Tasyakur Seabad 1896-1996

Indeks Islam | Indeks Ahmadiyyah | Indeks Qadian | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

     BEBERAPA POKOK PIKIRAN HAZRAT MIRZA GHULAM AHMAD
     DALAM BUKU FILSAFAT AJARAN ISLAM
     
     Oleh : H. Djoko Prabowo Saebani SH
     (Rektor Universitas Cokroaminoto Yogyakarta)
     
     Disampaikan pada
     Tasyakur Seabad 1896-1996 Karya Agung
     Mirza Ghulam Ahmad
     FILSAFAT AJARAN ISLAM
     Jemaat Ahmadiyah Indonesia
     Gedung Graha Sabha Pramana, Auditorium UGM
     6 Januari 1997
     
     I. Pendahuluan
     
     Memahami isi sebuah buku, berarti mencoba  menelusuri  makna
     yang  terkandung  di  dalam  uraian buku tersebut, sekaligus
     berusaha mengerti jalan pikiran dari si penulis. Sebab makna
     isi  dari  sebuah buku tidak hanya apa yang tertulis, tetapi
     banyak   sekali   nuansa   pengertian    yang    membutuhkan
     interpretasi  yang  dilatar  belakangi  oleh  jalan  pikiran
     penulisnya.
     
     Buku Filsafat Ajaran Islam yang ditulis  oleh  Hazrat  Mirza
     Ghulam  Ahmad,  merupakan  buku yang relatif baru buat kami,
     sebab persentuhan kami dengan karya-karya beliau tidak cukup
     banyak,  disamping bidang telaah filsafat adalah bidang yang
     cukup berat,  karya  beliaupun  membutuhkan  pemikiran  yang
     serius  dan  perenungan  yang  dalam  untuk  dapat menangkap
     esensi yang terkandung didalamnya.
     
     Sehingga dengan segala keterbatasan yang ada,  kami  mencoba
     untuk mengungkapkan beberapa pokok pikiran beliau. Untuk itu
     kami akan membedah beberapa bagian saja dari  buku  Filsafat
     Ajaran  Islam, dengan pertimbangan waktu yang tersedia untuk
     menguraikan seluruh isi buku dengan segala saran dan  kritik
     di dalamnya cukup terbatas, sehinggga harapan kami pembicara
     lain  akan  melengkapi  beberapa  bagian  yang  belun   kami
     singgung.
     
     II. Manusia Dalam Perspektif Qur'ani
     
     Jalan  pikiran  yang  dipakai dalam tulisan ini akan nencoba
     nenguraikan pokok-pokok pikiran yang terkandung  dalam  buku
     Filsafat  Ajaran  Islam  melalui pendekatan tematik, artinya
     kami akan melihat tema sentral apa sebagai pokok bahasannya.
     Buku  yang  ditulis  oleh  Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai
     kumpulan makalah yang disampaikannya pada  acara  Konferensi
     Agama-agana  Besar  di  balaikota Lahore tahun 1896, terdiri
     dari lima sub pokok bahasan. Dari lima sub pokok bahasan ini
     yang  menjadi  inti  pembahasannya adalah 'Manusia' dan yang
     menarik, dari seluruh  uraiannya  selalu  berlandaskan  pada
     Firman  Allah  SWT yang tertulis dalam Kitab Suci Al-Qur'an,
     seperti kata beliau dalam halaman 1 bukunya:
     
     "Sebelum  saya  mengawali  uraian  saya,   seyogianya   saya
     permaklumkan  bahwa saya anggap sebagai satu keharusan bahwa
     segala sesuatu yang hendak saya ketengahkan nanti, akan saya
     dasarkan  pada Al Qur'an Suci, Kalam Suci Allah Ta'ala. Pada
     hemat saya sungguh  penting  sekali  bahwa  setiap  penganut
     salah  satu  kitab, yang olehnya dianggap sebagai kitab dari
     Tuhan,  hendaknya  menerangkan  tiap-tiap   masalah   dengan
     mengambil  keterangan-keterangan  dari  kitab  itu  juga dan
     memelihara ruang lingkup hak pembelaannya hendaknya ia tidak
     memperluas   jangkauaannya   demikian   jauh   sehingga   ia
     seakan-akan mengarang suatu kitab baru."
     
     Dari pernyataan  di  atas,  jelas  bahwa  analisis  filsafat
     Hazrat  Mirza  Ghulam  Ahmad  bersumber  dari  Kitab Suci Al
     Qur'an. Seperti juga filosof-filosof muslim abad pertengahan
     (zaman  skolastik)  yang hanyak menggunakan sumber informasi
     utama dan dalil-dalil dalam menganalisa  berbagai  kenyataan
     menggunakan  Firman Tuhan dalam Kitab Suci Al-Qur'an sebagai
     postulat (asumsi dasar), tetapi pertedaan yang nyata  antara
     nereka  dengan  Hazrat  Mirza  Ghulam Ahmad adalah, sebagian
     besar  filosof-filosof  tersebut  sangat  dipengaruhi   oleh
     metode yang digunakan oleh Aristoteles.
     
     Semangat  dan  keyakinan  yang  begitu  kuat pada diri Mirza
     bahwa Kitab Suci Al-Qur'an merupakan  kitab  yang  paripurna
     dan  kesempurnaannya  tidak  diragukan  lagi, menyebabkan ia
     dalam melihat satu persoalan  selalu  mengembalikannya  pada
     sumber Al Qur'an dan penjelasan dari persoalan tersebut juga
     menggunakan beberapa ayat dalam Al Qur'an yang sesuai dengan
     masalah  pokok  pada persoalan tersebut. Kaitan-kaitan antar
     ayat dalam menjawab berbagai  persoalan  yang  muncul  dalam
     realitas  hidup  manusia,  membutuhkan kemampuan yang tinggi
     dan integritas imam yang kuat, sebab kejelian dalam  melihat
     berbagai   kaitan   antar  ayat  akan  menentukan  ketajaman
     analisis dan Mirza memilikinya, sehingga buku  yang  ditulis
     dari   kumpulan  artikelnya  ini  banyak  mengupas  filsafat
     manusia, yaitu apa itu  manusia,  apa  makna  keberadaannya,
     tujuan  hidupnya,  serta  hubungannya  dengan Sang Pencipta.
     Dari kesimpulan analisisnya  inilah  Mirza  melihat  manusia
     dari perspektif Qur'ani.
     
     III. Manusia dan Ruhnya.
     
     Uraian  tentang manusia dengan berbagai dimensinya akan kami
     coba melihat hal paling rahasia dimiliki oleh manusia  yaitu
     ruh-nya
     
     Sebab  persoalan  ruh  hampir  sebagian  besar  ulana tidak
     pernah membahasnya,  sehingga  pendapat  Mirza  tentang  ruh
     cukup    kontroversial.    Kontroversial,   karena   tradisi
     dikalangan umat  islam  selama  ini  cenderung  menghindari
     untuk   mendiskusikan   tentang  apa  itu  ruh  dan  selalu
     dikembalikan pada pernyataan  bahwa  urusan  ruh  adalah
     urusan dan rahasia Tuhan.
     
     Ruh   menurut   Mirza   adalah  mahluk  Tuhan  juga,  beliau
     nengatakan; "Sesungguhnya ruh tidak jatuh  dari  langit  dan
     masuk  ke  dalam kandungan wanita hamil, melainkan ia adalah
     suatu nur  (cahaya)  yang  justru  terkandung  dalam  nuftah
     (sperma/mani)   secara  tersembunyi  dan  semakin  bercahaya
     seiring perkembangan tubuh (embrio). Kalam suci Allah Ta'ala
     menberikan  pengertian  kepada  kita  bahwa ruh berasal dari
     struktur yang memang sudah terbentuk dari  nuftah  di  dalam
     rahim.  Beliau  mendasarkan  pendapatnya dari ayat Al-Qur'an
     surat Al-Mukminun ayat  15.  Yakni  "kemudian  kami  jadikan
     tubuh yang terwujud dalam rahim ibu, dalam bentuk lain serta
     menzahirkan lagi satu ciptaan lain dinamai  ruh.  Dan  Tuhan
     Maha   Beberkah   serta   tidak   ada   pencipta  lain  yang
     menyamai-Nya." (5: 9-10)
     
