Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PENUTUP (1/3)

Perbedaan bangsa-bangsa yang tercakup dalam Kedaulatan itu - 811; Pemikiran warga bangsa-bangsa ini tentang Islam - 812; Pengaruh perang memperluas cakrawala berpikir - 813; Jati diri bangsa-bangsa dalam keluarga Kedaulatan Islam - 815; Interaksi dan pengaruhnya - 817; Pengaruh agama dan bahasa yang harmonis dalam kesatuan Kedaulatan - 817; Tegaknya kesatuan Kedaulatan Islam tidak mengubah jati diri bangsa-bangsa - 819; Kebebasan dan persamaan penyebab tersebarnya Islam begitu cepat - 821; Interaksi jati diri telah membentuk kebudayaan Islam - 822; Perputaran waktu, timbulnya semangat kegolongan dan pengaruhnya terhadap sistem Kedaulatan Islam - 825

Abu Bakr telah merintis berdirinya Kedaulatan Islam, yang di masa Umar berkembang dari perbatasan Cina di timur sampai ke seberang Sirenaika (Cyrenaica) di barat, dan dari Laut Kaspia di utara sampai ke Nubia di selatan, termasuk Persia, Irak, Syam dan Mesir, yang kesemuanya tergabung ke negeri Arab. Semua unsur etnik yang saling terjalin yang merupakan ciri khas masing-masing bangsa itu, besar sekali pengaruhnya dalam pembinaan peradaban dunia di kemudian hari. Interaksi unsur-unsur etnik itu berjalan sewajarnya, baik Amirulmukminin atau penguasa lain tak dapat menghapus jejaknya atau mengubah yang sudah berjalan teratur itu.

Perbedaan bangsa-bangsa yang tercakup dalam Kedaulatan itu

Tatkala bangsa-bangsa itu tergabung ke dalam panji Kedaulatan Islam, dalam berbagai faktor mereka sangat berbeda satu sama lain. Mereka masing-masing saling berbeda bahasa, ras, keyakinan, budaya, lingkungan sosial dan ekonomi. Memang benar bahwa kabilah-kabilah Arab itu tinggal di pedalaman Samawah di perbatasan Irak dengan Syam, dan kabilah-kabilah ini membangun kerajaan Hirah dan Banu Gassan, tetapi penduduk Syam yang asli dan penduduk Irak yang asli bukan dari ras Arab, bahasa mereka pun bukan bahasa Arab. Sedang Persia dan Mesir, dari segi ras dan bahasa samasekali tak ada hubungannya dengan Arab. Kepercayaan orang Persia berbeda dengan kepercayaan orang Syam atau orang Mesir. Penduduk Irak terbagi antara penganut agama Nasrani Rumawi dengan agama Majusi Persia. Tata kehidupan dan corak budaya masing-masing bangsa ini berbeda jauh sekali dengan bangsa-bangsa yang lain. Bangsa-bangsa ini semua - dengan perbedaan-perbedaan yang begitu besar - tergabung tuntas ke dalam kesatuan Kedaulatan Islam, hanya dalam waktu tidak lebih dari sepuluh tahun. Tetapi kekuatan yang dapat menaklukkan bangsa-bangsa itu dan menggabungkan mereka ke dalam satu kekuasaan politik tak dapat menghilangkan perbedaan unsur-unsur pembentukannya yang mendasar. Hanya evolusi saja yang dapat mengubah bangsa-bangsa itu ke dalam keadaan yang lain, sesudah selama sekian abad dan generasi demi generasi bertahan dengan keadaan serupa itu. Bagaimana transisi itu terjadi, sampai berapa jauh berjalan di masa Umar dan apa pula arah tujuannya sesudah itu?

