|
Sanksi Aneh Amerika
Rahimullah
Yusufzai
Sanksi ekonomi terbatas yang diberlakukan oleh DK-PBB
kepada Afghanistan telah diberlakukan sejak 14 November
1999, ketika penguasa pergerakan Taliban menolak untuk
mengusir pembangkang Saudi, Osama bin Laden, untuk diadili
dengan tuduhan sebagai otak peledakan kedutaan AS di Afrika
Timur. Ancaman implementasi sanksi ekonomi PBB gagal
menggertak Taliban untuk mengubah sikap dan keputusannya.
Kalau ternyata di masa yang akan datang sanksi ini juga
gagal, kemungkinan PBB akan memperluas lingkup sanksi dan
memperketatnya untuk memaksa penguasa Kabul mengusir
Osama.
Pada 15 Oktober 1998, DK-PBB menggolkan resolusi yang
luar biasa (No.1267) bahwa jika Bin Laden tetap tidak
diekstradisi ke negara ketiga dalam tempo satu bulan, PBB
mengancam sanksi ekonomi atas Afghanistan. Semua negara
anggota DK ini, termasuk lima negara pemegang hak veto,
secara simultan sepakat dengan resolusi ini. Dari
kesepakatan ini, ada indikasi munculnya penobatan AS sebagai
penguasa tunggal dunia modern dewasa ini, tidak saja bagi
sekutunya Inggris dan Prancis, tetapi juga bagi Cina dan
Rusia. Kedua negara terakhir ini tidak seperti biasanya
turut mendukung resolusi yang mentargetkan individu dan tuan
rumah Taliban dengan alasan mereka mengancam keamanan dan
perdamaian internasional. Bin Laden sudah lama diburu AS
walaupun kasus dakwaan terhadapnya masih diperdebatkan.
Apakah Washington punya cukup bukti dalam keterlibatan dia
di dalam berbagai aksi terorisme? Akan tetapi, resolusi PBB
cukup menjadi alat kecaman yang menyatakan bahwa Islamis
asal Saudi ini merupakan orang "terkutuk" dan dicari oleh 15
negara anggota DK-PBB. Di dalam proses sanksi ini, setiap
anggota PBB wajib untuk menaati dan mematuhi resolusi,
termasuk Pakistan, Arab Saudi, dan Emirat Arab yang telah
mengakui legitimasi pemerintahan Kabul.
Ini merupakan peristiwa kedua di dalam sejarah DK-PBB
yang menyepakati resolusi dalam penangkapan individu yang
diduga sebagai teroris dan dicari AS. Pada 1992, sanksi
ekonomi juga telah dijatuhkan atas Libia yang menolak untuk
mengekstradisi warga negaranya yang dituduh meledakkan
pesawat komersial di atas Lockerbie, Skotlandia pada 1986.
Sanksi ekonomi itu terus diperketat sejak diberlakukannya
sampai akhirnya dilenturkan setelah Libia berkompromi untuk
mengadili kedua warganya di negara ketiga.
AS telah menggunakan semua cara dan nyaris putus asa di
dalam upaya menjaring Osama. Beberapa reportase mengatakan
bahwa AS telah menekan pemerintahan Sudan, Presiden Omar
Al-Bashir, untuk mengusir Bin Laden keluar pada Mei 1996.
Saat itu, milioner asal Saudi ini dikecam sebagai dermawan
yang menghidupi pergerakan radikal Islam di berbagai penjuru
dunia. Bin Laden semakin dimusuhi oleh AS dan beberapa
negara Barat dan Arab saat dia mulai berani meneriakan
penarikan mundur pasukan AS, Inggris, dan Perancis dari
Jazirah Arab tempat terdapatnya beberapa tempat tersuci di
dalam Islam. Dalam wawancara dengan media internasional pada
1996 dan 1997, dia berkali-kali mengkritik kebijaksanaan
AS/Barat di negara-negara Islam dan kaum Muslim, khususnya
di Timur Tengah.
Sirine mulai bergaung di berbagai ibu kota negara Barat
ketika Bin Laden mendeklarasikan peluncuran Front Islam
Internasional untuk Jihad (International Islamic Front for
Jehad) pada Mei 1998. Bagi AS, ini benar-benar aksi
provokatif. Dan, tidak lama berselang, Osama dinobatkan
sebagai musuh Publik Washington Nomor Satu. Tepatnya pada 7
Agustus 1998, saat Kedutaan Besar AS di Nairobi (Kenya) dan
Daressalam (Tanzania) di Afrika Timur diledakkan dengan 240
orang korban, termasuk sekitar belasan warga Amerika tewas.
Terang saja AS langsung menuding Osama yang berada di
belakang peledakan ini dan Presiden Bill Clinton menjanjikan
pembalasan. Hanya berselang tiga belas hari, AS meluncurkan
80 rudal Tomahawk dengan sasaran Bin Laden dan menghancurkan
ketiga markas yang diduga sebagai sarang terorisme. Namun,
keberhasilan menghancurkan markas Osama ternyata tidak cukup
karena mereka gagal mengeliminasi gerak Bin Laden.
Tampakuya, AS benar-benar serius untuk membekuk Osama.
