Islam di Simpang Jalan

oleh Muhammad Asad

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

2. SEMANGAT BARAT

Dalam pasal yang lalu telah diusahakan memberikan suatu garis besar dasar moral Islam. Kita sadari dengan mudah bahwa peradaban Islam adalah theokrasi dalam bentuk yang paling sempurna. Di sini pertimbangan religius mengatasi segala-galanya dan mendasari segala-galanya. Apabila kita bandingkan ini dengan sikap peradaban Barat, kita beroleh kesan yang kuat akan adanya perbedaan pandangan yang sangat besar.

Dalam kegiatan-kegiatan dan usaha-usahanya peradaban Barat dikuasi oleh pertimbangan kemanfaatan praktis dan ekspansi dinamik saja. Tujuannya selalu adalah membuat eksperimen-eksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan daripada hidup dan penemuan potensialitas-potensialitas hidup itu, tanpa memberikan sifat realitas moral sendiri pada hdiup ini. Bagi Eropa dan Amerika modern masalah arti dan tujuan hidup telah sejak lama kehilangan kepentingan praktisnya. Yang penting bagi mereka hanya pertanyaan bentuk-bentuk apa yang dapat diambil kehidupan dan apakah ummat manusia seperti itu sedang maju menuju penguasaan terhadap alam. Pertanyaan terakhir ini dijawab Barat modern dengan membenarkannya, dan dalam hal ini sejalan dengan Islam. Dalam al-Qur'an Allah berfirman perihal Adam dan ummatnya:

"Sesungguhnya Aku akan menempatkan khalifah di muka bumi," (Qur'an Suci, 2:30).

Ini jelas berarti bahwa manusia ditakdirkan untuk berkuasa dan maju di atas dunia. Tetapi ada perbedaan antara pandangan-pandangan Barat tentang sifat perkembangan manusia. Barat modern percaya akan kemungkinan perbaikan spiritual yang progresif dari ummat manusia dalam pengertian kolektifnya, dengan capaian-capaian praktis dan perkembangan pemikiran ilmiah. Tetapi pandangan Islam bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan konsepsi kemanusiaan Barat yang materialistik dinamik ini. Islam memandang kemungkinan-kemungkinan keseluruhan kolektif "ummat manusia" sebagai satu kuantitas statik; seperti sesuatu yang telah diletakkan secara definitifif seperti itu dalam susunan alam itu sendiri. Islam tidak pernah membenarkan bahwa alam insani --dalam pengertian supe-rindividualnya secara umum-- akan mengalami suatu proses perubahan maju dan perbaikan dalam cara yang serupa seperti tumbuhnya pohon: karena dasar dari alam insani itu, jiwa manusia, bukanlah kuantitas biologik. Kekeliruan fundamental dari pikiran Eropa modern, yang memandang pertambahan pengetahuan dan kesenangan material sebagai identik dengan perbaikan spiritual dan moral ummat manusia, hanya mungkin karena kesalahan fundamental yang sama dalam menerapkan hukum-hukum biologik pada fakta-fakta non-biologik. Pada akarnya terletak ketidakpercayaan Barat akan adanya apa yang kita gambarkan sebagai "ruh". Islam yang berdasar atas konsepsi kerohanian memandang ruh sebagai satu realitas yang tidak perlu diragukan atau diperdebatkan. Walaupun tidak mesti saling bertentangan, kemajuan material dan kemajuan spiritual tidaklah satu dan sama; walaupun saling berhubungan, keduanya adalah aspek-aspek dari hidup manusia yang jelas berbeda; dan dua bentuk kemajuan ini tidak mesti saling bergantung. Memang mungkin, tetapi tidak selalu keduanya harus berkembang serentak.

Sementara dengan jelas mengakui kemungkinan itu dan menegaskan dengan keras wajarnya kemajuan lahir, yaitu kemajuan material ummat manusia sebagai satu badan kolektif, sejelas itu pula Islam tidak membenarkan kemungkinan perbaikan spiritual manusia sebagai satu keseluruhan dengan jalan hasil-hasil capaian kolektifnya. Unsur dinamika dari perbaikan spiritual terbatas pada makhluk perorangan dan satu-satunya batas waktu yang mungkin dari perkembangan spiritual dan moral manusia adalah antara kelahiran dan matinya orang individu secara perseorangan. Kita tidak mungkin maju menuju kesempurnaan sebagai badan kolektif. Setiap orang harus berjuang menuju tujuan spiritual itu sebagai individu perseorangan; dan setiap orang harus mulai dan mengakhirinya dengan dirinya sendiri.

Pandangan individualistik yang tegas tentang tujuan spiritual manusia ini diimbangi dan dikuatkan secara langsung, dengan konsepsi sosial Islam yang keras serta kerjasama kemasyarakatan. Kewajiban masyarakat ialah mengatur kehidupan lahir dalam cara demikian rupa sehingga individu orang seorang mendapat halangan seminimal mungkin dan mendapat dorongan semaksimal mungkin dalam perjuangan spiritualnya. Inilah sebabnya, maka hukum Islam, syari'ah, berurusan dengan kehidupan manusia dalam segi spiritual maupun materialnya, dan keduanya dengan aspek-aspek individual dan aspek-aspek sosialnya.

