan di mana-mana, baik di kota maupun di desa. Dan
Amerika, yang bergerak cepat dalam upaya penyelamatan negara
Kuwait, telah dikritik habis-habisan karena tidak melakukan
apa pun dalam penyelamatan bangsa ini.
Ketika pasukan marinir mendarat pada akhir 1992, Bin
Laden telah mengirim pasukannya sendiri, yang hanya berbekal
AK-47 dan peluncur granat. Dengan cepat, dengan menggunakan
teknik yang teruji ketika melawan Rusia, mereka dapat
menembak jatuh helikopter-helikopter Amerika. Gambar tentara
Amerika yang diseret dalam keadaan telanjang dengan
dikelilingi khalayak ramai cukup memancing amarah dunia.
Misi penyelamatan Amerika yang mungkin akan berlangsung
bertahun-tahun, tidak dapat bertahan lama. Misi yang
berangkat dan panggilan kemanusiaan harus menemui ajalnya
hanya dalam tiga minggu setelah beroperasi. Negara adidaya
lainnya juga dipermalukan. Inilah kemenangan lain Osama bin
Laden.
"Setelah meninggalkan Afghanistan, para mujahidin
berangkat menuju Somalia dan bersiap-siap untuk peperangan
yang panjang. Dalam pikiran mereka, Amerika sama seperti
Rusia," ujar Bin Laden. "Para pemuda merasa kaget, ternyata
semangat juang tentara Amerika begitu rendah dan sekarang
mereka menyadari bahwa tentara Amerika ibarat harimau yang
terbuat dan kertas dan setelah dipukul, dan dalam kekalahan.
Dan Amerika lupa dengan permainan dan semua propaganda
media... tentang statusnya sebagai pemimpin dunia dan
pemimpin Orde Dunia Baru. Setelah beberapa kali dipukul
mereka lupa akan predikat itu dan pergi, dengan meninggalkan
bangkai-bangkai dan kekalahan yang memalukan."
Saya bertanya kepada Bin Laden, mengapa dia harus
membunuh orang Amerika yang bertugas untuk memperbaiki
keadaan dan mempermudah distribusi makanan.
"Mengapa kami harus percaya bahwa itu adalah alasan utama
Amerika untuk datang ke sana?" dia menjawab. "Ke mana saja
mereka pergi dan di situ ada Muslim hidup, semua yang
diperbuat hanyalak membunuh anak-anak dan menjajah tanah
Muslim."
Dalam dua hari saya menunggu di markas untuk menemui Bin
Laden. Ada di antara pejuangnya yang duduk di atas lantai
gubuk kami dan bercerita tentang pengalaman perang. Satu
tentara, tanpa rasa takut berkata bahwa dia pernah menggorok
leher tiga tentara Amerika di Somalia.
Ketika saya tanyakan perihal kepada Bin Laden, dia
menjawab, "Ketika peristiwa ini terjadi, saya sedang berada
di Sudan, tetapi kemenangan ini benar-benar menggembirakan
hati saya dan menggembirakan semua orang Muslim."
Operasi di Somalia, dalam beberapa hal, adalah andil Bin
Laden. Pada masa perang Afghanistan, CIA benar-benar sangat
menaruh perhatian kepada dia (kendati agen ini tidak mengaku
pernah menggerakkan dia). Di Somalia, Bin Laden tanpa
menyia-nyiakan waktu berhasil memukul Amerika dengan pukulan
telak mematikan. Lalu, pada perjuangan berikutnya, beberapa
minggu kemudian, dia memulai dengan pukulan lain.
Tanggal 26 Februari 1993. Ketika itu turun salju di kota
New York. Sebuah truk besar bermuatan bom berhasil
meledakkan Pusat Perdagangan Dunia (World Trade Center) yang
menghancurkan tiga tingkat gedung itu, mulai dan garasi,
lantai bawah tanah hingga fondasi. Saat itu, saya masih
bekerja sebagai reporter NBC. Ketika saya berjalan mengamati
pemandangan, saya melihat seorang polisi yang saya ketahui
berasal dan unit anti-teroris. Reportase awal ketika itu
mengatakan bahwa itu terjadi karena ada ledakan dan gas atau
transformer. "Sekarang mereka tidak mengatakan itu lagi,"
dia mengingatkan, "Tetapi ini bom. Terlalu besar untuk
dibawa oleh mobil kecil, mungkin dengan truk dari tingkat
bawah di garasi. Di sana tidak ada sesuatu yang dapat
meledak dan membuat lubang sebesar ini."
