Hilal Prestatif, Kesepakatan atau
Halusinasi?
oleh Moedji Raharto
UMAT Islam bersepakat menetapkan awal bulan Islam dengan
hilal. Ada dua cara untuk mendapat hilal, yaitu hisab dan
rukyat. Cara hisab melalui proses perhitungan posisi Bulan
dan Matahari serta mengadopsi kriteria "visibilitas hilal".
Cara Rukyat mengamati langsung di beberapa pos pengamatan
Bulan/Hilal.
MESKI demikian, tidak selalu terjadi kesepakatan.
Penyebabnya adalah interpretasi sosok hilal yang belum sama.
Jadi, sebenarnya persepsi hilal masih beragam dan kriteria
teknis yang diadopsi masih berbeda. Misalnya tinggi Bulan
saat Matahari terbenam sudah 2 derajat atau lebih atau
adopsi lainnya tinggi Bulan saat Matahari terbenam masih
berada di atas horizon (tinggi Bulan di atas nol derajat)
atau tinggi Bulan saat Matahari terbenam sudah mencapai
tinggi yang bervariasi tergantung pada beda azimut Bulan dan
Matahari-biasanya di atas 5 derajat.
Begitu pula dalam hal pengamatan hilal atau merukyat
hilal. Ada kemungkinan hilal halusinasi. Misalnya seseorang
melapor melihat hilal, padahal langit di arah pengamatan
mendung atau bahkan hujan. Bisa juga seseorang melaporkan
melihat hilal padahal bulan sudah terbenam, atau melapor
melihat hilal, padahal obyek langit yang dilihat ternyata
bukan hilal.
Pemerintah melalui sidang itsbat menetapkan awal bulan
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dengan cara Hisab-Rukyat.
Oleh karena itu, sidang itsbat menunggu hasil rukyat. Maka
untuk menghasilkan "hilal kesepakatan" diadopsi kriteria
tinggi Bulan saat Matahari terbenam di wilayah RI sudah 2
derajat atau lebih.
Secara astronomis adopsi kriteria itu sebenarnya tidak
konsisten. Batas bawah tinggi Bulan saat Matahari terbenam
mencapai 2 derajat, oleh para ahli rukyat dan astronom
profesional dinilai terlalu rendah untuk bisa mengenali
sabit tipis bulan dengan mata telanjang yang dikatakan
sebagai hilal.
Dalam hal praktis, hilal berkaitan dengan penampakan
sabit tipis Bulan yang pertama kali dapat dikenali mata
telanjang manusia setelah ijtimak atau konjungsi
berlangsung. Fenomena ijtimak merupakan momen, saat posisi
Bulan dan Matahari menempati bujur ekliptika yang sama.
Ijtimak akhir Ramadhan 1424 H, tanggal 24 November 2003
pukul 06.00 WIB mendatang akan terjadi gerhana Matahari
total yang tidak dapat diamati dari wilayah Indonesia.
Namun, momen gerhana Matahari juga bisa digunakan untuk
menguji ketepatan perhitungan ijtimak.
Di tengah kompleksitas keragaman kriteria, pada banyak
kesempatan sering ada posisi Bulan yang tak usah
diperdebatkan oleh pengguna kriteria visibilitas hilal.
Pencarian hilal Awal Ramadhan 1424 H melalui kegiatan
rukyatul hilal diselenggarakan Sabtu (25/10/03).
Ijtimak menjelang akhir Sya'ban 1424 H bertepatan dengan
hari Sabtu 25 Oktober 2003 pukul 19.51 WIB. Di seluruh
wilayah Indonesia fenomena ijtimak 25 Oktober 2003
berlangsung setelah Bulan dan Matahari terbenam.
Misalnya di Sabang, fenomena ijtimak 25 Oktober 2003 pada
pukul 19.51 WIB baru berlangsung 1 jam 30 menit setelah
Matahari terbenam atau 1 jam 34 menit setelah Bulan
terbenam. Jadi, mustahil ada yang berhasil mengamati hilal
pada tanggal itu karena saat matahari dan bulan terbenam
belum ada fenomena ijtimak.
Selain itu, pada 25 Oktober 2003 di seluruh wilayah
Indonesia Bulan terbenam sebelum Matahari terbenam, misalnya
di Sabang ketinggian Bulan saat Matahari terbenam -0.8
derajat. Kesimpulan bahwa di seluruh wilayah Indonesia hilal
baru mungkin diamati 26 Oktober 2003 (Ahad) setelah magrib.
Maka awal Ramadhan 1424 H bertepatan dengan 26 Oktober 2003
setelah magrib.
Awal tarawih Ramadhan 1424 H, adalah Minggu 26 Oktober
2003 dan awal Shaum Ramadhan 1424 H, Senin 27 Oktober 2003.
Jadi, konsisten dengan keputusan sidang itsbat yang
menetapkan awal Ramadhan 1424 H pada 27 Oktober.
Wajah sabit Bulan kesiangan merupakan pemandangan langit
pada pekan ke tiga bulan November 2003, pertanda akhir
Ramadhan 1424 H akan segera dihampiri dan awal Syawal 1424 H
akan tiba. Hingga sehari sebelum ijtimak akhir Ramadhan 1424
H, sabit bulan tua masih memungkinkan diamati mata
telanjang. Bulan-tua 23, 24 November 2003 sangat sulit
dijumpai karena akan terbenam dalam cahaya fajar
sipil-astronomis. Kedudukan Bulan makin mendekat arah terbit
Matahari di timur dan lebar sabit Bulan-tua makin tipis dan
lemah cahayanya.