Karena itu, AS telah mencoba melakukan tarik-menarik untuk
memaksa Taliban menyeret Bin Laden. Keinginan AS untuk
bernegosiasi dengan Taliban muncul saat rezim ini terpojok
dan terisolasi dari percaturan komunitas dunia. Dan,
perusahaan minyak raksasa AS, Unocal, yang berminat untuk
membangun saluran minyak dan gas dari Turkmenistan ke
Pakistan melalui Afghanistan dapat dikategorikan sebagai
"pemikat" yang ditawarkan kepada Taliban. Adapun kategori
"pemukul" yang dilakukannya, tercermin dari pemaksaan mundur
perusahaan ini dan konsorsium yang telah melenyapkan mimpi
Taliban untuk mendapatkan investasi asing yang terbesar di
wilayah itu. Begitu pula dengan kursi perwakilan Afghanistan
di PBB yang masih "dihadiahkan" kepada pemerintahan Rabbani
meskipun hanya menguasai kurang dari 10% wilayah.
Keberangan AS kepada Taliban juga berimplikasi besar
kepada negara-negara asing lainnya. Konsekuensinya, bantuan
dunia internasional akan terus menurun secara drastis dari
kondisi sosio-ekonominya akan semakin memburuk.
Sanksi ekonomi yang diprakarsai AS --kendati sekarang ini
masih terbatas-- merupakan hukuman terbaru yang diderita
Afghanistan. Resolusi PBB dan semua pendekatan berikutnya
hanyalah sanksi yang mentargetkan Taliban dan bukan
Afghanistan, sebagaimana yang ditegaskan sebelumnya bahwa
hukuman yang dijatuhkan hanyalah untuk menghukum Taliban.
Namun, sayang tidak ada penjelasan bagaimana rakyat biasa
dapat menghindari pukulan sanksi ketika maskapai Ariana
harus dihentikan pula. Dan, konsekuensinya rakyat harus
terbang ke negerinya setelah transit ke Pakistan atau negera
tetangga lainnya dengan biaya yang tentu saja lebih mahal.
Begitu pula halnya, biaya ekstra untuk transportasi mesti
dibebankan kepada konsumen ketika para pedagang tidak dapat
mengimpor barang secara langsung ke Afghanistan baik dengan
Ariana ataupun lainnya. Bahkan surat-surat ke mancanegara
yang biasanya mempergunakan jasa Ariana akan lebih mahal dan
memerlukan waktu lebih lama untuk sampai ke tujuan karena
harus melalui Pakistan lebih dahulu.
Di sini jelas, kooperasi Pakistan sangat vital dan
krusial untuk mempertahankan ekonomi Afghanistan yang
morat-marit, dan pasca sanksi Pakistan menjadi lifeline
Afghanistan untuk memasok berbagai kebutuhan rakyat yang
terus menderita. Dan bagi Taliban, mereka akan tetap menolak
tunduk kepada tekanan AS untuk mengusir Bin Laden, bahkan
mereka lebih senang menderita dalam sanksi ekonomi PBB
daripada harus mengorbankan prinsip-prinsip hidup.
Sekarang sudah jelas bisa dibaca bahwa akan ada trend
baru di dalam hubungan internasional yang akan
diimplementasi di masa mendatang, sebagaimana telah
diperagakan AS dengan penghujanan rudal-rudal ke Afghanistan
dan Sudan serta sekarang sanksi ekonomi PBB yang diprakarsai
AS pada Taliban. Pada trend pertama, AS tidak perlu
mempergunakan jalur PBB dan sebalikuya memperagakan
keperkasaannya untuk menghukum Bin Laden dan tuan rumah
Taliban. Juga pabrik farmasi yang dibom AS ternyata bukan
milik Bin Laden dan tidak memproduksi senjata-senjata kimia
sebagaimana yang sering diklaim Washington. Namun, hal ini
sama sekali tidak digubris AS. Padahal, sebenarnya harus ada
persidangan di Washington yang mengizinkan petisi pemilik
pabrik untuk meminta kompensasi atau ganti rugi.
Mengenai resolusi PBB yang menjatuhkan sanksi ekonomi
kepada Afghanistan karena menolak untuk menyerahkan
seseorang yang diburu oleh negara lain, perlu diketahui
bahwa ekstradisi hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan
bilateral. Dan, di bawah hukum internasional, setiap negara
harus mengikuti prosedur yang sudah digariskan untuk
menangkap seseorang yang diburu dan berlindung di negara
asing. Kalau memang tidak ada kesepakatan ekstradisi antar
kedua negara atau negara yang melindungi tetap tidak mau
menyerahkan, tidak banyak yang dapat dilakukan secara legal.
AS bisa saja beralasan bahwa Bin Laden bukan merupakan
individu biasa. Dia memiliki kekayaan dan jaringan yangjuga
masih diperdebatkan atau karena disiden Saudi ini jelas
punya karakter yang luar biasa, dan karena itu
penjaringannya perlu ditangani secara Thusus.
Pejabat pemerintah AS juga mengatakan bahwa kalau memang
perjanjian ekstradisi antara AS dan Afghanistan tidak ada,
maka Bin Laden dapat diekstradisi ke negara ketiga dan baru
kemudian dibawa ke pengadilan federal di AS untuk disidang
dengan tuduhan terorisme. Namun, sebagian besar rakyat di
negara kecil dan lemah seperti Afghanistan sulit untuk
mencerna alasan dan argumentasi seperti ini, sebagaimana
mereka semua tahu persis bahwa tidak ada kekuatan apa pun
yang dapat menghalangi AS --entah itu hukum ataupun logika--
jika dia telah memutuskan untuk mengejar musuh-musuh yang
dia persepsikan secara sepihak di mana pun adanya.
|