BAGIAN KESEMBILANBELAS: DARI DUA PEPERANGAN
SAMPAI KE HUDAIBIYA (2/3)
Demikian inilah persiapan kehidupan sosial yang baru yang
dikehendaki oleh Islam untuk suatu masyarakat umat manusia.
Landasannya ialah mengubah sama-sekali pandangan masyarakat
itu akan hubungan laki-laki dengan wanita. Ia menghendaki
dihapusnya segala tanggapan tentang sex (libido) yang
menguasai pikiran manusia selama ini, dan dalam segala hal
menganggapnya sebagai satu-satunya yang berkuasa. Dengan
demikian yang dikehendaki ialah mengarahkan masyarakat itu
sesuai dengan tujuan hidup umat manusia yang lebih tinggi
dengan tidak mengurangi kesenangan hidupnya, yaitu
kesenangan hidup yang tidak akan mengurangi pula
kebebasannya untuk berkeinginan - apalagi sampai akan
menghilangkan kebebasan untuk berkeinginan ini - dan yang
akan melahirkan hubungan manusia dengan semesta alam. Dari
tingkat hidup mengolah tanah, dari tingkat hidup usaha
perindustrian dan perdagangan, yang bagaimana pun, ke
tingkat yang lebih tinggi, setaraf dengan kehidupan
orang-orang suci, dan akan berkomunikasi dengan cara
malaikat. Puasa, salat, zakat yang telah ditentukan oleh
Islam, ialah alat untuk mencapai taraf ini; yang akan
mencegah perbuatan keji, kemungkaran serta pelanggaran.
Sekaligus ia akan membersihkan jiwa dan hati orang dari
segala penyakit menghambakan diri selain kepada Allah,
disamping memperkuat tali persaudaraan antara sesama orang
beriman, memperkuat hubungan antara manusia dengan segala
yang ada dalam semesta alam ini.
Penyusunan suatu kehidupan sosial secara berangsur-angsur
sebagai suatu persiapan kearah transisi besar yang telah
disediakan oleh Islam bagi umat manusia ini, tidak
mengurangi pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya
dalam menantikan kesempatan hendak menghancurkan Muhammad.
Tetapi juga Muhammad tidak kurang pula selalu waspada.
Cepat-cepat ia bergerak untuk menanamkan rasa takut dalam
hati pihak musuh, bila dianggap perlu.
Itu sebabnya, enam bulan kemudian setelah Banu Quraiza
dapat dihancurkan, ia sudah merasakan adanya suatu gerakan
lain di sekitar Mekah. Terpikir olehnya akan membalas
kematian Khubaib b. 'Adi dan kawan-kawannya yang telah
dibunuh oleh Banu Lihyan di Raji' dua tahun yang lalu itu.
Akan tetapi maksudnya ini tidak diumumkan, kuatir pihak
musuh akan segera berjaga-jaga. Untuk dapat menyergap pihak
musuh ia pura-pura pergi ke Syam. Dengan membawa
perlengkapan perang ia berangkat menuju ke arah utara.
Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan
sekutu-sekutunya yang berdekatan tak ada yang menyadari
maksudnya, ia pun membelok ke arah Mekah dengan berjalan
lebih cepat lagi. Tetapi sesampainya di perkampungan Banu
Lihyan di 'Uran, masyarakat setempat telah melihatnya ketika
pertama kali ia menyusur jalan ke selatan. Dari mereka
inilah Banu Lihyan mengetahui bahwa ia menuju ke tempat
mereka. Mereka pun segera berlindung ke puncak-puncak bukit
dengan membawa harta-benda yang ada. Nabi tidak sampai
berhasil menyergap mereka.
Ketika itu ia lalu menugaskan Abu Bakr dengan membawa
seratus orang pasukan menuju 'Usfan2 tidak jauh
dari Mekah. Rasulullah sendiri kemudian kembali ke Medinah.
