ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
| |
|
BEBERAPA CATATAN KRITIS TENTANG BUKU: FILSAFAT AJARAN ISLAM Oleh: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Disampaikan pada Tasyakur Seabad 1896-1996 Karya Agung Mirza Ghulam Ahmad FILSAFAT AJARAN ISLAM Jemaat Ahmadiyah Indonesia Gedung Graha Sabha Pramana, Auditorium UGM 6 Januari 1997 I 1.Buku tersebut lebih banyak berbicara tentang filsafat etika dalam dataran ontologis dan aksiologis. Wacana filosofis -etis dalam konteks critical studies on morality yang bersifat epistemologis- sebagaimana wacana filsafat kontemporer -memang belum banyak disentuh. Untuk menjaga relevansi "Filsafat Islam" (dalam tanda kutip) dengan mode of thought masyarakat kontemporer, studi kritis secara epistemologis amatlah bermanfaat untuk ditindak-lanjuti. Secara linguistik, sebaik apapun karya yang dihasilkan oleh manusia; ia hanya relevan dan aktual pada zamannya, tetapi bisa menjadi out of date disaat sebuah karya tulis berada pada zaman lain yang sudah mengalami perubahan. (Silahkan baca; Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama terbitan Paramadina, 1996). 2.Sebagaimana dikatakan dalam kata pengantar buku, isi buku tersebut berusaha untuk tidak 'menyentuh' wilayah kajian etika di luar Islam, walaupun buku tersebut banyak bersandar pada Al-Qur'an. Penulis buku tersebut lupa, bahwa Al-Qur'an sendiri banyak memberikan 'kecaman' secara kritis terhadap pandangan etis yang tidak Islami, walaupun dikemukakan secara etis. Untuk point terakhir ini tampaknya cenderung dinafikan oleh penulis buku. Keinginan untuk meraih 'simpati' tidaklah mesti menqhilanqkan sikap kritis terhadap 'faham' lain, baqaimanapun corak faham tersebut adanya. 3.Dalam kata pengantar buku juga dinyatakan bahwa kehadiran buku tersebut banyak menarik perhatian pendengar yang hadir ketika isi buku tersebut dibacakan. Untuk hal ini perlu pula kita cermati bahwa yang membacakan isi buku tersebut bukanlah penulis sendiri Mirza Ghulam Ahmad, melainkan murid beliau yang secara khusus ditunjuk untuk membacakannya. Isi buku tersebut memang menjadi lebih menarik bila didukung oleh gaya orasi dari penutur langsung dan dalam bahasa aslinya (bahasa Urdu). Ketertarikan di sini mencakup isi buku, gaya orator dan bahasa yang di gunakan oleh penutur sesuai dengan rasa bahasa pendengarnya. Perlu diberi catatan kritis bahwa isi pidato yang sederhana juga bisa memukau pendengar bila menggunakan gaya bahasa yang baik, seperti gaya oratornya KH Zainuddin MZ. Dalam hal ini, ulasan pengantar buku dinilai agak berlebihan. Daya tarik buku tersebut hanya tinggal pada substansi bahasan, bukan lagi dalam orasi penyampaian maupun bahasa yang sudah diterjemahkan. Sebagaimana kitab suci Al-Qur'an daya tariknya secara subyektif amat bergantung pada cara orang mengapresiasi bukan pada kandungan isi Al-Qur'an semata. Al-Qur'an hanya akan menjadi petunjuk bagi orang yang sudah bertaqwa dan memiliki kebersihan jiwa. Orang yang tidak bertaqwa dan memiliki jiwa yang kotor, kitab suci Al-Qur'an hanya dipandang sebagai kumpulan lembaran tulisan belaka. Demikianlah dalam membaca buku Filsafat Ajaran Islam, butuh sikap apresiatif tersendiri untuk dapat menikmati sekaligus mengkritisi isinya. 4.Tentang pernyataan dalam buku tersebut bahwa penulis mendapat 'wahyu' (baca: wahyu kecil/ilham) berupa makrifat atau irfan tampaknya masih bisa diakomodasi, sebagaimana ungkapan Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Munqidz min Al-Dlalal maupun ungkapan para sufi lainnya semacam Al-Hallaj, Ibnu 'Arabi dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kita bisa memposisikan penulis buku: Mirza Ghulam Ahmad sebagai pembaharu/Sufi, bukan sebagai Nabi. Bagaimanapun klaim sebagai Nabi cenderung terjebak pada truth claim yang kontroversial, Karena penulis masih bersandar pada Al-Qur'an-tidak membawa Al-Qur'an baru- maka posisi penulis masih bersifat semi-Nabi (sufi/pembaharu). Beberapa kelemahan yang terkandung dalam isi buku, menunjukkan penulis bukan Nabi yang seutuhnya. Maka, tidaklah laik bila karya Filsafat Ajaran Islam dianggap sebagai the Holy Book, paling-paling sebagai text-book atau book saja. Dan sejalan dengan kritik Prof. Dr. Mohammed Arkoun, penggunaan titel Masih Mau'ud, Imam Mahdi dan a.s. (alaih - as-Salam) yang cenderung pada truth claim laik untuk dikritisi, khawatir hanya sebagai alat legitimasi. Lepas dari itu semua, sumbangan Mirza Ghulam Ahmad, menarik untuk dikembangkan. Ahmadiyah adalah nama ajaran dan gerakan yang ditokohi oleh Mirza Gulam Ahmad (1839-1908) di Qodian, Punjab, India. Ajaran dan gerakan ini, sebagaimana ajaran Babiyyah dan Baha'iyyah yang timbul di Persia yang dicetuskan oleh 'Ali Muhammad Syirazi (wafat tahun 1850) dan Mirza Husein 'Ali (1817-1892), oleh kalangan Muslim Sunni Ortodoks dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran-ajaran Ahmadiyah yang umumnya dianggap menyimpang itu adalah, terutama mengenahi tiga hal, (1) penyalipan Nabi Isa AS, (2) Al-Mahdi yang dijanjikan akan muncul di akhir zaman, dan (3) tentang penghapusan kewajiban berjihad. Ahmadiyah berpendapat bahwa Nabi Isa as tidak meninggal di kayu salib, melainkan setelah kebangkitannya kembali dia berhijrah ke Kasymir untuk mengajarkan Injil. Di Kasymir inilah dia meninggal dalam usia 120 tahun dan makamnya hingga sekarang, menurut mereka, masih ada di Srinagar. Mengenai Al-Mahdi, Gulam Ahmad dinyatakan telah memproklamasikan dirinya sendiri sebagai Al-Mahdi tersebut dan bahkan sebagai inkarnasi Isa dan Muhammad bagi umat Muslim, disamping sebagai avatar (inkarnasi) Krishna bagi umat Hindu dan Mesio Dorthami bagi umat Zoroaster. Menurut pendapat Ahmadiyyah , kepercayaanya terhadap dirinya sebagai Al-Mahdi ini termasuk salah satu rukun iman karena (1) kedatangannya di awal abad ke-14 H diramalkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, dan (2) dia menyatakan dirinya telah menerima wahyu dari Allah SWT sejak tahun 1889. Alasan kedua itulah yang akhirnya menyebabka dirinya diakuai oleh para penganutnya sebagai Nabi. Beberapa saat setelah Gulam Ahmad meninggal tahun 1908, gerakan ini terpecah menjadi dua aliran : Qadiani dan Lahore, yang pertama tetap mengakui Gulam Ahmad sebagai Nabi sedangkan yang kedua hanya mengakuinya sebagai pembaharu (mujadid). |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |