Taliban
Setuju Osama Diadili
Amir
Mateen
Taliban hampir saja menyepakati keputusan
penyidangan Osama di peradilan Islam di Arab Saudi tahun
lalu. Kesepakatan itu dicapai oleh Kepala Intelijen
Saudi, Pangeran Turki Al-Faisal, yang kemudian datang
bersama delegasi kecil ke markas besar Taliban di
Kandahar pada juni 1998.
Dalam satu wawancara yang langka dengan The New York
Times, Pangeran Turki membeberkan bahwa pakta rahasia
yang sudah disepakati itu ternyata hancur berantakan karena
peristiwa pemboman di Kenya dan Tanzania dan terkubur
bersama serangan pembalasan AS ke markas Bin Laden, dua
minggu kemudian. Sebelum peristiwa ini, diramalkan
kesepakatan bakal dapat menyelesaikan isu Bin Laden dan
tidak akan sekompleks sekarang. Kerenggangan hubungan Saudi
dan pemerintah Taliban yang pernah menjadi "saudara
kandung"-nya, semakin memperparah isolasi rezim Kandahar dan
menambah komplikasi upaya internasional dalam upaya
penjeratan Osama bin Laden. Kedutaan-kedutaan besar AS tetap
dalam siaga penuh untuk mengantisipasi segala kemungkinan
serangan teroris.
Laporan itu mengatakan bahwa tidak jelas apakah deportasi
Osama ke pemerintah Saudi dapat menghindari pemboman 7
Agustus 1998 yang menewaskan 224 orang itu. Tetapi AS dan
Saudi tetap yakin bahwa Bin Laden lah yang menjadi arsitek
semua konspirasi dan dia punya hubungan dengan para
pelakunya beberapa saat sebelum bom meledak. Walaupun
demikian, pejabat AS mengatakan bahwa mereka tidak terlibat
dalam negosiasi dan mengaku tidak pernah tahu tentang
pembicaraan rahasia Saudi-Taliban ini kecuali di awal tahun
1998.
Harian ini mengutip pernyataan Pangeran bahwa yang
dikehendaki Saudi hanyalah agar Osama diusir dari
Afghanistan atau ditangkap dan ditahan di Saudi untuk
dimahkamahkan dengan tuduhan merongrong pemerintahan yang
sah.
Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar tiga jam,
Pangeran Turki mengatakan bahwa pimpinan tertinggi Mulla
Muhammad Omar dan Badan Penasihat telah sepakat untuk
melarang persembunyian Osama di tanah Afghanistan sejak
1996. Tetapi penyerahan Osama hendaknya dikoordinasi serapi
mungkin agar tidak "merefleksi implikasi buruk bagi Taliban"
dan tidak dianggap "pengkhianat sahabat", menurut Turki.
Laporan ini mengatakan, kesepakatan itu dicapai setelah
adanya jaminan dari pihak Saudi bahwa Osama akan disidang
hanya di dalam persidangan yang Islami --persyaratan ini
akan menghindari kemungkinan ekstradisi Osama untuk
menghadapi prosekusi AS.
Mengutip pejabat tinggi administrasi Clinton yang
bertanggungjawab atas penjaringan Osama bahwa tidak akan
terjadi konflik antara AS dan Saudi dalam persoalan
ekstradisi Osama:
"Kami dapat memahami ini... Yang penting bagi
kami bahwa Bin Laden berhasil dimahkamahkan, di mana pun
itu."
Persyaratan kesepakatan akhir ini telah dicapai antara
Taliban dan delegasi Saudi. Menurut Turki, pada saat yang
sama pemerintahannya yakin bahwa pemboman itu memang
disengaja untuk merusak kesepakatan. Negosiasi ini harus
berakhir di tengah tuduh-menuduh yang membingungkan sebagai
implikasi peledakan di Kenya dan Tanzania.