Ketika itu panas musim sedang sampai di puncaknya, sehingga
Nabi berkata:
"Yang kembali dan yang bertobat jika dikehendaki Allah
kiranya kepada Tuhan juga kami memuji syukur. Saya
berlindung kepada Allah dari perjalanan yang sangat
meletihkan ini, serta kedukaan karena diri kembali dari
perjalanan3 dengan keburukan yang tampak pada
keluarga dan harta-benda."
Baru beberapa malam saja Muhammad kembali
ke Medinah, tiba-tiba datang 'Uyaina b. Hishn menyerang
pinggiran kota itu. Di tempat tersebut ada beberapa ekor
unta yang digembalakan, dijaga oleh seorang laki-laki dengan
isterinya. Laki-laki itu oleh 'Uyaina dan kawan-kawannya
dibunuh, unta diambil dan perempuan itu dibawa. Mereka
segera pergi dengan perkiraan bahwa mereka telah dapat
menyelamatkan diri dari pengejaran. Tetapi sebenarnya Salama
b. 'Amr bin'l-Akwa' yang sudah lebih dulu memacu kudanya
menuju hutan dengan bersenjatakan panah dan busur, ketika
melintasi Thaniat'l-Wada' dan menjenguk ke bawah dari arah
bukit Sal' rombongan yang sedang menggiring unta dan membawa
wanita itu dilihatnya. Ketika itu pula ia berteriak meminta
bantuan sambil terus mengikuti jejak rombongan itu. Ia
melepaskan anak panahnya ke arah mereka, setelah ia berada
agak lebih dekat. Dalam pada itu tiada henti-hentinya ia
berteriak. Dan teriakan Salama itu akhirnya sampai juga
kepada Muhammad. Maka kemudian ia pun memanggil-manggil
penduduk Medinah: Ada bahaya! Ada bahaya!
Seketika itu juga pahlawan-pahlawan kota datang dari
segenap penjuru. Setelah mendapat perintah mereka pun
berangkat mengikuti jejak gerombolan itu. Dia sendiri
mempersiapkan pasukannya lalu berangkat menyusul mereka. Ia
berhenti di sebuah gunung di bilangan Dhu Qarad.
Sementara itu 'Uyaina dan anak buahnya sudah mempercepat
langkah, ingin lekas-lekas bergabung dengan Ghatafan dan
melepaskan diri dari pengejaran Muslimin. Akan tetapi
pasukan Medinah berhasil mencapai barisan belakang mereka.
Sebahagian unta itu dapat diselamatkan kembali dari tangan
mereka. Kemudian Muhammad datang menyusul dan memberikan
bantuannya. Wanita beriman yang dibawa oleh orang-orang Arab
itu pun selamat pula.
Ada beberapa orang dari sahabat-sahabat Nabi, terdorong
oleh rasa panas hati, ingin terus mengejar 'Uyaina. Tetapi
dilarang oleh Rasulullah, sebab sudah diketahuinya bahwa
'Uyaina dan anak buahnya sudah sampai ke tempat Ghatafan dan
berlindung kepada mereka.
Bila kaum Muslimin kemudian kembali ke
Medinah, isteri penjaga itu pun datang pula menyusul di atas
seekor unta kepunyaan kaum Muslimin. Wanita itu sudah
bernadar, bahwa kalau unta itu dapat diselamatkan, akan
disembelihnya seekor sebagai kurban buat Tuhan. Tetapi
setelah nadarnya disampaikan kepada Nabi' Nabi berkata:
"Suatu balasan yang buruk sekali, Tuhan sudah mengantarkan
engkau dan menyelamatkan engkau dengan unta itu, lalu unta
itu yang akan kausembelih. Nadar dengan berdosa kepada Tuhan
tidak berlaku, juga atas sesuatu yang tidak kaupunyai."