Seperti telah dikatakan sebelumnya, konsepsi seperti itu hanya mungkin atas dasar kepercayaan positif akan adanya ruh manusia, dan sehubungan dengan itu kepercayaan akan tujuan transendental daripada kehidupan manusia. Tetapi bagi Barat modern dengan sikap mengabaikan dan setengah menolak adanya ruh, masalah-masalah tujuan hidup tidak lagi mengandung kepentingan praktis. Barat telah meninggalkan segala pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan kerohanian.

Apa yang kita namakan sikap religius selalu berdasarkan atas kepercayaan bahwa ada suatu hukum moral kerohanian yang mencakup segala-galanya dan bahwa makhluk manusia harus tunduk kepada perintah-perintah hukum moral itu. Peradaban Barat modern tidak mengakui perlunya penyerahan manusia kepada apapun kecuali tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial dan kebangsaan. Dewanya yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, comfort. Dan falsafahnya yang nyata dan hidup dilahirkan dalam kemauan untuk berkuasa demi untuk kekuasaan itu sendiri. Keduanya diwarisi dari peradaban Romawi Kuno.

Dengan menyebut peradaban Romawi --sekurang-kurangnya sedikit banyak-- secara genetik mewariskan materialisme Barat Modern, mungkin kedengaran ganjil bagi orang-orang yang telah mendengar perbandingan berulang-ulang tentang imperium Romawi dan imperium Islam. Bagaimana mungkin terdapat perbedaan yang tegas antara konsepsi Islam yang fundamental dan konsensi Barat modern apabila dalam jaman lampau ekspresi-ekspresi antara keduanya bersamaan? Jawabannya yang sederhana adalah: keduanya sebenarnya tidak bersamaan. Perbandingan populer yang demikian seringnya dikutip adalah salah satu dari lagu lama sejarah yang sumbang; dengan pengetahuan dangkal dan palsu anggapan itu mengisi pikiran generasi sekarang. Tidak ada persamaan antara imperium Islam dan imperium Romawi kecuali bahwa keduanya membentang di atas wilayah-wilayah luas dan bangsa-bangsa yang aneka ragam --karena selama kehidupannya kedua imperium ini diarahkan oleh tenaga-tenaga penggerak yang sama sekali berbeda dan barus memenuhi tujuan-tujuan historik yang sama sekali berbeda dan harus memenuhi tujuan-tujuan historik yang berbeda. Bahkan dalam segi terbentuknya kita melihat perbedaan yang besar sekali antara imperium Islam dan imperium Romawi. Imperium Romawi memerlukan waktu hampir seribu tahun untuk tumbuh ke arah keluasan wilayah yang besar dan ke arah kematangan politik; sedang imperium Islam meloncat dan tumbuh hingga kepenuhannya dalam waktu singkat yang hanya memakan waktu sekitar delapan puluh tahun. Tentang hal kemundurannya masing-masing, perbedaan itu malah lebih terang. Keruntuhan imperium Romawi, yang akhirnya ditutup sama sekali oleh migrasi bangsa-bangsa Hun dan Goth, hanya berlangsung selama satu abad saja --dan berlangsung demikian sempurnanya sehingga tidak ada sesuatu daripadanya yang tinggal kecuali karya kesusasteraan dan arsitektur. Imperium Byzantium, yang biasanya dianggap pewaris tunggal dari kebudayaan Romawi, hanyalah ahli waris sejauh ia terus memerintah atas sebagian dari wilayah yang dahulu merupakan bagian dari imperium Romawi. Struktur sosial dan organisasi politiknya hampir tidak berhubungan sama sekali. Sebaliknya imperium Islam, seperti tercakup dalam kekhalifahan, memang mengalami kerusakan dan perubahan bentuk dinasti dalam perjalanan kehidupannya yang panjang, tetapi strukturnya pada hakekatnya tetap sama. Serangan-serangan dari luar, bahkan serangan-serangan orang Mongol --yang jauh lebih ganas daripada yang dialami imperium Romawi di tangan bangsa-bangsa Hun dan Goth-- tidaklah sanggup untuk menggoncangkan organisasi kemasyarakatan dan kehidupan politik yang tidak terpatahkan dari imperium khalifah-khalifah, walaupun jelas bahwa hal itu turut menyebabkan kemacetan ekonomi dan intelektual pada masa-masa kemudiannya. Berlainan dengan masa satu abad yang diperlukan untuk kehancuran imperium Romawi, imperium Islam dari khalifah-khalifah itu memerlukan waktu hampir seribu tahun dalam kemunduran yang perlahan-lahan hingga kehancuran politik terakhir dengan lenyapnya Kekhalifahan Usmaniyah, diikuti oleh kebobrokan sosial yang sedang kita saksikan sekarang.

