PENDAHULUAN
SALAH satu di antara sederetan musibah atau fitnah besar
yang pernah menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah
adalah tersebarnya hadits-hadits dha'if dan maudhu' di
kalangan umat. Hal itu juga menimpa para ulama kecuali
sederetan pakar hadits dan kritikus yang dikehendaki Allah
seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi Hatim ar-Razi,
dan lain-lain. Tersebarnya hadits-hadits semacam itu di
seluruh wilayah Islam telah meninggalkan dampak negatif yang
luar biasa.
Di antaranya adalah terjadinya perusakan segi akidah
terhadap hal-hal gaib, segi syariat, dan sebagainya. Telah
menjadi kehendak Illahi Yang Maha Bijaksana untuk tidak
membiarkan hadits-hadits semacam itu berserakan di sana-sini
tanpa mengutus atau memberikan keistimewaan pada sekelompok
orang berkemampuan tinggi untuk menghentikan dampak negatif
serta menyingkap tabirnya, kemudian menjelaskan hakikatnya
kepada khalayak. Mereka itulah para pakar hadits asy syarif,
para pengemban panji sunnah nabawiyyah yang telah didoakan
Rasulullah saw. dengan sabdanya: ,
"Allah SWT membaikkan kedudukan seseorang
yang mendengar sabdaku, memahaminya, menjaganya, dan
kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi
pengemban fiqih akan menyampaikannya kepada yang lebih
pandai darinya." (HR Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu
Hibban).
Para pakar hadits telah melakukan penelitian dan
menjelaskan keadaan hadits- hadits Rasullah dengan
menghukuminya sebagai hadits sahih, dha'if,dan maudhu'.
Mereka pun membuat aturan dan kaidah-kaidah, khususnya yang
berkenaan dengan ilmu tersebut. Siapa pun yang
berpengetahuan luas dalam ilmu ini akan mudah mengenali
derajat suatu hadits, sekalipun tanpa adanya nash. Inilah
yang dikenal dengan nama ilmu Mushthalah Hadits.
Para ulama mutakhir telah membuat dan menyusun kitab
secara khusus untuk mengenali hadits-hadits Rasulullah saw.
dengan menjelaskan kedudukannya. Yang paling terkenal dan
paling luas pembahasannya adalah kitab
Al-Maqaashidul-Hasanah fi Bayaani Katsiirin
minal-Ahaditsil-Musytaharah 'alal-Alsinah karangan
al-Hafizh as-Sakhawi. Berikutnya kitab Nashabur-Rayah li
Ahaadiitsil-Hidaayah karangan al-Hafizh az- Zayla'i.
Kitab ini menjelaskan keadaan atau derajat hadits-hadits
yang banyak diutarakan oleh ulama yang bukan pakar hadits,
serta menjelaskan mana yang benar-benar hadits dan mana yang
bukan.
Kitab-kitab lain di antaranya Al-Mughni Jan
Hamlil-Asfari fi takhriji ma fil-Ahya 'i minal-Akhbar
karangan al-Hafizh al-Iraqi, Talkhisul-Habir fi Takhriiji
Ahaaditsir-Rafi'il-Kabiri karangan Ibnu Hajar
al-Asqalani, Takhrij Ahadits al-Kasysyaf karangan
Ibnu Hajar dan Takhrij Ahadits asy-Syifa' karangan
as-Sayuthi.
Para ulama tadi telah memudahkan dan membuka jalan
kemudahan bagi para generasi sesudahnya untuk mengetahui dan
mengenali derajat tingkatan hadits-hadits Rasulullah saw.
Namun, sangat disayangkan kebanyakan mereka (yakni generasi
penerus, baik ulama maupun para penuntut ilmu) tidak mau
menyempatkan membaca kitab-kitab tadi dengan serus. Itulah
sebabnya mereka tidak tahu derajat hadits yang telah mereka
hafal di luar kepala, yang mereka baca dan pelajari dalam
berbagai kitab yang tidak menyebutkan dengan rinci kedudukan
hadits yang bersangkutan. Karena itu, kita sering mendapati
hadits dha'if atau maudhu' diutarakan dalam ceramah, artikel
di media massa,atau bahkan ditulis dalam kitab-kitab.
