|
PENGANTAR CETAKAN KEDUA (5/9)
FITNAH SEKITAR AYAN
Baiklah kita kembali sekarang pada titik persoalan
terakhir dalam sanggahan si Muslim Mesir itu. Dia
menyebutkan, bahwa hasil penyelidikan kaum Orientalis itu
menunjukkan, bahwa Nabi menderita penyakit ayan.
Gejala-gejala demikian itu tampak padanya ketika ia tidak
sadarkan diri, keringatnya mengucur dengan disertai
kekejangan-kekejangan dan busa yang keluar dari mulutnya.
Apabila ia sudah sadar kembali, ia lalu membacakan apa yang
dikatakannya wahyu Tuhan kepadanya itu - kepada orang-orang
yang mempercayainya. Padahal yang dikatakan wahyu itu tidak
lain ialah akibat serangan-serangan ayan tersebut.
KEMBALI KEPADA ILMU PENGETAHUAN
Menggambarkan apa yang terjadi pada Muhammad pada waktu
datangnya wahyu dengan cara yang demikian itu, dari segi
ilmiah adalah samasekali salah. Serangan penyakit ayan tidak
akan meninggalkan sesuatu bekas yang dapat diingat oleh si
penderita selama masa terjadinya itu. Bahkan sesudah ia
sadar kembali pun samasekali dia lupa apa yang telah terjadi
selama itu. Dia tidak ingat apa-apa lagi, apa yang terjadi
dan apa yang dilakukannya selama itu. Sebabnya ialah, segala
pekerjaan saraf dan pikirannya sudah menjadi lumpuh total.
Inilah gejala-gejala ayan yang dibuktikan oleh ilmu
pengetahuan. Jadi bukan yang dialami Nabi Muhammad selama
menerima wahyu. Bahkan selama itu inteleknya sedang dalam
puncak kesadarannya. Dengan sangat teliti sekali ia ingat
semua yang diterimanya dan sesudah itu dibacakannya kembali
kepada sahabat-sahabatnya.
Dengan kesadaran rohani yang besar itu, samasekali ia
tidak dibarengi oleh ketidaksadaran jasmani. Bahkan
sebaliknya yang terjadi, pada waktu itu Nabi sedang dalam
puncak kesadarannya yang biasa. Cukuplah kalau kita
tunjukkan saja pada apa yang kita sebutkan dalam buku ini
tentang turunnya Sarah al-Fath (48) yaitu ketika kaum
Muslimin kembali dari Mekah ke Medinah sesudah Perjanjian
Hudaibiya.
Jadi ilmu pengetahuan dalam hal ini membantah bahwa
Muhammad dihinggapi penyakit ayan. Yang mengatakan demikian
dari kalangan Orientalispun hanya sebagian kecil saja.
Mereka itulah yang mengatakan bahwa Qur'an sudah diubah.
Mereka mengatakan begitu bukan karena ingin mencari
kebenaran, melainkan menurut dugaan mereka dengan demikian
mereka mau merendahkan martabat Nabi di mata segolongan kaum
Muslimin. Ataukah dengan kata-kata itu mereka mengira, bahwa
mereka telah menyebarkan keragu-raguan atas wahyu yang
diturunkan kepada Muhammad, sebab turunnya itu -menurut
dugaan mereka- waktu ia sedang mendapat serangan ayan? Kalau
memang begitu, ini adalah suatu kesalahan besar pada mereka,
seperti sudah kita sebutkan. Pendapat mereka inilah yang
secara ilmiah telah samasekali tertolak.
Kalau yang dipakai pedoman olelm kaum Orientalis demikian
itu adalah tujuan yang murni, tentu mereka tidak akan
membawa-bawa ilmu yang bertentangan dengan itu. Mereka
melakukan itu mau mengelabui orang-orang yang belum
penguasai pengetahuan tentang gejala-gejala ayan, dan mereka
yang cara berpikirnya masih sederhana yang sudah merasa puas
dengan apa yang telah dikatakan oleh kaum Orientalis itu,
tanpa mau bertanya-tanya kepada para ahli dari kalangan
kedokteran atau mau membaca buku-buku tentang itu. Kalau
saja mereka mau melakukan itu, sebenarnya tidak sulit buat
mereka untuk menemukan kesalahan kaum Orientalis itu -
disengaja atau tidak disengaja. Mereka akan melihat bahwa
kegiatan rohani dan intelek manusia akan sama sekali
tertutup selama terjadi krisis ayan. Sipenderita dibiarkan
dalam keadaan mekanik semata, bergerak-gerak seperti sebelum
mendapat serangan, atau meronta-ronta kalau serangannya itu
sudah bertambah keras sehingga dapat mengganggu orang lain.