Segala ini memaksakan kesimpulan pada kita bahwa kekuatan batin dan kesehatan sosial dari dunia Islam lebih tinggi daripada segala yang pernah dialami ummat manusia hingga saat ini dengan jalan organisasi sosial. Bahkan peradaban Cina yang tiada ragu telah memperlihatkan kekuatan-kekuatan bertahan selama berabad-abad tidak dapat dipergunakan sebagai perbandingan di sini. Cina terletak di ujung satu benua yang hingga pada akhir abad yang lalu --yaitu sehingga kebangkitan Jepang modern-- berada di luar capaian kekuatan apapun; peperangan dengan orang Mongol pada jaman Jengis Khan dan keturunan-keturunannya hampir tidak menyentuh imperium Cina; tetapi imperium Islam membentang hingga tiga benua dan sepanjang masa itu dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhi dengan gaya hidup yang besar. Sejak permulaan sejarah bagian bumi yang dinamakan Timur Tengah dan Timur Dekat merupakan gunung api dari pertentangan-pertentangan tenaga-tenaga rasial dan kebudayaan; tetapi pertahanan organisasi Islam tidak terpadamkan, sekurang-kurangnya hingga pada saat ini. Kita tidak perlu mencari keterangan yang jauh tentang pemandangan yang mengagumkan ini: ajaran agama dari al-Qur'an-lah yang memberi dasar yang kuat, dan teladan hidup Nabi Muhammad saw.-lah yang menjadi pita baja yang melingkari struktur sosial yang agung itu. Imperium Romawi tidak memiliki unsur spiritual semacam itu untuk mempertahankan kesatuannya, dan oleh karena itu ia runtuh demikian cepat.

Tetapi masih ada satu perbedaan lagi antara kedua imperium lama itu. Sementara dalam imperium Islam tidak ada bangsa yang diistimewakan, dan kekuasaan ditundukkan kepada penyiaran idea yang dianggap oleh pembawa-pembawa suluhnya sebagai kebenaran agamawi yang luhur, idea yang mendasari imperium Romawi adalah penaklukan demi kekuasaan dan eksploitasi atas bangsa-bangsa lain untuk kepentingan negara induk sendiri.

Untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik bagi golongan yang diistimewakan, tidak ada keganasan yang terlalu buruk bagi bangsa Romawi, tidak ada ketidakadilan yang terlalu keji: "Keadilan Romawi" yang terkenal itu adalah keadilan bagi orang-orang Romawi saja. Jelaslah sikap semacam itu hanya mungkin atas dasar satu konsepsi hidup dan peradaban yang sama sekali materialistik --tentulah materialisme yang diperindah oleh rasa intelektual, tetapi betapapun juga tetap asing bagi segala nilai-nilai spiritual. Orang-orang Romawi dalam kenyataannya tidak pernah mengenal agama. Dewa-dewa mereka yang tradisional itu adalah tiruan samar dari mitologia Yunani, hanyalah roh-roh samar yang diterima dengan diam-diam untuk kepentingan konvensi sosial. Dewa-dewa itu sama sekali tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata. Apabila ditanyai, dewa-dewa itu harus memberikan orakel melalui perantaraan-perantaraan pendeta-pendeta mereka; tetapi dewa-dewa itu tidak pernah, diharapkan untuk menentukan hukum-hukum moral pada manusia atau untuk mengarahkan tindakan-tindakan manusia. Dari bumi inilah tumbuh kebudayaan Barat. Tiada diragukan bahwa ia banyak menerima pengaruh-pengaruh lain dalam rentangan perkembangannya, dan hal itu secara alami mengubah dan mengalihkan bentuk warisan kebudayaan Romawi dalam lebih dari satu segi pandangan. Tetapi kenyataan tetap tinggal bahwa segala apa yang nyata dalam etika dan pandangan hidup Barat sekarang langsung dapat diikuti jejaknya hingga kepada peradaban Romawi kuno karena suasana intelektual dan sosial Romawi kuno sepenuhnya bersifat utilitarian dan anti agama --dalam kenyataannya, apabila bukan dalam pengakuan terbuka-- demikianlah suasana Barat modern. Tanpa memiliki bukti yang menyangkal agama ketuhanan, dan bahkan tanpa mengakui perlunya bukti semacam itu, pemikiran Barat modern, sementara bersikap toleran dan bahkan kadang-kadang menekankan perlunya agama sebagai satu konvensi sosial pada umumnya, melepaskan etika agamawi dari wilayah pertimbangan praktis. Peradaban Barat tidak dengan tegas menyangkal adanya Tuhan tetapi hanya tidak ada tempat dan tiada manfaat adanya Tuhan dalam sistem intelektualnya sekarang. Dunia Barat telah mengambil keuntungan dari kesulitan intelektual manusia --yaitu ketidaksanggupannya menggenggam keseluruhan hidup. Tampaknya Barat modern hanya akan memberikan sifat kepentingan praktis atas idea-idea yang terletak dalam bidang pengetahuan-pengetahuan empiris atau sekurang-kurangnya diharapkan untuk mempengaruhi hubungan-hubungan sosial manusia dalam cara yang dapat dirasakan. Dan tentang pertanyaan akan adanya Tuhan secara prima facie tidak termasuk pada salah satu dari kedua kategori ini. Pikiran Barat pada prinsipnya cenderung untuk mengesampingkan Tuhan dari wilayah pertimbangan praktis.

