|
PENGANTAR CETAKAN KEDUA (7/9)
BUKU-BUKU SEJARAH DAN BUKU-BUKU HADIS
Sekarang kita kembali ke pokok pertama, kepada mereka
yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam, yang
mengkritik saya dengan cara lemah-lembut dan dengan cara
yang baik itu. Mereka mengatakan, bahwa saya tidak menuruti
apa yang ada dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan
kitab-kitab hadis. Dalam mengungkapkan berbagai peristiwa
saya tidak menempuh cara yang sudah ada.
Dalam hal ini cukuplah kiranya bila saya jawab, bahwa
dalam pembahasan ini saya memakai metoda ilmiah, saya tulis
dengan gaya zaman kini. Yang demikian ini saya lakukan,
karena inilah cara yang baik menurut pandangan ilmu
pengetahuan yang berlaku sekarang dengan berbagai macam
cabangnya, baik yang berkenaan dengan sejarah atau tidak.
Bagi saya - dan ini pendirian saya - tidak perlu kita
terikat pada buku-buku lama. Antara kedua cara dan cara-cara
lama dengan yang berlaku sekarang terdapat perbedaan yang
besar sekali. Secara mudahnya, dalam buku-buku lama tidak
dibenarkan adanya kritik seperti yang berlaku sekarang.
Kebanyakan buku-buku lama ditulis untuk suatu maksud
keagamaan dalam arti ubudiah, sementara penulis-penulis
dewasa ini terikat oleh metoda dan kritik-kritik ilmiah. Ini
saja sudah cukup buat saya menangkis setiap tantangan dan
sekaligus membenarkan metoda yang saya pakai dalam
penyelidikan ini. Tetapi saya pikir ada baiknya juga saya
jelaskan barang sedikit sehubungan dengan sebab-sebab yang
membawa ahli-ahli pikir dari pemuka-pemuka Islam masa lampau
itu - dan masa kini - juga yang membawa setiap penyelidik
yang teliti - untuk tidak secara serampangan mengambil
begitu saja apa yang ada dalam buku-buku sejarah dan
buku-buku hadis. Kita terikat pada kaidah-kaidah kritik
ilmiah demikian ialah guna menghindarkan diri dari kesalahan
sedapat mungkin.
Sebab pertama yang menimbulkan perbedaan yang terdapat
dalam buku-buku itu ialah; banyaknya peristiwa-peristiwa dan
hal-hal yang terjadi, yang dihubung-hubungkan kepada Nabi
sejak ia lahir hingga wafatnya. Mereka yang mempelajari
buku-buku ini melihat adanya beberapa berita yang
ajaib-ajaib, mujizat-mujizat dan cerita-cerita lain semacam
itu. Di sana-sini ditambah atau dikurangi tanpa alasan yang
tepat, kecuali perbedaan-perbedaan waktu ketika buku-buku
tersebut ditulis. Buku-buku lama tidak seberapa banyak
menghidangkan cerita yang aneh-aneh itu dibandingkan dengan
buku-buku yang datang kemudian. Peristiwa-peristiwa yang
serba ajaib yang terdapat dalam buku-buku lama tidak begitu
jauh dari jangkauan akal, dibandingkan dengan yang terdapat
dalam buku penulis-penulis yang belakangan. Buku Sirat Ibn
Hisyam misalnya - sebagai buku biografi tertua yang pernah
dikenal sampai sekarang - tidak banyak menyebutkan apa yang
disebutkan oleh Abu'l-Fida' dalam Tarikh-nya, atau seperti
apa yang disebutkan oleh Qadzi Iyadz dalam Asy-Syifa', juga
seperti yang disebutkan dalam buku penulis-penulis
kemudian.
KONTRADIKSI
Begitu juga tentunya tentang buku-buku hadis dengan
segala perbedaannya yang ada. Ada yang mengemukakan satu
cerita, yang lain menghilangkannya, ada pula yang
menambahkan. Dalam mengadakan pembahasan ilmiah dalam
buku-buku demikian seorang penyelidik harus membuat sebuah
kriterium yang dapat mengukur mana-mana yang cocok dan mana
pula yang tidak. Mana-mana yang dapat dipercaya oleh
kriterium itu, itu pula yang diakui oleh penyelidik
tersebut. Mana-mana yang tidak dapat dipercaya, ia akan
dimasukkan ke dalam daftar pengujian kalau memang perlu
diuji.