Dalam pada itu, diapun kehilangan kesadarannya. Ia tidak
sadar apa yang diperbuatnya dan apa yang terjadi terhadap
dirinya. Ia seperti orang yang sedang tidur, tidak merasakan
gerak-geriknya sendiri. Bila itu sudah berlalu, iapun tidak
ingat apa-apa lagi.
KADANG ILMU YANG TIDAK CUKUP
Ini tentu berbeda dengan suatu kegiatan rohani yang
begitu kuat membawanya jauh ke alam ilahiah, dengan penuh
kesadaran dan suasana intelek yang meyakinkan. Apa yang
diwahyukan kepadanya itu, kemudian dapat diteruskan.
Sebaliknya ayan, melumpuhkan seluruh kesadaran manusia. Ia
membawa orang berada dalam tingkat mekanik, yang selama itu
perasaan dan kesadarannya menjadi hilang. Tidak demikian
halnya dengan wahyu, yang merupakan puncak ketinggian
rohani, yang khusus diberikan Tuhan kepada para nabi. Kepada
mereka kenyataan-kenyataan alam positif yang tertinggi itu
diberikan, supaya kemudian disampaikan kepada umat manusia.
Kadang ilmu pengetahuan sampai juga memahami beberapa
kenyataan-kenyataan itu, mengetahui ketentuan-ketentuan dan
rahasianya - sesudah lampau beberapa generasi dan beberapa
abad. Kadang juga ilmu pengetahuan belum dapat
menjangkaunya. Sungguhpun begitu itu adalah kenyataan
positif, yang dapat dimasuki hanya oleh hati nurani
orang-orang beriman, yang percaya kepada kebenarannya. Dalam
pada itu ada juga hati yang tetap tertutup rapat dan tidak
mengetahui atau karena memang tidak mau mengindahkannya.
Kita dapat mengerti bila Orientalis-orientalis itu
berkata, bahwa wahyu ialah suatu gejala psikologi tersendiri
dalam penilaian ilmu pengetahuan yang sampai ke tangan kita
hingga saat sekarang. Jadi, adalah hal yang tidak mungkin
dapat ditafsirkan dengan cara ilmu. Tetapi bagaimanapun juga
pendapat ini menunjukkan, bahwa pengetahuan kita - dengan
ruang lingkupnya yang luas - masih merasa terbatas akan
menafsirkan bagian terbesar dari gejala-gejala spiritual dan
psikologis itu. Buat ilmu pengetahuan ini bukan suatu cacat,
juga bukan hal yang aneh. Ilmu pengetahuan kita masih
terbatas dalam menafsirkan beberapa gejala alam yang dekat
pada kita. Kodrat matahari, bulan, bintang-bintang,
tata-surya dan lainnya dalam ilmu pengetahuan, masih
merupakan hipotesa-hipotesa penemuan. Semua benda cakrawala
ini sebagian ada yang dapat kita lihat dengan mata
telanjang, dan tidak sedikit pula yang masih tersembunyi,
yang baru akan dapat kita lihat bila menggunakan alat
peneropong. Sampai abad yang lalu banyak sekali
penemuan-penemuan yang masih dianggap sebagai suatu ciptaan
khayal belaka, tak ada jalan akan dapat dijelmakan depan
mata kita. Tetapi ternyata sekarang sudah menjadi kenyataan.
Malah kita menganggap sebagai hal yang mudah saja. Adanya
gejala-gejala spiritual dan psikologis sekarang menjadi
sasaran pengamatan para sarjana. Tetapi ini belum lagi dapat
dikuasai oleh ilmu, dan hukumnya yang positifpun juga belum
ditemukan.
Sering kita membaca tentang beberapa masalah yang sudah
diketahui oleh para sarjana dan sudah diterima. Tetapi
kemudian ternyata bahwa dalam hukum alam yang berlaku
menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan belum lagi memberikan
arti yang meyakinkan. Psikologi misalnya, dalam menghadapi
beberapa masalah, secara umum masih belum mempunyai hukum
yang pasti. Kalau ini terjadi dalam kehidupan biasa, maka
langkah cepat-cepat mau menafsirkan gejala-gejala seluruh
hidup dengan cara ilmiah adalah suatu usaha yang memang
sia-sia saja, suatu penghamburan yang patut dicela.