Timbul pertanyaan: bagaimana sikap semacam itu dapat dipertemukan dengan jalan pikiran Kristen? Bukankah agama Kristen --yang dianggap sumber pokok peradaban Barat-- suatu kepercayaan yang berdasarkan etika transendental? Tentu saja agama Kristen berdasarkan etika transendental. Namun adalah satu kekeliruan yang sangat besar sekali apabila orang memandang peradaban Barat bersumber dari agama Kristen. Dasar intelektual yang real dari Barat modern harus diperoleh dari konsepsi hidup Romawi sebagai satu dasar pandangan akan perlunya melulu, tanpa sesuatu pandangan kerohanian. Ini dapat dinyatakan sebagai berikut: "Karena kita tidak tahu apapun yang definitif --yaitu dengan jalan eksperimen dan pemikiran ilmiah-- tentang asal kehidupan manusia, maka lebih baik kita memusatkan segala tenaga untuk perkembangan kemungkinan-kemungkinan material dan intelektual kita tanpa mengizinkan diri kita dihalangi oleh etika kerohanian dan dalil-dalil moral atas dasar anggapan-anggapan yang menantang bukti ilmiah." Tidak akan terdapat keraguan bahwa sikap ini, yang demikian khas dalam peradaban Barat modern, adalah sama tidak dapat diterima bagi agama Kristen maupun bagi Islam atau agama apapun, karena pandangan itu tidak religius dalam hakekatnya sendiri. Oleh karena itu untuk menggambarkan hasil-hasil capaian peradaban Barat modern atas kekuatan yang dianggap dari ajaran-ajaran Kristen adalah sangat memalukan. Agama Kristen telah memberikan sangat sedikit sumbangan pada perkembangan ilmiah dan material dimana kebudayaan Barat sekarang mengatasi segala sesuatu lainnya. Sesungguhnya hasil-hasil capaian itu timbul dari perjuangan intelektual Barat melawan gereja Kristen dan pandangan hidup Kristen.

Selama berabad-abad semangat Barat ditekan oleh sistim religus yang menganut permusuhan terhadap alam. Nada kepertapaan yang memenuhi Bibel dari ujung ke ujung, tuntutan untuk menyerah secara pasif atas kesalahan yang menimpa, penyangkalan terhadap seks sebagai sesuatu yang berdasar atas kejatuhan Adam dan Hawa di surga, dosa warisan dan penebusannya melalui penyaliban Yesus, segala ini menuju pada satu penafsiran hidup manusia tidak atas dasar jenjang positif tetapi hampir sebagai kejahatan yang tak terelakkan --sebagai penghalang "edukatif" pada jalan kemajuan spiritual. Teranglah bahwa kepercayaan semacam itu tidak membangkitkan gairah bersemangat untuk usaha-usaha berhubung dengan ilmu pengetahuan dan perbaikan syarat-syarat kehidupan duniawi. Dan sesungguhnya selama masa yang sangat panjang intelek Eropa ditaklukkan oleh konsepsi kehidupan manusia yang muram itu. Selama abad-abad pertengahan ketika gereja sedang berkuasa, Eropa tidak memiliki gaya hidup dan tiada tempat apapun bagi dunia penyelidikan ilmiah. Eropa masa itu bahkan kehilangan hubungan dengan hasil-hasil capaian falsafah Romawi dan Yunani dari mana kultur Eropa dahulu bersumber. Intelek Eropa berontak lebih dari satu kali; tetapi berulang-ulang pemberontakan intelek itu dipatahkan oleh gereja. Sejarah jaman abad-abad pertengahan penuh dengan perjuangan sengit antara genius Eropa dan semangat gereja.

Pembebasan pikiran Eropa dari belenggu intelektual yang telah dipasang gereja Kristen terjadi dalam jaman renaissance dan sangat besar sekali disebabkan oleh dorongan-dorongan dan ide-ide kultural baru yang telah disalurkan Islam ke Barat selama beberapa abad.