Delapan orang meninggal, dan lebih dan seribu orang
menderita luka-luka. Itu merupakan serangan terorisme
internasional pertama yang dapat membidik mangsanya di tanah
Amerika. Dalam hitungan mingguan, FBI telah berhasil
menjaring empat orang pelaku pemboman, koleksi Muslim
militan yang kebanyakan dan mereka pernah "sekolah" di
Afghanistan dan menjadi pengikut tokoh buta di kota New
Jersey, Syaikh Omar Abdel Rahman. Dan perancang peledakan
ini adalah RamziYousef, yang berhasil lan dan terbang dan
lapangan terbang Kennedy hanya beberapa jam setelah
peledakan terjadi.
Di New York, FBI diberi dua mandat: temukan sisa pelaku
peledakan, dan mencari tahu siapa di belakang mereka. Agen
ini bekerja keras untuk melacak semua rekening Ramzi yang
dipergunakan untuk membeli semua komponen perakitan bom
besar itu. Uang itu dapat ditelusuri dan Bank Jersey City,
yaitu Ramzi hanya menggunakan kartu ATM ke Detroit, London,
Pakistan, dan terakhir Afghanistan. Agen FBI dan detektif
New York yang terlibat dalam Pasukan Gabungan Antiteroris
(Joint Terrorist Task Force) ramai berdebat: apakah
pemboman itu dilakukan orang-orang Iran? Orang Irak? Libia?
Akhirnya para detektif sampai pada sebuah konsensus bahwa
Ramzi Yousef adalah seorang intel yang bekerja untuk
kepentingan negara asing yang bermusuhan dengan Amerika.
Akan tetapi, setelah itu, para investigator dapat menyingkap
serial koneksi Ramzi dan kelompok yang dibiayai oleh seorang
individu, Osama bin Laden. Namun, Bin Laden tetap menolak
tuduhan bahwa dia berada di belakang peledakan itu dan dia
menegaskan bahwa dia tidak pernah mengenal Ramzi Yousef.
"Sayang," ungkap Osama dengan mengangkat tangan, "saya tidak
mengenal dia sebelum peristiwa itu."
Kemudian, Ramzi Yousef muncul di Manila bersama Wali Khan
Amin Syah, pahlawan perang Afghanistan yang dituduh punya
hubungan dengan Osama. Mereka sibuk merencanakan peledakan
lusinan maskapai penerbangan Amerika di atas Samudra
Pasifik. Sekali lagi, Ramzi tidak punya pekejaan, tetapi
kelihatannya punya banyak dana untuk membiayai operasi dan
rencananya. Akhirnya, FBI dapat menangkap dia pada 7
Februari 1995 di Pakistan. Saat ditangkap, dia tinggal di
guest house Su Casa di Islamabad. ini merupakan salah
satu tempat yang dibangun oleh Bin Laden untuk menampung
para pejuang.
Sumber-sumber pemerintah mengatakan bahwa Khan sekarang
ini sudah bekerja sama dengan FBI. Para sumber mengklaim
bahwa Khan sebelumnya sangat sibuk bergerak dari satu tempat
ke tempat lain untuk mewujudkan berbagai rencana Bin Laden.
Dia mengatakan kepada agen bahwa dia pergi untuk mengirimkan
mesin faks. demi mempermudah menerima kode instruksi Bin
Laden dan pangkalaunya di Sudan dan Afghanistan.
Dia sedang berada di Manila saat itu untuk mendirikan
markas pelatihan teroris setelah ada perintah untuk survei
rute perjalanan Presiden Clinton dalam kunjungannya ke
Filipina.
Musim dingin yang lalu, Khan, dengan mengenakan setelan
baju berwarna oranye-terang, duduk di dalam kamar yang
tertutup di Metropolitan Correctional Center di dekat
Manhattan. Dengan tenang dia memberi penjelasan kepada agen
bahwa racun mercury yang ditemukan di penginapannya
di Manila bukan untuk membuat bom, melainkan untuk
diletakkan di dalam peluru yang akan ditembakkan ke Presiden
Clinton. "Dengan cara itu," ujar Khan, "seandainya yang
ditembak tidak mati, dia akan terkena racun."