MENYERANG MUHAMMAD KARENA GAGAL
MENYERANG AJARANNYA
Datangnya wahyu yang pernah disaksikan oleh beberapa kaum
Muslimin selama masa hidup Muhammad - demikian juga Qur'an -
setiap dibacakan kepada mereka, ternyata menambah keteguhan
iman mereka. Di antara mereka itu terdapat juga orang Yahudi
dan Nasrani. Sesudah lama terjadi debat dan diskusi dengan
Nabi, kemudian merekapun mempercayai. Sekitar risalah dan
masalah waktu itu tak ada yang mereka tolak. Memang ada
segolongan orang-orang Quraisy yang berusaha menuduh hal itu
sebagai perbuatan sihir dan gila. Tetapi kemudian merekapun
mengakui, bahwa dia bukan tukang sihir dan bukan pula orang
gila. Merekapun lalu jadi pengikutnya dan beriman atas
ajakan itu. Inilah yang sudah pasti dan meyakinkan.
Jadi sekarang yang tak dapat diterima oleh ilmu, dan
bertentangan dengan kaidah-kaidah yang ilmiah ialah sikap
mengingkari terjadinya wahyu itu dan merendahkan orang yang
menerimanya disertai kecaman dengan pelbagai rupa. Inilah
yang justru bertentangan dengan ilmu.
Seorang sarjana yang sungguh-sungguh bertujuan mencari
kebenaran, tidak dapat berkata lain daripada suatu penegasan
bahwa apa yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan sampai
sekarang, masih terbatas sekali, belum dapat menguraikan
wahyu itu dengan cara ilmiah. Akan tetapi, begaimanapun
juga, ilmu tak dapat menolak terjadinya gejala-gejala wahyu,
seperti yang dilukiskan oleh sahabat-sahabat Nabi dan
penulis-penulis lain pada permulaan sejarah Islam itu.
Kalaupun ada yang mengingkarinya, ia berusaha mencari dalih
dengan menggunakan ilmu sebagai senjata yang sia-sia dengan
sikap keras kepala. Sikap keras kepala dengan ilmu
sebenarnya takkan pernah bertemu.
Kalau sikap yang menyedihkan ini harus menjurus kepada
sesuatu maka sesuatu itu ialah nafsu mereka yang keras
hendak menanamkan syak ke dalam hati orang tentang Islam.
Agama ini sendiri tidak dapat mereka serang. Mereka telah
menyaksikan, betapa kuat dan luhurnya agama ini, dengan
sifatnya yang sederhana dan serba mudah yang justru menjadi
dasar kekuatannya.
Oleh karena itu, mereka lalu menggunakan cara orang yang
lemah. Mereka tak mampu menyerang jejak yang sungguh besar
itu, mereka lalu menyerang orang yang meninggalkan jejak
itu. Ini adalah kelemahan yang tidak seharusnya menjadi
pegangan seorang sarjana. Dalam pada itu ia juga
bertentangan dengan hukum kodrat insani. Kodrat manusia
ialah memperhatikan jejak itu sendiri saja, menikmati
buahnya tanpa ia harus bersusah payah mencari-cari
asal-usulnya atau mencari-cari apa yang menyebabkan hal itu
terjadi atau tumbuh. Dengan demikian mereka tidak perlu
menyusahkan diri mencari-cari asalnya pohon yang telah
menghasilkan buah-buahan yang disukainya itu, atau tentang
pupuk yang menyebabkan pohon tersebut jadi subur, selama
tidak terpikirkan olehnya akan menanam pohon lain yang lebih
enak buahnya.
Ketika orang mengadakan pembahasan tentang filsafat Plato
atau tentang drama Shakespeare atau karya-karya Raphael
misalnya, orang tidak perlu mencari bahan kecamannya pada
kehidupan orang-orang besar itu - yang menjadi lambang
kemegahan dan kebanggaan umat manusia - kalau dalam
karya-karyanya itu tak ada yang dapat dijadikan sasaran
kecamannya. Kalau mereka mencari bahan kecaman yang tidak
punya dasar kebenaran, mereka takkan dapat mencapai tujuan.
Kalau niat jahat atau rasa dengki itu juga yang mereka
perlihatkan, argumentasi mereka akan jatuh dan orangpun
takkan mau mendengarkan. Hal ini takkan berubah hanya dengan
menuangkan rasa dengki itu ke dalam pola ilmu. Sifat dengki
itu tidak pernah mengenal kebenaran. Menyedihkan sekali
tentunya bila perasaan dengki itu juga yang menjadi sumber
kebenaran. Inilah dasar kecaman Orientalis-orientalis itu
terhadap Nabi, Rasul penutup itu. Tetapi dengan demikian
kecaman mereka itupun jadi gugur samasekali.
Sekarang saya sudahi sanggahan saya ini terhadap pendapat
Orientalis-orientalis yang oleh si Muslim orang Mesir itu
dijadikan pegangan dalam penulisan artikelnya. Sudah saya
kemukakan dalil-dalil kelemahan pendapat mereka itu.
|