Segala sesuatu yang terbaik dari kultur Yunani kuno dan masa Hellenisma kemudian telah dihidupkan oleh orang-orang Arab dalam usaha penyelidikan mereka dan diperbaiki dalam abad-abad setelah berdirinya awal imperium Islam. Saya tidak mengatakan bahwa penyerapan pikiran Hellenistik itu berupa manfaat yang tidak dapat disanggah terhadap bangsa Arab dan kaum Muslimin pada umumnya --karena keadaannya tidak demikian. Tetapi sementara segala jerih payah orang-orang Arab menghidupkan kembali kultur Hellenisma itu mungkin menyebabkan kerugian bagi kaum Muslimin pada umumnya dengan jalan memperkenalkan falsafah Aristoteles dan neoplatonisme ke dalam theologia dan yurisprudensi Islam, hal itu justru merupakan dorongan yang sangat besar bagi Eropa. Zaman abad-abad pertengahan telah menyia-nyiakan kekuatan-kekuatan produktif Barat. Ilmu pengetahuan macet, tahyul berkuasa paling tinggi, kehidupan moral primitif dan rendah sehingga hampir tidak dapat diterima akal pada zaman ini. Pada titik itu pengaruh kultural dunia Islam --mula-mula melalui pengalaman perang salib di Timur dan universitas-universitas Islam yang cemerlang di Spanyol dan kemudian melalui hubungan-hubungan perdagangan yang dibangun Republik Genua dan Venesia-- mulai berkumandang di pintu peradaban Eropa yang terkunci. Di hadapan mata sarjana-sarjana dan ahli-ahli pikir Eropa yang silau muncul suatu kebudayaan baru --indah, progresif, penuh gairah hidup dan penuh memiliki perbendaharaan kultural yang telah lama dihilangkan dan dilupakan Eropa. Yang telah dilakukan oleh orang-orang Arab itu jauh melebihi pembangkitan kembali kebudayaan Yunani kuno saja. Mereka telah menciptakan suatu dunia ilmiah mereka sendiri yang sama sekali baru dan memperkembangkan hingga pada masa itu jalan-jalan penelitian ilmiah dan falsafah. Semua ini mereka salurkan melalui berbagai saluran ke dunia Barat. Dan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa zaman ilmu pengetahuan modern dalam masa kita ini tidak dilahirkan di kota-kota Eropa Kristen tetapi di pusat-pusat Islam seperti di Damsyik, Baghdad, Kairo, Kordoba, Nishapur, Samarkand.

Akibat pengaruh ini atas Eropa sangat besar. Dengan kedatangan peradaban Islam fajar intelektual baru bersinar di dunia Barat dan diresapi dengan hidup segar serta kehausan akan kemajuan. Bukan saja penghargaan atas nilainya maka ahli sejarah Eropa menamakan regenerasi itu renaissance --yakni kelahiran kembali. Renaisans itu sebenarnya adalah kelahiran kembali Eropa.

Arus regenerasi yang memancar dari kebudayaan Islam menimbulkan otak-otak Eropa yang terbaik untuk berjuang dengan kekuatan baru melawan supremasi gereja Kristen yang berbahaya.

Pada permulaannya pertandingan ini mengandung pandangan lahir dari gerakan-gerakan reformasi, yang timbul hampir serentak di berbagai negara Eropa dengan tujuan untuk menerapkan jalan pemikiran Kristen kepada tuntutan-tuntutan hidup yang baru ini. Gerakan-gerakan ini sehat dalam caranya dan apabila mereka beroleh sukses spiritual yang nyata mungkin mereka menghasilkan suatu kesesuaian antara ilmu pengetahuan dan pemikiran religius di Eropa. Tetapi sebagaimana yang terjadi, kesalahan yang disebabkan oleh gereja zaman abad-abad pertengahan sudah terlalu jauh untuk dapat diperbaiki oleh reformasi saja yang lagi pula dengan cepat menurun menjadi perjuangan-perjuangan politik antara golongan-golongan yang berkepentingan. Alih-alih daripada beroleh perbaikan yang sebenarnya, agama Kristen hanya terdesak pada sikap bertahan dan berangsur-angsur terpaksa mengambil sikap apologetik. Gereja --baik Katholik maupun Protestan-- sebenarnya tidak pernah melepaskan komedi-komedi mentalnya, dogma-dogma yang tak dapat dipahami, sikap menghinanya terhadap dunia, dukungannya pada kekuasaan-kekuasaan yang ada atas kerugian ummat manusia yang tertindas; gereja hanya mencoba memalsukan kegagalan-kegagalan yang parah ini dan dengan demikian "menerangkannya" dengan jalan keterangan-keterangan kosong. Tidaklah mengherankan bahwa ketika tahun-tahun dan abad-abad itu maju, pegangan dan pemikiran religius menjadi makin lama makin lemah di Eropa, hingga pada abad ke delapan belas kekuasaan gereja dengan tegas dilemparkan ke luar gelanggang oleh revolusi Perancis dan akibat-akibat kultural di negara-negara lain.