Dalam beberapa hal orang-orang dahulu memang menggunakan
metoda ini, dan dalam hal yang lain tidak. Tentang cerita
gharaniq misalnya yang menyebutkan bahwa ketika Nabi merasa
kesal terhadap kepada pemuka-pemuka Quraisy maka lalu
dibacakan Surah "an-Najm." Ketika sampai pada ayat "Adakah
kamu perhatikan al-Lat dan al-'Uzza, dan Manat ketiga, yang
terakhir?" (Qur'an 53:19-20) dibacanya pula, "Dan itu
gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan."
Kemudian pembacaan Surah itu diteruskan sampai selesai. Nabi
lalu sujud diikuti oleh kaum Muslimin dan kaum musyrik yang
juga sama-sama bersujud.
Cerita ini dibawa oleh Ibn Said dalam At-Tabaqat'l-Kubra
dan tidak pula diberi suatu kritik. Dalam beberapa buku
hadis shahih disebutkan juga adanya cerita gharaniq ini
dengan beberapa perbedaan. Tetapi Ibn Is-haq membawa cerita
ini dengan mengatakan: "itu berasal dari karangan
orang-orang atheis." Juga dalam Al Bidaya wan-Nihaya
fit-Tarikh Ibn Kathir menyebutkan: "Orang bicara tentang
cerita gharaniq ini. Tetapi lebih baik kita menghindari
pembicaraan ini, supaya jangan ada orang yang mendengarnya
lalu menempatkannya tidak pada tempatnya. Akan tetapi
mulanya cerita ini memang terdapat dalam Shahih." Kemudian
ia menyebutkan sebuah hadis tentang ini melalui Bukhari
dengan mengatakan: "Hanya Bukhari sendiri yang menyebutkan.
Muslim tidak." Saya sendiri tidak ragu-ragu lagi akan
menolak cerita ini dari dasarnya. Saya setuju dengan Ibn
Ishaq, bahwa cerita ini adalah bikinan orang-orang atheis.
Dalam menyanggah ini saya dapat menarik beberapa
argumentasi, bukan saja karena dalam cerita tersebut
terdapat kontradiksi, mengingat bahwa para rasul itu
mendapat perlindungan dalam menyampaikan risalah Tuhan,
tetapi juga saya bersandar pada kaidah-kaidah kritik ilmiah
yang berlaku sekarang.
FAKTOR WAKTU, KETIKA CERITA ITU
DITULIS
Sebab-sebab lain yang masih perlu diuji sehubungan dengan
buku-buku lama itu, dengan mengadakan suatu kritik yang
teliti menurut metoda ilmiah, ialah bahwa buku tertua yang
pernah ditulis orang baru seratus tahun atau lebih kemudian
sesudah Nabi wafat, dan sesudah meluasnya issue-issue - baik
politik atau bukan politik - dalam dunia Islam, dengan
menciptakan cerita-cerita dan hadis-hadis sebagai salah satu
alat penyebaran. Apalagi kesan kita tentang yang ditulis
orang kemudian, yang sudah mengalami zaman yang sangat kacau
dan gelisah.