Menurut autoritas Barat, ledakan dahsyat itu jelas
berhubungan langsung dengan Bin Laden, dengan efek samping
yang nyata bahwa dukungan Taliban semakin bertambah. Karena
itu, pembalasan rudal-rudal AS yang menghujani Khost hanya
akan semakin menguatkan dukungan dan perlindungan mereka
kepada Bin Laden.
"Meskipun proposal Saudi kepada Taliban masih ada, hanya
ada sedikit tanda-tanda perbaikan di antara mantan kawan.
Bulan lalu, juru bicara resmi Taliban mengatakan kepada
harian berbahasa Arab, Al-Azarq Al-Azisat, bahwa Bin
Laden tidak akan pernah dipaksa keluar Afghanistan karena
hal itu bertentangan dengan keinginan pribadinya. Juru
bicara mengesampingkan kemungkinan akan adanya kesepakatan
dengan Saudi atau AS."
Kaum Mujahidin mengatakan kepada The Times,
"Taliban masih memberikan solusi penyerahan persoalan
kepada komite intelektual Muslim dan Arab Saudi dan negara
lain di wilayah ini yang dapat berdiri sebagai
penengah."
"Kalau mereka menyetujui itu, dia akan ditangkap, dan
kami harus menjalankan kesepakatan ini; kalau mereka (para
intelektual) mengatakan bahwa dia harus disidang di Arab
Saudi, kami bersedia untuk menyerahkannya ke Saudi."
Laporan itu juga mengatakan, pada bulan Juni 1998,
delegasi Saudi dengan pakaian jubah putih dalam misi
rahasianya datang ke markas Taliban yang disambut dengan
hormat dan bersahabat di Kandahar. Turki mengatakan bahwa
dia dan delegasinya, sebenarnya disambut dengan pelukan
Mulla Omar yang hangat, pemimpin tertinggi Taliban yang
hilang satu matanya saat jihad melawan Soviet. Mereka duduk
bersama lusinan anggota badan syariat pemerintahan
Taliban.
Agendanya hanya terbatas pada satu persoalan: Osama bin
Laden. Saudi bersikeras untuk mengadili Bin Laden karena
sikap durhakanya. Seorang mantan pengusaha ternama yang
dicopot kewarganegaraannya pada 1994, telah menyerukan
penggulingan kekuasaan keluarga Saudi di Jazirah Arab karena
rezim ini telah bersekongkol dengan AS dan menerapkan
kebijaksanaan yang pro-AS dan anti-Islam.
Belum jelas apakah sikap seperti itu dianggap
undang-undang Saudi sebagai sikap subversif, yang dikenakan
ancaman hukum mati --ditambah dengan pembunuhan massal dan
konspirasi permusuhan dengan AS. Kepala intelijen Saudi itu
hanya mengatakan bahwa hal itulah yang menyebabkan Osama
telah melakukan tindakan kriminal yang tak terampuni.
Dalam kunjungan tersebut, Turki mengatakan bahwa pemimpin
Taliban menganggap Osama sebagai "beban yang tidak disukai."
Keberadaan Osama dipandang sebagian orang hanya sebagai batu
sandungan bagi masuknya investasi asing ke Afghanistan.
Jelas dia juga telah menjadi beban berat yang merusak
hubungan baik Kabul dan Riyadh, salah satu dan tiga sahabat
Taliban.
"Sikap kami jelas, kalau mereka menghendaki hubungan baik
dengan Riyadh, mereka harus mau menyerahkan Osama," ucap
Turki dalam wawancara tersebut.
"Osama mengklaim bahwa pemerintah Riyadh tidak sah. Dia
mengklaim bahwa kami merongrong Islam. Ini semua menjadi
landasan tuduhan kriminalitas dia," kata Turki, sambil
mengingat negosiasi yang "sangat ramah" dengan Mulla Omar,
lantas Mulla menyepakati dan menjanjikan ekstradisi Osama
bin Laden.
