Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

22. Pemerintahan Umar (3/4)

Pengangkatan para hakim dan pendapatnya tentang hukum

Dalam menjalankan keadilan ia tidak membedakan antara si ningrat dengan si jelata, antara pejabat tinggi dengan rakyat biasa. Di atas kita sudah menguraikan cerita tentang Amir Gassan, Jabalah bin al­Aiham, dan bagaimana Umar menghendaki agar tindakannya memukul seorang badui (Arab pedalaman) itu juga harus mendapat hukuman setimpal. Kasus Muhammad bin Amr bin As yang mencambuk seorang orang Mesir sambil berkata: Terimalah ini; aku adalah anak keturunan orang-orang mulia. Oleh Amr orang Mesir itu dipenjarakan karena dikhawatirkan akan mengadu kepada Amirulmukminin. Orang itu melarikan diri dari penjara dan pergi ke Medinah mengadukan halnya kepada Umar. Oleh Umar ia disuruh menunggu sementara Amr dan anaknya dimintanya datang dari Mesir. Keduanya kemudian dihadapkan ke majelis qisas (sidang pengadilan pidana), dan setelah mereka tampil Umar memanggil orang Mesir itu seraya katanya: Ambil cambuk itu dan lecutlah "anak keturunan orang mulia itu!" Muhammad dicambuk oleh orang Mesir itu sampai merasa kepayahan, sementara itu Umar berkata: Cambuklah "anak keturunan orang mulia itu!" Setelah selesai dan orang tersebut hendak mengembalikan cambuk itu kepada Amirulmukminin ia berkata: "Putarkan cambuk itu di atas kepala Amr yang botak; berkat kedudukannya itulah anaknya berani memukul Anda!" Ketika itu Amr berkata: Amirulmukminin, sudah Anda penuhi dan sudah Anda balas sepuas-puasnya.

Orang Mesir itu berkata: Amirulmukminin, orang yang memukul saya sudah saya pukul.

Ketika itu Amr berkata: Sungguh, jika Anda pukul dia kami tidak akan menghalangi sebelum Anda sendiri yang meninggalkannya.

Umar menoleh kepada Amr dengan sikap marah seraya berkata: "Amr! Sejak kapan Anda memperbudak orang, padahal ibunya melahirkannya sebagai orang merdeka!"

Bukan maksud saya di sini hendak merinci cara Umar melaksanakan hukuman, juga bukan tempatnya dalam bab ini membuat rincian demikian. Tetapi apa yang saya kemukakan itu hanya sekadar isyarat betapa kerasnya ia dalam berpegang pada keadilan, dan mengenai persamaan antara sesama manusia, dilukiskan dalam kata-katanya ini: "Kalau ada dua orang yang berselisih mengadu kepadaku, untuk menentukan pihak mana yang benar aku tak pandang bulu." Penyebab sikap kerasnya terhadap keluarga, kepada para pejabat dan keluarga mereka karena keyakinannya bahwa untuk menjamin adanya kebebasan, kekuatan an kehormatan umat hanyalah dengan mempersamakan antara si penguasa dengan rakyatnya, antara si kaya dengan si miskin, antara sang amir dengan si jelata. Para petinggi itu lebih besar tanggung jawabnya daripada rakyatnya, karena pemerintahan memikat mereka untuk berlaku sewenang-wenang kalau tak ada yang dapat menahan mereka. Oleh karenanya ia berkata: "Rakyat masih akan tetap jujur selama pemimpin-pemimpin dan para panutan mereka jujur." Katanya lagi: "Rakyat akan memenuhi kewajibannya kepada pemimpin selama pemimpin itu memenuhi kewajibannya kepada Allah. Kalau pemimpin hidup bermewah-mewah dan serakah, rakyat pun akan mengikutinya." Baginya, kedudukan para pejabat itu terhadap dia sama dengan kedudukan rakyat terhadap para pejabat. Dia bertanggung jawab terhadap mereka, sama seperti para pejabat bertanggung terhadap orang­orang yang menjadi bawahan mereka. Jika petinggi-petinggi itu berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat, mereka juga harus dihukum sama seperti yang berlaku terhadap siapa saja yang berlaku sewenang­wenang terhadap orang lain di negeri itu. Ia pernah mengungkapkan perasaannya mengenai tanggung jawab itu dengan mengatakan: "Siapa pun pejabat yang merugikan orang lain dan tindakannya itu sudah disampaikan kepadaku tetapi aku tak dapat mengubahnya, maka akulah yang merugikan orang itu."

Sifat-sifat Umar itu sebenarnya sudah lengkap: zuhud, kasih sayang, adil dan mengabdi kepada fakir miskin dan kaum tak punya. Itu sebabnya pemerintahannya disukai orang, dan beberapa tindakannya yang dulu terasa begitu tegas dan keras bagi mereka kini bukan masalah, dan kewibawaannya tidak pula membuat orang banyak menjauhinya. Kalau tidak karenanya niscaya mereka mengadukan segala keperluan mereka kepadanya dan dia pun akan menyelesaikannya. Karena sikapnya yang keras dan tegas itu sampai ia mengangkat cambuk menghajar siapa saja yang melanggar tata tertib umum yang sudah berlaku. Ia tak akan membeda-bedakan siapa dari mereka, tua atau muda, yang harus kena. Dengan membawa tongkat orang makin segan dan takut kepadanya, di samping kepercayaan mereka akan pengabdiannya, keadilan dan kasih sayangnya. Sahabat-sahabat seperti Ali, Usman, Talhah, Zubair, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa'd bin Abi Waqqas sedang mengadakan pertemuan. Di antara mereka Abdur­Rahman bin Auf yang berani berbicara kepada Umar. Mereka itu berkata kepadanya: Abdur-Rahman, coba Anda sampaikan kepada Amirulmukminin atas nama orang banyak; ada orang yang datang kepadanya ingin membicarakan keperluannya. Tetapi karena wibawanya ia segan berbicara dengan Umar dan pulang kembali tanpa menyampaikan keinginannya itu. Abdur-Rahman datang menemui Umar dan berkata: Amirulmukminin, bersikap lunaklah kepada orang. Ada orang yang datang hendak berbicara dengan Anda mengenai masalah yang sedang dihadapinya, tetapi ia tidak sampai berbicara karena merasa takut dan ia kembali pulang."

"Abdur-Rahman," kata Umar. "Bersumpahlah demi Allah. Bukankah ini atas permintaan Ali, Usman, Talhah, Zubair dan Sa'd yang menyuruh Anda?"

"Memang benar," jawab Abdur-Rahman.

"Abdur-Rahman," sambung Umar lagi, "saya sudah bersikap longgar kepada semua orang sampai karena sikap itu saya takut kepada Allah; kemudian saya bersikap keras sehingga saya takut kepada Allah karena sikap saya yang keras itu. Bagaimana jalan keluarnya?!"

Abdur-Rahman keluar sambil menangis dan katanya: Celakalah mereka yang sesudahmu! Celaka mereka!

Contoh-contoh ini sekadar menggambarkan kepada kita, bagaimana Umar memikul tanggung jawab pemerintahan yang sekaligus memperlihatkan rahasia kemampuannya yang luar biasa dalam memikul segala beban yang begitu besar itu, yang sampai kini masih membuat orang kagum dan bangga. Juga terlihat bagaimana sistem pemerintahan di masa Umar sebagai sarana yang dapat menyiapkan gerakan pembebasan dan mendorong Muslimin melaksanakan semua itu. Mereka melihat Amirulmukminin adalah pelindung dan penanggung jawab terbaik mengenai hak-hak mereka dan keluarga yang mereka tinggalkan. Mereka melihatnya sebagai orang yang sangat terkesan dalam hati mereka dan dalam hati keluarga, dan ia menyampaikan hak masing-masing kepada yang berhak. Sudah tentu mereka terjun ke medan perang dengan hati tenang mengenai hari depan mereka, mengenai nasib anak-anak dan keluarga mereka. Dan tidaklah ada yang akan merasa rugi mati terbunuh di jalan Allah dan demi kedaulatan Islam, sementara ia yakin bahwa kalau ia mati syahid anak-anak mereka akan mendapat balasan lebih baik daripada sewaktu ia masih hidup, dan pintu surga akan terbuka baginya sesuai dengan pengabdiannya kepada Allah dengan menyerahkan hidupnya demi perjuangan di jalan Allah.

Kalangan sejarawan Barat memperkuat penggambaran Umar yang demikian itu dan sangat memujinya. Yang sebagian lagi mereka berpendapat bahwa kalaupun yang demikian itu melukiskan suatu sistem pemerintahan, maka itu adalah sistem Arab yang sudah cukup terkenal waktu itu, dan mirip sekali dengan sistem para kabilah, karena yang memegang kendali adalah orang-orang yang lebih mampu menguasai dengan kekuatannya dalam mempertahankan dan memberikan perlindungan, atau dengan kebijaksanaannya mengatur segala persoalan, atau dengan ketajaman dan keelokan pandangannya dalam mengikat hubungan dengan kabilah-kabilah lain. Pemimpin kabilah ini memusatkan semua kekuasaan di tangannya, kira-kira sama seperti yang dilakukan Umar. Hukum adat yang sudah berlaku dijadikannya landasan hukum syariat. Ia memutuskan perkara hukum qisas atau diat di kalangan orang-orang sekabilahnya atas dasar itu. Perkara diputuskan dengan mengambil salah satu cara itu jika ada orang yang menjadi korban kekerasan mengadu, atau wali penuntut darah dari kabilah lain menuntut haknya dari orang yang melakukan pelanggaran itu atau terhadap orang yang diwakilinya sebagai wali penuntutnya, dari kabilah pemimpin tersebut. Para sejarawan itu menyebutkan, bahwa hukum adat yang berlaku bagi orang Arab itu telah disusun dan disaring oleh Qur'an, tetapi tidak sampai membawa Arab lepas dari sistem mereka yang sudah biasa berjalan sebelum itu. Baik pemerintahan Umar, dan pemerintahan Abu Bakr sebelumnya, berjalan tidak melampaui dasar sistem Arab itu. Kedua pemerintahan lebih mirip sistem badui (Arab pedalaman) daripada sistem kota yang sudah dikenal oleh Persia dan Rumawi waktu itu.

