Islam dalam Lintasan Sejarah
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

BAB 1. PERLUASAN ISLAM

Hikayat bahwa agama Islam telah dilahirkan dari gurun pasir, hingga lama dipercaya orang. Sejak Renan mempopulerkan pendapatnya, bahwa paham Allah ialah "agama pembawaan alam gurun pasir," maka alasan yang mudah untuk menyatakan bahwa keyakinan dan keteguhan Nabi Muhammad saw. pada tauhid dan Mahabesar Allah yang tidak dapat didekati ialah semata-mata bayangan ketandusan jazirah Arabia yang sangat luas dan tidak berubah. Penyelidikan belakangan ini membuktikan kepalsuan kepercayaan tadi. Gurun pasir tidak mengambil bagian sedikit pun dalam penciptaan agama Islam, baik dalam asal-usulnya maupun dalam taraf perkembangan yang permulaan. Cap Arab yang sejak itu melekat pada Islam tidak semata-mata karena pada mulanya pengaruh sosial dan penganut-penganutnya bangsa Arab, tetapi karena Quran diwahyukan dalam bahasa Arab dan kecondongan pikiran terhadap kebudayaan Islam yang dilahirkan kemudian.

Kata Islam yang akhirnya dipakai oleh Muhammad saw. sebagai nama pasti untuk kepercayaan yang diajarkannya berarti menyerahkan (dirinya sendiri ataupun diri seseorang terhadap Allah). Penganut Islam disebutkan dengan kata sifat Muslim (di negara Barat dijadikan Moslem). Orang Persia menggunakan ajektif lain Musalman, berubah menjadi Mussulman dalam masyarakat India-Inggris, dan Musulman dalam bahasa Perancis. Orang Muslim modern tidak suka pada istilah "Mohammedan" dan "Mohammedanism," yang menurut pendapatnya mengandung kesimpulan pemujaan terhadap Muhammad saw., sebagaimana perkataan Kristen dan kekristenan mengandung pemujaan Kristus.

Barangkali, sekarang tidak ada seorang pun berpengetahuan akan percaya sebagai nenek moyang dalam abad pertengahan, bahwa "orang Turki dan para kalif" memuja "Mahomet" dalam bentuk berhala yakni paham yang mengandung dua kekeliruan karena patung-patung dan gambaran apa pun bagi ibadat terkutuk dalam Islam; meskipun dengan sendirinya istilah "Mohammedan" tidak dibenarkan. Dua pasal dalam kalimat syahadat "Tiada Tuhan hanya Allah, dan Muhammad Rasul Allah", yang pertama dapat diakui juga oleh orang di luar umat Islam, sedang pasal kedua adalah pasal yang membedakan Islam dari agama-agama lain. Sebab artinya bukanlah bahwa Muhammad saw. hanya seorang rasul saja diantara banyak rasul, akan tetapi rangkaian rasul telah menemukan puncaknya dalam Muhammad saw., dan Quran yang diwahyukan dengan perantaraan beliau ialah wahyu terakhir dan tidak berubah dari kehendak Allah yang membatalkan semua catatan wahyu sebelumnya. Sejak itu, orang yang tidak mengakui kepercayaan tadi dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya tidak dapat menamakan dirinya seorang muslim, ataupun turut mengecap keenakan hak-hak istimewa keanggotaan persaudaraan Islam. Sebaliknya kaum ortodoks, ahli sunah waljamaah, biasanya mempertahankan pendapat mereka bahwa tiap-tiap orang yang mengucapkan kalimat syahadat harus diakui sebagai seorang muslim.

Islam dimulai dengan ajaran Muhammad saw., di tempat kelahirannya Mekkah; sifat-sifat yang menjadi ciri agama baru ini dikembangkan setelah beliau pindah ke Madinah dalam tahun 622 M. Sebelumnya beliau wafat sepuluh tahun kemudian, telah jelaslah sudah bahwa Islam bukannya semata-mata merupakan suatu badan kepercayaan agama pribadi, akan tetapi Islam meliputi pembinaan suatu masyarakat merdeka, dengan sistem sendiri tentang pemerintahan, hukum, dan Lembaga Generasi Muslimin pertama, telah menginsafi bahwa Hijrah adalah satu titik perubahan penting dalam sejarah. Merekalah yang menetapkan tahun 622 M sebagai permulaan takwin Islam baru.

Dengan pemerintah yang kuat, cerdas, dan satu kepercayaan yang menggelorakan semangat penganut-penganut dan tentara-tentara dalam waktu yang tidak lama, masyarakat baru ini menguasai seluruh Arabia Barat dan mencari dunia baru untuk ditundukkan. Setelah sedikit kemunduran pada wafat Muhammad saw., gelombang penaklukan bergerak dengan cepat di Arabia bagian Utara dan Timur, berani menyerang kubu-kubu pertahanan di perbatasan kerajaan Romawi Timur di Syirq al-Ardun dan kerajaan Persia di Irak. Selatan. Angkatan-angkatan perang kedua kerajaan raksasa ini --karena perang tidak henti-hentinya-- telah kehabisan kekuatan, dikalahkan satu-persatu dalam suatu rangkaian operasi cepat dan cemerlang. Dalam waktu enam tahun sesudah Muhammad saw. wafat, seluruh Siria dan Irak diharuskan membayar upeti kepada Madinah, dan empat tahun kemudian Mesir digabungkan pada kerajaan Islam baru.