PENGARUH PERTENTANGAN POLITIK DALAM
DUNIA ISLAM
Pertentangan-pertentangan politik yang telah dialami oleh
mereka yang mengumpulkan hadis - dengan membuang mana yang
palsu dan mencatat mana yang dianggap sahih - menyebabkan
mereka berusaha lebih berhati-hati lagi. Mereka berusaha
melakukan ketelitian dalam menguji, supaya tidak sampai
menimbulkan keragu-raguan. Orang akan cukup menyadari apa
yang dialami Bukhari yang begitu susah-payah dengan
perjalanan yang dilakukannya ke berbagai tempat dunia Islam,
guna mengumpulkan hadis dan lalu mengujinya. Apa yang
diceritakannya kemudian, bahwa dari hadis-hadis yang beredar
yang dijumpainya sampai melebihi 600.000 buah itu, yang
dipandang benar (sahih) olehnya tidak lebih dari hanya 4.000
buah hadis saja. Ini berarti bahwa dari setiap 150 buah
hadis yang dipandang benar olehnya hanya sebuah saja. Sedang
pada Abu Dawud, dari 500.000 buah hadis, yang dianggap sahih
menurut dia hanya 4.800 saja. Demikian juga halnya dengan
penghimpun-penghimpun hadis yang lain. Banyak sekali dari
hadis-hadis itu, yang oleh sebagian dianggap sahih, oleh
ulama lain masih dijadikan bahan penelitian dan mendapat
kritik, yang akhirnya banyak pula yang ditolak. Ini sama
halnya dengan soal gharaniq.
PENGHIMPUNAN HADIS
Jadi, kalau demikian inilah yang sudah terjadi dengan
hadis, yang sudah demikian rupa diperjuangkan oleh para
penghimpun hadis itu, apalagi dengan buku-buku sejarah hidup
Nabi yang datang kemudian, bagaimana kita dapat
mengandalkannya tanpa mengadakan penelitian dan pengujian
ilmiah!
Sebenarnya, pertentangan politik yang terjadi sesudah
permulaan sejarah Islam, telah menimbulkan lahirnya
cerita-cerita dan hadis-hadis bikinan untuk mendukung maksud
tersebut. Sampai pada saat-saat terakhir zaman Banu Umayya
penulisan hadis belum lagi dilakukan orang. Umar bin Abdul
Aziz pernah memerintahkan supaya hadis-hadis itu dihimpun.
Kemudian baru dikumpulkan pada zaman Ma'mun, yaitu sesudah
terjadi "Hadis yang sahih dalam hadis yang palsu itu seperti
rambut putih pada kerbau hitam," seperti kata Ad-Daraqutni.
Dan mungkin tidak dikumpulkannya hadis pada masa permulaan
Islam, karena seperti diberitakan bahwa Nabi berkata:
"Jangan menuliskan sesuatu tentang aku, selain Qur'an.
Barangsiapa menuliskan itu selain Qur'an, hendaklah
dihapus."
Akan tetapi pada waktu itu hadis Nabi sudah beredar dari
mulut ke mulut dan penceritaannyapun berbeda-beda. 'Umar
ibn'l-Khattab ketika menjadi Khalifah pernah mengambil
langkah dalam hal ini dengan maksud akan menuliskan
hadis-hadis itu. Ia minta pendapat sahabat-sahabat Nabi yang
lain. Merekapun memberikan pendapat yang sama. Selama
sebulan lamanya ia melakukan istikharah, yang kemudian
setelah mendapat ketetapan hati ia berkata: "Saya bermaksud
akan menulis hadis dan sunah, tapi saya takkan
mencampur-adukkan Qur'an dengan apapun." Penulisan
hadis-hadis itu tidak jadi dilakukan. Ditulisnya surat ke
kota-kota lain: "Barangsiapa memilikinya supaya dihapuskan."
Sesudah itu hadis-hadis terus juga beredar dan berkembang
biak, sehingga akhirnya terhimpun juga hadis-hadis yang
dianggap sahih menurut para penghimpunnya, yakni pada masa
Ma'mun.
KRITERIUM YANG SEBENARNYA TENTANG
HADIS
Dengan segala usaha penelitian yang sudah tentu dilakukan
oleh para penghimpun hadis itu, tapi masih banyak juga
hadis-hadis yang oleh mereka sudah dinyatakan sahih itu,
oleh beberapa ulama lain masih dinyatakan tidak otentik.