Sudah tentu pemerintahan Abu Bakr waktu itu adalah pemerintahan Arab murni, sedikit pun tidak terpengaruh oleh sistem Rumawi atau Persia, dengan cara yang sangat bersahaja, layaknya cara badui yang sudah dikenal di kebanyakan Semenanjung Arab waktu itu. Kendati dengan kesederhanaannya, mata rantai yang begitu kuat yang mengikat masa risalah dengan masa kedaulatan Islam, merupakan keadaan biasa untuk suatu sistem yang mulai berubah pada masa Rasulullah. Tatkala Rasulullah datang ke Yasrib - seperti kota-kota Arab lainnya - kota ini terdiri atas kabilah-kabilah, tak ada yang mau mengakui kekuasaan yang satu atas yang lain. Karenanya, kadang terjadi perang antara Aus dengan Khazraj, kadang antara Arab dengan Yahudi penduduk Yasrib. Mereka tak pernah bersatu kecuali jika ada bahaya datang dari luar. Sesudah Rasulullah menetap di Medinah dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Ansar, kemudian pengusiran orang-orang Yahudi dari kota itu, hilanglah perbedaan dan pertentangan antarkabilah dan antarsuku itu. Mereka bersatu dalam satu peradaban yang hukumnya adalah Qur'an dan penanggung jawabnya Rasulullah. Ini merupakan suatu perkembangan dalam sistem pemerintahan yang belum biasa buat penduduk Hijaz. Tetapi tak lama sesudah pembebasan Mekah, perkembangan ini berpindah dari Medinah ke Mekah kemudian sesudah Perang Hunain ke Ta'if.

Setelah kota-kota dan kabilah-kabilah itu mengirimkan utusan­utusannya ke Medinah untuk menyatakan menerima Islam di depan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, setahun sebelum Rasulullah wafat, Rasul mengirim tokoh-tokoh sahabatnya untuk mengajarkan agama dan memungut zakat dari mereka. Tokoh-tokoh ini adalah perintis masa peralihan yang membuat orang-orang Arab berangsur-angsur mengalami perkembangan. Tatkala terjadi Perang Riddah, orang-orang Arab itu berjuang mati-matian seperti yang lain dalam menumpas kaum pembangkang. Dengan demikian mereka mengakui bahwa datangnya kemenangan itu dari Medinah, dan tak ada orang Arab yang mengingkarinya. Ini membuat pengaruh para penguasa setempat dan para pejabat tinggi3 yang diangkat oleh Abu Bakr bertambah kuat. Kekuasaan ini tidak terbatas hanya pada pengajaran agama kepada mereka dan memungut zakat, tetapi di kota-kota yang menjadi tanggung jawab mereka hak mereka sama dengan yang dimiliki oleh para pemimpin kabilah atau para amir. Kekuasaan eksekutif, hukum dan pimpinan militer di tangan mereka, dengan tanggung jawab sepenuhnya kepada Khalifah atas segala tindakan mereka.

Kekuasaan itu kemudian pindah ke tangan Umar sesudah semua orang Arab kembali kepada Islam. Tak ada lagi alasan untuk harus mewaspadai mereka atau merasa khawatir mereka akan membangkang lagi. Mengapa harus merasa khawatir padahal pahlawan-pahlawan mereka sudah pergi ke medan pertempuran, berjuang di jalan Allah, membunuh atau dibunuh. Umar berpendapat persatuan mereka akan lebih diperkuat lagi. Oleh karenanya ia memerintahkan para pejabatnya berlaku lebih bijaksana, adil, memberikan pengabdian dan kasih sayang, semua orang Arab di Semenanjung supaya diperlakukan sama, lepas dari kedudukan mereka yang berbeda-beda.

Kebijakan Umar terhadap para pejabatnya

Untuk maksud itulah Umar mengirimkan pesan kepada para pejabatnya tersebut. Mereka dikirim kepada orang-orang Arab pedalaman itu bukan untuk merendahkan mereka, melainkan untuk menegakkan hukum Allah seadil-adilnya. Kepada mereka ia berkata: "Perlakukanlah semua orang di tempat kalian itu sama, yang dekat seperti yang jauh dan yang jauh seperti yang dekat. Hati-hatilah terhadap suap dan menjalankan hukum karena hawa nafsu dan bertindak di waktu marah. Tegakkan dengan benar walaupun sehari hanya sesaat." Ia merasa dirinya bertanggung jawab terhadap hati nuraninya dan terhadap Allah untuk menegakkan keadilan itu di segala tempat. Jika ada pejabatnya di ujung dunia mana pun yang merugikan seseorang, maka seolah dialah yang berbuat begitu. Suatu hari ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya: "Bagaimana kalau saya menempatkan orang yang terbaik yang saya ketahui atas kalian lalu saya perintahkan dia berlaku adil, sudahkah saya menjalankan tugas saya?" Mereka menjawab: Ya! "Tidak," kata Umar, "sebelum saya melihat sendiri pekerjaannya, dia melaksanakan apa yang saya perintahkan atau tidak." Itu sebabnya ia mengadakan pengawasan terhadap para pejabatnya begitu ketat seperti yang kita lihat tindakannya memecat Khalid bin Walid dan penyelidikannya terhadap Amr bin As. Sumber-sumber menyebutkan mengenai cerita-cerita tentang ketatnya Umar mengadakan pengawasan yang hampir-hampir tak dapat dipercaya. Diceritakan bahwa ketika di Syam Abu Ubaidah memberi kelapangan kepada keluarganya. Setelah hal ini diketahui oleh Umar penghasilannya dikurangi sehingga rupanya berubah pucat, pakaiannya lusuh dan keadaannya memprihatinkan. Setelah kemudian Umar tahu apa terjadi itu ia berkata: "Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Ubaidah. Alangkah bersih dan tabahnya dia!" Kemudian ia mengembalikan apa yang tadinya diperketatnya itu. Begitu ketatnya Umar mengawasi pejabat-pejabatnya sehingga ada yang dipecat hanya karena diragukan tanpa ada bukti yang kuat. Kadang ia memecat hanya karena curiga di luar batas keraguan. Suatu hari ia ditanya orang mengenai hal itu, maka jawabnya: "Yang mudah untuk memperbaiki suatu masyarakat, menggantikan seorang kepala dengan yang lain."

Kita sudah sering melihat dia memecat seorang pejabat tinggi dari jabatannya bukan karena kecurigaan, tetapi dengan pemecatannya itu ia mengharapkan adanya perbaikan, di antaranya seperti ketika memecat Sa'd bin Abi Waqqas di Kufah tanpa ada alasan selain karena ada sekelompok orang dari penduduk kota itu marah kepadanya dan mengadu kepada Umar, bahwa dia tidak melakukan pembagian secara merata dan tidak berlaku adil kepada rakyat dan tidak mengadakan ekspedisi militer. Untuk itu Umar telah mengutus Muhammad bin Masmalah ke Kufah. Dia melihat orang semua menerima kepemimpinan Sa'd. Sungguhpun begitu dia dipecat juga, karena dikhawatirkan akan timbul malapetaka mengingat pasukan Persia sudah berkumpul siap akan menyerang dan mengadakan pembalasan.

Setiap tahun pada musim haji Umar mengumpulkan para pejabatnya di Mekah. Ia menanyai mereka tentang tugas-tugas yang mereka jalankan, dan menanyakan tentang mereka kepada orang yang datang, untuk melihat kejelian mereka dalam menjalankan kewajiban dan kebersihan mereka dalam menggunakan penghasilan untuk diri dan untuk keluarga mereka. Yang pertama sekali didahulukannya kebersihan para pejabat itu. Karenanya semua pejabat sebelum memangku jabatan kekayaan mereka dihitung. Kalau sesudah itu mereka memiliki kelebihan, maka kebersihan pejabat demikian patut diragukan. Segera diadakan pemeriksaan atas kekayaan mereka itu. Adakalanya kekayaan itu dirampas, dengan mengatakan kepada mereka: Kami mengirimkan kalian sebagai pejabat, bukan sebagai pedagang!