Kemenangan-kemenangan yang mengagumkan tadi, mendahului kemenangan yang lebih besar lagi akan membawa orang Arab dalam waktu kurang dari satu abad ke Maroko, Spanyol, Perancis, pintu-pintu kota Konstantinopel, jauh ke Asia Tengah sampai ke Sungai Indus, membuktikan sifat Islam sebagai suatu kepercayaan kuat, insaf akan harga diri, dan jaya. Sifat ini mengakibatkan pendirian yang tidak kenal menyerah dan memusuhi segala yang ada diluarnya, tetapi menunjukkan toleransi, kesabaran hati yang luas dalam pelbagai masyarakat, keseganan menuntut orang dari golongan lain, dan kebesaran hati mereka dalam waktu kegelapan.

Sudah tentu telah terjadi pembinasaan dan perusakan selama peperangan bertahun-tahun. Tetapi, dalam keseluruhan orang Arab selainnya meninggalkan timbunan puing, telah memimpin kearah persatuan baru pelbagai bangsa dan kebudayaan. Susunan hukum dan pemerintahan yang diwariskan oleh Muhammad saw. kepada pengganti-pengganti beliau, para khalifah, membuktikan nilainya dalam mengawasi angkatan Badui. Islam muncul di dunia peradaban luaran tidak sebagai suatu kepercayaan takhayul kasar sekelompok gerombolan perampok, tetapi sebagai suatu kekuatan batin, kesusilaan yang patut dihormati, dan ajaran agama teratur yang dapat menantang kekristenan Romawi Timur dan al-Mayusiah Iran di buminya sendiri. Kadang-kadang naluri dan adat-istiadat Badui mencetuskan revolusi dan perang saudara, tetapi akhirnya semuanya itu hanya membenarkan kekuatan dan kemauan akan ketertiban kekuasaan kerajaan baru ini.

Bagi bangsa negara-negara yang ditaklukkan keunggulan Arab ini, pada mulanya semata-mata berarti penggantian penguasa saja. Keadaan hidup dan lembaga-lembaga sosial mereka langsung berjalan, tanpa ada tuntutan, tanpa paksaan beralih agama. Tetapi, setapak demi setapak, Islam mengubah susunan sosial lama Asia Barat dan Mesir, dan unsur-unsur Arab mulai meresap ke dalam kebudayaan lama Yunani dan Persia. Orang-Arab yang menetap di daerah-daerah yang baru ditaklukan itu tidak hanya mengisi asrama dan markas besar tentara saja, mereka juga mendirikan pusat-pusat penyebaran agama baru. Ditambah dengan kekayaan propinsi-propinsi yang ditundukkan dan gelombang penganut Islam baru, mereka menjadi pola peradaban Islam baru.

Pada tahun 660 M. ibu kota Kerajaan Arab dipindahkan ke Damsyik, tempat kedudukan baru Khalifah Bani Umayah. Sedangkan Madinah tetap merupakan pusat pelajaran agama Islam; pemerintah dan kehidupan umum kerajaan dipengaruhi oleh adat-istiadat Yunani Rumawi Timur. Tingkat pertama saling pengaruh-mempengaruhi dengan peradaban yang lebih tua ini tidak hanya dilambangkan dengan dua buah monumen, yang indah sekali dari zaman Bani Umayahh ialah Mesjid Raya di Damsyik dan Mesjid Al-Aqsa di Darusalam, akan tetapi kemunculan tiba-tiba cara aliran-aliran baru dan pendapat yang berlawanan dengan paham resmi di "propinsi-propinsi baru." Akibat paling akhir dari pertumbuhan demikian ialah perpecahan antara lembaga-lembaga agama dan duniawi dalam masyarakat Islam. Pembelahan ini merusakkan azas duniawi Bani Umayah, dan ditambah dengan rasa ketidakpuasan para warga negara bukan Arab, dan pecah perang saudara diantara suku, Arab, menyebabkan jatuhnya tahun 750 M.

Dalam pada itu, perselisihan tadi menjelaskan bahwa dalam abad yang lampau sejak wafat Muhammad saw. kebudayaan agama Islam telah mengalami perkembangan dan konsolidasi yang luar biasa, baik, di dalam maupun di luar Arabia. Seorang guru agama di satu pihak menunjukkan perkembangan kebatinan pada tingkat tertinggi. Ia menyatakan inti sari yang penting dan menghidupkan itu dengan kepribadiannya dan keyakinannya sehingga tampak pada penganutnya sebagai wahyu kebenaran baru. Pada pihak lain, ia berada pada permulaan perkembangan kerohanian yang lebar dan didalamnya tidak ditentukan oleh pendapatnya sendiri, akan tetapi keyakinan kebatinan penganut-penganutnya dan kesanggupan mereka untuk mengembangkan ajarannya. Lebih-lebih lagi, apabila ajaran-ajaran asli itu melebar ke daerah yang luas di luar tempat asalnya bertemu, dan berhubungan dengan kebudayaan dari peradaban yang telah berakar mengalami saling pengaruh-mempengaruhi dan tekanan, sebagaimana harus dialami oleh semua organisme hidup.