     Pertalian antara ruh  dan  tubuh  sangat  erat,  ruh  secara
     perlahan-lahan  muncul  bersamaan dengan perkembangan tubuh.
     Ruh adalah cahaya yang halus tumbuh  dari  dalam  tubuh  dan
     dibesarkan  dalam rahin. Sebab apabila ruh turun dari langit
     secara terpisah dengan tubuh, maka hal itu akan bertentangan
     dengan  hukum  alam. Beliau mengambil analogi bahwa di dalan
     perut manusia berkembang biak juga  cacing,  kuman,  bakteri
     dsb.  Semua  hal yang berkembang biak di dalam perut manusia
     tersebut tidak datang dari langit. Sehingga dari analogi ini
     disimpulkan bahwa ruh itu adalah mahluk Tuhan.
     
     Kesimpulan yang berani dari Mirza untuk mengatakan bahwa ruh
     adalah mahluk Tuhan, berimplikasi bahwa  ruh  pada  dasarnya
     dapat  diselidiki  dan  dibicarakan secara terbuka, sehingga
     pernyataan yang mengatakan bahwa ruh  adalah  rahasia  Allah
     secara   langsung   digugat   keabsahannya.   Terlepas  dari
     kebenaran  berbagai  argumentasi,  tradisi   berpikir   yang
     dikemukakan oleh Mirza sangat revolusioner apabila dikaitkan
     dengan cara berpikir sebagian besar ummat  Islam  di  dunia.
     Tradisi  berpikir  yang  rasionalistik  dan revolusioner ini
     memang pernah nuncul di kalangan filosof Islam di  Andalusia
     dan   Cordova   yaitu   kelompok   Mu'tajilah   pada   zaman
     pemerintahan Abbasyah dan salah seorang tokohnya adalah Ibnu
     Rusdy.
     
     Kesimpulan  tentang  ruh  sebagai  mahluk,  tentu saja masih
     terbuka untuk diperdebatkan, tentu saja salah satu persoalan
     didalamnya,  bagaimana  ruh itu diturunkan Allah. Sebab dari
     sejak  zaman  skolastik  Islam,   terutama   dari   kelompok
     Mu'tajilah   iklim   berdiskusi   secara   terbuka  terhadap
     persoalan-persoalan mendasar tidak lagi menjadi  tradisi  di
     kalangan cendekiawan Muslim atau para ulama Islam.
     
     IV. Ruh, Nafsu dan Tingkah-Laku Manusia
     
     Ruh  yang  sudah  ada di dalam tubuh manusia, gerak-geriknya
     tergantung pada tubuh, kemanapun tubuh ini dibawa  ruh  akan
     mengikutinya,  sehingga keadaan jasad akan mempengaruhi pula
     keadaan rohani, demikian pula sebaliknya (hal. 12). Di dalam
     diri  manusia  di  dapati  tiga  nafs, tiga nafs inilah yang
     melandasi  tingkah-laku  setiap  manusia.   Sumber   tentang
     pembagian  nafs ini oleh Mirza diambilkan dari beberapa ayat
     dalam Al-Qur'an, diantaranya, yakni, adalah ciri  khas  nafs
     ammarah  bahwa  ia  membawa  manusia  kepada  keburukan yang
     bertentangan dengan kesempurnaannya serta bertolak  belakang
     dari  keadaan  akhlaknya  dan ia menginginkan manusia supaya
     berjalan pada jalan yang tidak baik dan buruk (Yusuf :  54),
     yakni  aku  bersumpah  dengan  nafs  (jiwa)  yang  menyesali
     dirinya   sendiri   atas   perbuatan   buruk   dan    setiap
     pelanggarannya  (Al-Qiyamah  :  3),  yakni,  hai  jiwa  yang
     tenteram dan mendapat ketenteraman  dari  Tuhan!  Kembalilah
     kepada  Rabb-mu!  Kamu  senang  kepada-Nya  dan  Dia  senang
     kepadamu.  Maka  bergabunglah  dengan   hamba-hamba-Ku   dan
     masuklah ke dalam surga-Ku (Al-Fajr : 28-31), (hal. 4-6).
     