Kita coba kembali kepada ingatan kita apa yang telah dicatat oleh kalangan sejarawan sekitar dialog-dialog yang konon terjadi antara utusan-utusan Muslimin dengan Kisra Yazdigird serta panglimanya Rustum, antara Khalid bin Walid dengan Georgius panglima Rumawi dalam Perang Yarmuk. Begitu juga dialog-dialog yang terjadi antara Najasyi Abisinia dengan kaum Muslimin yang hijrah ke sana. Percakapan-percakapan itu intinya bahwa Arab dulu itu lemah karena kelompok-kelompok mereka terpecah belah; mereka hina, nasib mereka di bawah kekuasaan golongan lain; mereka miskin, berjuang mati-matian sekadar mencari makan. Setelah Allah mengutus Rasul-Nya kepada mereka dengan membawa Islam, mereka bersatu; mereka bebas dari kelaparan, hidup terhormat setelah sebelum itu mereka beg itu hina. Sudah tentu dialog-dialog serupa itu memang terjadi; kalaupun tidak sama seperti yang diuraikan para sejarawan itu, intinya tidak berbeda. Risalah (ajaran) baru yang dibawa oleh Islam itu menjadi bahan pemikiran kaum Muslimin ke mana pun mereka pergi. Kemenangan orang Arab yang percaya kepada risalah ini merupakan bukti adanya perbaikan organisasi dalam kehidupan spiritual dan sosial. Ke mana pun konsep ajaran Islam itu tersebar dapat menguasai perasaan umum, dengan meninggalkan pengaruh yang dapat memperkuat atau memperlemah, sesuai dengan situasi tempat konsep itu tersebar. Dan sesuai dengan taraf kekuatan atau lemahnya pengaruh itu, konsep tersebut merasuk ke dalam hati orang hingga ia mencapai kedudukan iman, atau kebalikannya, menguap sedikit demi sedikit sampai akhirnya terlupakan samasekali.

Pemikiran warga bangsa-bangsa ini tentang Islam

Suasana yang mewarnai konsep ajaran Islam di negeri-negeri yang menjadi sasaran serbuan pasukan Muslimin itu dapat menjadi jaminan bahwa konsep ini telah menjadi buah bibir setiap orang dan dalam setiap masyarakat. Soalnya karena dasar rohani yang menjadi landasan konsep itu sangat sederhana, tak ada yang berbelit-belit, dan sistem moral yang merupakan cabang atau bagian dasar itu sangat luhur, cemerlang, dan begitu memesonakan. Demikian juga sistem sosial dalam Islam tidak kurang pula sederhana dan luhurnya dari sistem moral dan dasar spiritual itu. Inti konsep ajaran Islam waktu itu pada dasarnya dan dalam segala sistemnya masih murni, belum tercemar oleh segala macam kontroversi mazhab, dan liku-liku kontroversi itu tak sampai menutupi penglihatan orang dari inti ajarannya yang cemerlang. Sesudah kaum Muslimin masuk ke pusat-pusat Irak dan Syam, dan menyebar di Persia dan Mesir, tokoh-tokoh mereka berjalan di depan membawa panji kemenangan. Penduduk negeri yang tersebar di kawasan-kawasan itu sudah tentu akan berpikir juga tentang rahasia kemenangan ini serta pangkal penyebabnya dalam konsep ajaran Islam.

Selanjutnya, pertentangan dalam sekte-sekte Nasrani dan dalam sekte-sekte Majusi ketika itu sudah pula sampai di puncaknya. Akibat pertentangan ini di beberapa negeri orang mengalami pelbagai macam tindak kekerasan dengan akibat keyakinan sebagian orang menjadi goyah kemudian meninggalkannya. Yang sebagian lagi malah bertambah fanatik pada keyakinannya dan untuk itu mau ia berkorban. Ini juga merupakan faktor lain lagi untuk membuatnya berpikir tentang agama yang baru ini dan apa pula isi ajarannya. Di samping itu, ditambah lagi karena kaum Muslimin tak pernah memaksa siapa pun dari penganut-penganut berbagai aliran di kalangan Nasrani dan Majusi itu untuk menganut Islam. Bahkan kebebasan memeluk suatu keyakinan mereka jadikan dasar dakwah.