Ketegangan baru yang telah diciptakan dalam dan oleh Islam, ukuran-ukuran kerohanian dan cita-cita baru yang telah ditertibkan, akan dibahas pada tempatnya sendiri. Di sini kita hanya mencatat pelepasan sekaligus kegiatan intelek yang sejajar dengan penyebaran orang Arab ke dunia luar. Daya hidup ajaran yang dicamkan oleh Muhammad saw. dalam akal budi penganutnya diperlihatkan oleh dorongan kebudayaan yang diberikan; pertama-tama, tentunya dalam bidang pergerakan agama sendiri. Dalam menyesuaikan dan mengembangkan ajaran baru telah diperkenalkan sistem dan cara kehidupan. intelektual orang Arab. Dibangun ilmu pengetahuan baru: hadis Nabawi, ilmu bahasa, ilmu sejarah, dan terutama ilmu hukum syariat. Peralihan tersebut adalah mengagumkan, apabila kita ingat akan kemiskinan dalam bidang intelektual dan keadaan terpencil kota Madinah. Lebih kurang seratus tahun sebelumnya; apalagi apabila kita cermati, bahwa karya ini sebagian besar pekerjaan orang Arab sendiri yang membina atas dasar-dasar yang diletakkan oleh Muhammad saw., yang berkembang sendiri dengan perlahan-lahan hanya dengan pengaruh luaran yang hampir tidak berarti.

Itulah sumbangan asasi yang menentukan dari orang Arab terhadap kebudayaan Islam baru. Terhadap peradaban materiil sokongan mereka sedikit. Kemajuan materiil baru mulai; dengan cemerlang setelah Bani Abbas menggantikan Bani Umayah sebagai khalifah, dan mendirikan ibu kotanya yang baru di Baghdad dalam tahun 762 M. Masa pertama dari penaklukan wilayah luar Arabia telah lampau, disusul oleh masa perluasan ke dalam. Abad kesembilan dan kesepuluh Masehi menyaksikan puncak kemajuan peradaban Islam yang luas dan usaha-usaha yang berhasil. Kerajinan, perdagangan, kesenian bangunan, dan beberapa kesenian yang kurang penting, berkembang dengan subur waktu Persia, Mesopotamia, Siria, dan Mesir, memberikan sokongan mereka dalam usaha serentak.

Kegiatan-kegiatan baru ini menumbuhkan kehidupan intelektual. Sedang ilmu pengetahuan agama berkembang pada beberapa pusat baru terbesar dari Samarqand sampai ke Afrika Utara dan Spanyol, kesusasteraan dan pikiran dengan menggunakan sumber-sumber Yunani, Persia, dan juga India, melebar ke jurusan baru, seringkali bebas dari tradisi Islam dan banyak sedikitnya memberontak terhadap kepicikan dan kesempatan sistem kuno. Dengan dorongan perluasan kaki langit alamiah, kecerdasan pikiran, keduniawian, dan kerohanian, saling pengaruh mempengaruhi dengan hebatnya.

Sukarlah untuk menyatakan dengan singkat usaha-usaha bidang intelektual yang bermacam-macam dalam zaman tersebut. "Ilmu pengetahuan Islam" yang lain seperti sejarah dan ilmu bahasa, melebar hingga meliputi sejarah duniawi dan kesusasteraan. Ilmu kedokteran dan ilmu pasti Yunani disediakan dalam perpustakaan buku-buku terjemahan dan dikembangkan oleh sarjana Persia dan Arab, khusus ilmu Aljabar, ilmu ukur segitiga, dan ilmu optik (penglihatan). Ilmu bumi --barangkali yang boleh diumpamakan barometer kebudayaan yang paling cermat-- berkembang pada seluruh cabangnya, di bidang politik, organik, matematik, astronomik, ilmu alam, dan pesiar, meluas demikian jauh hingga meliputi negara-negara dan peradaban bangsa yang jauh letak kediamannya.

Ilmu pengetahuan baru tersebut, boleh dikatakan hanya mengenai jumbai-jumbai, pinggiran kebudayaan agama, pemasukan ilmu mantik, dan filsafat Yunani, mau tidak mau menumbuhkan perselisihan paham yang tajam dan pahit. Pertikaian ini memuncak dalam abad ketiga. Para pemimpin Islam melihat dasar-dasar kerohanian dibahayakan oleh keingkaran halus dan cerdik paham rasionalisme murni. Walaupun mereka akhirnya mengalahkan pelajaran yang berpengaruh Yunani, ilmu filsafat selalu tetap harus dicurigai dalam pandangan para alim ulama, biarpun ilmu tadi hanya dipelajari sebagai alat perbantahan dan pembahasan. Lebih berbahaya ialah akibat kemenangan yaitu pertumbuhan dalam kalangan ahli agama, semacam perasaan iri hati terhadap usaha para intelektual yang bercorak murni keduniawian ataupun yang memberanikan diri ke luar dari bidang pengawasan mereka.

Kesempitan dan kemerosotan perhatian dalam bidang intelektual dilakukan dengan kesadaran demikian itu menimbulkan suatu akibat yang khas. Ilmu pengetahuan agama berdasarkan ilmu bahasa Arab, dan ilmu bahasa Arab berlandaskan syair-syair zaman Jahiliah.

Sebagaimana pelajaran kekristenan Barat dalam abad pertengahan berdasarkan atas bahasa Latin, dan karena itu mengawetkan tradisi Kristen bersamaan dengan syair-syair, hikayat purbakala, dan warisan sosial Rumawi; demikian pun sarjana Islam menyelami warisan kesusasteraan dan warisan sosial orang Arab purbakala. Kebajikan mereka dijadikan idaman, peribahasa mereka merupakan bahan yang terbanyak bagi peradaban rakyat. Seluruh kesusasteraan Islam di dalam empat abad, pembinaannya yang pertama dituliskan dalam bahasa Arab dan didalam semua bidang semerbak dengan tradisi Arab, yang merupakan faktor utama cap Arab yang terus menerus melekat pada kebudayaan Islam.

