BAGIAN KEDUAPULUH EMPAT: PEMBEBASAN MEKAH
(2/3)
Disamping Abbas, yang juga berangkat menyongsong ialah
Abu Sufyan bin'l-Harith b. 'Abd'l-Muttalib, sepupu Nabi,
Abdullah b. Abi Umayya bin'l-Mughira, anak bibinya. Mereka
menggabungkan diri dengan pasukan Muslimin di Niq'l-'Uqab.
Mereka berdua minta ijin akan menemui Nabi, tapi Nabi
menolak.
"Tidak perlu aku kepada mereka," katanya kepada Umm
Salama, isterinya, ketika ia mencoba membicarakan masalah
dua orang itu. "Aku sudah banyak menderita karena anak
pamanku itu. Sedang anak bibiku, dan iparku pula, ia sudah
mengatakan yang bukan-bukan ketika ia di Mekah."
Keterangan ini disampaikan kepada Abu Sufyan, dan dia
berkata:
"Demi Allah, bagiku hanyalah aku ingin diijinkan bertemu,
atau, dengan bantuan anakku ini, kami akan pergi ke mana
saja, sampai kami mati kehausan dan kelaparan."
Nabi merasa kasihan kepada mereka. Kemudian mereka pun
diijinkan masuk menemuinya, dan mereka menyatakan masuk
Islam.
Menyaksikan pasukan Muslimin serta
kekuatannya yang demikian rupa, Abbas b. 'Abd'l-Muttalib
sekarang merasa cemas dan terkejut sekali. Sekalipun ia
sudah masuk Islam, namun hatinya selalu kuatir akan bencana
yang akan menimpa Mekah jika kekuatan pasukan yang belum
pernah ada bandingannya di seluruh jazirah Arab itu kelak
menyerbu ke dalam kota. Bukankah baru saja ia meninggalkan
Mekah, meninggalkan keluarga dan handai-tolan, yang belum
lagi terputus pertalian mereka karena Islam yang baru
dianutnya itu? Boleh jadi ia menyatakan rasa kekuatirannya
itu kepada Rasul, dan ia bertanya apa yang akan diperbuatnya
kalau pihak Quraisy minta damai. Atau boleh jadi juga
sepupunya ini yang dengan senang hati membuka pembicaraan
dengan Abbas dalam hal ini, dan diharapkannya ia menjadi
seorang utusan yang akan memberi kesan yang menakutkan
kepada sekelompok orang di kalangan Quraisy itu, sehingga
kelak dapat memasuki Mekah tanpa sesuatu pertumpahan darah
dan Mekah akan tetap dalam kesuciannya seperti dulu dan
seperti yang seharusnya akan demikian.
Dengan duduk di atas seekor bagal3 putih
kepunyaan Nabi, Abbas berangkat pergi ke daerah Arak, dengan
harapan kalau-kalau ia akan berjumpa dengan orang mencari
kayu, atau tukang susu atau dengan manusia siapa saja yang
sedang pergi ke Mekah. Ia akan menitipkan pesan kepada
penduduk kota itu tentang kekuatan pasukan Muslimin yang
sebenarnya supaya mereka kelak menemui Rasulullah dan minta
damai sebelum pasukan ini memasuki kota dengan
kekerasan.
Sejak pihak Muslimin berlabuh di Marr'z-Zahran, pihak
Quraisy sudah mulai merasakan adanya bahaya yang sedang
mendekati mereka. Maka diutusnya Abu Sufyan b. Harb, Budail
b. Warqa' dan Hakim b. Hizam - masih kerabat Khadijah -
mencari-cari berita serta mengajuk sampai seberapa jauh
bahaya yang mungkin mengancam mereka itu.
Sementara Abbas sedang di atas bagal Nabi
yang putih itu, tiba-tiba ia mendengar ada percakapan antara
Abu Sufyan b. Harb dengan Budail b. Warqa' sebagai
berikut:
Abu Sufyan: "Aku belum pernah melihat api unggun dan
pasukan tentara seperti yang kita lihat malam ini."
Budail: "Tentu itu api unggun Khuza'a yang sudah
dirangsang perang."
Abbas sudah mengenal suara Abu Sufyan
itu, lalu dipanggilnya dengan nama julukannya:
"Abu Hanzala!"
"Abu'l-Fadzl!" gilir Abu Sufyan menyahut.
"Abu Sufyan, kasihan engkau!" kata Abbas. "Rasulullah
berada di tengah-tengah rombongan itu. Apa jadinya Quraisy
kalau mereka memasuki Mekah dengan kekerasan."
"Apa yang harus kita perbuat!" kata Abu Sufyan.
"Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu."4
Oleh Abbas ia dinaikkannya di belakang bagal dan
diajaknya berangkat bersama-sama, sedang kedua temannya
disuruhnya kembali ke Mekah. Oleh karena ketika melihat
bagal itu mereka sudah mengenalnya, dibiarkannya ia dengan
penumpangnya itu lalu di hadapan mereka, di tengah-tengah
sepuluh ribu orang yang sedang memasang api unggun, yang
sengaja dipasang untuk menimbulkan kegentaran dalam hati
penduduk Mekah.
Akan tetapi ketika bagal itu lalu di depan api unggun
Umar bin'l-Khattab, dan Umar melihatnya, sekaligus ia
mengenal Abu Sufyan dan diketahuinya pula bahwa Abbas hendak
melindunginya. Cepat-cepat ia pergi ke kemah Nabi dan
dimintanya kepada Nabi supaya batang leher orang itu
dipenggal.
"Rasulullah," kata Abbas. "Saya sudah melindunginya."
Menghadapi situasi semacam itu dan waktu
sudah malam pula, dan setelah terjadi perdebatan yang kadang
sengit juga antara Umar dan Abbas, Muhammad berkata:
"Bawalah dia dulu ke tempatmu, Abbas. Pagi-pagi besok
bawa ke mari."
Keesokan harinya, bilamana Abu Sufyan sudah dibawa lagi
menghadap Nabi dan disaksikan oleh pembesar-pembesar dari
kalangan Muhajirin dan Anshar - terjadi dialog demikian
ini:
Nabi: "Kasihan kamu Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba
waktunya sekarang engkau harus mengetahui, bahwa tak ada
Tuhan selain Allah!?"
Abu Sufyan: "Demi ibu-bapaku! Sungguh bijaksana engkau!
Sungguh pemurah engkau dan suka memelihara hubungan
keluarga! Aku memang sudah menduga, bahwa tak ada tuhan
selain Allah, itu sudah mencukupi segalanya."
Nabi: "Kasihan engkau Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba
waktunya engkau harus mengetahui, bahwa aku
Rasulullah!?"
Abu Sufyan: "Demi ibu-bapaku! Sungguh bijaksana engkau!
Sungguh pemurah engkau dan suka memelihara hubungan
keluarga! Tetapi mengenai hal ini, sungguh sampai sekarang
masih ada sesuatu dalam hatiku."
Sekarang Abbas campur tangan. Ia bicara dengan ditujukan
kepada Abu Sufyan, supaya ia mau menerima Islam dan bersaksi
bahwa tak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
pesuruhNya - sebelum batang lehernya dipenggal. Menghadapi
hal ini buat Abu Sufyan tak ada jalan lain ia harus
menerima. Sekarang Abbas menghadapkan pembicaraannya kepada
Nabi 'alaihissalam:
"Rasulullah," katanya. "Abu Sufyan orang yang gila
hormat. Berikanlah sesuatu kepadanya."
"Ya," kata Rasulullah "Barangsiapa datang ke rumah Abu
Sufyan, orang itu selamat, barangsiapa menutup pintu
rumahnya orang itu selamat dan barangsiapa masuk ke dalam
mesjid orang itu juga selamat."
Ahli-ahli sejarah dan penulis-penulis riwayat hidup Nabi
semua sepakat tentang terjadinya peristiwa-peristiwa itu.
Hanya sebagian mereka masih ada yang bertanya-tanya: Adakah
semua itu terjadi karena kebetulan saja? Kepergian Abbas
kepada Nabi dengan maksud hendak pergi ke Medinah, tiba-tiba
bertemu dengan pasukan tentara Muslimin di Juhfa, begitu
juga kepergian Budail b. Warqa' dan Abu Sufyan b. Harb yang
hanya sekedar mau mengintai, padahal sebelum itu Budail
sendiri sudah ke Medinah dan melaporkan kepada Nabi apa yang
telah terjadi terhadap Khuza'a dan dari Nabi diketahuinya
bahwa Nabi akan membelanya. Adakah dalam kepergiannya ini
Abu Sufyan tidak menyadari bahwa Muhammad juga telah
berangkat hendak menyerbu Mekah? Ataukah karena sesuatunya
itu - sedikit banyak - dengan suatu persepakatan yang sudah
diatur lebih dulu, dan karena persepakatan itu pula, telah
mempertemukan Abbas dengan Abu Sufyan, dan bahwa Abu Sufyan
sudah yakin - sejak ia pergi ke Medinah hendak meminta
perpanjangan waktu Perjanjian Hudaibiya dan kembali dengan
tangan kosong - bahwa tak ada jalan lain buat Quraisy akan
dapat menahan Muhammad dan yakin pula ia bahwa kalau ia
membukakan jalan untuk pembebasan itu ia akan tetap memegang
pimpinan dan mempertahankan kedudukannya yang penting di
Mekah, dan bahwa apa yang telah menjadi persepakatan mereka
itu tidak sampai pula kepada Muhammad dan kepada orang-orang
yang berkepentingan dengan soal itu, dengan kenyataan bahwa
Umar sendiri pun telah bermaksud hendak membunuh Abu Sufyan?
