Islam di Simpang Jalan

oleh Muhammad Asad

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Alhamdu lillahi wahdahu wasshalatu wassalamu 'ala man la nabiyya ba'dahu.

KATA PENDAHULUAN

Jarang ummat manusia terjerumus dalam kecemasan intelektual seperti yang terjadi pada zaman kita kini. Kita bukan saja dihadapkan pada tumpukan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan-pemecahan baru yang tidak tanggung-tanggung, tetapi juga sudut pandangan di mana masalah-masalah itu tampil di hadapan kita berlainan dengan segala yang pernah kita kenal sebelumnya.

Di negeri mana saja, masyarakat telah mengalami perubahan-perubahan fundamental. Jalannya perubahan ini di mana-mana berlainan; tetapi di setiap negeri kita dapat melihat energi desak yang sama, yang tidak mengizinkan kita berhenti atau bersikap ragu-ragu.

Dunia Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Di sini kita lihat pula kebiasaan-kebiasaan dan idea-idea lama menghilang dan munculnya kebiasaan dan idea-idea baru. Kemana tujuan perkembangan baru ini? Sejauh mana pencapaiannya? Sejauh mana kesesuaiannya dengan misi kultural Islam?

Isi buku ini sekali-kali tidak bendak berhebat-hebat dengan memberikan suatu jawaban yang panjang lebar atas seluruh lingkup pertanyaan di atas. Karena ruangnya yang terbatas maka hanya satu dari masalah-masalah yang menghadang kaum Muslimin sekarang, yaitu sikap yang harus kita ambil terhadap peradaban Barat, telah kami pilih untuk dibicarakan. Namun cakupan yang sangat luas dari pokok masalah ini memerlukan kita untuk meluaskan penyelidikan tentang aspek-aspek dasar agama Islam, terutama berkenaan dengan prinsip Sunnah. Di sini tidak mungkin untuk memberikan lebih dari garis-garis besar melulu dari satu tema yang cukup luas untuk berjilid-jilid buku tebal. Tetapi betapapun juga --atau barangkali justru karena itu-- saya merasa yakin bahwa sketsa singkat ini akan merupakan suatu rangsangan bagi orang lain untuk pemikiran lebih jauh atas masalah yang begitu penting ini.

Dan sekarang tentang diri saya sendiri; apabila seorang muallaf berkata kepada mereka, kaum Muslimin berhak mengetahui betapa dan mengapa ia memeluk agama Islam.

Dalam tahun 1922 saya meninggalkan negeri saya, Austria, untuk membuat perjalanan melalui Afrika Utara dan Asia sebagai koresponden istimewa suatu koran Eropa dan sejak waktu itu saya melalukan hampir seluruh waktu saya di Timur Tengah. Perhatian saya terhadap bangsa-bangsa yang saya hubungi pada mulanya hanya sebagai perhatian seorang asing. Saya melihat di sini suatu tata masyarakat yang secara fundamental berbeda dengan pandangan hidup orang Eropa; dan sejak semula telah tumbuh dalam diri saya perasaan simpati atas kehidupan yang lebih tenang --saya seharusnya mengatakan: lebih insani-- dan konsepsi hidup yang lebih damai dibanding dengan mode hidup yang tergesa-gesa dan mekanis di Eropa. Rasa simpati ini berangsur-angsur membawa saya pada satu penyelidikan mengenai sebab-sebab perbedaan mode hidup semacam itu, dan saya jadi tertarik pada ajaran-ajaran agama Islam. Pada saat itu perhatian saya tidak cukup untuk menarik saya memeluk agama Islam, tetapi hal itu membuka pandangan baru pada saya tentang masyarakat manasia yang sedang maju, yang progresif, terorganisir dengan seminimal mungkin konflik ke sesama dan perasaan persaudaraan sungguh-sungguh yang maksimal. Namun sebenarnya kehidupan kaum Muslimin sekarang tampak sangat ketinggalan dari kemungkinan-kemungkinan ideal yang diberikan dalam ajaran-ajaran agama Islam. Segala yang dalam masa kemurnian Islam dahulunya merupakan pendorong gerak maju di kalangan kaum Muslimin, sekarang telah berubah menjadi sikap masa bodoh dan kemacetan; segala yang dalam zaman kejayaan Islam dahulunya merupakan rahmat dan kesiapsiagaan untuk berkorban, sekarang berubah menjadi kepicikan dan kehidupan seenaknya di antara kaum Muslimin.

Terdesak oleh penemuan akan kenyataan ini dan dibingungkan oleh ketidaksesuaian antara dulu dan kini, saya berusaha memecahkan masalah yang dihadapkan kepada saya ini dari titik pandangan yang lebih dekat: saya berusaha membayangkan diri saya dalam lingkungan Islam. Hal itu hanyalah experimen intelektual melulu: dan ini menerangkan kepada saya, dalam waktu yang sangat singkat, penyelesaian masalah ini dengan sebenarnya. Saya menyadari bahwa satu-satunya sebab kemunduran sosial dan kultural kaum Muslimin terletak dalam kenyataan bahwa mereka secara berangsur angsur melalaikan jiwa ajaran-ajaran Islam. Islam masih ada pada mereka, tetapi tinggal jasad tanpa jiwanya. Satu-satunya unsur yang dahulu tegak mengokohkan dunia Islam sekarang menjadi sebab kelemahannya; masyarakat Islam telah dibangun sejak dari permulaannya hanya atas dasar agamawi, dan pelemahan-pelemahan unsur itu tentu melemahkan struktur kulturalnya --dan bahkan mungkin akan menyebabkan musnahnya.