Pengaruh perang memperluas cakrawala berpikir

Inilah pengaruh yang dalam sekali merasuk ke dalam hati orang-orang yang fanatik terhadap sekte mereka itu dan kaum duafa yang terbawa-bawa, sehingga banyak mereka yang mengarahkan perhatian kepada agama baru ini serta pemeluknya, tanpa lagi dilandasi kebencian dan rasa dengki. Rasanya tidak perlu saya harus kembali kepada pembicaraan mengenai itu, yang di dalam buku ini sudah cukup jelas. Kita sudah melihat bagaimana semua perjanjian yang dibuat oleh pihak Muslimin dengan pihak Syam, Irak, Persia dan Mesir dalam menghormati semua agama, agar jangan ada dari mereka masing-masing yang dibujuk, serta menghormati semua tempat ibadah dan tidak boleh diganggu. Kemudian kita lihat juga di antara apa yang sudah kita kemukakan apa yang terjadi di Mesir, sampai berapa jauh kaum Muslimin mengajak sekte-sekte yang saling bertentangan itu agar mereka saling menghormati sekte masing-masing, dan tanpa harus mengganggu penganutnya. Jika demikian halnya wajar sekali penduduk negeri-negeri yang sudah dibebaskan itu akan memperhatikan agama baru dan penganutnya ini dengan penuh penghargaan serta sangat menghormati para pendatang yang telah menegakkan keadilan itu.

Lebih-lebih lagi warga negeri-negeri yang dibebaskan itu berpikir tentang agama baru ini serta ajarannya, bahwa perjanjian yang menjamin kebebasan beragama itu membedakan antara penduduk yang masuk Islam dengan yang tidak. Mereka yang tetap berpegang pada agama dan sektenya hanya dikenakan pembayaran jizyah sekadar imbalan dalam penjagaan dan perlindungan atas kebebasan keyakinan mereka. Penduduk negeri yang sudah masuk Islam dibebaskan dari pembayaran jizyah; mereka disamakan dengan kaum Muslimin pendatang, segala hak dan kewajiban mereka sama, melaksanakan salat jamaah bersama-sama, dalam menghadapi perang pun mereka bersama-sama dalam satu barisan; sama-sama memperoleh hasil rampasan perang yang diperoleh dari pertempuran bersama. Juga mereka saling mengikat hubungan semenda. Mengenai prinsip-prinsip agama ini tetap utuh dan sempuma. Mereka yang sudah menganutnya memperoleh semua hak itu. Sudah tentu, pada masa Umar, di negeri-negeri yang bukan berbahasa Arab dan penduduknya tidak dapat menghayati keindahan bahasa itu ada sejumlah orang - walaupun tidak begitu besar - mereka dan keislaman mereka dipersamakan dengan yang sudah bergabung dengan para penakluk. Hal ini besar sekali pengaruhnya, sehingga membuat yang lain berpikir-pikir tentang agama baru ini. Banyak orang yang sudah mengerti kaidah-kaidah dan sistem agama ini terpesona dan sekaligus ingin bergabung dan beriman kepada ajaran Islam.