Perjuangan untuk menempatkan seluruh kehidupan intelektual dibawah pengawasan agama berjalan hingga beberapa abad berturut-turut di bagian dunia Islam. Tidak ada dorongan yang segar untuk memelihara dan membangunkan kembali kegiatan yang mundur, maka kebudayaan agama menangkap segala usaha intelektual yang sedang meloncat mundur. Ilmu pengetahuan tadi diawasi dan dijadikan alat keagamaan dengan janji dan syarat-syarat yang tidak berarti. Ilmu yang tidak dapat digunakan sebagai ilmu pengobatan dan ilmu pasti, terhenti ataupun akhirnya musnah sama sekali. Kadang-kadang menggelora juga kegiatan dan daya cipta seperti yang terjadi di Spanyol Islam dalam abad kesebelas dan kedua belas Masehi; semuanya itu menunjukkan bahwa peradaban Islam masih tetap merupakan suatu kekuatan yang sanggup menyerap dan meluas.

Harus diakui juga bahwa keunggulan kebudayaan agama tidak dapat dihasilkan, apabila kebudayaan tadi didalam lingkungannya sendiri tidak memberikan kelonggaran yang cukup untuk kegiatan-kegiatan bakat intelektual. Pelajaran yang boleh dikatakan mengganti ilmu pengetahuan yang sudah dibuang bukanlah ilmu kalam. Ilmu pengetahuan dunia Islam yang utama ialah syariat. Syariat boleh dikatakan meliputi segala yang ada, insani, dan Ilahi. Dalam kelengkapannya dan semangat tuntutan pelajaran syariat ini sukar didapat bandingannya, kecuali dalam agama Yahudi.

Selain keutamaan segi intelektual dan fungsi dalam pelajaran, syariat ialah alat yang paling luas pengaruhnya dan paling tepat membentuk ketertiban sosial dan kehidupan masyarakat bagi bangsa-bangsa Islam. Oleh karena lengkapnya, maka syariat memberi tekanan yang tidak hentinya pada segala kegiatan pribadi dan sosial, dan mewujudkan suatu ukuran-baku yang harus dianut lebih lama, meskipun ada rintangan kebiasaan kuno dan adat-istiadat yang telah berlaku lama. Khusus suku nomad dan suku yang diam di pegunungan, berlawanan. Tambahan pula, syariat memberikan pernyataan praktis dalam memperjuangkan persatuan yang menjadi ciri Islam. Hukum tadi dalam segala pokok yang penting adalah seragam, walaupun pelbagai mazhab berbeda dalam beberapa pasal kecil. Pertumbuhan ini disebabkan karena cita-cita sosial dan cara hidup di seluruh dunia Islam dalam abad pertengahan menuju arah yang sama. Syariat lebih dalam mempengaruhi kehidupan hukum Rumawi; karena memiliki landasan agama dan ancaman hukuman Tuhan, maka syariat adalah pengatur rohani merupakan suara hati umat Islam dalam semua segi dan kegiatan kehidupannya.

Tugas hukum syariat ini bertambah besar artinya waktu kehidupan politik dunia Islam lebih lama menyimpang dari keinginan Muhammad saw. dan pengganti-pengganti beliau yaitu pemerintahan berdasarkan ketuhanan. Keruntuhan khalifah Bani Abbas dalam abad kesembilan dan kesepuluh Masehi membuka pintu tidak hanya bagi kehancuran politik, tetapi juga bagi perebutan kekuasaan kerajaan oleh pangeran-pangeran setempat dan gubernur militer, terbit dan tenggelamnya kerajaan-kerajaan yang berumur pendek, dan berkobarlah perang saudara. Bagaimanapun hebatnya kekuatan politik dan militer kerajaan Islam itu telah dilemahkan, gengsi moral hukum syariat lebih dijunjung dan dapat mengutuhkan serta mengukuhkan bentuk sosial Islam sepanjang pasang surut nasib politik Islam.

Pada akhir, abad kesepuluh Masehi, daerah Islam sedikit lebih luas dibandingkan pada tahun 750. Semenjak diciptakan suatu peradaban besar, memuncak kehidupan intelektual, kaya dan cerdas dalam bidang ekonomi, dipersatukan dengan kukuh oleh syariat yang dihormati; seluruhnya merupakan penjelmaan kekuasaan Islam rohani dan duniawi. Waktu kekuatan militernya berkurang, maka sebagaimana juga. terjadi dengan kerajaan Rumawi enam abad sebelumnya, kerajaan Islam berangsur-angsur dikuasai oleh bangsa-bangsa biadab dari luar perbatasannya; dan juga seperti kerajaan Rumawi, mengenakan pada bangsa biadab tadi agamanya, hukumnya, dan penghormatan terhadap peradabannya.