Sesudah itu Muhammad tinggal di Medinah hampir dua bulan
sudah. Kemudian terjadi suatu ekspedisi terhadap Banu
Mushtaliq di Muraisi' - suatu ekspedisi yang telah dijadikan
bahan studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah
hidup Nabi. Soalnya bukan karena ekspedisi itu sangat
penting, atau karena kedua belah pihak - Muslimin dan
musuhnya - bertempur mati-matian sampai melampaui batas,
tetapi karena kenyataan adanya malapetaka yang kemudian
hampir menjalar kedalam tubuh Muslimin sendiri kalau tidak
segera Rasul mengambil langkah yang sangat baik sekali,
tegas dan meyakinkan; juga karena kemudian Rasul kawin
dengan Juwairiah bt. al-Harith, dan karena ekspedisi ini
telah pula menimbulkan hadith'l-ifk - peristiwa kebohongan -
tentang diri Aisyah. Peristiwa ini telah menempatkannya
kedalam persoalan iman dan kekuatan hati - sementara usianya
masih enambelas tahun - sehingga segalanya tidak akan
berdaya, hanya karena keagungan iman dan kekuatan hati itu
jugalah.
Bahwa kegiatan Banu Mushtaliq - yang merupakan bagian
dari Khuza'a - yang telah mengadakan persepakatan dalam
perkampungan mereka di dekat Mekah, beritanya telah sampai
pula kepada Muhammad. Mereka sedang mengerahkan segala
potensi dengan maksud hendak membunuh Muhammad dengan
dipimpin oleh komandan mereka Al-Harith b. Abi Dzirar.
Rahasia ini diperoleh Muhammad dari salah seorang orang
badwi. Maka iapun cepat-cepat berangkat sementara mereka
sedang lengah, seperti biasanya bila ia menghadapi musuh.
Pimpinan pasukan Muhajirin di tangan Abu Bakr dan pimpinan
pasukan Anshar di tangan Sa'd b. 'Ubada. Pihak Muslimin
ketika itu sudah berada di sebuah pangkalan air yang bernama
Muraisi', tidak jauh dari wilayah Banu Mushtaliq. Kemudian
Banu Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak yang tadinya datang
hendak memberikan pertolongan sekarang mereka sudah lari.
Dari Banu Mushtaliq sepuluh orang terbunuh' dari Muslimin
seorang, konon bernama Hisyam b. Shubaba, dibunuh oleh salah
seorang dari Anshar, yang keliru dikira dari pihak
musuh.
Setelah terjadi sedikit saling hantam
dengan panah, tak ada jalan lain buat Banu Mushtaliq mereka
harus menyerah dibawah tekanan pihak Muslimin yang kuat dan
bergerak cepat itu. Mereka dibawa sebagai tawanan perang,
begitu juga wanita mereka, unta dan binatang ternak yang
lain. Dalam pasukan tentara itu Umar ibn'l-Khattab mempunyai
orang upahan yang bertugas menuntunkan kudanya. Selesai
pertempuran orang ini pernah berselisih dengan salah seorang
dari kalangan Khazraj karena soal air. Mereka jadi berkelahi
dan sama-sama berteriak. Pihak Khazraj berkata:
"Saudara-saudara Anshar!" Sedang orang sewaan Umar berkata
pula: "Saudara-saudara Muhajirin!"
Teriakan demikian itu terdengar juga oleh Abdullah b.
Ubayy, yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang
munafik turut pula dalam ekspedisi dengan harapan akan
beroleh bagian rampasan perang. Dendamnya kepada pihak
Muslimin dan kepada Muhammad segera timbul. Dalam hal ini ia
berkata kepada kawan-kawannya:
"Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin.
Penggabungan kita dengan mereka akan seperti kata
peribahasa: 'Membesarkan anak harimau.'4 Sungguh,
kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa
akan mengusir orang yang lebih hina."
Kemudian kepada golongannya yang hadir waktu itu ia
berkata: "Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu
benarkan mereka tinggal di negerimu ini, dan kamu bagi
harta-bendamu dengan mereka. Demi Allah, kalau apa yang ada
pada kamu itu kamu pertahankan, pasti mereka akan beralih ke
tempat lain."