Di samping itu hubungan Arab sebagai pemenang dengan Irak, Syam, Persia, Rumawi dan Mesir juga besar pengaruhnya, seperti halnya dalam semua peristiwa perang. Ada ribuan dan puluhan ribu penduduk berbagai bangsa yang beraneka ragam yang keluar dari tanah air mereka itu melihat berbagai macam cara hidup, yang belum pernah mereka kenal. Sekarang terbuka di depan mereka cakrawala pemikiran dan penalaran yang tadinya samasekali tertutup bagi mereka karena jarak yang begitu jauh dari tempat-tempat tinggal mereka. Kalangan sejarawan pun masih banyak yang berbicara tentang dampak Perang Salib dalam hubungan Timur dan Barat, tentang yang terjadi dengan arah peradaban seluruh Eropa dengan arah baru setelah penyerbuan Turki ke Eropa serta pendudukan mereka di Konstantinopel. Ini menyebabkan bangkitnya kembali ilmu dan seni Yunani serta penyebarannya ke segenap Eropa. Pada masa permulaan kemenangan Islam dampaknya juga demikian. Seperti halnya dengan pergaulan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang mereka bebaskan, membuat bangsa-bangsa itu berpikir tentang agama yang baru ini. Begitu juga hal itu membuat orang-orang Arab terkagum-kagum melihat peradaban Persia, Rumawi dan Mesir, serta terbukanya cakrawala pemikiran pada masing-masing pihak. Unsur-unsur etnik baru yang telah membawa perubahan pemikiran orang Arab dalam kehidupan madani, dan pemikiran warga negeri-negeri yang dibebaskan dalam kehidupan rohani dan mental, merupakan langkah yang lebar yang telah mendekatkan semua sikap mental itu, kendati cara berpikir mereka yang beraneka macam ini tidak sampai menghapus perbedaan-perbedaan dasar yang telah membentuk lingkungan itu.

Jati diri bangsa-bangsa dalam keluarga Kedaulatan Islam

Dampaknya itu sudah kita lihat pada bangsa-bangsa Persia dan Rumawi yang sudah menganut Islam, demikian juga gairah orang-orang Arab dalam menghirup kenikmatan hidup setelah ada rampasan perang yang memberi kemudahan kepada mereka. Memang benar, dalam hati bangsa-bangsa yang sudah ditaklukkan itu - terutama Iran - masih tertanam rasa dendam kepada pihak pemenang yang dapat timbul dari waktu ke waktu. Tetapi dendam ini tidak sampai menghentikan interaksi yang wajar dengan segala akibat perkembangannya pada mentalitas kedua pihak, yang menang dan yang kalah, atau akan mengubah pandangan mereka kembali pada cara hidup mereka yang lama. Akibat perkembangan ini tidak pula menghentikan saling pendekatan dalam pandangan yang dampaknya di masa Umar belum terlihat. Sungguhpun begitu ia tetap bekerja, dan kerjanya mengakibatkan lahirnya dampak itu sesudah beberapa tahun kemudian ketika Ali bin Abi Talib menjadikan Kufah ibu kotanya. Setelah itu datang Mu'awiah dengan mengubah Damsyik menjadi ibu kotanya. Kemudian dalam alam pemikiran orang Arab timbul aliran-aliran pikiran yang dibawa oleh filsafat Yunani, dilanjutkan dengan masuknya kesenian Persia dan sistem pemerintahan Persia dalam tata kehidupan Islam, yang berakhir dengan dijadikannya Bagdad sebagai ibu kota dunia.

Di masa Umar perkembangan itu berjalan begitu cepat, sekalipun dampaknya tak terlihat di depan mata. Langkah ini telah merintis lahirnya peradaban baru yang di dalamnya terhimpun agama yang dianut kaum Muslimin dan filsafat Yunani, Persia dan Mesir, berikut ilmu, seni dan adat budayanya. Dengan demikian dirintis pula sistem baru dalam tata kehidupan yang meliputi segi-segi politik, ekonomi, sosial dan cara berpikir, yang kemudian melebur ke dalam kehidupan masyarakat umum dan dalam kehidupan pribadi.

Tidak terlihatnya dampak perkembangan ini di masa Umar karena masyarakat Arab waktu itu sedang sibuk memikirkan persoalannya sendiri dalam menghadapi musuh serta bagaimana harus mengatasinya, dan karena bangsa-bangsa yang sedang sibuk mengurus diri sendiri itu juga lupa memikirkan segalanya selain melihat bencana kekalahan yang sedang menimpa mereka. Dalam hal ini jarang sekali kita melihat dalam buku-buku para sejarawan yang mula-mula itu suasana yang melukiskan perkembangan ini pada manusia dari segi psikologi. Kalaupun ada yang kita ketahui sedikit, itu pun yang terpendam dan hampir-hampir tidak tampak, sebab sudah tertutup oleh rentetan peristiwa yang terjadi. Hanya saja uraian tentang peristiwa-peristiwa itu tidak memberi peluang kepada kita untuk merasa ragu akan terjadinya interaksi tersebut pada masa kemenangan yang mula-mula itu.