Tetapi ketatnya pengawasan terhadap para pejabat itu tidak dimaksudkan untuk merendahkan dan melemahkan kekuasaan atau kewibawaan mereka. Kepada mereka diberi kebebasan penuh, keputusan-keputusan mereka berlaku dan kekuasaan mereka sama dengan kekuasaan Umar sepanjang mereka menjalangkan keadilan dan tetap berpegang teguh. Jika ada orang yang berbuat makar terhadap mereka atau tidak mengindahkan perintah mereka, orang itu akan dikenai hukuman yang berat. Penduduk Irak pernah melempari pemimpin mereka dengan batu-batu kerikil sebagai penghinaan, seperti yang pernah mereka lakukan serupa sebelum itu. Umar marah sekali. Ia mengingatkan penduduk Syam: "Bersiap-siaplah untuk penduduk Irak, karena setan sudah bertelur dan sudah menetas di tengah-tengah mereka." Di samping itu ia juga mendengarkan argumen yang dikemukakan pejabatnya. Kalau memuaskan ia menyembunyikan rasa puasnya dan memujinya kemudian. Pernah ia datang ke Syam dengan menunggang keledai. Ia disambut oleh Mu'awiah bin Abi Sufyan dalam sebuah pawai besar-besaran. Mu'awiah turun dan memberi salam kepada Umar sebagai Khalifah, tetapi Umar terus berjalan tanpa membalas salamnya. Abdur-Rahman bin Auf menegurnya: Amirulmukminin, Anda membuatnya tersinggung, coba diajaknya bicara! Umar menoleh kepada Mu'awiah sambil menanyakan: "Anda yang memimpin pawai yang saya lihat itu?"

"Ya," jawab Mu'awiah.

"Anda suka menyembunyikan diri padahal banyak orang yang memerlukan bantuan menunggu Anda!"

"Ya," kata Mu'awiah lagi. "Mengapa begitu!?"

"Karena di negeri ini banyak mata-mata musuh. Kalau kami tidak mengadakan persiapan dan perlengkapan mereka akan menganggap kami sepele dan akan menyerang kami. Hal kami tidak menampakkan diri sebenarnya kami khawatir dengan berpakaian lusuh rakyat akan bersikap kurang ajar, padahal saya pejabat tinggi Anda. Kalau Anda meminta saya mengurangi akan saya kurangi, kalau Anda menyuruh menambah akan saya tambah dan kalau Anda hentikan saya akan hentikan." Setelah diam sejenak Umar berkata: "Setiap saya menanyakan sesuatu kepada Anda selalu Anda mendapat jalan keluarnya. Kalau Anda jujur, pendapat itu memang dapat diterima akal, tetapi kalau Anda dusta maka itulah tipu muslihat yang cerdik sekali. Saya tidak memerintahkan dan tidak pula melarang Anda."

Umar gembira sekali bila melihat para pejabatnya mencurahkan perhatian demi kepentingan dan kebaikan rakyat, dan ia akan memujinya luar biasa. Ketika mengangkat Umair bin Sa'd untuk Hims ia menulis: "Datanglah bersama rampasan perang yang Anda peroleh untuk pasukan Muslimin." Setelah orang itu datang ia ditanya apa yang sudah dilakukannya. "Anda mengirim saya sampai di kota itu. Saya mengumpulkan penduduk yang baik-baik dan saya serahi pengumpulan rampasan itu kepada mereka. Sesudah terkumpul semua saya letakkan di tempatnya. Kalau masih ada yang dapat dibagi untuk di sini tentu saya bawa ke mari."

"Jadi tak ada yang dapat Anda bawa samasekali?" Setelah ditegaskan lagi bahwa sudah dia keluarkan semua untuk penduduk Hims Umar berkata: "Umair telah membuat era baru."

Umair inilah yang berkata saat ia di atas mimbar di kota Hims: "Islam akan tetap kuat selama penguasa kuat, dan penguasa akan kuat bukan karena dapat membunuh dengan pedang atau memukul dengan cambuk, tetapi karena mampu mengambil keputusan yang benar dan berlaku adil." Tidak heran jika kata-kata yang bijaksana yang memang menjadi pegangannya. Umar berkata: "Alangkah beruntungnya saya kalau mendapat orang seperti Umair bin Sa'd yang dapat saya mintai bantuan dalam segala urusan umat."

Pembentukan administrasi negara dan pendistribusian

Pada permulaan pemerintahan Umar para petinggi itu menjalankan kebijakan mereka seperti yang dijalankan Umar di Medinah. Mereka memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan pimpinan militer dalam satu tangan. Hanya saja, tak lama sesudah memegang tugas pemerintahan itu tampaknya ia sudah lebih sibuk dengan urusan negara secara umum serta pemusatan politiknya melebihi apa yang harus dipikulnya ketika ia dilantik. Berita-berita angkatan bersenjatanya di Irak dan Syam menyita banyak sekali waktu dan perhatiannya. Segala tindak tanduk para pejabat di berbagai daerah kedaulatannya menjadi pokok perhatian dan pikirannya. Di samping itu, kepentingan rakyat di Medinah menambah rumit dan kompleks dengan bertambahnya jumlah penduduk, serta kekayaan yang masuk. Usaha pembebasan dan penaklukan yang terus maju serta segala yang harus diselesaikan sehubungan dengan administrasi negeri-negeri yang baru dikuasai itu memaksanya harus menulis kepada para panglimanya menyampaikan pendapatnya sekitar pengaturan administrasi itu. Oleh karena itu mau tak mau ia harus mengangkat beberapa pembantu yang akan dapat mengatur segala kepentingan perorangan terpisah dari kepentingan negara.

