Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

25. Terbunuhnya Umar (3/4)

Kesedihan Muslimin atas kematiannya

Disebutkan dalam sebuah sumber mengutip kata-kata Abu Talhah: Dengan terbunuhnya Umar, tak satu pun keluarga Arab di kota dan di pedalaman yang tidak merasakan adanya kekurangan, baik mengenai agama ataupun mengenai dunia mereka. Sebuah sumber lagi menyebutkan bahwa Hasan mengatakan: "Keluarga mana pun yang tidak merasa kehilangan dengan kematian Umar adalah keluarga durjana." Ketika Umar terbunuh Huzaifah berkata: Sekarang orang telah meninggalkan sisi Islam. Demi Allah, mereka orang-orang yang sudah menyimpang dari tujuan, sehingga mereka sudah tidak punya rasa malu lagi apa yang mereka lihat, mereka sudah tidak mendapat bimbingan hidayah." Ketika hari itu Zaid bin Sa'id menangis dan ditanya mengapa ia menangis, ia menjawab: Saya menangisi Islam! Dengan kematian Umar Islam retak, yang sampai hari kiamat pun tak akan dapat diperbaiki. Tidak heran, begitu perasaan para pemikir dan orang-orang terkemuka. Apalagi kaum duafa dan orang-orang miskin, mereka lebih merasakan lagi, karena musibah itu telah menimpa mereka juga. Bagi mereka Umar adalah ayah dan saudara, dan dia menjadi benteng mereka, menjadi tempat perlindungan mereka yang dapat dipercaya.

Melihat keadaan yang demikian, mungkin kita tak habis heran bahwa para sejarawan itu tidak mengutip rasa duka kalangan terkemuka atas kematian Umar waktu itu, seperti yang mereka lakukan terhadap Abu Bakr ketika wafat, dengan mengutip pernyataan duka mereka itu. Kalaupun ada, hanya yang berhubungan dengan Ali bin Abi Talib bahwa begitu Umar meninggal ia datang dan dilihatnya Umar sedang membujur bertutup kain baju di suatu sudut dalam kamarnya. Ali menyingkapkan kain itu dari wajah Umar seraya berkata: "Semoga Allah dengan segala kemuliaan-Nya melimpahkan rahmat kepadamu, Abu Hafsah! Tak ada orang yang lebih saya cintai setelah Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Anda." Yang lebih sering dikutip, bahwa Ali berdiri di depan Umar setelah dimandikan, dikafani dan diangkat ke tempat tidurnya, dan dia menyampaikan pujiannya: Demi Allah, tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih kudambakan akan memperoleh rahmat Allah daripada orang yang kini sedang terbujur berselubungkan baju ini!" Selesai Umar disalatkan Abdullah bin Salam9 datang dan katanya: Kalau kalian sudah mendahului saya dengan melakukan salat kepadanya, jangan mendahului saya untuk memujinya. Kemudian ia berdiri di depan tempat tidurnya dengan mengatakan: "Umar, sungguh luar biasa engkau sebagai pemimpin Islam. Pembela kebenaran, musuh kebatilan, engkau rela, pada tempatnya engkau rela, kalaupun engkau marah, pada tempatnya engkau marah. Engkau bersih dan sungguh mulia, Engkaulah lambang kejujuran. Engkau tak suka memuji, juga tak suka mengumpat." Setelah itu ia duduk.

Keheranan kita mungkin akan berkurang jika kita tahu bahwa perhatian orang-orang terkemuka itu sedang terpusat dalam majelis syura dalam kesibukan mereka membahas siapa yang akan menjadi pengganti Umar. Anggota-anggota majelis syura yang ditinggalkan Umar itu orang-orang yang paling sibuk menangani masalah ini, dan ingin sampai pada kesimpulan. Setelah tiba waktunya Umar akan dimakamkan, ia dibawa ke Masjid dan diletakkan di antara makam Rasulullah dengan mimbar untuk disalatkan. Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib datang, masing-masing ingin maju memimpin salat. Melihat keadaan itu Abdur-Rahman bin Auf berkata: "Ini menandakan kecenderungan pada kepemimpinan. Anda berdua sudah tahu apa artinya ini. Dia sudah memerintahkan yang lain." Lalu katanya lagi: "Suhaib! Majulah dan salatkan." Demikian menurut Ibn Sa'd dalam at-Tabaqat. Tetapi sumber at-Tabari menyebutkan, bahwa Abdur-Rahman bin Auf berkata: "Besar sekali kecenderungan kalian berdua ini untuk kepemimpinan. Tidakkah Anda tahu bahwa Amirulmukminin berkata: "Hendaklah Suhaib yang mengimami salat?" Kemudian Suhaib yang maju dan melaksanakan salat dengan bertakbir empat kali.

