BAGIAN KETUJUH BELAS: ISTERI-ISTERI NABI
(3/3)
Dan apakah yang ialah dicatat oleh sejarah? Sejarah
mencatat bahwa Muhammad telah melamar Zainab anak bibinya
itu buat Zaid bekas budaknya. Abdullah b. Jahsy saudara
Zainab menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang
dari suku Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di samping itu
semua ia masih sepupu Rasul dari pihak ibu akan berada di
bawah seorang budak belian yang dibeli oleh Khadijah lalu
dimerdekakan oleh Muhammad. Hal ini dianggap sebagai suatu
aib besar buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di
kalangan Arab ketika itu merupakan suatu aib yang besar
sekali. Memang tidak ada gadis-gadis kaum bangsawan yang
terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang
sudah dimerdekakan. Tetapi Muhammad justeru ingin
menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa
dalam jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu.
Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih
tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
"Bahwa orang yang paling mulia di antara kamu dalam
pandangan Tuhan ialah orang yang lebih bertakwa." (Qur'an,
49:13)
Sungguhpun begitu ia merasa tidak perlu memaksa wanita
lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab bt.
Jahsy, sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang
karena telah meninggalkan tradisi dan menghancurkan
adat-lembaga Arab, menjadi sasaran buah mulut orang tentang
dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya. Juga
biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat,
dan yang menurut hukum adat dan tradisi Arab orang yang
berhak menerima waris sama seperti anak-anaknya sendiri itu,
dia juga yang mengawininya. Maka dia pun bersedia berkorban,
karena sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat
yang sudah dijadikan anaknya itu. Biarlah Muhammad
memperlihatkan desakannya itu supaya Zainab dan saudaranya
Abdullah b. Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami. Dan
untuk itu biarlah firman Tuhan juga yang datang:
"Bagi laki-laki dan wanita yang beriman, bilamana Allah
dan RasulNya telah menetapkan suatu ketentuan, mereka tidak
boleh mengambil kemauan sendiri dalam urusan mereka itu. Dan
barangsiapa tidak mematuhi Allah dan RasulNya, mereka telah
melakukan kesesatan yang nyata sekali." (Qur'an, 33:36)
Setelah turun ayat ini tak ada jalan lain buat Abdullah
dan Zainab saudaranya, selain harus tunduk menerima. "Kami
menerima, Rasulullah," kata mereka. Lalu Zaid dikawinkan
kepada Zainab setelah mas-kawinnya oleh Nabi disampaikan.
Dan sesudah Zainab menjadi isteri, ternyata ia tidak mudah
dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah ia banyak
mengganggu Zaid. Ia membanggakan diri kepadanya dari segi
keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau ditundukkan oleh
seorang budak.
Sikap Zainab yang tidak baik
kepadanya itu tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi,
dan bukan sekali saja ia meminta ijin kepadanya hendak
menceraikannya. Tetapi Nabi menjawabnya: "Jaga baik-baik
isterimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada
Allah."
Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama bergaul dengan Zainab
serta sikapnya yang angkuh kepadanya itu. Lalu
diceraikannya.
Kehendak Tuhan juga kiranya
yang mau menghapuskan melekatnya hubungan anak angkat dengan
keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang
selama itu menjadi anutan masyarakat Arab, juga pemberian
segala hak anak kandung kepada anak angkat, segala
pelaksanaan hukum termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya
anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai hak sebagai
pengikut dan sebagai saudara seagama. Demikian firman Tuhan
turun:
"Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu
menjadi anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan
mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan yang benar." (Qur'an, 33:4)
Ini berarti
bahwa anak angkat boleh kawin dengan bekas isteri bapa
angkatnya, dan bapa boleh kawin dengan bekas isteri anak
angkatnya. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan ini? Siapa
pula dari kalangan Arab yang dapat membongkar adat-istiadat
yang sudah turun-temurun itu. Muhammad sendiri kendatipun
dengan kemauannya yang sudah begitu keras dan memahami benar
arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang mampu
melaksanakan ketentuan itu dengan jalan mengawini Zainab
setelah diceraikan oleh Zaid, masih terlintas dalam
pikirannya apa yang kira-kira akan dikatakan orang, karena
dia telah mendobrak adat lapuk yang sudah berurat berakar
dalam jiwa masyarakat Arab itu. Itulah yang dikehendaki
Tuhan dalam firmanNya:
"Dan engkau menyembunyikan sesuatu dalam hatimu yang oleh
Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia padahal
hanya Allah yang lebih patut kautakuti." (Qur'an, 33:37)
Akan tetapi Muhammad adalah suri-teladan dalam segala
hal, yang oleh Tuhan telah diperintahkan dan telah
dibebankan kepadanya supaya disampaikan kepada umat manusia.
