Penentuan Akhir Ramadhan


Sekilas Pengetahuan Kriteria Visibilitas Hilal
Judhistira Aria Utama

Sebagai sebuah benda langit yang mengorbit bumi, bulan memiliki fase-fase. Ada fase bulan baru, kuartir pertama, bulan purnama, kuartir ketiga, dan fase bulan mati. Selang waktu yang diperlukan dari salah satu fase bulan untuk kembali ke fase yang sama, disebut periode sinodis. Jadi, dari bulan-baru ke bulan-baru berikutnya, atau purnama kembali ke purnama selanjutnya, adalah satu periode sinodis. Dengan acuan periode sinodis bulan inilah sistem penanggalan Hijriyah, yakni sistem penanggalan yang digunakan oleh umat Islam atas prakarsa Khalifah Umar r.a., dibangun, dan umur bulan di dalamnya bervariasi, 29 atau 30 hari.

Awal bulan dalam kalender Hijriyah ditandai dengan penampakan hilal, yakni bulan sabit pertama setelah konjungsi yang dapat dilihat dengan mata bugil. Dengan demikian, satu bulan dalam penanggalan Hijriyah dimulai dari penampakan hilal sampai penampakan hilal berikutnya. Bisa tidaknya hilal teramati bergantung pada waktu dan tempat. Kebergantungan terhadap waktu terkait dengan waktu terbenamnya matahari dan hilal serta usia hilal sendiri, yakni selang waktu penampakan hilal dari saat konjungsi; sedangkan kebergantungan terhadap tempat erat kaitannya dengan posisi geografis pengamat di muka bumi. Sebenarnya masih ada faktor lain yang turut mempengaruhi penampakan hilal, yaitu kecerlangan langit senja dan refraksi angkasa.

Cahaya hilal sangatlah lemah bila dibandingkan dengan cahaya matahari maupun cahaya senja, sehingga teramat sulit untuk bisa mengamati hilal yang masih berusia sangat muda. Semakin muda usia bulan semakin dekat ia dengan matahari; sebaliknya makin tua usianya, bulan makin menjauhi matahari. Pada saat konjungsi, bulan dan matahari berada di bujur ekliptika yang sama. Setelah lewat konjungsi, keduanya pun berangsur-angsur menjauh. Pada hilal yang sangat muda, beda azimut antara bulan dan matahari amat kecil (akibatnya jarak sudut antara keduanya pun kecil) demikian pula dengan luas hilal yang memantulkan sinar matahari. Karena dekatnya jarak-sudut bulan-matahari ini, hilal akan terbenam beberapa saat setelah matahari terbenam dan dengan tipisnya sabit hilal yang memantulkan sinar matahari berarti diperlukan latar yang gelap untuk bisa mengamati penampakan hilal. Jadi mengamati hilal bukanlah pekerjaan yang ringan, sebab meskipun hilal berada di atas ufuk saat matahari terbenam ia belum tentu bisa diamati. Sebabnya adalah cahaya hilal yang amat lemah itu kalah dengan cahaya senja. Artinya, agar mata manusia dapat mengamati hilal dengan baik diperlukan kondisi langit yang gelap. Persoalannya adalah makin muda usia hilal makin dekat kedudukannya dengan matahari, sehingga tidak ada cukup waktu untuk menunggu senja meredup agar hilal bisa teramati. Dengan kata lain hilal terburu terbenam saat langit masih cukup terang. Sebenarnya dengan makin meningkatnya usia hilal, kesulitan di atas dengan sendirinya akan teratasi sebab pada saat itu beda azimut bulan-matahari sudah membesar sehingga pengamat punya cukup waktu untuk menyaksikan hilal di atas ufuk setelah matahari terbenam maupun menunggu redupnya senja.

Angkasa bumi penuh dengan partikulat-partikulat berbagai ukuran. Debu-debu dan molekul uap air yang ada di angkasa dapat juga mempengaruhi penampakan hilal. Debu-debu dan molekul uap air di dekat horison dapat membiaskan cahaya hilal, mengurangi cahaya sampai dengan 40% dari yang seharusnya sampai ke mata pengamat. Keadaan menjadi lebih parah untuk hilal berusia sangat muda, sebab cahayanya bisa "habis" di jalan sebelum sampai ke mata kita. Karena kenyataan ini jugalah tempat yang lebih tinggi, meskipun mempunyai medan pandang yang lebih luas dan dalam ke horison, kurang menguntungkan sebab makin besar serapan cahaya hilalnya di horison bila dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Jadi, pokok permasalahannya adalah bagaimana hilal yang jelas-jelas di atas ufuk dapat diamati, dengan memperhatikan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Untuk itulah orang lantas membuat kriteria kenampakan (visibilitas) hilal untuk dapat menentukan permulaan bulan dalam kalender Hijriyah, yang juga erat kaitannya dengan penentuan waktu-waktu ibadah.