Bangsa-bangsa biadab itu ialah Turki yang berasal dari Asia Tengah. Tekanan ke arah Barat membawa orang Bulgar, Magiar, Kumari, Pecineg ke Rusia Selatan dan Eropa Timur, mendatangkan suku-suku lain ke Iran dan lebih ke Barat, ke Irak, dan Anatolia. Pekerjaan pengislaman telah dilakukan, waktu mereka masih diam di tempat asalnya di Asia Tengah; oleh karena itu, kerajaan Sultan Turki yang didirikan di Asia Barat mula-mula hanya membawakan sedikit perubahan yang tampak ke luar dalam kehidupan rumah tangga umat Islam. Akibat pertama adalah perluasan militer; ke arah Tenggara menuju India Utara, ke arah Barat Laut menuju Asia Kecil. Pada waktu yang sama, jauh di sebelah Barat, suku Berber nomad telah membawa Islam, ke tepi dunia Afrika Negro di daerah lembah Senegal dan Niger sedang buku-buku Arab nomad yang tidak diawasi lagi oleh kekuasaan khalifah yang terdahulu telah merusakkan dan melengahkan pusat peradaban yang telah didirikan oleh bangsanya sendiri sebelum di atas puing runtuhan Afrika Romawi dan Bizantium.

Bagi umat Islam, kebangkitan kembali unsur-unsur nomad di dunia Islam merupakan suatu masalah yang boleh dibandingkan dengan masalah yang dihadapi oleh Gereja Kristen waktu kerajaan Jerman berkembang. Islam telah tumbuh subur didalam rangka peradaban kota. Latar belakang kesosialannya ialah kehidupan teratur suatu negara yang memusatkan segala kuasa. Tradisi ini menjadi kuat, hingga contoh yang diuraikan tadi pengaruhnya susut diantara orang Arab Badui. Islam sekarang menghadapi tugas menjalankan ketertiban agama dan kebudayaan dalam suatu masyarakat sosial, yang dikuasai oleh rasa kesukuan. Cara penyelesaian yang lama (dari zaman Muhammad saw. sendiri) dengan memaksa atau melihat hati suku-suku tersebut supaya hidup teratur, hanya mungkin dijalankan diantara golongan kecil suku yang berkuasa menjadi pengawal dan perwira sultan di ibu kota yang baru. Meskipun para sultan sendiri biasanya muslimin yang bersemangat, dan pemerintahnya dalam dua atau tiga generasi dapat menyesuaikan diri dengan pola yang lazim dari masyarakat teratur, mereka jarang sanggup menguasai seluruh penganut mereka yang nomad atau yang setengah nomad.

Tugas mencegah keruntuhan sosial dan kebudayaan Islam, dan menarik suku-suku ke dalam lingkaran kekuatan peradaban yang menyatupadukan umat ini ditunaikan dengan suatu alat baru yang digembleng diantara penduduk kota dalam abad-abad sebelumnya. Pada waktu itu, tekanan akidah dan ibadat agama Islam telah menumbangkan sebagian besar rintangan, yang sebelumnya telah disalurkan dalam pergerakan menentang paham resmi dan pergerakan di bawah tanah. Hal ini tidak menyebabkan pergerakan tadi berhenti. Sebaliknya, perasaan bakti penduduk kota dengan mencari jalan sendiri memutuskan ikatan-ikatan ketaatan yang kuno dan menemukan kemerdekaan baru dalam bidang ilmu tasawuf. Mulai abad kesebelas Masehi, ilmu Sufi mengerahkan kebaktian sebagian besar kegiatan kerohanian umat Islam, dan mendirikan suatu sumber pembaharuan kepribadian yang sanggup mempertahankan tenaga kebatinan selama abad-abad sesudahnya penuh dengan kemerosotan politik dan perekonomian.

Pertumbuhan dan perkembangan ilmu Sufi memperlihatkan berbagai sifat ciri kebudayaan Islam. Ilmu Sufi berpancar dari bawah, dari tindakan spontan oknum-oknum penduduk, dan jumlah terbesar dari golongan pertukangan di kota. Untuk itu tidak mendapat persetujuan dari yang berwajib; sebaliknya, banyak perlawanan dan tuntutan para alim-ulama. Pergerakan tetap bersifat swasta dan pribadi; hanya setelah tumbuh beberapa abad, pergerakan diatur dalam bentuk lembaga. Terutama ketegangan antara sifat kekakuan hukum syariat dan sifat kelentukan yang terbit dari naluri kebatinan oknum, segalanya mengikuti pola yang didapat pada seluruh penjelmaan kerohanian dan kebudayaan Islam.

Para ahli Sufi, baik sebagai penyiar perseorangan maupun (di kemudian hari) sebagai anggota dalam gabungan tarekat merupakan pemimpin dalam tugas mengislamkan orang penyembah berhala, yang tidak beragama, dan suku yang hanya tipis sekali pengislamannya. Penyebaran agama berhasil ialah terbanyak oleh kawan sebangsa sendiri dari suku-suku tersebut yang biasanya kikuk, buta huruf, dan kasar. Merekalah yang meletakkan dasar-dasar yang memungkinkan generasi kemudian menerima keadaban hukum syariat dan tauhid yang lebih halus. Berkat pekerjaan mereka, maka dalam abad-abad berikutnya, batas-batas daerah Islam dapat diperluas di Afrika, India, dan Indonesia, melintangi Asia Tengah ke Turkestan dan Tiongkok, dan di beberapa bagian Eropa Tenggara.