Pengangkatan para hakim

Dalam hal ini, yang pertama sekali dilakukannya ialah memisahkan kekuasaan yudikatif di Medinah dari kekuasaannya, dan untuk itu ia mengangkat Abu ad-Darda' dan dia diberi gelar Qadi (Hakim). Segala macam perkara hukum yang diajukan orang dia yang memutuskan. Sesudah selesai pembangunan kota-kota Kufah dan Basrah dan makin banyak orang yang tinggal di sana, banyak pula anggota masyarakat yang terlibat dalam berbagai macam perkara, ia mengangkat Syuraih sebagai hakim Kufah dan untuk Basrah diangkatnya Abu Musa al­ Asy'ari. Setelah Mesir dibebaskan, untuk kaum Muslimin diangkatnya Qais bin al-As as-Sahmi sebagai hakim. Para hakim memutuskan perkara bebas menurut pendapat mereka sendiri dalam batas-batas Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Pengangkatan mereka ini merupakan langkah pertama dalam mengatur kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Tetapi langkah inilah yang memang diperlukan dan dapat menentukan perkembangan yang diperlukan selanjutnya mengenai persoalan­persoalan negara. Keadaan ini tetap berjalan demikian, dan baru dapat dijadikan prinsip yang pasti untuk diterapkan di seluruh kedaulatan setelah memakan waktu lama- sesudah masa Umar.

Dalam memilih para hakim itu Umar telah berhasil baik seperti ketika memilih para pejabatnya yang lain, bahkan barangkali lebih berhasil. Soalnya karena dia sudah sangat mendalami fikih dan hukum syariat, dan hampir tak ada yang dapat menandinginya, sehingga tentang dia ini Ibn Mas'ud berkata: "Andaikata ilmu yang ada pada Umar diletakkan di satu piring neraca dan ilmu kabilah-kabilah Arab di piring neraca yang lain, masih akan lebih berat tangan Umar." Hal ini tidak mengherankan. Sebelum ia masuk Islam ia sudah memegang tugas sifarah (penengah) antara masyarakat Kuraisy dengan kabilah-kabilah lain. Sesudah masuk Islam ia selalu mendampingi Rasulullah, memperhatikan semua wahyu yang diturunkan Allah kepadanya, sangat memahami sunah dan segala keputusannya. Di samping itu ia mempunyai firasat yang tepat dan kuat mengenai orang-orang yang dihadapinya, dan dari tingkah laku mereka ia mampu menilai kemampuan mereka sesuai dengan apa yang dilihatnya. Cerita tentang pengangkatan Syuraih sebagai hakim Kufah adalah bukti terbaik dalam hal ini. Umar pernah menawar seekor kuda dari seseorang kemudian ia menaikinya, tetapi begitu dicoba kuda itu sudah kehabisan tenaga. Ia bermaksud mengembalikan kuda tersebut kepada pemiliknya tetapi pemilik itu menolak. Kalau begitu harus ada orang yang dapat menengahi antara kita ini, kata Umar. Orang itu berkata: Syuraih orang Irak itu. Maka perkara itu diserahkan kepada Syuraih. Sesudah mendengarkan argumen kedua pihak Syuraih berkata: Amirulmukminin, ambillah yang sudah Anda beli, atau kembalikan seperti waktu Anda ambil. Kata Umar: Keputusannya hanya begini!? Syuraih ditugaskan untuk melaksanakan hukum di Kufah, dan tetap demikian selama enam puluh tahun.

Surat-surat dan kata-kata Umar tentang keputusan hukum, yurisprudensi Islam dan kaidah-kaidahnya membuktikan tentang kedalaman ilmunya. Suratnya kepada Abu Musa al-Asy'ari merupakan sekelumit literatur hukum yang hidup sepanjang masa. Surat itu berbunyi:

"Bismillahir-rahmanir-rahim. Dari hamba Allah Amirulmukminin kepada Abdullah bin Qais. Salam sejahtera bagi Anda. Amma ba’du. Masalah peradilan adalah suatu kewajiban agama yang harus dijalankan, dan Sunah yang harus diikuti. Ketahuilah benar-benar: Jika diajukan kepada Anda suatu perkara maka laksanakanlah jika bagi Anda sudah nyata dan jelas. Tak ada gunanya berbicara tentang kebenaran tanpa ada pelaksanaan. Perlakukanlah semua orang dengan integritasmu, keadilanmu dan majelismu, supaya jangan ada orang yang berkedudukan dan kuat mengharapkan ketidakadilanmu sementara orang yang lemah merasa putus asa dari keadilanmu. Bukti yang jelas bagi yang mengaku berhak, dan sumpah bagi yang tidak mungkir. Menempuh jalan kompromi di kalangan Muslimin diperbolehkan, kecuali berdamai untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Suatu perkara yang sudah Anda putuskan kemarin, dan dengan kesadaran batinmu hari ini hati nuranimu hendak mengadakan peninjauan kembali, jangan segan untuk kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu azali, dan mengoreksi kembali untuk suatu kebenaran lebih baik daripada terus-menerus hanyut dalam kesalahan. Hendaklah dipahami, dipahami benar apa yang selalu menggoda hatimu, yang tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Di samping itu, ketahuilah mana-mana yang serupa dan sama, dan ukurlah semua itu menurut persamaannya, kemudian ambillah yang terdekat kepada ketentuan Allah dan paling menyamai kebenaran. Bagi yang mengaku berhak tidak jelas atau yang sudah jelas buktinya buatlah batas waktu terakhir. Kalau dia sudah membawa bukti kembalikanlah haknya, kalau tidak jatuhkanlah hukuman kepadanya, karena yang demikian akan menghilangkan keraguan dan lebih jelas bagi yang tidak tahu. Kaum Muslimin satu sama lain sama, kecuali yang terkena hukuman pidana atau terbukti membuat kesaksian palsu atau orang yang dicurigai kekerabatan atau nasabnya. Allah Subhanahu wa ta'ala menguasai segala rahasia dan menolak dengan segala bukti dan sumpah. Janganlah sekali-kali Anda gelisah, jemu dan merasa terganggu karena pertengkaran dan bersembunyi saat terjadi pertengkaran. Kebenaran pada titik-titik kebenaran, Allah akan memberi pahala yang besar dan dalam kenangan yang terpuji. Kalau sudah dengan niat yang baik dan sudah menyiapkan diri sepenuhnya, dalam menghadapi orang cukup Allah sebagai penengah. Barang siapa bersikap dibuat-buat padahal itu bukan bawaannya sendiri, Allah sudah tahu semua itu. Allah akan membuatnya menjadi orang yang hina. Bagaimana anggapan Anda tentang balasan Allah mengenai rezeki yang diberikan-Nya di dunia ini serta rahmat-Nya yang melimpah. Wasalam."

Kita sudah melihat bagaimana dasar-dasar yang dibuat oleh Umar dalam suratnya itu. Bukankah dasar-dasar itu juga yang berlaku di pengadilan bangsa-bangsa yang paling maju sekarang?! Bahkan bukankah dasar-dasar itu sangat kuat, tidak berubah karena perubahan zaman, dan yang dibahas dalam kitab-kitab hukum dan perundang-undangan dengan berbagai komentar sampai berpuluh-puluh dan beratus-ratus halaman! Bukankah apa yang disebutkan Umar mengenai sikap dan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi seorang hakim dalam meng­ hadapi perkara sungguh sangat agung! Tidak heran kalau itu datangnya dari Umar. Dalam menangani masalah-masalah hukum oleh Abu Bakr juga dulu telah dipercayakan kepadanya. Dan pada permulaan kekhalifahannya dia sendiri pula yang memegang soal kehakiman. Juga tidak heran, karena pengetahuannya tentang hukum fikih memang sangat dalam. Dia memutuskan perkara dengan cara yang terbaik sepanjang masalah yang dihadapkan kepadanya sudah diketahuinya. Kalau ia menghadapi masalah yang tidak jelas, ia meminta pendapat yang lain di samping berijtihad sendiri. Hasil ijtihadnya sangat berhasil, bahkan dijadikan dalil sebagai pegangan orang yang datang kemudian dengan cukup memuaskan dan meyakinkan sekali.

Bukankah hakim lain yang bersih dan adil berkata dalam salah satu pesannya kepada hakim yang menggantikannya: "Jika datang kepada Anda dua orang yang berperkara maka hendaklah Anda pastikan dengan bukti yang benar atau dengan sumpah yang meyakinkan. Dekatilah pihak yang lemah supaya ia berbesar hati dan bicaranya lancar; perhatikanlah orang yang masih asing itu sebab kalau tidak Anda perhatikan Anda membiarkan haknya dan ia pulang kepada keluarganya dengan sudah kehilangan haknya akibat tidak diperhatikan."

Adanya pengangkatan para hakim itu merupakan langkah yang memang diperlukan dan dalam urusan negara diperlukan adanya perkembangan, dan bukan pengorganisasian secara umum dengan tujuan hendak menerapkan prinsip itu sendiri. Dalam perselisihan keputusannya masih dibiarkan di tangan para penguasa yang tidak memikul beban daerahnya dan tidak pula merintangi untuk melakukan hal itu. Umar tidak mengangkat sebagai hakim di samping mereka, tetapi dibiarkan semua kekuasaan di tangan mereka. Tetapi langkah pertama ini tak lama sesudah beberapa tahun kemudian menjadi salah satu sistem yang dianut negara. Lembaga kehakiman ini kemudian terpisah dari kekuasaan eksekutif, dan kedudukan para hakim itu berdiri sendiri, dan hakim patut pula mendapat penghormatan.