Besar sekali risikonya kita akan menjatuhkan vonis. Tetapi
rasanya kita sudah akan dapat memastikan - untuk memuaskan
hati kita - bahwa baik karena suatu kebetulan saja yang
telah menyebabkan semua peristiwa itu, atau karena memang
sudah ada semacam suatu persepakatan, tapi yang terang kedua
kejadian itu menunjukkan, betapa cermat dan pandainya
Muhammad dapat menguasai suatu peperangan terbesar dalam
sejarah Islam tanpa pertempuran dan tanpa pertumpahan
darah.
Islamnya Abu Sufyan itu tidak akan
mengurangi kewaspadaan dan kesiap-siagaan Muhammad dalam
menyiapkan diri hendak memasuki Mekah. Kalau kemenangan yang
di tangan Tuhan itu memang diberikan kepada siapa saja yang
dikehendakiNya, tapi Tuhan akan memberikan pertolongan hanya
kepada orang yang sudah mengadakan persiapan, dan dalam
segala hal dan setiap saat berjaga-jaga terhadap segala
kemungkinan. Oleh karena itu diperintahkannya supaya Abu
Sufyan ditahan dulu di sela wadi, pada sebuah jalan masuk
gunung ke Mekah, sehingga bila nanti pasukan Muslimin lewat,
ia akan melihatnya sendiri, dan dapat pula dengan jelas ia
melaporkan kepada golongannya, supaya jangan timbul
perlawanan yang bagaimanapun bentuknya, apabila ia dapat
cepat-eepat kembali kepada mereka kelak.
Bilamana kemudian kabilah-kabilah itu lewat di hadapan
Abu Sufyan, yang sangat mempesonakan hatinya ialah batalion
serba hijau yang mengelilingi Muhammad, yang terdiri dari
kaum Muhajirin dan Anshar, dan yang tampak hanyalah pakaian
besi. Setelah mengetahui keadaan itu Abu Sufyan berkata:
"Abbas, kiranya takkan ada orang yang sanggup menghadapi
mereka itu. Abu'l-Fadzl, kerajaan kemenakanmu ini kelak akan
menjadi besar!"
Sesudah itu kemudian ia dibebaskan pergi menemui
golongannya dan dengan suara keras ia berteriak kepada
mereka:
"Saudara-saudara Quraisy! Muhammad sekarang datang dengan
kekuatan yang takkan dapat kamu lawan. Tetapi barangsiapa
datang ke rumah Abu Sufyan orang itu selamat, barangsiapa
menutup pintu rumahnya, orang itu selamat dan barangsiapa
masuk ke dalam mesjid orang itu juga selamat!"
Muhammad sudah berangkat bersama pasukannya sampai ke
Dhu-Tuwa. Setelah dilihatnya dari tempat itu tak ada
perlawanan dari pihak Mekah, pasukannya dihentikan. Ia
membungkuk menyatakan rasa syukur kepada Tuhan, yang telah
membukakan pintu Lembah Wahyu dan tempat Rumah Suci itu
kepadanya dan kepada kaum Muslimin, sehingga mereka dapat
masuk dengan aman, dengan tenteram.
Dalam pada itu Abu Quhafa (ayah Abu Bakr) - yang belum
lagi masuk Islam waktu itu - meminta kepada cucunya yang
perempuan supaya ia dibawa mendaki gunung Abu Qubais.
Sesampainya di atas gunung, orang yang sudah buta itu
bertanya kepada cucunya apa yang dilihatnya. Oleh cucunya
dijawab bahwa ia melihat sesuatu serba hitam berkelompok
"Itu pasukan berkuda", kata orang tua itu.
"Sekarang yang serba hitam itu sudah terpencar," kata
cucunya lagi.
"Kalau begitu pasukan berkuda itu sedang bertolak ke
Mekah. Cepat-cepatlah bawa aku pulang ke rumah."
Tetapi sebelum ia sampai ke rumahnya pasukan berkuda itu
sudah lebih dulu sampai.