Kegiatan tersebut dapat dibandingkan dengan karya organisasi kerahiban di Eropa Utara dan Eropa Tengah. Penyebaran Islam adalah khas pekerjaan perseorangan, bukan pekerjaan yang teratur. Pergerakan Sufi tidak pernah disesuaikan dengan pelajaran agama yang ortodoks, tetapi dengan rasa cemburu mempertahankan kemerdekaannya, bahkan ada kalanya menentang pelajaran ortodoks tadi. Tidak ada penguasa pusat ortodoks yang dapat menggabungkan mereka menjadi satu; juga tidak ada lembaga yang mengawasi dan memimpin kegiatan para Sufi ini. Memang benar ada khalifah; tetapi khalifah bukannya Paus, dan sejak zaman Bani Umayah alim ulama dengan mutlak menolak menyerahkan kuasa kerohanian sedikit pun kepada para khalifah. Khalifah ialah kepala urusan agama dan keduniawian umat Islam, artinya merupakan penjelmaan keutamaan iman dan syariat. Percobaan yang dilakukan oleh tiga orang khalifah dalam abad kesembilan Masehi untuk mentakrifkan akibat ortodoks telah ditolak dengan mutlak, dan setelah itu tidak pernah dicoba lagi.

Tambahan pula, raja-raja merdeka yang mau mengakui kekuasaan agama khalifah, lekas gusar dan lekas memadamkan segala campur tangan dalam urusan kerajaannya. Tidak jarang mereka lebih menghormati guru kerohanian Sufi mereka daripada alim ulama dan ahli fiqih golongan sunah waljamaah. Oleh karena itu, para alim ulama tersebut merasa dirinya terjepit dalam hubungannya dengan kekuasaan duniawi.

Sejak abad kesepuluh Masehi, negara lambat laun meninggalkan jalan yang telah direncanakan oleh ahli teori Islam. Negara bekerja keras mewujudkan peradaban sendiri dengan mengambil nilai-nilai tradisi kerajaan Asia lama yang berbeda jauh dengan nilai-nilai Islam. Dalam pada itu, para alim ulama dengan tidak henti-hentinya memerangi dasar hukum syariat. Kemudian ahli teori politik Islam menyesuaikan diri pada keadaan yang berubah, mulai membedakan khalifah dari kerajaan. Mereka menggunakan istilah yang pertama dalam makna baru untuk mentakrifkan sebarang pemerintah yang mengakui dan melaksanakan hukum syariat sebagai kebalikan perajalelaan duniawi yang dijelmakan oleh hukum sewenang-wenang atau hukum alamiah.

Perselisihan untuk menegakkan cita-cita Islam tadi menghindarkan berhentinya kehidupan rohani dan intelektual umat Islam, umumnya para ahli fiqih menderita kekalahan. Sebagian kesalahannya adalah pada mereka sendiri karena ahli fiqih yang jujur dan cermat segan menerima jabatan agama di bawah sultan-sultan. Oleh karena penolakan untuk menerima jabatan resmi itu, maka lapangannya ditempati oleh rekan-rekannya dari golongan kaum peleceh yang kurang teliti. Walaupun kemurnian alasan-alasan mereka dapat dihormati, pengunduran diri mereka tadi melemahkan daya guna mereka untuk memberantas dengan tegas keburukan yang telah berakar diantara golongan yang berkuasa di segenap propinsi dunia Islam. Golongan tengahan, umumnya sebaliknya menerima walaupun tidak selamanya mentaati cita-cita Islam, dan lama kelamaan beserta golongan alim ulama diserap pengaruh Sufi. Dapat dikatakan (dengan sedikit berlebih-lebihan) bahwa dalam dunia Islam yang diselubungi oleh pernyataan lahir bersama-sama beragama Islam, hidup berdampingan dua masyarakat yang tegas berbeda saling mempengaruhi hingga batas tertentu, tetapi dalam dasar pokoknya saling bertentangan.

Perkembangan yang digambarkan di muka tadi dipercepat oleh malapetaka yang berturut-turut terjadi di Asia Barat dalam abad ketiga belas dan keempat belas. Penyerbuan pertama kaum Mongol penyembah berhala, membumihanguskan propinsi-propinsi bagian Timur Laut antara 1220 dan 1225 M. Gelombang kedua yang menduduki Persia dan Irak menamatkan khalifah Baghdad yang bersejarah dalam 1258 M, dan memaksakan seluruh dunia Islam Timur, terkecuali Mesir, Arabia, dan Siria, membayar upeti kepada kerajaan Mongol yang besar. Sisa-sisanya diselamatkan oleh golongan militer terdiri dari "budak belian" Turki dan Kipcak, kaum Mamluk, yang telah merebut kekuasaan politik di Mesir. Di bawah pemerintahan Mamluk, peradaban Islam yang lama langsung berkembang lebih kurang dua setengah abad dalam bidang kesenian benda (istimewa dalam lapangan seni bangunan dan seni-kerajinan logam), tetapi disertai kemunduran daya kerohanian dan intelek.

Pada waktu yang sama, di daerah-daerah kekuasaan Mongol hidup kembali suatu peradaban Islam Persia yang cemerlang pada beberapa segi. Terutama dalam seni bina dan kesenian halus, termasuk seni lukis dalam bentuk yang sangat kecil (miniatur); kebudayaan tersebut berakar dalam kerohanian Sufi. Meskipun kedatangan dua kali "Maut Hitam" dan mengalami serbuan Timur Lenk dalam abad keempat belas yang menghancurleburkan Persia, namun kebudayaan Persia mampu memberikan ragam kepada kehidupan intelektual dari kerajaan-kerajaan Islam baru, --yang dilahirkan pada kedua sisinya-- di Anatolia, Balkan, dan India.