Umar mengangkat para hakim itu setelah untuk mengambil segala keputusan perselisihan pribadi ia sudah terlalu sibuk dengan segala urusan negara umumnya. Pengangkatan mereka itu merupakan langkah baru dan administrasi pemerintahan. Di samping itu masih ada alasan lain yang mengantarkan ke langkah ini. Di Medinah sudah banyak pendatang yang kemudian menetap sebagai warga kota sesudah Medinah menjadi ibu kota negara, dan sesudah terlihat makin makmur berkat banyaknya hasil rampasan perang yang dikirimkan dan dibagikan kepada penduduk. Kita masih ingat rampasan perang Mada'in dan Jalula serta kota-kota lain di Irak, juga di Damsyik dan Hims serta kota-kota lain di Syam. Kemakmuran dan banyaknya penduduk itu memikat orang untuk berselisih dan berperkara, dan beban hakim akan makin berat. Mau tak mau, orang sudah makin kaya dan makin banyak. Mereka memerlukan keputusan yang pasti mengenai segala perkara mereka dan janganlah waktu Amirulmukminin yang begitu berharga dan penting tersita oleh hal-hal seperti itu. Yang demikian ini terjadi terutama setelah kekayaan yang datang ke Medinah sudah berlebihan dengan bertambahnya pembebasan dan luasnya kawasan. Bahkan kekayaan itu telah pula mulai memusingkan Amirulmukminin sendiri, dan memaksanya membuat suatu peraturan tersendiri. Pembuatan peraturan ini merupakan perkembangan hukum dan kehidupan sosial yang baru di negeri Arab.

Pembagian: Rampasan perang dan zakat

Umar dipusingkan oleh besarnya kekayaan yang dikirimkan oleh para pejabatnya. Ia melihat bahwa harus ada suatu ketentuan cara penghitungan dan pendistribusiannya. Kekayaan ini tidak termasuk harta zakat dan sedekah yang dibayarkan kaum Muslimin di Semenanjung, karena pembagiannya kepada mereka sudah disebutkan dalam firman Allah: Sedekah hanya untuk fakir dan miskin, para amil dan seterusnya. Sedekah (dan zakat) ini kebanyakan tidak dikirimkan ke Medinah, melainkan dibagikan kepada kaum fakir miskin setempat dari penduduk yang menunaikan zakat dan sedekahnya itu. Yang dikirim ke Medinah sebagian besar terdiri dari unta dan binatang ternak lainnya. Kemudian setelah pembagian untuk keperluan mereka yang disebutkan dalam ayat zakat itu sudah dipenuhi, binatang diselar dengan tanda khusus dan ditempatkan di dekat Medinah di suatu tempat yang diberi nama al­Hima. Kalau kaum Muslimin mengadakan ekspedisi militer, mereka yang tidak memiliki binatang beban atau senjata untuk keperluan perang, dibantu dengan unta dan harta itu. Kaum fakir miskin dari kalangan Muslimin mendapat tunjangan dari kelebihan itu.

Rampasan perang yang diperoleh kaum Muslimin dalam ekspedisi yang diadakan oleh Rasulullah, selesai pertempuran dia sendiri yang membagikan dan tak ada lagi yang tersisa. Abu Bakr juga mengikuti jejak Nabi dan bertindak sesuai dengan yang telah dilakukannya. Kelebihan rampasan perang di Irak dibagikan kepada penduduk Medinah, tak ada yang tersisa. Yang demikian ini juga yang berjalan pada permulaan kekhalifahan Umar. Tetapi dengan sudah makin meluasnya kawasan yang dibebaskan dan ditaklukkan, kekayaan dari rampasan perang juga bertambah. Yang juga membuka pemasukan lain yang lebih besar dan lebih langgeng ialah pemasukan dari kharaj dan jizyah. Pihak Muslimin sudah mengadakan persetujuan dengan pihak-pihak yang ditaklukkan, di Irak, Persia, Syam dan Mesir. Mereka yang membayar jizyah tiap kepala rata-rata dua dinar. Belum lagi termasuk kharaj tanah yang dibayarkan para petani. Sebagian dikeluarkan kembali untuk segala fasilitas umum serta ketertiban hukum di daerah mereka sendiri, sesudah itu kelebihannya baru dikirimkan ke Medinah. Begitu besar hasil pemasukan itu, sebelum selesai perang Persia dan sebelum dimulai perang di Mesir, sehingga memaksa Khalifah untuk memikirkan suatu sistem moneter atau keuangan negara yang baru tumbuh itu.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team