     Dari  ayat-ayat  ini,  dapat disimpulkan bahwa Mirza membagi
     nafs manusia nenjadi tiga yaitu; nafs amarah,  nafs  lawamah
     dan  nafs  muthmainnah,  dari  ketiga  nafs  ini  lahir tiga
     keadaan jiwa manusia yang tercermin dalam  tingkah  lakunya.
     Tiga   keadaan   jiwa   tersebut   adalah;  keadaan  thabi'i
     (pembawaan  alami),  keadaan  akhlaki  dan  keadaan   rohani
     manusia.
     
     Keadaan  thabi'i  manusia  bersumber  dari  nafs  amarah, ia
     merupakan  dorongan-dorongan  jasmani/biologis   yang   juga
     dimiliki  oleh  hewan  dan  tumbuh-tumbuhan.  Seperti  telah
     dijelaskan di atas bahwa nafs amarah  akan  membawa  manusia
     kepada  keburukan, artinya manusia melakukan pelanggaran dan
     keburukan  merupakan  suatu  keadaan  yang  secara   alamiah
     menguasai   dirinya.   Seperti  halnya  makan-minun,  tidur,
     menunjukkan  emosi  dan  kebiasaan-kebiasaan  lainnya  tidak
     ubahnya   seperti   hewan,  karena  mereka  hanya  mengikuti
     dorongan keadaan thabi'inya. Al-Qur'an Suci  sangat  menaruh
     perhatian terhadap perbaikan keadaan-keadaan thabi'i manusia
     dan   mencantumkan   petunjuk-petunjuk   berkenaan   dengan;
     tertawa,  menangis, makan, minun, berpakaian, tidur, bicara,
     diam,   kawin,   membujang,   berjalan,    menetap,    serta
     mensyaratkan  mandi dsbnya untuk kebersihan lahiriah. Begitu
     pula ketentuan-ketentuan khusus dalam  keadaan  sakit-sakit,
     dan  dalam keadaan sehat (hal. 12). Dalam bahasa sehari-hari
     keadaan thabi'i; perilakunya selalu mengikuti dorongan  hawa
     nafsunya.
     
     Tetapi  perlu  diingat  bahwa  keadaan  thabi'i manusia yang
     bersumber dari  nafs  amarah  bukan  sesuatu  yang  terpisah
     dengan  keadaan akhlaki yang bersumber dari nafs lawamah dan
     keadaan  akhlakipun  bukan  sesuatu  yang  terpisah   dengan
     keadaan-keadaan rohani yang melahirkan akhlak fadhilah.
     
     Di  dalam  buku Filsafat Ajaran Islam ini Mirza secara rinci
     menjelaskan hubungan-hubungan antar tiga  keadaan  ini  agar
     manusia  dapat  mencapai  kesejatian  dirinya  sebagai hamba
     Allah,  yaitu  perubahan  dari  keadaan  thabi'i  menuju  ke
     keadaan  rohani. Beliau membagi tiga perbaikan sesuai dengan
     tiga keadaan jiwa manusia.
     
     Pertama, perbaikan pertama adalah perbaikan keadaan  thabi'i
     yang  paling  rendah,  perbaikan  ini  merupakan bagian dari
     akhlak  yang  disebut  adab  (sopan-santun),   yaitu   suatu
     sopan-santun  yang kalau diterapkan orang-orang biadab dapat
     menjadi normal dalam perkara-perkara  alami  seperti  makan,
     minun,  kawin  dan tatacara peradaban lainnya misalnya salah
     satu   contoh   untuk   pengaturan   perkawinan,   Al-Qur'an
     menguraikannya  dalam  surat  An-Nisa:  24  (pada  hal. 28),
     artinya: yakni, diharamkan atas kamu (mengawini)  ibu-ibumu,
     demikian   pula   anak-anak   perempuammu,   saudara-saudara
     perenpuammu,     saudara-saudara     perempuan      bapakmu,
     saudara-saudara  perempuan ibumu, anak-anak perempuan sudara
     laki-lakimu, anak-anak  perempuan  saudara  perempuanmu  dan
     ibu-ibu    yang    menyusuimu,   saudara-saudara   perempuan
     sepesusuanmu, ibu-ibu isteri-isterimu,  dan  anak-anak  tiri
     perempuan  dari  isteri-isterimu  yang telah kamu gauli, dan
     apabila kamu belum menggauli mereka  maka,  tidak  ada  dosa
     bagimu.  Dan  isteri-isteri  anak  lelaki  dari  sulbimu dan
     begitu pula dua saudara perempuan pada satu waktu. Semua hal
     yang  sudah  biasa  kamu  lakukan dimasa lampau itu sekarang
     diharamkan atasmu.
     