Perluasan kerajaan Dinasti Osman di Asia dan Afrika Utara serta pembentukan kerajaan Mughal di India dalam abad keenam belas membawa sebagian besar dunia Islam kebawah pengawasan pemerintahan negara keduniawian yang kuat, memusatkan kekuasaannya yang besar. Ciri khas kedua kerajaan tadi ialah menitikberatkan pada pandangan ahli sunah waljamaah dan hukum syariat. Urusan agama dan urusan ketatanegaraan tidak dipersatukan karena kebijaksanaan militer dan sipil disusun menurut garis tidak Islam yang bebas, tetapi dapat saling menyokong akibat suatu persetujuan yang berlangsung hingga abad kesembilan belas.

Diantara dua saluran kehidupan agama Islam tersebut, saluran Sufilah yang lebih lebar dan dalam. Abad ketujuh belas dan permulaan abad kedelapan belas menyaksikan puncak tertinggi tarekat Sufi. Tarekat-tarekat besar menyebarkan suatu jalinan perhimpunan-perhimpunan dari mula hingga akhir dunia Islam, sedang perkumpulan-perkumpulan setempat dan cabang-cabangnya menggabungkan anggota pelbagai golongan dan kejuruan jadi umat yang bersatu padu. Selain itu, kebudayaan Islam dalam dua kerajaan tersebut yang hanya hidup atas warisan zaman silam, dapat memelihara, akan tetapi jarang dapat menambah kekayaan warisan intelektual tersebut. Tokoh-tokohnya berpendapat bahwa kewajibannya pertama ialah bukan hanya memperluas, akan tetapi memelihara, menyatukan, dan menyesuaikan kehidupan sosial atas sendi-sendi nilai Islam. Dalam batas-batas tersebut kadar persatuan yang telah mereka capai, dan ketertiban sosial yang dapat dilangsungkan memang menarik perhatian.

Persatuan itu merupakan suatu kekecualian yang menyolok mata. Dalam permulaan abad keenam belas, suatu kerajaan baru yang disokong oleh suku Turki dan Adzerbaijan menaklukan Persia dan menghidupkan kembali Syiah yang telah mengalami kemunduran, dan meresmikan Syiah sebagai agama resmi Persia. Selama peperangan dengan Dinasti Osman, orang Turki dari Asia Tengah, dan orang Mughal, yang semuanya ahli sunah waljamaah, Syiah dijadikan ciri perasaan nasional Persia. Akibat perpecahan antara Persia dan tetangganya penting buat semuanya. Umat Islam selanjutnya dipecah menjadi dua golongan yang terpisah, dan hubungan kebudayaan antara dua golongan tadi, sejak itu meskipun tidak diputuskan seluruhnya hanya dapat dilakukan serba sedikit saja. Persia terpaksa terpencil dalam urusan politik dan agamanya mencukupi kebutuhannya sendiri, yang akhirnya memiskinkan kehidupan rohani dan budaya mereka. Lebih-lebih pula waktu kekuatan politiknya mundur, orang suku Afghan dalam abad kedelapan belas melepaskan hubungan dan mendirikan suatu negara sunah merdeka.

Abad kedelapan belas menyaksikan pula kemunduran kekuatan militer Dinasti Osman dan Mughal. Negara Mughal telah dirongrong oleh suatu pemberontakan Hindu diantara orang Mahratta, yang membuka pintu bagi penjajahan Inggris. Orang Dinasti Osman berhasil menegakkan kuasanya di wilayah mereka di Asia dalam pertengahan pertama abad kesembilan belas, tetapi hanya dengan menggunakan taktik Eropa lambat laun melemahkan masyarakat Islam. Ketika hasil Perang Dunia pertama negara Arab dapat meloloskan diri dari genggamannya, mereka memilih mendirikan suatu Republik Turki keduniawian baru di wilayah Turki di Anatolia dan Thrasia Timur.

Keruntuhan kekuasaan politik Islam tidak membawa kelemahan yang sejajar dalam daya tenaga umat Islam. Sebagaimana kita ketahui, urusan agama dan urusan ketatanegaraan sejak lama sudah terpisah menjadi dua kepastian. Adapun kemunduran ketatanegaraan agaknya mengembuskan kegiatan baru dalam bidang agama. Perkembangan Islam selama dua abad yang terakhir, akan ditinjau dengan panjang lebar dalam bab yang terakhir buku ini. Sekarang masih perlu ditambahkan beberapa keterangan tentang perluasan Islam di daerah-daerah yang jauh letaknya.

Di Afrika Barat Daya adanya perasaan kesukuan diantara kedua pihak, orang Arab dan Berber, menukarkan kegiatan kebudayaan. Aliran ortodoks dan tarekat Sufi, keduanya dipengaruhi pemujaan orang-orang suci, wali yang masih hidup setempat ("marabout"). Di Tunisia dan di beberapa kota lain, sebagian warisan kebudayaan Spanyol Arab tetap dilanjutkan, bahkan waktu Tunisia dan Aljazair merupakan wilayah bajak laut, setengah jajahan kerajaan Dinasti Osman. Di Maroko di bawah sultan-sultan (yang dapat menyelamatkan kedaulatannya hingga 1912), bahkan di Sahara Barat di bawah kepala suku-suku yang lebih kecil, pelajaran ahli sunah yang lazim dilanjutkan, dan diperkuat oleh pengaruh yang datang dari daerah Timur.