Faktor yang dominan dalam penampakan hilal adalah jarak sudut bulan-matahari dan tinggi hilal saat matahari terbenam. Orang-orang Babilonia kuno sudah memiliki kriteria sendiri untuk hal ini, bahwa hilal dapat dilihat saat hilal mencapai usia lebih dari 24 jam setelah konjungsi. Fotheringham, dengan menggunakan hasil pengamatan orang-orang Yunani, menurunkan kriteria visibilitas hilal berdasarkan beda azimut bulan-matahari dan tinggi hilal dari ufuk. Telaah Fotheringham ini kemudian dikembangkan oleh Maunder yang selanjutnya disempurnakan lagi dalam Indian Astronomical Ephemeris. Dari ketiga kriteria ini, untuk beda azimut yang membesar, tinggi hilal dari ufuk yang diperlukan agar hilal dapat teramati makin berkurang. Jadi tinggi hilal untuk beda azimut 10 derajat, lebih rendah daripada tinggi hilal bila beda azimutnya 5 derajat.

Seorang berkebangsaan Prancis, A. Danjon, pada tahun 1932 mengadakan telaah atas pengurangan efek tanduk bulan sabit dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jarak sudut bulan-matahari sebesar 7 derajat merupakan batas bawah hilal dapat teramati oleh mata bugil. Meskipun hasil di atas disempurnakan oleh M. Ilyas, peneliti berkebangsaan Malaysia, pada tahun 1988 yang menghasilkan angka 10,5 derajat untuk jarak sudut bulan-matahari pada beda azimut 0 derajat agar hilal dapat dilihat, keduanya sepakat untuk satu hal, bahwa hilal harus berada pada suatu ketinggian yang cukup untuk dapat dirukyat (diamati) oleh semua orang yang secara geografis berada dalam wilayah (regional) yang sama. Bagi para ahli hisab di Indonesia, ada dua kriteria yang dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan. Pertama, kriteria tinggi hilal yang memungkinkan hilal dapat dirukyat. Namun di antara ahli hisab sendiri belum ada kesepakatan tentang tinggi hilal yang dimaksud. Secara umum tinggi hilal adalah 2 derajat di atas ufuk saat matahari terbenam. Kedua, kriteria konjungsi sebelum matahari terbenam, yang merupakan kriteria khusus untuk daerah di sekitar khatulistiwa. Dengan kriteria ini, hanya perlu dibandingkan waktu terjadinya konjungsi dengan waktu terbenamnya matahari. Disepakati usia bulan tidak kurang dari 8 jam setelah konjungsi agar hilal dapat diamati.

Kriteria visibilitas hilal lainnya yang memiliki dasar-dasar ilmiah yang kokoh adalah yang ditetapkan oleh IICP (International Islamic Calendar Programme). Kriteria tersebut terbagi atas tiga bergantung pada segi yang diperhitungkan, yaitu pertama, kriteria posisi bulan dan matahari; batas-bawah tinggi hilal agar hilal dapat diamati adalah 4 derajat dengan syarat beda azimut bulan-matahari lebih besar dari 45 derajat, sedangkan bila beda azimutnya 0 derajat diperlukan ketinggian minimal 10,5 derajat. Kedua, kriteria beda waktu terbenam; hilal dapat teramati bila waktu terbenamnya minimal lebih lambat 40 menit dari waktu terbenamnya matahari. Untuk daerah di lintang tinggi, terutama di musim dingin, diperlukan beda waktu yang lebih besar. Ketiga, kriteria umur bulan dihitung sejak konjungsi; hilal dapat diamati bila berumur lebih dari 16 jam untuk pengamat di daerah tropis dan berumur lebih dari 20 jam untuk pengamat di lintang tinggi.

Dari apa yang tertulis di atas, tampak belum adanya kriteria yang benar-benar menjadi kesepakatan bersama. Kesepakatan untuk menganut kriteria yang memiliki dasar-dasar ilmiah (astronomis) yang kokoh dan teruji secara empiris sangat diperlukan, sehingga diharapkan terwujudnya sistem penanggalan yang seragam bagi umat Islam, khususnya yang menyangkut penentuan waktu-waktu ibadah. Tentu saja untuk dapat mencapai kesepakatan itu diperlukan kebesaran jiwa dalam menerima sistem penanggalan yang mungkin saja masih terasa "asing".


Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.