Ketika duduk di gubuk Bin Laden di pegunungan
Afghanistan, saya bertanya kepadanya apakah dia pernah
merencanakan untuk membunuh Bill Clinton. "Sebagaimana yang
sudah saya katakan, setiap aksi mesti akan mendapat reaksi
yang sama," jelasnya. "Apa yang Clinton harap dari mereka
yang telah kehilangan anak-anak dan ibu-ibu mereka?" Akan
tetapi, dia dengan cepat mengelak supaya tidak terjebak
dalam pertanyaan yang akan mempersulit dia. Realitas
mengatakan bahwa dia tidak berada di Somalia, tetapi dia
menyenangi apa yang dia lihat. Dia juga tidak meledakkan
pangkalau Amerika di Arab Saudi, tetapi mereka yang
melakukan dianggap syuhada olehnya. Dia tidak membiayai
peledakan World Trade Center atau terlibat konspirasi upaya
pembunuhan Bill Clinton, tetapi itu merupakan ide yang baik
menurutnya.
Untuk masa yang akan datang, Bin Laden mengatakan kepada
saya bahwa prioritas pertama adalah mengeluarkan tentara
Amerika dan bumi Arab Saudi, tempat yang paling suci dalam
Islam. "Setiap hari Amerika terus memperlambat kepergian
mereka, mereka akan menyambut bangkai dan mayat baru,"
ujarnya.
Pasukan Amerika telah mengalami pukulan yang dahsyat.
Sembilan belas orang tentara terbunuh pada 1996 oleh ledakan
bom di barak angkatan udara di kota Dhahran, dan lima orang
tentara Amerika lainnya tergeletak tak bernyawa oleh ledakan
bom di kota Riyadh pada 1995. Para investigator meyakini
bahwa Bin Laden, dalam kadar tertentu, mesti terkait dengan
kedua peledakan tersebut. Bin Laden mengatakan bahwa Amerika
harus hengkang dari Arab Saudi, tanpa harus memandang
sambutan kerajaan ini atas eksistensi Amerika. "Itu tidak
akan berbeda kalau pemerintah menghendaki Anda tetap di sana
atau pergi. Anda akan pergi pada saat para pemuda
mengirimkan kepada Anda peti-peti mati. Dan Anda akan
dapatkan di dalamnya mayat-mayat tentara dan sipil Amerika.
Inilah situasi ketika Anda harus pergi."
Warga sipil?
"Kami tidak membedakan antara mereka yang berseragam
militer atau sipil. Mereka semua menjadi target di dalam
fatwa ini." Bin Laden menjelaskan bahwa sikap Amerika yang
menentang serangan kami atas warga sipil jelas menunjukkan
ambivalensi dan double standard.
"Sejarah Amerika tidak pernah membedakan mana sipil dan
mana yang militer, wanita dan anak-anak. Mereka satu-satunya
yang telah menjatuhkan bom atom atas Nagasaki dan Hiroshima.
Dapatkah bom ini membedakan mana yang bayi, anak-anak, dan
mana yang militer? Amerika tidak punya agama yang dapat
mencegahnya dan pembumi hangusan manusia."
Bin Laden yakin bahwa yang kami persepsikan sebagai
tindakan terorisme dan kekerasan yang dilakukan sebenarnya
itu mereka lakukan hanya untuk menarik "perhatian" Amerika.
Tujuan Bin Laden adalah memberikan peringatan kepada Paman
Sam, apakah mereka akan meneruskan dukungannya kepada Israel
secara membabi buta tanpa mengindahkan nasib rakyat
Palestina. Kalau memang sikap demikian terus dipertahankan
AS, maka Washington tidak pelak lagi akan menuai tumpahan
darah yang dijanjikan.
"Maka kami memberi pesan kepada Amerika sebagai manusia,"
ungkap Bin Laden dengan nada lembut, "dan kami sampaikan
kepada para ibu tentara-tentara dan rakyat sipil Amerika
secara umum bahwa kalau memang mereka benar-benar menghargai
nyawa mereka dan nyawa anak-anak, silahkan mencari
pemerintah yang nasionalis yang dapat melindungi kepentingan
mereka dan bukan untuk kepentingan bangsa Yahudi. Kalau
memang tirani akan berlanjut, ini juga yang akan mengekalkan
permusuhan kami kepada Amerika, sebagaimana yang dilakukan
oleh Ramzi Yousef dan yang lainnya. Ini pesan saya kepada
bangsa Amerika: untuk mencari pemerintah yang serius dan
dapat melindungi kepentingan nasional serta tidak menyerang
orang lain, tanah, atau kehormatan mereka. Dan pesan saya
kepada jurnalis Amerika adalah jangan mempertanyakan mengapa
kami lakukan ini semua, tetapi tanyakan apa yang dilakukan
oleh pemerintahan mereka sehingga memaksa kami untuk
mempertahankan diri."
