| |
|
Saya dilahirkan di Allentown, Pennsylvania, 23 Oktober 1971. Saya tinggal di sebuah desa di daerah pinggiran. Germansville. Dapat saya katakan bahwa sekarang 80 persen penduduknya adalah orang Belanda Pennsylvania dan setiap orang mempunyai nenek moyang Jerman. Mungkin ada sekitar 500 orang di kota itu, berpencar di tempat yang luas. Sampai umur lima tahun saya tinggal di pertanian keluarga. Setelah itu kami pindah seperempat mil jauhnya dari tempat itu dan mendirikan rumah kami sendiri di atas tanah yang dahulunya sebuah ladang. Seorang tua di sekitar tempat itu selalu menyesali ayah saya mengapa dia membangun rumah di tanah perkebunan kentang yang tersubur di daerah itu. Yang membuat saya mengambil keputusan ikut dalam pertukaran pelajar adalah karena saya bukan seorang Amerika yang patriotik. Saya tidak percaya pada Mimpi Amerika. Saya pikir saya tidak akan pernah mempercayainya. Saya mencari tempat lain yang dapat saya sebut rumah dan saya mulai mencari agama yang lain. Saya mempelajari agama Buddha. Tampaknya tak ada yang memuaskan saya. Saya mencari sesuatu semacam naskah guru yang suci. Saya membeli sebuah terjemahan Al-Quran. Ketika sedang membaca seluruh isinya, saya terhenyak. Buku itu berbicara pada saya. Buku itu mengatakan pada saya bahwa saya harus menjadi seorang Muslim. Saya tak dapat melihat jalan yang lain kecuali menjadi seorang Muslim. Al-Quran itu menjelaskan segala sesuatunya kepada saya. Saya mengenali kebenaran. Saya mengumumkan diri saya kepada orang-orang di sekitar saya bahwa saya seorang Muslim. Itu sebelum saya mengucapkan kalimat syahadat. Saya tidak pernah berjumpa dengan seorang Muslim. Saya hanya merasa bahwa saya seorang Muslim. Saya berusaha untuk mendapatkan lebih banyak buku. Pada saat saya ingin menjadi seorang Muslim dan ingin pergi ke Jerman karena itu merupakan tanah air suku saya, pada saat itu pula saya mengetahui bahwa banyak suku Turki di Jerman yang merupakan orang Muslim. Saya berharap dapat berjumpa dengan mereka dan mereka mau mengajarkan pada saya lebih jauh tentang Islam. Turki merupakan satu-satunya negara Islam yang ditawarkan dalam program pertukaran pelajar itu. Turki merupakan pilihan kedelapan saya dalam daftar tersebut. Secara kebetulan saya dikirim ke sana. Ketika sampai di Turki saya mendapatkan banyak buku. Orang Muslim tersebar di sekeliling saya. Saya dapat mendengar suara azan lima kali sehari. Maka saya semakin matang sebagai Muslim. Saya berada di sana selama setahun. Kebanyakan orang Turki tidak mau berpikir dua kali mengenai agama Islam. Banyak di antara mereka justru menyatakan diri ateis, "Oh, kami tidak mempercayai hal itu. Kami terlalu baik untuk itu. Kami ingin menjadi orang Barat. Kami ingin menjadi seperti orang Eropa." Mereka mengabaikan Islam. Tetapi saya masih mempunyai beberapa teman Muslim yang saleh. Saya terjebak di antara teman-teman yang ateis karena mereka menginginkan gaya hidup Amerika. Agar tidak terserang rindu tanah air, saya cenderung untuk lebih sering bersama orang-orang ateis itu. Tetapi teman-teman Muslim lain berkata, "Nah, Anda harus mulai mengikuti shalat Jumat." Saya mulai mencoba melaksanakannya. Mereka membantu saya mempelajari cara melakukan shalat. Saat pertama saya menghadiri shalat Jumat adalah pada malam Mi'raj. Saya bersama keluarga [tuan rumah] saya dan kami sedang berpuasa. Di Istambul terdapat banyak tempat suci. Kami mengunjungi salah satunya. Saya tidak tahu siapa yang dikuburkan di sana. Orang asing tak diizinkan masuk. Kami berdoa di makam itu. Waktu itu hari Jumat. Saya sangat gelisah karena saya takut melakukan kesalahan. Ada seorang anak Turki bersama kami. Saya pikir dia tidak pernah menghadiri acara berdoa itu sebelumnya. Kami berdua tersesat. Saya ingat saya duduk di sana, mencoba menghayati makna upacara itu. Saya ikuti semua gerakan sebaik mungkin. Pada 