Pada waktu itu lagi tampak seakan-akan kebudayaan spiritual baru yang bebas dari kegelapan tirani theologia skolastik abad-abad pertengahan beroleh kesempatan tumbuh di Eropa. Dan kenyataannya pada akhir abad ke delapan belas dan awal abad ke sembilan belas kita bertemu dengan beberapa tokoh spiritual Eropa yang terbaik dan paling kuat dalam bidang falsafah, kesenian, kesusasteraan dan ilmu pengetahuan. Tetapi konsepsi hidup spiritual religius ini tetap terbatas pada beberapa orang perorangan. Massa besar orang-orang Eropa, sesudah demikian lama terpenjara dalam dogma-dogma agama yang tidak ada hubungan dengan usaha-usaha alami manusia, tidak dapat dan tidak mau mendapatkan jalan mereka kembali kepada orientasi religius setelah sekali belenggu-belenggu itu dihancurkan.

Barangkali faktor intelektual yang paling penting yang menghalangi regenerasi religius di Eropa adalah konsepsi yang ada pada waktu itu bahwa Yesus adalah Anak laki-laki Tuhan. Orang-orang Kristen yang berpikiran filosofis tentu saja tidak pernah menerima ide keanakan itu dalam pengertian harfiahnya; mereka mengartikan keanakan Yesus itu sebagai manisfestasi dari rahmat Tuhan dalam bentuk manusia. Tetapi sayang tidak setiap orang berpikiran filosofis. Bagi sebagian terbesar dari orang-orang Kristen ungkapan "anak" mengandung arti yang langsung, walaupun selalu ada bau mistik yang ditempelkan ke situ. Bagi mereka keanakan Yesus itu dengan sangat alaminya menuju kepada kepercayaan akan Tuhan sebagai manusia, yang mengambil rupa orang tua yang baik dengan janggut putih yang lebat: dan bentuk ini, diabadikan dalam lukisan-lukisan yang tak terhitung banyaknya yang bernilai seni yang tinggi, tinggal mengesan dalam bawah-sadar pikiran orang-orang Eropa. Sepanjang masa ketika dogma gereja paling berkuasa di Eropa tidak banyak kecenderungan untuk mempersoalkan konsepsi aneh ini. Tetapi dengan hancurnya belenggu intelektual abad-abad pertengahan, cara berpikir orang-orang Eropa tidak dapat mempertemukan dirinya dengan satu Tuhan-Bapak yang dimanusiakan; sebaliknya pemanusiaan Tuhan itu telah menjadi satu faktor penghalang yang tegak dalam konsepsi rakyat umum tentang Tuhan. Sesudah suatu masa kebangunan pemikiran, ahli-ahli pikir Eropa secara naluri mundur lagi dari konsepsi tentang Tuhan seperti yang digambarkan dalam ajaran gereja, dan karena ini adalah satu-satunya konsepsi yang mereka kenal, maka mereka mulai menolak ide tentang Tuhan sendiri dan bersama dengan itu mereka menolak agama.

Lagi pula fajar zaman industri dengan kecemerlangan kemajuan material yang menyilaukan mulai mengarahkan manusia kepada kepentingan-kepentingan baru dan dengan demikian menyumbangkan kekosongan religius yang mengikutinya di Eropa. Dalam masa lowong itu perkembangan peradaban Barat beroleh giliran tragik-tragik dari sudut pandangan setiap orang yang memandang agama sebagai realitas yang paling kuat dalam kehidupan manusia. Setelah terbebas dari bentuk penghambatan dahulunya berupa agama Kristen, pikiran Eropa modern melangkahi batas itu dan membentengi dirinya dengan berangsur-angsur dalam suatu sikap tegas menentang setiap bentuk tuntutan atas manusia. Dari ketakutan bawah sadar kalau-kalau sekali lagi dilimpahi dengan kekuatan-kekuatan yang menuntut kekuasaan spiritual, Eropa menjadi juara dari segala sesuatu yang anti agama dalam prinsip dan dalam tindakan. Eropa kembali kepada warisan Romawi lama.

Oleh karena itu orang tidak dapat disalahkan atas bantahan bahwa bukanlah superioritas potensial dari agama Kristen atas kepercayaan-kepercayaan lain yang memungkinkan Barat untuk mencapai hasil-hasil materialnya yang cemerlang: karena hasil-hasil yang dicapai ini tidak dapat dipikirkan tanpa perjuangan historik kekuatan-kekuatan intelektual Eropa melawan prinsip-prinsip gereja Kristen sendiri. Konsepsi hidup materialisme sekarang ini adalah pembalasan dendam Eropa terhadap "kerohanian" gereja yang telah kesasar dari kebenaran kebenaran hidup alami.