Dalam Syarah Muslim Nawawi menyebutkan: "Ada golongan yang
membuat koreksi terhadap Bukhari dan Muslim mengenai
hadis-hadis itu sehingga syarat-syarat mereka tidak begitu
dihiraukan dan mengurangi pula arti yang menjadi pegangan
mereka, yakni para penghimpun itu, yang sebagai kriterium
mereka hanya berpegang pada sanad (askripsi) dan pada
kepercayaan mereka kepada sumber cerita sebagai dasar:
menerima atau menolak hadis itu. Ini memang suatu, kriterium
yang berharga. Tetapi itu saja tentu tidak cukup."
Bagi kita kriterium yang baik dalam mengukur hadis - dan
mengukur setiap berita yang berhubungan dengan Nabi - ialah
seperti yang pernah diceritakan orang tentang Nabi
'alaihissalam ketika menyatakan: "Kamu akan berselisih
sesudah kutinggalkan. Maka (oleh karena itu) apa yang
dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Qur'an.
Mana yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan,
bukan dari aku."
Ini adalah suatu kriterium yang tepat, yang sudah menjadi
pegangan pemuka-pemuka Islam sejak permulaan sejarah Islam.
Dan sampai sekarang mereka sebagai ahli pikir masih
berpegang pada ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Khaldun:
"Saya tidak percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga
tidak percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang
bertentangan dengan Qur'an, sekalipun ada orang-orang yang
memperkuatnya. Beberapa pembawa hadis dipercayai karena
keadaan lahirnya yang dapat mengelabui, sedang batinnya
tidak baik. Kalau sumber-sumber itu dikritik dari segi matn
(teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah
sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah
mengatakan: bahwa tanda hadis maudzu, (buatan) itu, ialah
yang bertentangan dengan kenyataan Qur'an atau dengan
kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh hukum agama
(syariat) atau dibuktikan oleh akal atau pancaindra dan
ketentuan-ketentuan axioma lainnya."
Kriterium inilah yang terdapat dalam hadis Nabi tersebut.
Dan apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun tadi sesuai sekali
dengan kaidah kritik ilmiah modern sekarang.
PENGHIMPUNAN HADIS PADA MASA
MA'MUN
Sebenarnya, perselisihan kaum Muslimin sudah mencapai
puncaknya setelah ditinggalkan Nabi, sehingga menimbulkan
adanya ribuan hadis dan sumber-sumber yang saling
bertentangan. Sesudah Abu Lu'lu'a, bujang Al-Mughira,
membunuh Umar ibn'l Khattab, dan sesudah Usman bin 'Affan
memangku jabatan Khalifah, permusuhan lama antara Banu
Hasyim dan Banu Umayya yang terjadi sebelum Islam mulai
timbul lagi. Setelah Usman terbunuh, perang saudara antara
kaum Musliminpun pecah. Aisyah melawan Ali dan Alipun
mendapat pendukungnya pula. Maka mulailah hadis-hadis buatan
bertambah banyak, sampai-sampai Ali bin Abi Talib sendiri
menolaknya. Konon dia berkata: "Tak ada kitab pada kami yang
dapat kami bacakan kepada kamu, kecuali apa yang ada dalam
Qur'an. Dan apa yang ada dalam kitab itu kuterima dari
Rasulullah; terdapat kewajiban-kewajiban sadakah."
Akan tetapi ini tidak menghalangi para penyiar hadis itu
melancarkan ceritanya, tidak menghalangi adanya golongan
tertentu membuat-buat hadis karena sesuatu ambisi atau
karena maksud-maksud baik dengan mengajak pula orang lain.
Mereka memduga orang lain akan senang sekali menerimanya
bila hadisnya itu dihubung-hubungkan kepada Rasulullah.
Sesudah keadaan Banu Umayya stabil, juru-juru hadis yang
ada hubungannya dengan Keluarga Umayya itu berusaha
melemahkan semua hadis tentang Ali bin Abi Talib dan
jasa-jasanya. Sementara oleh pembela-pembela Ali dan
keluarga Nabi hadis-hadis itu ditambah-tambah serta berusaha
pula menyebarkannya dengan segala cara. Sebaliknya segala
yang datang dari Aisyah Umm'l-Mu'-minin oleh mereka
dihalang-halangi.
|