Muhammad merasa bersyukur kepada Tuhan
karena pintu Mekah kini telah terbuka. Tetapi sungguhpun
demikian ia tetap selalu waspada dan berhati-hati.
Diperintahkannya pasukannya supaya dipecah menjadi empat
bagian. Diperintahkan kepada mereka semua supaya jangan
melakukan pertempuran, jangan sampai meneteskan darah,
kecuali jika sangat terpaksa sekali. Zubair bin'l-'Awwam
dalam memimpin pasukan itu ditempatkan pada sayap kiri dan
diperintahkan memasuki Mekah dari sebelah utara. Khalid
bin'l-Walid ditempatkan pada sayap kanan dan diperintahkan
supaya memasuki Mekah dari jurusan bawah. Sa'd b. 'Ubada
yang memimpin orang Medinah supaya memasuki Mekah dari
sebelah barat, sedang Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah oleh Muhammad
ditempatkan ke dalam barisan Muhajirin dan bersama-sama
memasuki Mekah dari bagian atas, di kaki gunung Hind.
Gambar 1. Berdasarkan peta Ar-Rasul'
l-Qa'id. "Diperintahkannya·pasukannya
supaya dipecah menjadi empat bagian." (h. 508)
|
Sementara mereka sedang dalam persiapan demikian itu,
tiba-tiba terdengar Said b. 'Ubada berkata:
"Hari ini adalah hari perang. Hari dibolehkannya segala
yang terlarang ..."
Dalam hal ini ia telah melanggar perintah Nabi, bahwa
kaum Muslimin tidak boleh membunuh penduduk Mekah. Oleh
karena itu, ketika Nabi mengetahui apa yang dikatakan oleh
Sa'd itu, terpikir olehnya akan mengambil bendera yang ada
di tangannya dan menyerahkannya kepada anaknya, Qais. Qais
adalah laki-laki yang bertubuh besar, tapi ia lebih tenang
dari ayahnya.
Ketika pasukan sudah memasuki kota, dari pihak Mekah
tidak ada perlawanan, kecuali pasukan Khalid bin'l-Walid
yang berhadapan dengan perlawanan dari mereka yang tinggal
di daerah bagian bawah Mekah. Mereka ini terdiri dari
orang-orang Quraisy yang paling keras memusuhi Muhammad dan
yang ikut serta dengan Banu Bakr melanggar Perjanjian
Hudaibiya dengan mengadakan serangan terhadap Khuza'a.
Mereka ini tidak mau memenuhi seruan Abu Sufyan. Bahkan
mereka telah menyiapkan diri hendak berperang, sementara
yang lain dari golongan mereka ini juga telah bersiap-siap
pula hendak melarikan diri. Mereka dipimpin oleh Safwan,
Suhail dan 'Ikrima b. Abi Jahl. Bilamana pasukan Khalid ini
datang, mereka menghujaninya dengan serangan panah. Tetapi
secepat itu pula Khalid berhasil meneerai-beraikan mereka.
Sungguhpun begitu dua orang dari anak buahnya tewas, karena
mereka ini ternyata sesat jalan dan terpisah dari induk
pasukannya, sementara pihak Quraisy kehilangan tigabelas
orang, menurut satu sumber, atau duapuluh delapan orang,
menurut sumber yang lain.
Melihat malapetaka yang sekarang sedang menimpa mereka
ini, Shafwan, Suhail dan 'Ikrima cepat-cepat angkat kaki
melarikan diri, dengan meninggalkan orang-orang yang tadinya
mereka kerahkan mengadakan perlawanan menghadapi kekuatan
dan pukulan Khalid yang heroik itu. Dalam pada itu Muhammad
dengan pasukan Muhajirin yang kini di atas sebuah dataran
tinggi itu, sedang menyusur turun menuju ke Mekah, dengan
keyakinan hati hendak membebaskannya dalam keadaan aman dan
damai. Dilihatnya kota itu dengan segala isinya, dilihatnya
pula kilatan pedang di bagian bawah kota serta pasukan
Khalid yang sedang mengejar-ngejar mereka yang menyerangnya
itu. Disini ia merasa sedih sekali dan berteriak geram
dengan mengingatkan kembali akan perintahnya untuk tidak
mengadakan pertempuran. Setelah diketahuinya kemudian apa
yang telah terjadi, teringat ia bahwa yang sudah dikehendaki
Tuhan itulah yang baik.
Sekarang Muhammad berhenti di hulu kota
Mekah, di hadapan Bukit Hind. Di tempat itu dibangunnya
sebuah kubah (kemah lengkung), tidak jauh dari makam Abu
Talib dan Khadijah. Ketika ia ditanya, maukah ia
beristirahat di rumahnya, dijawabnya: "Tidak. Tidak ada
rumah yang mereka tinggalkan buat saya di Mekah," katanya.