Bukanlah urusan kita untuk masuk lebih jauh ke dalam hubungan intern antara agama Kristen dan peradaban Barat modern. Saya hanya berusaha menunjukkan tiga dari sebab-sebab, mungkin sebab-sebab utama, mengapa peradaban Barat itu begitu sempurna anti agama dalam konsepsi-konsepsi dan metoda-metodanya: pertama adalah warisan peradaban Romawi dengan sikapnya yang sama sekali materialistik berhubung dengan kehidupan manusia dan nilai-nilai yang terpadu padanya; yang kedua, pemberontakan alam insani melawan sikap benci pada dunia daripada agama Kristen dan sikap Kristen menindas hasrat-hasrat alami dan usaha-usaha yang halal daripada manusia (yang diikuti oleh sekutu-sekutu gereja dengan pemegang-pemegang kuasa politik dan ekonomi dan pengesahannya dengan diam-diam atas setiap eksploitasi yang dapat dirancangkan pemegang-pemegang kuasa itu); dan yang ketiga, konsepsi ketuhanan yang anthropomorfis. Pemberontakan terhadap agama ini sepenuhnya berhasil --demikian berhasilnya sehingga berbagai sekte dan gereja Kristen berangsur-angsur terpaksa menyesuaikan beberapa doktrin mereka dengan kondisi-kondisi sosial dan intelektual Eropa. Alih-alih daripada mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial dari penganut-penganutnya sebagai kewajiban agama yang utama, agama Kristen telah mengundurkan diri dalam peranan satu konvensi yang ditolerir dan menjadi jubah bagi usaha-usaha politik. Bagi rakyat banyak agama Kristen sekarang hanya mempunyai arti formal sebagaimana halnya dengan dewa-dewa Romawi kuno yang tidak diizinkan dan tidak pula dipandang mempunyai pengaruh nyata apapun atas masyarakat. Tentu masih banyak individu di Barat yang merasa dan berpikir secara religius dan berusaha mati-matian untuk mempertemukan kepercayaan mereka dengan jiwa kebudayaannya --tetapi mereka hanya pengecualian. Rata-rata orang Barat --baik ia seorang demokrat atau fascis, kapitalis atau komunis, seorang pekerja kasar atau intelektual-- hanya mengenal satu "agama" yang positif yaitu pengabdian pada kemajuan material, kepercayaan bahwa tidak ada tujuan lain daripada hidup ini selain dari membuat hidup ini terus menjadi mudah, seperti ungkapan orang sekarang, "bebas dari alam." Kelenteng "agama" itu adalah pabrik-pabrik raksasa, bioskop-bioskop, laboratorium-laboratorium kimia, rumah-rumah dansa, karya-karya hydro-elektrik; pendeta-pendetanya adalah bankir-bankir, insinyur-insinyur, bintang-bintang film, industriawan-industriawan, ahli-ahli penerbangan. Akibat yang tak terelakkan dari perburuan terhadap kekuasaan dan kesenangan ini adalah terciptanya golongan-golongan yang bermusuhan yang dipersenjatai hingga ke gigi-giginya dan telah memutuskan untuk saling menghancurkan kapan dan di mana saja kepentingan mereka masing-masing berbenturan. Dan pada segi kebudayaan akibatnya adalah penciptaan suatu tipe manusia yang moralitasnya terbatas pada masalah kepentingan praktis melulu dan kriterianya yang tertinggi tentang baik dan buruk adalah sukses material.

Dalam transformasi yang seksama itu kehidupan sosial Barat sekarang sedang mengalami moralitas utilitarian baru yang makin lama makin tampak. Segala sifat-sifat kebajikan yang mengandung arti langsung pada kesejahteraan material masyarakat itu --umpamanya efisiensi teknik, patriotisme, rasa kelompok nasional-- diangkat dan sering dibesar-besarkan dengan kaburnya dalam nilainya; sedang kebajikan-kebajikan yang hingga kini dinilai dari sudut pandangan etika melulu, seperti kecintaan anak, kesetiaan dalam perkawinan, dengan cepatnya kehilangan arti pentingnya --karena hal itu tidak memberikan manfaat material yang dapat dirasakan pada masyarakat. Zaman dimana dorongan atas keakraban ikatan kekeluargaan adalah menentukan bagi kesejahteraan golongan atau klan sedang diatasi di Barat oleh satu zaman organisasi kolektif di bawah pokok-pokok yang jauh lebih luas. Dan dalam suatu masyarakat yang pada hakekatnya teknologik dan sedang diorganisir dalam langkah-langkah yang terus bertambah cepat atas garis-garis mekanik melulu, perilaku anak terhadap ayahnya tidak mengandung arti sosial yang penting selama individu-individu itu berperilaku dalam batas-batas kesopanan umum yang diletakkan oleh masyarakat pada saling hubungan di antara anggota-anggotanya. Akibatnya ayah Barat makin kehilangan kekuasaan atas anaknya dan secara logis sekali si anak kehilangan respek pada ayahnya. Hubungan timbal balik di antara mereka perlahan-lahan diatasi dan --atas segala tujuan-tujuan praktis-- menjadi lapuk oleh dalil-dalil masyarakat ekonomi yang mempunyai kecenderungan untuk menghapus segala hak-hak istimewa atas seorang individu terhadap lainnya, dan --juga hak istimewa yang disebabkan ikatan kekeluargaan.