     Contoh  diatas  adalah  salah  satu   dari   sekian   banyak
     persoalan-persoalan yang mengatur keadaan thabi'i manusia di
     dalam Al- Qur'an agar  mereka  memiliki  sopan-santun  dalam
     tatacara perkawinan. Contoh lain misalnya dalam hal tatacara
     makan, seperti diharamkannya babi, bangkai dan darah.
     
     Kedua, perbaikan keadaan akhlaki manusia terdiri  dari  dua,
     yaitu:  akhlak yang berkaitan dengan meninggalkan kejahatan,
     terdiri dari:
     
     1.Kesucian Farji
     
     Ahklak ini dinamakan ihshon yaitu kesucian diri yang ada
     kaitannya   dengan  kemampuan  kembang  biak  laki-laki  dan
     perempuan  Seorang  laki-laki  dan  perempuan   yang   mampu
     mencegah  diri  dari  perbuatan  zina maulpun yang mendekati
     itu, disebut muhshin untuk  laki-laki  dan  muhshinah  untuk
     perempuan.  Yang  menarik  dari  uraian  ini dikatakan bahwa
     ihshon itu dicapai oleh seseorang apabila di  dalam  dirinya
     terdapat  kemampuan  untuk  melakukan  hubungan seks sebagai
     pembawaan alaminya, dan memiliki  kesempatan  serta  peluang
     untuk  melakukannya,  tetapi  dia  mampu  untuk menahan diri
     sehingga terhindar dari perbuatan  tercela  tersebut.  Sebab
     seorang  anak kecil, orang yang lemah sahwat, orang dikebiri
     tidak memiliki kemampuan untuk melakukan  hubungan  seksual,
     maka  perbuatannya  untuk  tidak melakukan hubungan seksual,
     tidak dapat dikatakan sebagai akhlak ihshon.
     
     2.Kejujuran
     
     Orang-orang yang tidak suka merugikan dan merampas harta
     orang  lain  disebut  'amanah."  Amanah inipun dapat dicapai
     apabila ia memiliki kemampuan, kesempatan dan kekuatan untuk
     merampas  hak orang lain atau berlaku tidak jujur pada orang
     lain, tetapi ia tidak melakukan hal itu sebab dia takut akan
     ketentuan  Allah.  Karena  seorang  bayi  yang tidak berbuat
     meranpas hak orang lain tidak dapat dikatakan amanah,  sebab
     ia melakukannya tidak dengan kesadaran.
     
     3.Tidak Jail dan Bersikap Rukun
     
     4.Ucapan yang Sopan dan Tutur Kata yang Baik
     
     Semua hal tersebut di atas dilakuken dengan kesadaran, sebab
     tanpa kesadaran dan  kemampuan  marusia  tidak  akan  pernah
     mencapai keadaan akhlaki.
     