Tidak takut ia apa yang akan dikatakan orang dalam hal
perkawinannya dengan isteri bekas budaknya itu. Takut kepada
manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya kepada
Tuhan dalam melaksanakan segala perintahNya. Biarlah dia
kawin saja dengan Zainab supaya menjadi teladan akan apa
yang telah dihapuskan Tuhan mengenai hak-hak yang sudah
ditentukan dalam hal bapa angkat dan anak angkat itu. Dalam
hal inilah firman Tuhan itu turun:
"Maka setelah Zaid meluluskan kehendak wanita itu, Kami
kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi
alangan bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka, bilamana kehendak
mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah
itu mesti dilaksanakan." (Qur'an, 33:37)
Inilah peristiwa sejarah yang sebenarnya sehubungan
dengan soal Zainab bt. Jahsy serta perkawinannya dengan
Muhammad. Dia adalah puteri bibinya, sudah dilihatnya dan
sudah diketahuinya sampai berapa jauh kecantikannya sebelum
dikawinkan dengan Zaid, dan dia pula yang melamarnya buat
Zaid, juga dia melihatnya setelah perkawinannya dengan Zaid,
karena pada waktu itu bertutup muka belum lagi dikenal.
Sungguhpun begitu dari
pihak Zainab sendiri, sesuai dengan ketentuan hubungan
kekeluargaan dari satu segi, dan sebagai isteri Zaid anak
angkatnya dari segi lain, Zainab menghubungi dia karena
beberapa hal dalam urusannya sendiri dan juga karena
seringnya Zaid mengadukan halnya itu. Semua ketentuan hukum
itu sudah diturunkan. Lalu diperkuat lagi dengan peristiwa
perkawinan Zaid dengan Zainab serta kemudian perceraiannya,
lalu perkawinan Muhammad dengan dia sesudah itu. Semua
ketentuan hukum ini, yang mengangkat martabat orang yang
dimerdekakan ke tingkat orang merdeka yang terhormat, dan
yang menghapuskan hak anak-anak angkat dengan jalan praktek
yang tidak dapat dikaburkan atau ditafsir-tafsirkan
lagi.
Sesudah semua itu, masih adakah pengaruh cerita-cerita
yang selalu diulang-ulang oleh pihak Orientalis dan oleh
misi-misi penginjil, oleh Muir, Irving, Sprenger, Well,
Dermenghem, Lammens dan yang lain, yang suka menulis sejarah
hidup Muhammad? Ya, kadang ini adalah napsu misi penginjilan
yang secara terang-terangan, kadang cara misi penginjilan
atas nama ilmu pengetahuan. Adanya permusuhan lama terhadap
Islam adalah permusuhan yang sudah berurat berakar dalam
jiwa mereka, sejak terjadinya serentetan perang Salib
dahulu. Itulah yang mengilhami mereka semua dalam menulis,
yang dalam menghadapi soal perkawinan, khususnya perkawinan
Muhammad dengan Zainab bt. Jahsy, membuat mereka sampai
nmemperkosa sejarah, mereka mencari cerita-cerita yang
paling lemah sekalipun asal dapat dimasukkan dan
dihubung-hubungkan kepadanya.
Andaikata apa yang mereka katakan itu memang benar, tentu
saja kita pun masih akan dapat menolaknya dengan mengatakan,
bahwa kebesaran itu tidak tunduk kepada undang-undang. Bahwa
sebelum itu, Musa, Isa dan Yunus, mereka itu berada di atas
hukum alam, diatas ketentuan-ketentuan masyarakat yang
berlaku. Ada yang karena kelahirannya, ada pula yang dalam
masa kehidupannya, tapi itu tidak sampai mendiskreditkan
kebesaran mereka. Sebaliknya Muhammad, ia telah meletakkan
ketentuan-ketentuan masyarakat yang sebaik-baiknya dengan
wahyu Tuhan, dan dilaksanakan atas perintah Tuhan, yang
dalam hal ini merupakan contoh yang tinggi sekali, sebagai
teladan yang sangat baik dalam melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Tuhan itu. Ataukah barangkali yang dikehendaki
oleh misi-misi penginjil itu supaya ia menceraikan
isteri-isterinya dan jangan lebih dari empat orang saja
seperti yang kemudian disyariatkan kepada kaum Muslimin,
setelah perkawinannya dengan mereka semua itu?
Adakah
juga pada waktu itu ia akan selamat dari kritik mereka?
Sebenarnya hubungan Muhammad dengan isteri-isterinya itu
adalah hubungan yang sungguh terhormat dan agung, seperti
sudah kita lihat seperlunya dalam keterangan Umar
bin'l-Khattab yang sudah kita sebutkan; dan contoh semacam
itu akan banyak kita jumpai dalam beberapa bagian buku ini.
Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahwa
belum ada orang yang dapat menghormati wanita seperti yang
pernah diberikan oleh Muhammad, belum ada orang yang dapat
mengangkat martabat wanita ketempat yang layak seperti yang
dilakukan oleh Muhammad itu.
Catatan kaki:
1 Harfiah:
Seseorang dari kamu tidak beriman sebelum ia menyukai buat
saudaranya apa yang disukai buat dirinya sendiri. Terjemahan
di atas didasarkan kepada komentar Nuruddin as-Sindi sebagai
anotasi pada Shahih Al-Bukhari 1/12 (A).
|