1988 saya berkumpul bersama beberapa darwis Mawlawi. Mawlawi adalah anggota kelompok Whirling Dervishes yang termasyhur di Turki. Menyaksikan mereka memberi perasaan spiritual pada saya. Saya memutuskan ingin menjadi seorang darwis. Saya tidak ingin menjadi Muslim semata. Kebetulan seorang bibi di keluarga tuan rumah saya ternyata anggota tarekat Mawlawi ini. Tarekat Mawlawi diperbolehkan melakukan pertemuan secara bebas. Tetapi seluruh kelompok darwis dilarang di Turki. Karena itu mereka mengadakan pertemuan rahasia kecil di Istambul. Bibi membawa saya ke pertemuan itu dan mengantarkan saya pada syaikh mereka. Mereka melakukan tarian berputar itu sebentar kemudian berzikir. Syaikh bertanya pada saya, "Anda ingin menjadi darwis?" Saya jawab, "Ya," dan dia menyahut, "Anda sudah mengucapkan syahadat?" "Belum," jawab saya. Lantas dia membimbing saya membaca syahadat dan menerima saya masuk tarekat tersebut. Upacara penerimaan itu dilakukan secara simbolis. Saya harus mencium pangkuan dan tangannya. Saya mengenakan topi kerucut. Saya tundukkan kepada saya ke lututnya, dan dia meletakkan tangannya di kepala saya, dan menyampaikan doa untuk saya. Saya berlutut sementara dia duduk di sebuah kursi. Itulah tahap pertama untuk menjadi anggota Mawlawi. Saya mencoba tarian berputar itu di rumah tapi tidak benar-benar menghayatinya. Saya bersyukur bahwa saya tidak pernah lagi pergi ke pertemuan itu karena sekarang saya berpendapat Sufisme bukanlah Islam yang benar. Sebaliknya saya senang mendapatkan teman-teman Muslim yang lebih baik di sekolah, Muslim-muslim tradisional, Muslim-muslim Sunni. Mereka mengajarkan lebih banyak daripada yang dapat diajarkan kaum Mawlawi itu, karena banyak anggota Mawlawi yang tidak shalat lima kali sehari. Kebanyakan mereka lebih Mawlawi daripada Muslim. Di sekolah setiap hari Jumat kami harus menyelinap diam-diam untuk melaksanakan shalat Jumat, karena sebenarnya kami tidak dibolehkan pergi ke luar sekolah untuk melaksanakannya. Tetapi dulu pernah ada seorang pimpinan sekolah yang simpatik terhadap kaum Muslimin. Dia tidak bisa meninggalkan sekolah untuk menunaikan shalat Jumat, tapi membolehkan kami pergi. Dia membuat catatan kecil dalam bahasa Arab yang berbunyi, "Orang-orang ini boleh keluar gerbang dan pergi shalat Jumat." Kami memberikannya pada penjaga pintu yang bisa membaca tulisan Arab. Dia pun berkata, "Oke, kalian boleh keluar, kalian boleh pergi shalat Jumat." Satu setengah blok dari sekolah itu ada sebuah masjid. Tetapi kadang-kadang kepala sekolah itu berkata, "Saya mohon maaf, banyak yang keberatan. Saya tidak bisa mengizinkan kalian keluar minggu ini." Jadi kami pun pergi ke belakang sekolah, memanjat pagar dan melompat keluar, supaya kami bisa menunaikan shalat Jumat. Saya tidak mengerti, tapi rasanya pengalaman itu seperti pengalaman spiritual. Saya menikmatinya. Saya melakukannya setiap minggu. Dalam hal tertentu, apa yang saya kerjakan ini membuat keluarga tuan rumah saya kembali ke akar mereka. Ayah angkat saya sering meninggalkan shalat, tetapi ketika saya datang dan menyatakan ingin menjadi seorang Muslim, dia jadi rajin shalat. Saya pikir pernyataan saya membuat dia merasa malu. Di bulan Ramadhan kami melakukan shalat fajar berjamaah. Terkadang ibu juga ikut. Mereka mempunyai banyak tikar sembahyang. Tikar-tikar itu digelar di ruang tengah. Sekitar dua minggu setelah saya mengucapkan syahadat bersama Mawlawi itu, saya pergi ke mufti masjid di dekat tempat kerja ayah angkat saya dan kembali mengucapkan syahadat di sana. Saya ingin meresmikannya. Saya ingin ada sebuah dokumen tertulis yang menyatakan bahwa saya seorang Muslim. Saya tidak memperolehnya karena saya masih di bawah umur untuk pindah agama. Dia bicara dalam bahasa Turki, saya tidak mengerti. Suatu hari saya dan seorang teman sekolah pergi ke sebuah masjid besar. Saat itu sudah waktu