Ucapan terakhir dia di depan kamera adalah, "Ini tugas
kami untuk membawa manusia kepada cahaya."
Ketika wawancara usai, saya pergi mencari Ali yang
disuruh untuk tinggal di belakang kamar wawancara.
"Sebenarnya tadi cerita apa sih?" Saya berbisik kepadanya.
"Ayo ceritakan kepada saya, mudah-mudahan satu jam itu bukan
hanya berupa pujian pujian kepada Tuhan saja."
"Tidak," kata Ali. "Kami punya cerita bagus." Saya
kembali bertanya kepada Ali apa gerangan cerita tersebut.
"Dia memandang ke kanan tepat di mukamu saat bercerita,"
kata Ali, "dan dia katakan bahwa Anda --orang Amerika-- akan
pergi dan Timur Tengah ketika sudah dikemas rapi dalam
peti-peti mati."
"Dia katakan itu?" tanya saya, dengan nada terkejut. "Dan
ketika dia katakan itu, apa gerangan yang saya lakukan?"
tanya saya kembali kepada Ali.
Ali memandangku agak sedikit aneh dan berkata, "Kamu
hanya mengangguk seakan setuju dengan semua rencananya."
Dalam wawancara yang berjalan lebih kurang satu jam, Bin
Laden tahu persis bahwa sesungguhnya saya benar-benar tidak
paham walau satu kata pun dari yang dia ucapkan. Itu yang
membuat dia harus melihat ke pengalih bahasa saat
menyerahkan jawaban yang tertulis. Perlu diketahui bahwa
berdasarkan konvensi wawancara di dalam TV Amerika,
seseorang yang diwawancarai harus mengarahkan jawabannya ke
kamera agar kelihatan bahwa kami benar-benar melaksanakan
wawancara secara langsung. Saya tetap memandangi Bin Laden
dan mengangguk sepanjang waktu untuk mengekspresikan
pemandangan situasi wawancara agar kelihatan hidup dan
memahami semua jawaban.
"Jadi, Anda katakan bahwa dia menjanjikan pembunuhan
massal, dan saya hanya mengangguk seperti burung beo?"
"Ya," kata Ali, tersenyum.
Akan tetapi, yang jelas kami punya sedikit cerita, dan
beberapa minggu kemudian Osama bin Laden akan mengucapkan
"Hai!" kepada Amerika dalam beberapa menit penayangan. Tidak
banyak orang yang akan hirau dan dia tak ubah seperti
teroris Arab lainnya.
Bin Laden sekali lagi dikelilingi pengawalnya,
meninggalkan tempat melalui jalan yang lain. Ketika itu jam
menunjukkan pukul dua dini hari dan tembakan-tembakan
seperti biasanya dilakukan. Kali ini Rick dapat menyorot
semua pemandangan. Akan tetapi, ketika kami sudah mengemas
perlengkapan kami, lagi-lagi pembantu Bin Laden bidang pers
dan kepala keamanan datang untuk menginspeksi rekaman kami.
Dengan memperhatikan semua rekaman dengan cermat sejak
kedatangan Osama sampai kepergiannya, mereka memerintahkan
untuk menghapus beberapa wajah yang tidak tertutup dengan
kaffiyeh. Ketika saya berkeberatan, mereka bilang
caranya sederhana saja, "Kalau kamu tidak mau menghapus
wajah-wajah itu, kamu pergi tanpa membawa rekaman." Malam
semakin larut, mereka masih terus memutar balik rekaman yang
ada. Setiap wajah yang tidak tertutup dihapus dan hanya dua
wajah yang ditoleransi. "Dia sudah pergi," kata salah
seorang kepada temannya dan kami harus menghapus salah satu
atau keduanya.
Menurut FBI, kelompok orang-orang Bin Laden yang sudah
"pergi" ternyata menuju Kenya dan Tanzania di musim panas
yang lalu. Pada tanggal 7 Agustus 1998, dua truk yang sarat
dengan bom telah menghancurkan dua kedutaan besar Amerika di
kedua ibu kota negara tersebut. Dua ratus tiga puluh orang
meninggal di Kenya. Dua belas di antara mereka adalah warga
negara Amerika. Di Tanzania, tidak ada satu pun dan dua
belas yang meninggal berkebangsaan Amerika. Kebanyakan dan
mereka adalah orang-orang Afrika. Dan di antara mereka juga
ada yang Muslim.