Makin saya mengerti betapa kongkrit dan betapa praktisnya ajaran-ajaran Islam, makin tebal hasrat saya bertanya mengapa kaum Muslimin telah meninggalkan penerapannya yang riil. Saya bicarakan hal ini dengan banyak pemuka-pemuka Islam, hampir pada semua negeri antara Lybia dan Pamir, antara Selat Bosporus dan Laut Arabia. Hal itu hampir mengikat persoalan saya seluruhnya yang akhirnya meliputi segala urusan-urusan intelektual saya dalam dunia Islam. Godaan pertanyaan itu terus menebal dalam jiwa saya --sehingga saya, seorang bukan-muslim berkata kepada seorang Muslim seakan-akan saya hendak membela Islam dari kekeliruan dan sikap masa bodoh mereka. Saya tidak melihat kemajuannya, hingga pada suatu hari --waktu itu musim semi tahun 1925 di pegunungan Afghanistan-- seorang gubernur propinsi yang muda usia berkata kepada saya: "Tetapi anda seorang Muslim, hanya anda sendiri tidak mengetahuinya". Saya terkejut oleh kata-kata itu dan berdiam diri.

Tetapi ketika saya kembali ke Eropa lagi dalam tahun 1926, saya menyadari bahwa satu-satunya konsekuensi yang logis dari sikap saya itu adalah memeluk agama Islam.

Demikianlah keadaan-keadaan yang berhubungan dengan menjadi Muslimnya saya. Sejak saat itu berulang-ulang saya bertanya pada diri: "Mengapa engkau memeluk agama Islam?" Dan saya harus mengaku: saya tidak tahu jawabannya yang memuaskan. Bukan karena sesuatu yang khusus pada ajaran-ajarannya yang menarik saya, tetapi seluruh strukturnya yang mengagumkan, struktur ajaran moral dan program hidup yang praktis yang tak dapat dipisah-pisahkan. Bahkan hingga pada saat ini belum dapat juga saya mengatakan aspek Islam yang mana yang lebih menarik saya dibanding dengan aspek lainnya. Islam tampak pada saya sebagai suatu karya arsitektur yang sempurna. Segala bagian-bagiannya terpadu secara harmonis untuk saling mengisi dan saling menopang, tidak ada yang berlebih-lebihan dan tidak ada yang kurang, merupakan satu perimbangan yang mutlak dan satu komposisi yang padu. Barangkali perasaan bahwa segala sesuatu dalam ajaran dan rumusan Islam adalah pada "tempatnya yang tepat" telah menciptakan kesan yang paling kuat pada saya; mungkin kesan-kesan lain juga ada bersama-sama dengan kesan itu, sukar saya uraikan sekarang. Alhasil, soal cinta, dan cinta terpadu dalam berbagai unsur, dari hasrat manusia dan kesunyiannya, dari tujuan-tujuan luhur manusia dan kekurangannya, dari kekuatan-kekuatan dan kelemahan manusia. Demikianlah halnya, Islam datang dalam jiwa saya sebagai datangnya pencuri di malam hari, tetapi tidak seperti pencuri, ia datang pada saya untuk menetap selama-lamanya.

Sejak itu saya terus belajar sekuat tenaga saya tentang Islam. Saya pelajari al-Qur'an dan Hadits; saya pelajari bahasa al-Qur'an dan sejarah Islam serta sebagian besar kitab-kitab yang ditulis oleh lawan dan kawan. Saya tinggal lebih lima tahun di Hejaz dan Najd, kebanyakan di Madinah, supaya saya dapat mengalami sesuatu dari alam sekitar yang asli di mana agama ini dikhotbahkan oleh Nabi berbangsa Arab itu. Karena Hejaz merupakan pusat pertemuan kaum Muslimin seluruh dunia, saya beroleh kesempatan untuk membanding pandangan agamawi dan pandangan sosial dalam dunia Islam pada zaman ini. Studi perbandingan ini menciptakan keyakinan kuat dalam diri saya bahwa Islam sebagai satu landasan spiritual dan sosial, walaupun terbelakang karena sikap masa bodoh kaum Muslimin, tetap merupakan satu tenaga penggerak yang luar biasa hebatnya yang pernah dialami ummat manusia; dan mulai saat ini perhatian saya terpusat pada problema regenerasi Islam.

Buku kecil ini adalah sumbangan sederhana kepada tujuan besar itu. Buku ini tidak berpura-pura sebagai tinjauan dingin tentang peristiwa-peristiwa; ini merupakan pernyataan tentang suatu perkara Islam versus Barat, seperti yang saya lihat. Dan buku ini tidak ditulis untuk orang-orang yang memandang Islam hanya sebagai satu dari antara yang banyak, yang banyak sedikitnya merupakan bantuan menolong bagi kehidupan sosial; buku ini ditulis bagi mereka yang dalam hatinya masih hidup pancaran sinar api yang berkobar dalam diri para sahabat Nabi --api yang pernah membuat Islam agung sebagai satu tata masyarakat dan capaian kultural.

Delhi, Maret 1934
Muhammad Asad.

(sebelum, sesudah)


Islam di Simpang Jalan
Judul asli: Islam at the Crossroads
Cetakan pertama: Delhi (India), 1935
Edisi Indonesia: Islam di Simpang Jalan
Penterjemah: M. Hashem
Cetakan pertama: YAPI, Surabaya, 1967
Cetakan kedua: PUSTAKA, Bandung, 1981
Hak cipta: Muhammad Asad
All rights reserved.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team