ashar. Kota ini berpenduduk 8 juta jiwa, hanya sepuluh orang yang ikut shalat di masjid yang begitu bersejarah itu. Ini menakjubkan bagi saya. Masjid itu dibangun oleh sultan yang dinyatakan sebagai khalifah, makamnya ada di sebelah masjid itu, tapi tak ada seorang pun di sana. Maksud saya, orang-orang hanya datang untuk melihat-lihat dan ada turis di mana-mana, tapi tak seorang pun yang shalat berjamaah. Saya ikut shalat berjamaah. Saya katakan pada teman saya setelah itu, ini menyedihkan sekali karena tak ada orang yang hadir di sana. Pada kesempatan lain saya bertemu dengan teman yang sama di Masjid Biru. Waktu itu hari Sabtu siang, saat shalat zuhur. Masjid besar itu penuh manusia. Menyenangkan sekali. Masjid itu besar dan megah. Berhiaskan arabesk berwarna biru terang. Tiang-tiangnya raksasa. Orang-tua saya datang pada tiga minggu terakhir saya di sana. Mereka harus melihat apa-apa yang saya ceritakan lewat surat, dan mereka harus belajar sedikit banyak tentang Islam karena di surat saya katakan, "Hai, sekarang saya seorang Muslim." Bahkan sebelum saya ke Turki, ketika saya menyatakan diri seorang Muslim, ibu saya berkata, "Selama engkau menyembah Tuhan yang sama dengan yang kami sembah, saya tidak melarang apa pun yang kau lakukan." Begitulah sampai saat ini. Ketika saya berada di Turki, semua orang adalah orang Turki --semua serba seragam. Tetapi ketika tiba di New York dan pergi ke sebuah masjid, sangat menakjubkan untuk menyaksikan berbagai suku dan kebangsaan yang berlainan berkumpul bersama. Saya tumbuh di masyarakat pedesaan. Seperti yang saya katakan, tak ada orang kulit hitam dalam masyarakat saya, tidak ada orang Asia. Islam benar-benar mendewasakan saya dalam masalah ini. Ketika saya kembali [dari Turki], saya melanjutkan sekolah SMA. Saya telah memilih nama depan saya, saya mengubahnya dari David menjadi Davud, tetapi saya tidak memberitahu orang-orang, karena mereka telah mengenal saya sebagai David selama hidup saya. Beberapa orang mengira itu hanya bentuk lain dari nama lama saya. Tetapi orang-orang yang mengenal saya dengan baik mengetahui bahwa saya seorang Muslim dan cukup mengerti apa arti perubahan nama itu. Saya baru memasuki usia enam belas dan baru belajar menyetir. Saya tahu ada sebuah masjid golongan Syi'ah di sekitar sini, tetapi saya mempunyai prasangka terhadap orang-orang Syi'ah. Saya tidak ingin pergi ke sana. Saya tidak tahu tentang masjid yang lain karena masjid-masjid itu terdaftar di buku telepon di bawah judul "organisasi keagamaan", bukan di bawah "gereja Islam" seperti masjid Syi'ah itu. Ironisnya, ada seorang Muslim terkemuka dari Allentown tewas dalam kecelakaan, dan surat kabar menyebutkan di mana penguburannya akan dilangsungkan, di sebuah masjid. Saya berkata, "Wouw di manakah ini?" Saya tidak tahu letak tempat tersebut. Dua minggu sesudah itu saya pergi melakukan shalat Jumat saya yang pertama. Saya mengenakan pakaian Islam, pakaian Islam Turki --celana lebar, dengan pasak rendah. Saya menambahkan ikat kepala pada peci saya. Saya masuk dan bertanya di mana saya dapat mengambil air wudhu, dan mereka menunjukkan tempatnya. Lalu saya duduk dan mengikuti shalat Jumat. Tak lama kemudian orang-orang datang menghampiri saya dan berkata, Hai, saya fulan dan fulan; senang berjumpa Anda, dan persahabatan terjalin dari sana. Saya ingin mempelajari ilmu hukum Islam dan menjadi seorang faqih. Itulah cita-cita saya, insyaallah. Itulah sebabnya saya ingin belajar bahasa Arab-agar saya mempunyai alat untuk mempelajari hukum Islam. Saya telah mendaftar di American University di Kairo, yang merupakan universitas Amerika yang diakui. Mereka mengkhususkan pada studi Arab dan Timur Tengah. Saya sedang menanti surat pemberitahuan penerimaan. Jika diterima, saya pasti pergi. |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Hak cipta © dicadangkan. |