Kemudian ia masuk ke dalam kemah lengkung itu, ia
beristirahat dengan hati penuh rasa syukur kepada Tuhan,
karena ia telah kembali dengan terhormat, dengan membawa
kemenangan ke dalam kota, kota yang dulu telah mengganggunya
menyiksanya dan mengusirnya dari keluarga dan kampung
halamannya. Ia melepaskan pandang ke sekitar tempat itu, ke
lembah wadi dan gunung-gunung yang ada di sekelilingnya.
Gunung-gunung, tempat ia dahulu tinggal di celah-celahnya,
ketika tindakan Quraisy sudah begitu memuncak, begitu keras
mengasingkan dia. Di pegunungan itulah, yang juga di
antaranya Gua Hira, tempat ia menjalankan tahannuth ketika
datang kepadanya wahyu: 'Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan
Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum
diketahuinya..." (Qur'an, 96: 1-5)
Ke sekitar gunung-gunung itu ia melepaskan pandang, ke
lembah-lembah, dengan rumah-rumah Mekah yang bertebaran, dan
di tengah-tengah adalah Rumah Suci. Begitu rendah hati ia
kepada Tuhan, sehingga airmata menitik dari matanya, setitik
airmata Islam dan rasa syukur demi Kebenaran Yang Mutlak,
yang dalam segala soal kepadaNya jua akan kembali.
Saat itu juga terasa olehnya bahwa tugasnya sebagai
komandan sudah selesai. Tidak lama tinggal dalam kemah itu,
ia segera keluar lagi. Dinaikinya untanya Al-Qashwa, dan ia
pergi meneruskan perjalanan ke Ka'bah. Ia bertawaf di Ka'bah
tujuh kali dan menyentuh sudut (hajar aswad) dengan sebatang
tongkat5 di tangan. Selesai ia melakukan tawaf,
dipanggilnya Uthman b. Talha dan pintu Ka'bah dibuka.
Sekarang Muhammad berdiri di depan pintu, orang pun mulai
berbondong-bondong. Ia berkhotbah di hadapan mereka itu
serta membacakan firman Tuhan: "Wahai manusia. Kami
menciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Tetapi orang yang paling mulia di
antara kamu dalam pandangan Allah ialah orang yang paling
takwa (menjaga diri dari kejahatan). Allah Maha mengetahui
dan Maha mengerti." (Qur'an, 49: 13)
Kemudian ia menanya kepada mereka:
"Orang-orang Quraisy. Menurut pendapat kamu, apa yang
akan kuperbuat terhadap kamu sekarang?"
"Yang baik-baik. Saudara yang pemurah, sepupu yang
pemurah." jawab mereka.
"Pergilah kamu sekalian. Kamu sekarang sudah bebas!"
katanya.
Dengan ucapan itu maka kepada Quraisy dan seluruh
penduduk Mekah ia telah memberikan pengampunan umum
(amnesti).
Alangkah indahnya pengampunan itu dikala ia mampu!
Alangkah besarnya jiwa ini, jiwa yang telah melampaui segala
kebesaran, melampaui segala rasa dengki dan dendam di hati!
Jiwa yang telah dapat menjauhi segala perasaan duniawi,
telah mencapai segala yang diatas kemampuan insani! Itu
orang-orang Quraisy, yang sudah dikenal betul oleh Muhammad,
siapa-siapa mereka yang pernah berkomplot hendak
membunuhnya, siapa-siapa yang telah menganiayanya dan
menganiaya sahabat-sahabatnya dahulu, siapa-siapa yang
memeranginya di Badr dan di Uhud, siapa yang dahulu
mengepungnya dalam perang Khandaq? Dan siapa-siapa yang
telah menghasut orang-orang Arab semua supaya melawannya,
dan siapa pula, kalau berhasil, yang akan membunuhnya, akan
mencabiknya sampai berkeping-keping kapan saja kesempatan
itu ada!? Mereka itu, orang-orang Quraisy itu sekarang dalam
genggaman tangan Muhammad, berada di bawah telapak kakinya.
Perintahnya akan segera dilaksanakan terhadap mereka itu.
Nyawa mereka semua kini tergantung hanya di ujung bibirnya
dan pada wewenangnya atas ribuan balatentara yang
bersenjatakan lengkap, yang akan dapat mengikis habis Mekah
dengan seluruh penduduknya dalam sekejap mata!
(bersambung ke bagian
3/3)
|