"Hal itu telah lama didiskusikan dan diulang berkali-kali
di dalam pertemuan tersebut," ucap Turki. Dia menambahkan
bahwa pokok persoalannya didiskusikan di dalam pertemuan
susulan antar-aparat kedua belah pihak untuk mengoordinasi
mekanisme politis yang sensitif dalam penyerahan Osama.
Pertemuan-pertemuan itu berlanjut dalam rentang waktu dua
bulan. Pihak Saudi merasa frustrasi dengan keterlambatan
proses kelanjutannya tanpa mengetahui bahwa kesepatan itu
harus diakhiri dengan komplikasi yang tidak berujung setelah
peledakan terjadi. Secara tiba-tiba, menurut pihak Saudi,
pihak Kabul menolak dan menampik adanya kesepakatan antara
Riyadh dan Kabul. Lantas mereka mengecam pengalih bahasa
yang salah memahami esensi pertemuan. Pihak Saudi merasa
dipermalukan dan diserang. "Mereka mengingkari," ujar Turki.
"Mereka berjanji mengeluarkan Osama dan Afghanistan,
kemudian mereka mungkiri janji mereka."
Taliban yang merepresentasikan Mujahid menganggap
perselisihan itu sangat disayangkan dan menandaskan bahwa
pemerintah Taliban "tidak bermaksud memusuhi kerajaan Arab
Saudi."
Dia mengatakan bahwa Taliban tetap mengucapkan tenma
kasih yang tak terhingga kepada kerajaan Saudi atas semua
dukungannya selama ini, secara khusus dalam jihad melawan
Soviet dahulu.
Akan tetapi, loyalitas Taliban kepada Bin Laden sangat
kuat. Dia sendiri secara pribadi telah mendanai dan membantu
melatih serta merekrut pejuang Arab dalam peperangan
mengusir pendudukan kekuatan Soviet. Mungkin perlu dicatat,
bagaimanapun juga, menurut Turki, Bin Laden menjalin
hubungan pribadi yang kuat dengan Omar.
Turki mencatat bahwa laporan yang dipublikasikan di Timur
Tengah dan Eropa mengatakan bahwa Bin Laden sendiri
membangun rumah bagi Mulla Omar. Dia juga menegaskan bahwa
sumber intelijen yang belum dikonfirmasikan mengatakan bahwa
salah satu dari lima anak perempuan Bin Laden dikawinkan
dengan Mulla Omar dan menjadi istri terakhirnya. ini yang
menjadikan Osama punya posisi kuat, sebagai mertua pimpinan
Taliban.
Pemerintah Riyadh jelas berang dengan sikap Kabul.
Pemboman telah mengubah peta kompromi kalkulus dengan cara
meredam kritik internal Bin Laden. Pada 20 Agustus 1998,
hanya dalam jarak dua minggu, AS melancarkan serangan balik
ke markas Osama yang dituduh menjadi sarangnya.
Pada saat itu, harapan untuk memperbarui kesepakatan
dengan Taliban sudah pupus. Pada pertengahan September 1998,
setelah pertemuan Saudi dengan Taliban, Riyadh memanggil
pulang wakil di Kabul dan sebaliknya Kabul juga memulangkan
diplomat dan stafnya untuk meninggalkan Riyadh.
Sejak itu, AS terus mengintensifkan tekanan kepada dua
negara lain, seperti Saudi yang mengakui pemerintahan
Taliban. Bulan sebelumnya, administrasi Washington mengutus
pejabat resmi delegasi untuk menekan penguasa Emirat Arab
dan segala macam hubungan dengan Bin Laden.
The New York Times melaporkan bahwa Bin Laden
mempergunakan jasa perbankan di Dubai untuk menghindari
pembekuan aset internasionalnya. AS juga mengadakan
pertemuan tingkat tinggi dengan penguasa Islamabad.
"Pakistan dapat berbuat lebih banyak," ujar seorang pejabat
senior administrasi.
|