     Ketiga,  adalah  perbaikan keadaan rohani manusia, perbaikan
     keadaan rohani ini berkaitan dengan nafs  muthmainnah.  Nafs
     muthmainnah  mengantarkan manusia dari derajat akhlak sampai
     pada derajat  kedekatan  dengan  Tuhan.  Beliau  menjelaskan
     bahwa  keadaan  rohani  tertinggi  dalam  kehidupan  manusia
     adalah memperoleh ketentraman bersama  Allah.  Seperti  kata
     beliau,   inilah  keadaan  yang  dengan  kata  lain  disebut
     kehidupan  surgawi.  Dalam  keadaan  itu  manusia   langsung
     mendapat   surga   sebagai  ganjaran  atas  kejujuran  hati,
     ketulusan dan kesetiaannya yang sempurna.  Orang-orang  lain
     masih  mengharapkan  surga  yang dijanjikan, sedangkan orang
     yang memiliki  derajat  rohani  tertinggi  ini  telah  masuh
     kedalam surga yang sudah menjadi kenyataan (hal. 83).
     
     Pada  derajat  ini,  manusia  mulai menyesali perbuatan yang
     dilakukannya oleh nafs lawanah, dorongan napsu  mulai  padam
     dengan  sendirinya,  telah  terjadi  perubahan  revolusioner
     dalam jiwa manusia. Derajat  ini  adalah  suatu  upaya  yang
     harus diraih oleh setiap manusia, karena pada derajat inilah
     manusia menyadari bahwa Tuhan benar-benar ada,  bagi  setiap
     akibat  ada  penvebabnya,  dan  bagi  setiap  gerak ada satu
     penggeraknya dan untuk meraih setiap ilmu,  ada  satu  jalan
     yang dinamakan sirathal mustaqim.
     
     Pada  derajat ketiga keadaan rohani yang sempurna, jiwa kita
     sudah  begitu  dekat  dengan  Tuhan,  sehingga  jalan  untuk
     mengenalnya  menjadi terbuka. Sebab pada tingkat ini seluruh
     hidup, mati dan pengorbanan kita hanya untuk  Tuhan  semata.
     Logika,  filsafat dan rancangan-rancangan lainnya tidak akan
     pernah  mengantarkan  kita  pada  perjumpaan  dengan  Tuhan.
     Karena  jalan  untuk  menuju Tuhan harus melalui perantaraan
     Tuhan sendiri, beliau berkata: Kita sama sekali tidak  dapat
     meraih  Sang  Hayyul  Qayyum (Tuhan Yang Maha Hidup dan Maha
     Tegak) dengan hanya melalu- upaya-upaya kita sendiri. Justru
     pada   jalan   ini  satu-satunya  sirathal  mustaqim  ialah,
     pertama-tama kita harus menyerahkan kehidupan  kita  beserta
     segala  kemampuan  kita  pada  jalan  Allah, kemudiaan tetap
     tekun memanjatkan doa untuk meraih perjumpaan dengan  Allah,
     agar  kita  dapat  menjumnpai Tuhan dengan perantaraan Tuhan
     sendiri (hal. 86).
     
     V. Penutup
     
     Kesimpulan
     
     Analisis  filsafat  Mirza  tentang  manusia  sebagai   thema
     utamanya,   memadukan   ketajaman   analisis   rasional  dan
     kebeningan jiwa yang dilandasi  oleh  iman  dan  kepercayaan
     yang  kuat  bahwa Agama Islam dengan Kitab Sucinya Al-Qur'an
     adalah ajaran yang sempurna  yang  benar-benar  datang  dari
     Allah  swt.  Gaya  berpikirnya  merupakan  perpaduan  antara
     seorang filosof  dan  seorang  sufi.  Dari  uraiannya  jelas
     sekali  bahwa  keberadaan  manusia  dan  tujuan  akhir  dari
     perjalanan  hidupnya  yaitu  menyembah  Tuhan   dan   meraih
     makrifat Allah Taala. Sumber kesimpulan ini beliau sandarkan
     pada firman Allah dalam surat Al-Imran dan Ar-Rum:
     
     Artinya: yakni, agama yang  di  dalamnya  terdapat  makrifat
     yang  benar tentang Tuhan dan penyembahan terhadap-Nya dalam
     bentuk yang terbaik, adalah Islam  (3:20)  Dan  Islam  telah
     ditanamkan  dalam  fitrat  manusia.  Dan  Allah Ta'ala telah
     menciptakan  manusia  dalam  keadaan   Islam   serta   telah
     menciptakannya untuk Islam (30:31), (hal. 126)
     