Para sejarawan itu menghitung harta rampasan perang yang diperoleh pasukan Muslimin selama dalam beberapa pertempuran yang terjadi di masa Umar, dan disebutkan pula macam dan jumlahnya serta terpesona dan tertariknya orang-orang Arab melihat semua itu. Juga mereka menyebutkan tentang kekhawatiran Umar jika kaum Muslimin sudah begitu tertarik pada harta rampasan perang itu akan membuat mereka lupa akan prinsip-prinsip yang telah membuat mereka dapat mengalahkan musuh. Akibatnya hati mereka akan berubah dan Allah akan mengubah pula nasib mereka. Begitu juga mereka menyebutkan tentang adanya persaingan antara Basrah dengan Kufah, dan tentang pertentangan di kalangan kabilah-kabilah Arab yang tinggal di kedua kota itu. Semua ini, dan segala akibat pembauran masyarakat Arab dengan masyarakat Persia, membuat kita bertambah yakin, bahwa pertentangan yang terjadi kemudian sekitar kekhalifahan dengan kerajaan serta berbagai macam kemewahan hidup materi dan mental di dalam masyarakat Islam, serta segala yang timbul dari perkembangan ini sejak masa permulaan, yang telah membuat negeri-negeri yang dibebaskan di masa Umar itu menjadi pusat-pusat Islam dan pelbagai aliran hukum fikih. Semua ini ada pengaruhnya terhadap lahirnya kebudayaan Islam, juga pengaruh itu tampak terhadap keagungan Kedaulatan Islam pada abad-abad permulaan itu. Begitu juga pengaruhnya tidak kecil tatkala anasir-anasir kelemahan kemudian mulai menggerogoti tubuh Kedaulatan itu.

Interaksi dan pengaruhnya

Bagaimana pula interaksi unsur-unsur itu sendiri berproses terhadap pengaruh-pengaruh yang kebalikannya dan menjadi penyebab berdirinya Kedaulatan dan kebesarannya, dan setelah itu kemudian menjadi penyebab kemunduran dan kelemahannya pula?

Jawaban atas pertanyaan ini memang tepat sekali ditujukan kepada Imperium Islam itu, dan kepada semua imperium. Banyaknya unsur etnis dan sampai berapa jauh interaksinya, tidaklah sama setiap zaman. Perbedaan ini berakibat pula pada perbedaan hasil. Ini soal biasa yang dapat kita lihat dalam gejala-gejala sosial, sama seperti yang kita lihat dalam gejala-gejala alam. Seperti halnya dengan perbedaan jenis dan kuantum dalam unsur-unsur kimia yang membawa perbedaan interaksinya dengan segala akibat hasil interaksi itu, begitu juga perbedaan kuantum dan jenis dalam unsur-unsur masyarakat, akan berakibat seperti itu. Apabila kekuatan maknawi1 pada masyarakat itu bertambah, baik rohani, moral ataupun mental, maka interaksinya dengan kekuatan materi akan mengantarkannya kepada keluhuran dan keagungan. Soalnya karena kekuatan maknawi itulah yang akan mendorong kita untuk mencari kesempurnaan umat manusia dan untuk terus berusaha ke arah itu. Sungguhpun begitu masyarakat mutlak memerlukan kekuatan materi ini dengan segala aktivitasnya yang harus dilipatgandakan. Kekuatan ini akan menambah aktivitas dan produknya karena sudah didorong oleh kekuatan maknawi tadi. Kalau unsur-unsur maknawi ini lemah, maka aktivitas materinya juga akan jadi lemah dan produk kita pun akan bertambah kecil.

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team