BAGIAN KETIGA: MUHAMMAD DARI KELAHIRAN
SAMPAI PERKAWINANNYA (2/3)
Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang
dipegang Muhammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan
tugasnya mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak
Hawazin lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk
dibalikkan kembali kepada pihak lawan. Yang lain lagi
berpendapat, bahwa dia sendiri yang ikut melemparkan panah.
Tetapi, selama peperangan tersebut telah berlangsung sampai
empat tahun, maka kebenaran kedua pendapat itu dapat saja
diterima. Mungkin pada mulanya ia mengumpulkan anak-anak
panah itu untuk pamannya dan kemudian dia sendiripun ikut
melemparkan. Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah
menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: "Aku
mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut
melemparkan panah dalam perang itu; sebab aku tidak suka
kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."
Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana
yang menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang
disebabkan oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan
'Abd'l-Muttalib wafat, dan masing-masing pihak berkeras mau
jadi yang berkuasa. Kalau tadinya orang-orang Arab itu
menjauhi, sekarang mereka berebut mau berkuasa. Atas anjuran
Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud'an
diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan, dihadiri
oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym. Mereka
sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa
Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya sampai orang itu
tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu yang oleh
mereka disebut Hilf'l-Fudzul. Ia mengatakan, "Aku tidak suka
mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an itu dengan
jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti
kukabulkan."
Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya
beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat
Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan
menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan
dan hiburan sepuas-puasnya
Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal
ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya
yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi
semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu
tapi tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu,
sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu
bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di
pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup
dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam
hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari
pemuka-pemuka Mekah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam
menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu.
Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat,
ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut
sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya
dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi
ingin memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang
kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa
besar yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang
menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi
sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup
yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang
akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini
dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan
bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia
kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran
hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua
memanggilnya Al-Amin (artinya 'yang dapat dipercaya').
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung
dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing
sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing
keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira
ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu
menggembala itu. Di antaranya ia berkata: "Nabi-nabi yang
diutus Allah itu gembala kambing." Dan katanya lagi: "Musa
diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala
kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di
Ajyad."
Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang
bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam
sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk
pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana
alam demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik
semua itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu
penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat
dirinya sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang
hidup, ia melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta
itu. Bukankah juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak
demikian berarti kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar
matahari, bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya
berhubungan dengan bintang-bintang dan dengan seluruh alam?
Bintang-bintang dan semesta alam yang tampak membentang di
depannya, berhubungan satu dengan yang lain dalam susunan
yang sudah ditentukan, matahari tiada seharusnya dapat
mengejar bulan atau malam akan mendahului siang. Apabila
kelompok kambing yang ada di depan Muhammad itu memintakan
kesadaran dan perhatiannya supaya jangan ada serigala yang
akan menerkam domba itu, jangan sampai - selama tugasnya di
pedalaman itu - ada domba yang sesat, maka kesadaran dan
kekuatan apakah yang menjaga susunan alam yang begitu kuat
ini?
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari
segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih
tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia
akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena itu, dalam
perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala
penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk
Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.
Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya
kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing
dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata,
bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia
ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di
gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing
ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah,
perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia
hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada
malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang
sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun
dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi
sampai pagi.
Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah
itu terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran
dan renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik
yang kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh
mereka yang martabatnya jauh di bawah Muhammad?
Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa
benar nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau
merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta
kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan
kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan
berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak pernah Muhammad
mempedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan
diri dari segala pengaruh materi. Apa gunanya ia mcngejar
itu padahal sudah menjadi bawaannya ia tidak pernah
tertarik? Yang diperlukannya dalam hidup ini asal dia masih
dapat menyambung hidupnya.
Bukankah dia juga yang pernah berkata: "Kami adalah
golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah
makan tidak sampai kenyang?" Bukankah dia juga yang sudah
dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya
orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara orang
mengejar harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya,
sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya.
Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya
keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa
mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya,
yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia.
Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam
kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian
kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta
kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa
yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan
batin.
Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu,
tentu takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu
ia akan tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala
pemikir, yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka
dan telah pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.
Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah kita
sebutkan tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari
kemenakannya itu ia mengharapkan akan dapat memberikan
tambahan rejeki yang akan diperoleh dari pemilik-pemilik
kambing yang kambingnya digembalakan. Suatu waktu ia
mendengar berita, bahwa Khadijah bint Khuwailid mengupah
orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya.
Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan
dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya
itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah kaya
setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum, sehingga
dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia
menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy
pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu
melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu
usahanya itu terus dikembangkan.
Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa
Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa
dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya - yang
ketika itu sudah berumur duapuluh lima tahun.
"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang berpunya.
Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa
Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku
tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga.
Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
"Terserah paman," jawab Muhammad.
Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:
"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu
Talib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor
anak unta Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari
empat ekor."
"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak
kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan
kusukai." Demikian jawab Khadijah.
Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan
menceritakan peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang
dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya.
Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi
dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan
padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan
melalui Wadi'l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta
daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan
pamannya Abu Talib tatkala umurnya baru duabelas tahun.
Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali
kenangannya tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini
menambah dia lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir
tentang segala yang pernah dilihat, yang pernah didengar
sebelumnya: tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan
di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Mekah.
Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani
Syam. Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama
itu, dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara.
Barangkali dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak
Muhammad berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu
sudah berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan
sekta-sekta - seperti sudah kita uraikan di atas.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu
benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara
perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan
karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat
menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya.
Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli
segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai
oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di
Marr'-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: "Muhammad,
cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan
pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."
Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah.
Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila
dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman
rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad
bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang
perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga
mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira
dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun
datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad,
betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya.
Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan
Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia
- yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu
telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar
Quraisy - tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang
tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya.
Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang
perempuan - kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya,
Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber lain. Nufaisa pergi
menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa kau tidak mau
kawin?"
"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,"
jawab Muhammad.
"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik,
berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan
kauterima?"
"Siapa itu?"
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata:
"Khadijah."
"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia
sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya
belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah
sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan
bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan
hal itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak
lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan
dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu
dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari
perkawinan.
Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh
paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah
meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada
tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah
telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan
begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian
dilangsungkan.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan
Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan
ibu-bapa, suami-isteri yang harmonis dan sedap dari kedua
belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan
pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad
yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.
Catatan kaki:
- Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A).
- Abwa' ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa,
jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah.
- Al-Mu'allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah
kumpulan puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh
tujuh penyair: Imr'l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid,
'Antara, 'Amr ibn Kulthum dan Harith ibn Hilizza.
Mu'allaqat berarti 'yang digantungkan' yakni sajak-sajak
yang ditulis dengan tinta emas (al mudhahhab) di atas
kain lina (A).
- Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A).
|