     Dengan  demikian  keberadaan manusia dengan segala peradaban
     dan   sejarah   yang   dibangunnya,    adalah    manifestasi
     kerinduannya   untuk  kembali  kepada  Allah  swt,  sehingga
     seluruh sejarah dan peradaban  manusia  seharusnya  dibangun
     berlandaskan   nafs  muthmainnah,  sebab  bila  peradabannya
     dibangun pada landasan nafs amarah dan lawamah, maka  secara
     sistematis   manusia  menjauhkan  dirinya  dari  Allah  swt,
     berangkat  dari  konsep  dasar  ini,  Kalimat  Tauhid   yang
     merupakan   cermin  dari  persaksian  kita  sebagai  seorang
     'hamba' tetapi juga  sekaligus  sebagai  seorang  'khalifah'
     merupakan suatu sistem dimana bangunan peradaban dan sejarah
     ditegakkan di  atasnya.  Dikatakan  sebagai  sebuah  sistem
     artinya  bahwa  seluruh  tatanan  kehidupan  harus merupakan
     realisasi dari Kalimat Tauhid tersebut.
     
     Kritik dan Saran,
     
     Pertama kritik metodologi, analisis  dalam  buku  ini  tidak
     mencerminkan  konsistensi  alat  yang digunakan. Pada bagian
     analisis tentang ruh misalnya,  Mirza  menggunakan  analisis
     sebab-akibat  sebagai  bentuk  dari  penggunaan akal pikiran
     dalam  menjelaskan  persoalan  tersebut,  beliau  mengatakan
     bahwa  ruh  tidak jatuh dari langit, sebab kalau ini terjadi
     maka bertentangan dengan hukun alam  yang  menggunakan  pola
     sebab-akibat. Tetapi di dalam pembahasan beliau tentang nafs
     muthmainnah, beliau mengatakan akal  pikiran,  filsafat  dan
     logika  serta  rencana-rencana  manusia  tidak  pernah mampu
     mencapai Tuhan, sebab siratal  mustaqin  adalah  menyerahkan
     diri  secara  total  kepada Allah Ta'ala. Dalam situasi ini,
     dimensi  rasional  menjadi  tidak  berfungsi  sama   sekali,
     padahal   Mirza  melakukan  analisis  ini  menggunakan  akal
     pikiran untuk  samspai  pada  suatu  kesimpulan  yang  tidak
     menceminkan  rasionalitas  tapi  pada  keyakinan  yang harus
     diterima demikian adanya.
     
     Kedua, adalah kritik konsepsi tentang surga yang  didapatkan
     manusia  di dunia ini, dari penjelasan yang diutarakan surga
     yang  dimaksudkan  adalah  bukan  'tempat'   tetapi   sebuah
     'situasi.'  Implikasi dari model interpretasi ini seharusnya
     berlaku juga pada  semua  hal  yang  dijanjikan  Allah  swt,
     misalnya;  Neraka,  pahala,  dosa,  siksa, siratal mustaqin,
     bidadari dsb.
     
     Ketiga, penggunaan bahasa dalam  penulisan  buku  ini  lebih
     bersifat  sastra  daripada ilmiah ketat. Kelebihannya memang
     bahasanya indah,  tetapi  penekanan  pada  keindahan  bahasa
     sering   tidak  memberikan  gambaran  yang  transparan  pada
     sesuatu yang ingin dijelaskan.
     
     Saran yang kami ajukan, sebaiknya materi yang cukup  menarik
     untuk  didiskusikan  dari karya-karya pemikiran Hazrat Mirza
     Ghulam  Ahmad  adalah  'metode  interpretasi'nya.  Sebab  di
     kalangan  umum  dikenal  salah  satu  kelebihan Mirza adalah
     ketajamannya interpretesinya terhadap Firman Tuhan yang  ada
     di  dalam  Kitab  Suci  Al-Qur'an  yang  dihubungkan  dengan
     kenyataan-kenyataan yang sedang dan yang akan terjadi.
     
     Yogyakarta, 3 Januari 1997

Indeks Islam | Indeks Ahmadiyyah | Indeks Qadian | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team