Dalam beberapa abad setelah kemunduran kerajaan Negro Mandingo dalam abad pertengahan, Islam hanya memperoleh kemajuan sedikit. Dalam pertengahan pertama abad kesembilan belas, perang berturut-turut antara kepala suku Negro telah menghasilkan kerajaan-kerajaan yang berumur pendek karena penundukan suku penyembah berhala. Tetapi, pekerjaan perhimpunan misi Kristen yang menyusul lebih mengesankan dan tetap mengesankan. Berkat propaganda misi dengan jalan damai dapat mengurangi sebagian besar perangai permusuhan yang disebabkan karena kebiadabannya. Di Afrika Timur terdapat sedikit perembesan Islam ke daerah pedalaman, meskipun sejak lama telah ada perkampungan-perkampungan muslim yang makmur di daerah pantai. Sebab utama kegagalan mereka adalah perdagangan budak; larangan perdagangan budak diikuti dengan meluapnya kegiatan misi Kristen yang dipimpin terutama oleh orang Swahili. Di Afrika Selatan, Islam terutama diwakili oleh orang Melayu dan India, yang menetap di sana sebagai imigran.

Di kepulauan Melayu sendiri, Islam telah beroleh tumpuan di Sumatera dan Jawa, oleh pedagang-pedagang dalam abad ketiga belas dan keempat belas. Agama Islam lambat laun membiak, sebagian hasil tindakan panglima militer, tetapi lebih cepat dengan jalan perembesan damai, khusus di Jawa. Dari Sumatera, Islam dibawa oleh para perantau ke Semenanjung Malaya; juga dari Pulau Jawa ke Maluku. Sejak itu agama tersebut mendapat kedudukan yang lebih kuat di seluruh kepulauan di bagian Timur hingga ke Pulau Sulu, Mindanao, dan Filipina.

Penyebaran Islam di Tiongkok hingga kini masih terselubung dalam kegelapan. Kelompok muslimin dalam jumlah agak besar, yang pertama menetap di sana --barangkali dalam zaman kerajaan Mongol-- dalam abad ketiga belas dan keempat belas. Jumlahnya bertambah besar di bawah pemerintah Mancu, biarpun ada perasaan permusuhan setempat karena pemberontakan (kadang-kadang hebat) yang dilakukan oleh kaum muslimin. Tetapi, hingga kini tidak mungkin menaksirkan jumlahnya.

Hasil bersih dari perluasan selama tiga belas abad ialah Islam sekarang merupakan agama yang terutama dalam lingkungan daerah luas yang meliputi Afrika Utara, Asia Barat, hingga bukit Pamir, kemudian ke Timur meliputi Asia Tengah hingga Tiongkok, dan ke Selatan ke Pakistan. Di India hanya tinggal sepersepuluh penduduk yang beragama Islam. Di Semenanjung Malaya, Islam unggul lagi melewati Indonesia hingga berakhir di Filipina. Di pantai Barat Lautan India, Islam memanjang ke selatan sebagai lajur yang sempit dari pantai Afrika hingga Zanzibar dan Tanganyika dengan beberapa kelompok hingga masuk ke Uni Afrika Selatan. Di Eropa, kelompok-kelompok muslimin terdapat di sebagian besar negara Balkan dan Rusia Selatan. Di Amerika Utara dan Amerika Selatan, Islam diwakili oleh kelompok imigran dari Timur Tengah.

Semua agama besar di dunia, maka Islam --sebelumnya perluasan kegiatan misi Kristen dalam abad kesembilan belas-- meliputi jumlah bangsa yang terbanyak. Asal mulanya di tengah-tengah orang Arab dan bangsa Semit lain, kemudian Islam berkembang diantara orang Iran, Kaukasus, orang kulit putih Laut Tengah, Slavia, Turki, Tartar, Tionghoa, India, Indonesia, Bantu, dan Negro dari Afrika Barat. Jumlah terbesar sekarang ialah muslimin dari Pakistan dan India sebanyak 100.000.000. Disusul oleh orang Melayu dan Indonesia sebanyak 70.000.000. Orang Arab dan bangsa-bangsa yang berbahasa Arab menyusul dekat dengan 20.000.000. Muslimin di Asia Barat, 24.000.000, Afghanistan kira-kira 12.000.000, dan Turki (walaupun Islam bukan agama resmi, masih tetap merupakan agama rakyat) 20.000.000. Jumlah masyarakat Islam di daerah Asia, Uni Sovyet, di Turkestan Tiongkok, dan di Tiongkok sendiri sukar ditaksir, tetapi jumlahnya sekurang-kurangnya 30.000.000. Jumlah muslimin di Afrika Negro dan Afrika Timur hanya dapat ditaksir dengan kasar 24.000.000. Akhirnya, kaum muslimin di Balkan dan di Rusia Selatan berjumlah kurang lebih 3.000.000. Oleh karena itu, Islam dapat menuntut memiliki penganut 350.000.000, atau kira-kira sepertujuh dari taksiran seluruh jumlah penduduk dunia.

(sebelum, sesudah)


Islam dalam Lintasan Sejarah
oleh Sir Hamilton Alexander Rosskeen Gibb
Penerbit Bhratara Karya Aksara - Jakarta 1983


Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team