Sejajar dengan ini berjalanlah penghancuran terhadap moralitas seksual "lama." Kejujuran seksual dan disiplin seksual dengan cepatnya menjadi bagian dari masa lalu di Barat modern, karena hal-hal itu terutama didasari oleh etika, dan pertimbangan-pertimbangan etika tidak mengandung pengaruh langsung yang dapat dirasakan dalam kesejahteraan material daripada masyarakat itu. Dan dengan demikian disiplin dalam hubungan-hubungan seksual dengan cepat kehilangan arti pentingnya dan diganti oleh suatu moralitas baru yang menyerukan kebebasan individual tidak terbatas jasad manusia. Di masa depan batas seksual satu-satunya, paling banyak, diambil dari pertimbangan-timbangan jumlah penduduk dan perbaikan ras.

Bukanlah tanpa kepentingan untuk meninjau betapa evolusi anti agama yang digambarkan di atas telah dibawa kepada klimaksnya yang logis di Soviet Rusia, dimana dalam segi kulturalnya tidak menunjukkan suatu perkembangan yang berbeda secara hakiki dari dunia Barat lainnya. Sebaliknya tampak bahwa eksperimen komunis tidak lain daripada puncak dan pemenuhan dari hal-hal anti religius yang tegas dan --pada akhirnya-- tendensi-tendensi anti spiritual dari peradaban Barat modern. Bahkan mungkin pertentangan yang tajam sekarang antara Barat kapitalis dan komunisme pada akarnya hanya disebabkan oleh perbedaan langkah dimana gerakan-gerakan paralel pada hakekatnya sedang menuju ke tujuan yang sama. Persamaan isinya tiada ragu akan lebih disebut-sebut di masa depan; tetapi bahkan tampak dalam kecenderungan fundamental dari kapitalisme Barat maupun komunisme untuk menaklukkan individualitas spiritual manusia dan etikanya kepada tuntutan-tuntutan material melulu dari jaringan mesin kolektif yang disebut "masyarakat" di mana individu hanyalah berupa satu jeruji daripada satu roda.

Satu-satunya konklusi yang mungkin disimpulkan daripadanya adalah bahwa peradaban semacam itu akan menjadi racun maut bagi setiap kebudayaan yang berdasar nilai-nilai keagamaan. Pertanyaan asal kita, apakah mungkin untuk menerapkan jalan pemikiran dan jalan hidup Islam pada tuntutan-tuntutan hidup peradaban Barat dan sebaliknya, harus dijawab dengan "tidak." Dalam Islam tujuan pertama dan paling utama adalah kemajuan moral manusia, dan oleh karena itu pertimbangan-pertimbangan etika mengatasi pertimbangan-pertimbangan kemanfaatan material. Di Barat di mana pertimbangan-pertimbangan kemanfaatan material menguasai segala manifestasi-manifestasi kegiatan manusia, dan etika sedang diundurkan ke latar belakang yang kabur dari kehidupan masyarakat dan dipojokkan kepada keadaan teoritis melulu; tanpa sedikitpun kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat. Berbicara tentang etika --dalam keadaan-keadaan semacam itu-- tidak jauh bedanya dari bersikap munafik; dan dengan demikian orang-orang yang jujur secara intelektual di antara pemikir-pemikir Barat secara subyektif dibenarkan, apabila dalam pemikiran-pemikiran mereka atas nasib peradaban Barat, mereka mengelakkan setiap singgungan --pada etika kerohanian. Bagi orang-orang yang kurang jujur --seperti juga orang-orang yang kurang tegas dalam sikap moral mereka-- konsepsi etika kerohanian mereka hidup terus sebagai satu faktor pemikiran yang tidak rasional, sama halnya dengan seorang ahli matematika terpaksa menggunakan angka-angka "tidak rasional" tertentu yang dalam sendirinya tidak menunjukkan apapun yang dapat dirasakan, tetapi betapapun juga diperlukan untuk menjembatani celah kayalan karena batas-batas struktural pikiran manusia.

Sikap penyimpangan kepada etika semacam itu tentu saja tidak dapat dipertemukan dengan pandangan keagamaan; dan oleh karena itu dasar moral kebudayaan Barat modern tidak dapat dipertemukan dengan Islam.

Ini sama sekali tidak harus membuang kemungkinan bagi kaum Muslimin untuk menerima dorongan-dorongan tertentu dari Barat dalam bidang eksakta dan ilmu pengetahuan yang telah diterapkan; tetapi hubungan kulturalnya harus mulai dan berakhir di situ saja. Untuk melangkah lebih jauh dan meniru jiwa kebudayaan Barat, mode hidup dan organisasi kemasyarakatannya, tidaklah mungkin tanpa memberikan pukulan maut terhadap kehidupan Islam sebagai bentuk pemerintahan ketuhanan dan agama yang praktis.

(sebelum, sesudah)


Islam di Simpang Jalan
Judul asli: Islam at the Crossroads
Cetakan pertama: Delhi (India), 1935
Edisi Indonesia: Islam di Simpang Jalan
Penterjemah: M. Hashem
Cetakan pertama: YAPI, Surabaya, 1967
Cetakan kedua: PUSTAKA, Bandung, 1981
Hak cipta: Muhammad Asad
All rights reserved.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team