Begitu juga para guru dan dosen di kelas-kelas maupun di
ruang kuliah. Tentu saja ini sangat berbahaya dan saya
khawatir jangan-jangan mereka termasuk orang-orang yang
mendapat ancaman seperti dimaksud sabda Rasulullah saw.:
"Barangsiapa dengan sengaja berdusta dalam
hadits-haditsku dengan sengaja, hendaklah ia menempatkan
dirinya dalam api neraka." (HR Ashabus Sunan clan
Ashabus Shahah).
Kalaupun mereka tidak secara langsung mendustakan
hadits-hadits Rasulullah saw., mereka dikaregorikan sebagai
pengikut atau pengekor dalam menyebarluaskan hadits-hadits
yang belum jelas sahih dan dha'ifnya. Di samping itu, mereka
juga mengetahui bahwa dalam hadits-hadits Rasulullah saw.
ada yang dha'if dan ada pula yang maudhu'. Dalam hal ini
Rasullulah saw; telah mengisyaratkan dalam sabdanya:
"Cukuplah sebagai pendusta bagi seseorang
akibat berdusta karena menceritakan semua yang
didengarnya." (HR Muslim).
Kemudian diriwayatkan dari Imam Malik, beliau
bersabda:
"Ketahuilah bahwa seseorang itu tidak akan
terlepas atau selamat dari pembicaraan semua yang
didengarnya. Dan tidak layak ia menjadi seorang imam atau
pemimpin sedang ia senang menceritakan semua yang
didengarnya."
Imam Ibnu Hibban dalam sahihnya mengatakan, wajib masuk
neraka bagi siapa saja yang menisbatkan sesuatu kepada
Rasulullah saw. padahal ia tidak mengetahui sejauh mana
kebenarannya. Kemudian menyebutkan hadits "man qaala
'alayya ... dan seterusnya" seperti yang diriwayatkan
oleh Ashhabus Sunan.
Lebih lanjut Ibnu Hibban berkata, "Telah nyata dari apa
yang kami riwayatkan tadi bahwa itu adalah sahih," seraya
mengutarakan hadits dengan sanad dari Samurah bin
Jindub:
"Barangsiapa mengutarakan hadits dariku dan
diketahui bahwa dusta, ia termasuk pendusta." (Juga
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Samurah dan Mughirah
bin Syu'bah).
Menjadi jelaslah apa yang saya kemukakan tadi bahwa tidak
boleh meriwayatkan atau mengutarakan hadits tanpa mengetahui
sejauh mana kesahihannya. Karena itu, siapa saja yang
melakukannya, ia termasuk orang yang berdusta dengan
mengatasnamakan Rasulullah saw. dan termasuk orang-orang
yang diancam oleh beliau dengan diberikannya tempat di dalam
neraka, seperti yang tercantum dalam hadits mutawatir
tadi.
Menyadari bahaya seperti inilah maka saya merasa perlu
berperan serta menyumbangkan pemikiran, menjelaskan dan
mendekatkan jalan untuk mengetahui sejauh mana kesahihan
hadits yang sering kita dengar atau kita baca dalam berbagai
kitab ataupun lainnya, yang tidak kita dapatkan dalam sumber
aslinya di kalangan para pakar hadits. Juga saya ingin
menyumbangkan dengan memudahkan jalan untuk mengenali
hadits-haditsyang dipalsukan oleh orang-orang Zindiq.
Barangkali hal ini dapat dijadikan peringatan bagi
orang-orang yang mau berpikir atau yang merasa takut akan
azab-Nya.
Kemudian, dalam menulis kitab ini saya tidak menggunakan
metode abcd sesuai urutan abjad, tetapi saya menulis apa
adanya sesuai dengan apa yang saya anggap perlu. Kitab ini
saya mulai dengan dua buah hadits yang saya baca dari sebuah
artikel dalam koran Al Alamul Gharra' edisi 2404, tulisan
salah seorang mursyid ketika tengah meneliti masalah yang
berkenaan dengan Isra dan Mi'raj Rasulullah saw.
Akhirnya, hanya kepada Allahlah saya berharap taufik dan
hidayah-Nya, karena hanya Dialah Yang Maha Pemberi
Taufik.
(Muhammad Nashiruddin al-Albani)
|