Percakapannya itu dibawa orang kepada Rasulullah, yang
ketika itu baru selesai menghadapi musuh. Ketika itu Umar
ibn'l-Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali.
"Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya,"
katanya.
Seperti biasanya, disini Nabi memperlihatkan sikap
sebagai seorang pemimpin yang sudah matang, bijaksana dan
punya pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata:
"Umar bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang
dan orang mengatakan, bahwa Muhammad membunuh
sahabat-sahabatnya sendiri?"
Akan tetapi dalam pada itu ia sudah mempertimbangkan,
bahwa soalnya akan jadi rumit sekali kalau tidak segera
diambil langkah yang tegas. Oleh karena itu diperintahkannya
agar diumumkan untuk segera berangkat dalam waktu yang tidak
biasanya kaum Muslimin meninggalkan tempat itu. Berita yang
disampaikan orang kepada Nabi itu sampai juga kepada Ibn
Ubayy. Cepat-cepat ia menemui Nabi hendak membantah adanya
berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia bersumpah atas
nama Tuhan, bahwa dia tidak mengatakan dan tidak pernah
bicara begitu. Tetapi ini tidak mengubah keputusan Muhammad
hendak meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga
sore dan sepanjang malam hingga pagi harinya lagi
terus-menerus ia memimpin perjalanan itu hingga pada
pertengahan hari kedua tatkala terik matahari sudah terasa
sangat mengganggu.
Setelah sampai, karena sudah sangat lelah, begitu badan
mereka menyentuh lantai, mereka pun segera tertidur. Karena
sangat lelah orang sudah lupa cakap Ibn Ubayy. Sesudah itu
mereka pulang ke Medinah dengan membawa rampasan perang dan
orang-orang tawanan Banu Mushtaliq, diantaranya Juwairia
bint'l-Harith b. Abi Dzirar, pemimpin dan komandan daerah
yang sudah dikalahkan itu.
Kaum Muslimin sudah sampai di Medinah.
Abdullah ibn Ubayy pun sudah di sana. Ia sudah tidak pernah
tenang, hatinya gelisah selalu, terbawa oleh rasa dengki
kepada Muhammad dan kepada Muslimin. Pura-pura ia sebagai
orang Islam, bahkan sebagai orang beriman, meskipun masih
gigih ia membantah berita yang bersumber dari dia ditujukan
kepada Rasulullah di Muraisi' itu. Pada waktu itulah Surah
Munafiqin ini turun:
"Mereka itulah yang berkata: "Jangan memberikan bantuan
apa-apa kepada mereka yang di sekitar Rasulullah, supaya
mereka berpisah." Padahal segala perbendaharaan langit dan
bumi milik Allah. Tetapi orang-orang munafik itu tidak
mengerti. Kata mereka: "Kalau kita sudah kembali ke Medinah,
orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina."
Padahal sebenarnya kekuasaan itu milik Allah dan Rasul-Nya
beserta orang-orang yang beriman, hanya saja orang-orang
munafik itu tidak mengetahui." (Qur'an, 63: 7-8)
Dengan demikian lalu ada orang-orang
yang mengira bahwa ayat-ayat itu merupakan hukuman terhadap
Abdullah bin Ubayy, dan Muhammad pasti akan memerintahkan
supaya ia dibunuh. Ketika itu Abdullah b. Abdullah b. Ubayy,
yang sudah menjadi seorang Muslirn yang baik, datang dengan
mengatakan:
"Rasulullah, saya mendengar tuan ingin supaya Abdullah b.
Ubayy itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah
pekerjaan itu kepada saya. Akan saya bawakan kepalanya
kepada tuan. Orang-orang Khazraj sudah mengetahui, tak ada
orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya
lakukan. Saya kuatir tuan akan menyerahkan tugas ini kepada
orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya,
maka saya takkan dapat menahan diri, membiarkan orang yang
membunuh ayah saya itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh
dia dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh
orang kafir. Maka saya akan masuk neraka."