Hilal awal Syawal 1424 H
Fenomena ijtimak menjelang akhir Ramadhan 1424 H
bertepatan dengan Senin, 24 November 2003 pukul 06.00 WIB.
Di seluruh wilayah Indonesia fenomena ijtimak berlangsung
sebelum Bulan dan Matahari terbenam. Saat Matahari terbenam
24 November 2003 kedudukan Bulan di wilayah Indonesia antara
4-6 derajat, misalnya di Sabang (di wilayah barat Indonesia,
95 derajat 21 menit bujur timur dan lintang utara 5 derajat
54 menit lintang utara) tinggi Bulan 5 derajat 48 menit saat
Matahari terbenam atau Bulan terbenam 26 menit setelah
Matahari terbenam.
Kesimpulan kedudukan tinggi Bulan saat Matahari terbenam
pada 24 November 2003 telah memenuhi "hilal kesepakatan"
sebagian besar umat Islam Indonesia, yaitu penggunaan
kriteria pergantian bulan Islam (tinggi bulan di atas 2
derajat). Karena itulah sebagian besar umat Islam meyakini
24 November 2003 telah memasuki 1 Syawal 1424 H. Sedang
shalat Ied 1424 H bertepatan dengan Selasa 25 November
2003.
Secara astronomi kedudukan bulan masih rendah di batas
ambang hilal paling rendah yang bisa diamati manusia. Tinggi
Bulan saat Matahari terbenam antara 4-6 derajat. Ukuran
sabit Bulan masih terlalu tipis (di Sabang, wilayah
Indonesia "paling" Barat F = 0,4 persen, 2,5 kali lebih
kecil dibanding ukuran sabit hilal yang umum diamati yaitu 1
persen) untuk bisa dilihat sebagai hilal penentu awal Syawal
1424 H.
Umur sabit Bulan hingga Matahari terbenam 11 jam 55 menit
untuk lokasi Pos Pengamatan Bulan Departemen Agama (Depag)
RI di Pelabuhan Ratu Jawa Barat dan 12 jam 20 menit di
Sabang, wilayah Indonesia "paling" Barat. Hilal dengan sabit
Bulan paling tipis pernah disaksikan pengamat King Abdul
Azis City for Science and Technology and Geophysical
Research di Laban, 30 km barat Riyadh (14 Maret 2002, awal
Muharram 1423 H) berusia 12 jam 58 menit.
Luas sabit hilal sekitar 0,5 persen (setengah dari hilal
yang umumnya relatif mudah dilihat) dengan ketinggian Bulan
saat Matahari terbenam 4 derajat 9 menit. Hilal diamati 5
menit setelah Matahari terbenam.
Kondisi langit yang cerah juga digambarkan dapat melihat
bintang paling terang, bintang Sirius, 2 jam sebelum
Matahari terbenam. Adapun hilal awal Ramadhan 1417 H atau 20
Januari 1996 merupakan hilal paling muda dengan usia 12 jam
07 menit dari waktu konjungsi yang pernah disaksikan
masyarakat internasional di Sentinel, Arizona. Hilal dengan
luas sabit Bulan 0,6 persen dan tinggi Bulan saat Matahari
terbenam adalah 6 derajat 35 menit.
Bila gambaran statistik visibilitas hilal yang digunakan
sebagai basis analisis untuk visibilitas hilal, seperti
beberapa kriteria Internasional IICP (International Islamic
Calendar Programme) yang diusulkan Prof Dr Muhammad Ilyas di
Penang Malaysia, maka hilal awal Syawal 1424 H baru dapat
diamati dengan mata telanjang 25 November 2003.
Berdasar ilmu pengetahuan visibilitas hilal, disimpulkan
bahwa hilal diragukan dapat diamati mata telanjang pada 24
November 2003 di seluruh wilayah Indonesia, saat musim hujan
seperti sekarang. Keraguan astronom untuk menyatakan bahwa
hilal sama sekali tidak mungkin teramati pada pengamatan
hilal 24 November 2003 juga tidak realistis.
Bila cuaca pengamatan hilal akhir Ramadhan 1424 H sangat
cerah, menjadi ujian pemburu hilal apakah mendapat "hilal
prestatif" dengan sabit Bulan yang sedikit lebih tipis dari
prestasi di Laban ataukah cuma "hilal halusinasi"?
Pengakuan pengamat hilal yang berhasil melihat hilal 24
November 2003 tidak mudah ditolak berdasarkan pengetahuan
visibilitas hilal. Pengalaman dunia internasional belum
cukup untuk mengatakan, rukyatul hilal 24 November 2003 di
wilayah Indonesia benar-benar tampak, dapat direkam dan
disaksikan banyak pihak. Bisa saja hilal tidak dapat dilihat
karena di bawah batas kemampuan mata manusia dan lingkungan
pengamatan.
Sistem penetapan awal bulan Islam di Indonesia yang
menganut sistem Hisab-Rukyat masih akan menunggu hasil
rukyat yang mendebarkan pada 24 November 2003. Apakah hasil
pengamatan hilal 24 November 2003 akan sejalan dengan
keputusan penentuan awal Syawal 1424 H secara hisab yang
diputuskan 25 November 2003?
Dr Moedji Raharto
Staf Akademik Observatorium Bosscha, Departemen Astronomi
FMIPA ITB
Kompas,
Jumat, 21 November 2003
|