Dua minggu setelah peristiwa pemboman terjadi, Presiden
Clinton memerintahkan penyerangan tepat di tempat pertemuan
kami dengan Osama bin Laden. Ketiga tempat markas milik
Osama hancur berantakan dan banyak korban yang jatuh. Namun,
Bin Laden, Al-Zawahiri, Atef dan kebanyakan tokoh pemimpin
lainnya telah mengantisipasi serangan balasan Amerika dengan
pergi dan markas ke tempat persembunyian lain.
Akhtar, yang menghilang di perbatasan Afghan saat kami
sudah memasuki wilayah yang dilanda perang selama dua dekade
ini, ternyata termasuk mereka yang turut memeriahkan
kedatangan dan kepergian Bin Laden dengan menyandang pistol
9 mm di pundaknya. Saat kami pulang, dia tetap
bertanggungjawab mengawal kami keluar dan Afghanistan dan
mengantar kembali ke Islamabad.
Sementara itu, kedatangan orang-orang Bin Laden untuk
bergabung dengan pejuang Albania menentang Serbia di Kosovo
sudah didokumentasikan. Di mana saja umat Islam dalam
pertikaian, sepertinya orang-orang Osama akan selalu ada di
sana, membunuh musuh entah nyata atau hanya ilusi. Inilah
mimpi buruk abad modern, sungguh penjahat yang punya
jaringan luas, freelancer dengan sumber finansial bak
sebuah negara yang tidak harus menyepakati semua obligasi
yang berbahaya. Laksana Yayasan Ford (Ford Foundation) untuk
pergerakan teroris-atau pejuang-pejuang kemerdekaan,
tergantung kepada siapa Anda bertanya.
Setelah penyerangan Amerika dengan rudal cruise,
sumber intelijen mengatakan kepada saya bahwa
pembicaraan Bin Laden melalui telepon satelit dapat
diintersepsi, saat dia mencoba berkomunikasi untuk
mengalkulasi kerusakan dan berita jumlah korban yang jatuh
akibat serangan. Sumber yang sama mengatakan bahwa Bin Laden
telah memindahkan operasinya dari kota Khost ke Kandahar dan
di sana dia mendirikan markas baru. Untuk mengurusi
pertemuan lain, Chris Isham dan saya meminta Ali untuk
kembali ke London.
Beberapa hari kemudian, orang-orang yang kami hubungi di
London sudah tertangkap oleh pasukan Scotland Yard's
Anti-Terrorist Branch dengan tuduhan punya koneksi
dengan kelompok teroris Osama. Salah satu dan mereka
kemungkinan akan diekstradisi ke Amerika. Kami kirim satu
permintaan lagi kepada Osama, kali ini kepada orang kami di
Peshawar, bersamaan dengan daftar pertanyaan. Namun, kami
tidak pernah mendapatkan jawabannya.
Setelah pemboman terjadi, rumah Bin Laden yang lama
--rumah besar dengan dilengkapi menara-- sudah menjadi
tempat penginapan para pengikut dan simpatisannya. Mereka
ini kelihatannya sukarelawan baru yang semakin hari semakin
bertambah. Sebagian pergi berjihad di Kashmir, sebagian lagi
berada di front terdepan melawan oposan Taliban, dan
sebagian tentu akan pergi untuk menyampaikan "pesan-pesan"
Bin Laden. Setelah gelap, konvoi sekitar dua puluhan mobil
dengan jendela berwarna melaju di sekitar kota Kandahar
dengan cepat. Tidak ada orang yang bertanya siapa itu
gerangan. Osama bin Laden bergegas melewati kegelapan, sinar
kian lenyap dalam gumpalan debu, "a most wanted man"
itu pun menghilang dalam persembunyian.
Satu hari setelah penyerangan balasan Amerika, kolega
kantor berita ABC di Pakistan menerima telepon dari Ayman
Al-Zawahiri, yang menemani Osama saat pertemuan dengan kami
malam itu. Al-Zawahiri berkata bahwa Bin Laden masih hidup
dan dalam keadaan baik dan dia punya pesan bagi kami:
"Perang baru saja dimulai. Orang Amerika harus menunggu
balasan."
|