Begitulah kata-kata Abdullah b. Abdullah b. Ubayy kepada
Muhammad. Saya rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih dalam
dari ucapannya itu dengan begitu kuat meskipun singkat dalam
melukiskan suasana batin yang sedang gelisah, batin yang
dibawa oleh pengaruh pergolakan yang dahsyat sekali dalam
jiwanya: gelisah karena pengaruh rasa berbakti kepada ayah
dan pengaruh iman yang sungguh-sungguh disamping rasa harga
diri sebagai orang Arab serta rasa cintanya akan
kesejahteraan Muslimin supaya jangan tirnbul dendam yang
berlarut-larut.
Inilah perasaan seorang anak yang melihat ayahnya akan
dibunuh. Dia tidak minta kepada Nabi supaya ayahnya jangan
dibunuh, sebab dia Nabi, dia akan tunduk kepada perintah
Tuhan, dan yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena
kuatir akan sampai menuntut balas kepada orang yang kelak
akan membunuh ayahnya yang diharuskan oleh rasa baktinya
kepada ayah dan oleh rasa kehormatan dan harga diri - maka
dia sendirilah yang akan memikul beban itu, dia sendiri yang
akan membunuh ayahnya; kepalanya akan dibawanya sendiri
kepada Nabi, betapapun itu akan sangat menyayat hati dan
perasaannya.
Dengan imannya itu ia merasa agak
mendapat hiburan juga menghadapi hal luar biasa yang menekan
perasaan itu. Ia kuatir akan masuk neraka apabila ia
membunuh seorang mukmin yang telah mendapat perintah Nabi
membunuh ayahnya. Sungguh suatu perjuangan yang sangat
dahsyat antara iman di satu pihak dengan perasaan dan moral
di pihak lain. Suatu perjuangan batin yang sungguh fatal
menghunjam ke dalam hati, sungguh tragis! Tetapi, tahukah
kita betapa jawaban Nabi kepada Abdullah setelah mendengar
itu?
"Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku
baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih
bersama dengan kita."
Memaafkan. Sungguh indah dan agung maaf itu. Muhammad
berlaku begitu baik kepada orang yang telah menghasut
penduduk Medinah supaya memusuhinya dan memusuhi
sahabat-sahabatnya. Biarlah sikap baiknya dan kemaafannya
itu memberi bekas yang lebih dalam daripada kalau ia
menjatuhkan hukuman kepada orang itu.
Sejak itu apabila Abdullah b. Ubayy mencoba mau bermain
api, golongannya sendiri menegurnya, menyalahkannya dan
membuatnya ia merasa bahwa sisa hidupnya itu dari pemberian
Muhammad. Tatkala pada suatu hari Nabi sedang bicara-bicara
dengan Umar mengenai masalah-masalah kaum Muslimin, sampai
juga menyebut-nyebut Abdullah b. Ubayy' begitu juga tentang
golongannya sendiri yang menegurnya dan menyalahkannya
itu.
"Umar, bagaimana pendapatmu," kata Muhammad. "Ya, kalau
kau bunuh dia ketika kaukatakan kepadaku supaya dibunuh
saja, tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang
kusuruh bunuh tentu akan kaubunuh."
"Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah Rasulullah
lebih besar artinya daripada perintah saya."
Semua peristiwa itu terjadi setelah kaum
Muslimin - dengan membawa tawanan dan rampasan perang -
kembali ke Medinah. Akan tetapi lalu ada suatu peristiwa
yang pada mulanya tidak memberi bekas apa-apa, tetapi
kemudian menjadi pembicaraan yang panjang juga. Soalnya
ialah Nabi mengadakan undian terhadap isteri-isterinya bila
akan berangkat mengadakan ekspedisi. Barangsiapa yang keluar
namanya maka dialah yang ikut serta. Sorenya pada waktu mau
mengadakan ekspedisi terhadap kepada Banu Mushtaliq, maka
yang keluar ialah nama Aisyah. Jadi dia yang dibawa. Aisyah
adalah seorang wanita yang berperawakan kecil, ringan. Bila
pelangkin sudah diantarkan orang sampai di depan pintu
rumahnya, dia pun naik. Lalu mereka membawanya pada punggung
unta. Karena ringannya, mereka hampir tidak dapat
merasakan.
Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu, dengan
rombongannya ia berangkat lagi meneruskan perjalanan yang
panjang dan sangat meletihkan seperti sudah kita sebutkan.
Sesudah itu ia menuju Medinah. Sampai di suatu tempat dekat
kota ia berhenti dan bermalam di tempat itu. Kemudian
diumumkan kepada rombongan, perjalanan akan diteruskan
lagi.
Karena hendak menunaikan hajat, Aisyah ketika itu sedang
keluar dari kemah Nabi, sedang pelangkin sudah menunggu di
depan kemah, menantikan ia masuk kembali. Aisyah mengenakan
seutas kalung yang ketika sedang menyelesaikan keperluannya,
kalung itu lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan
berangkat, dirabanya kalung itu sudah tidak ada. Ia kembali
menyusur jalan sambil mencari-carinya. Dan barangkali lama
juga ia mencarinya, baru kemudian benda itu diketemukannya
kembali. Mungkin sementara itu ia terlena karena sudah
begitu lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke
markas untuk kemudian naik ke atas pelangkin, ternyata
pelangkin itu sudah dipasang kembali di punggung unta dengan
perkiraan bahwa dia sudah berada didalamnya lalu mereka
berangkat juga dengan anggapan bahwa mereka sedang membawa
Umm'l-Mu'minin, isteri yang sangat dekat ke dalam hati Nabi.
Dalam markas itu orang yang akan dapat ditanyai tidak ada.
Dia tidak merasa takut bahkan dia yakin bahwa apabila
rombongan itu nanti mengetahui dia tidak ada, tentu mereka
akan kembali ke tempatnya semula. Jadi lebih baik dia tidak
meninggalkan tempat itu; daripada mengarungi padang pasir
tanpa pedoman; ia akan sesat karenanya. Tanpa merasa takut,
dengan berselimutkan pakaian luarnya ia berbaring di tempat
itu, sambil menunggu orang yang akan datang mencarinya.
Sementara ia sedang berbaring itu, Shafwan bin'l-Mu'attal
lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat dari rombongan
tentara karena harus menunaikan urusannya pula. Ia sudah
pernah melihatnya sebelum ada ketentuan hijab terhadap
isteri-isteri Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali
dan surut sambil berkata: "Inna lillahi wa inna ilaihi
raji'un! Isteri Rasulullah s.a.w.? Kenapa sampai tertinggal?
Semoga rahmat Tuhan juga." Aisyah tidak menjawab.
Didekatkannya untanya itu dan dia sendiri mundur sambil
berkata: "Naiklah."
Setelah Aisyah naik kemudian ia berangkat dengan unta itu
cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi
tidak terkejar juga, karena ternyata mereka mempercepat
perjalanan, ingin segera sampai di Medinah, agar dapat
beristirahat setelah mengalami perjalanan yang cukup
meletihkan, yang juga diperintahkan oleh Rasulullah guna
menghindarkan fitnah yang hampir-hampir terjadi akibat
perbuatan Ibn Ubayy itu.
Shafwan memasuki Medinah pada siang hari disaksikan oleh
orang banyak sementara Aisyah di atas untanya. Sampai di
depan rumahnya dalam rangkaian rumah isteri-isteri Rasul, ia
pun masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa hal ini
akan dijadikan buah bibir, atau akan menimbulkan syak karena
ia terlambat dari rombongan, juga dalam hati Rasul tidak
terlintas suatu prasangka buruk terhadap Shafwan, seorang
orang mukmin yang beriman teguh.
|