Dalam sebuah sumber yang dikutip oleh Tabari dari Mugirah Syu'bah ia mengatakan: "Setelah Umar radiyallahu 'anhu wafat putri Abu Hasmah menangis sambil berkata: Oh Umar! Yang telah mengisi segala yang diperlukan, yang menyembuhkan penyakit,10 yang berhasil meredam segala gejolak, menghidupkan sunah, keluar dengan pakaian yang bersih11 dan bebas dari segala noda." Selesai dimakamkan saya menemui Ali ingin mendengar pendapatnya mengenai Umar. Ia keluar sambil mengebut-ngebut kepala dan janggutnya sesudah mandi, dengan berselubungkan baju. Pasti soalnya berada di tangannya, dan ia berkata: "Memang benar kata putri Abu Hasmah itu. Dia pergi membawa segala yang baik dan lepas dari segala yang buruk. Memang tepat sekali apa yang dikatakannya, bahkan yang diajarinya."12

Barangkali kesibukan majelis syura mengenai soal pengganti itu dapat mengurangi keheranan kita, mengapa para sejarawan itu tidak banyak mengutip rasa duka kepada Umar ketika ia wafat. Sebentar lagi akan ternyata berapa jauh kesibukan itu kita lihat, sehingga tidak lagi kita akan merasa heran. Juga kemudian akan kita lihat betapa orang menjunjung tinggi Umar, mengagumi dan menghormati kebenarannya. Ia akan merasa lega bahwa kebenaran itu memang abadi, kendati kadang hendak disembunyikan oleh nafsu.

Dimandikan, dikafani dan dimakamkan

Umar dimandikan dan dikafani dengan tiga lapis kain, selanjutnya dibawa ke Masjid dan disalatkan oleh Suhaib. Setelah mereka mengusung jenazah itu sampai di depan pintu rumah Aisyah, berhenti. Saat itu Abdullah bin Umar berkata: "Umar bin Khattab meminta izin untuk dimakamkan bersama kedua sahabatnya." Dijawab oleh Aisyah: "Masuklah dengan selamat."

Mereka masuk ke bilik Rasulullah, dan jenazah itu diturunkan ke tempat peraduan terakhir. Kepala Abu Bakr ditempatkan di bagian bahu Nabi, dan kepala Umar di bagian bahu Abu Bakr. Dan Abdullah bin Umar yang bertindak meletakkan jasad itu di tempatnya. Yang juga turun bersama-sama dia kelima anggota majelis syura: Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Abdur-Rahman bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqas dan Zubair bin Awwam.13 Sedang Talhah bin Ubaidillah masih berada di luar kota, sehingga tidak dapat menghadiri kematian dan penguburan Umar.

Selesai menguburkan dan menimbun liang lahad, orang-orang yang berada di dekat tempat itu berkumpul di Masjid dengan kesedihan mendalam mencekam kalbu mereka. Rasa duka telah meremas jantung mereka, kematian seorang tokoh yang jarang ada tolok bandingnya - Amirulmukminin - seorang pemimpin umat beriman yang selama ini berkorban demi kepentingan mereka, mereka yang merasa gamang dan gentar menghadapi ketegasan dan tindakannya yang keras, yang selama sepuluh tahun enam bulan bersama-sama dengan mereka. Selama itu ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang paling banyak berbakti, paling adil dan sangat bertakwa. Karena itu, makin lama kecintaan mereka kepadanya makin besar.

Betapa mereka tidak akan merasa demikian, pada permulaan pemerintahannya mereka yang dalam kekurangan, karena jasanya Allah telah melapangkan hidup mereka. Mereka yang tadinya selalu dibayangi ketakutan dari Persia dan Rumawi, dengan karunia Allah berbalik menjadi tuan atas kedua raksasa Persia dan Rumawi itu! Dengan demikian kedaulatan Islam jadi stabil dan mantap. Memang pantas sekali Umar dimakamkan bersama kedua sahabatnya itu, berada di samping mereka dan kini arwahnya menjadi tenang, bahwa dia telah menjalankan kebijakan kedua sahabatnya itu, telah menyempurnakan ketentuan Allah di muka bumi ini ketika Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya suatu risalah untuk disempurnakan.

Umar telah menyelesaikan tugasnya ini, sebab dia sudah melupakan dirinya, sebab hanya persatuan Muslimin dan kebesaran Islam yang menjadi tujuan utamanya. Selama ia menjalankan tugasnya selaku khalifah tak pernah terpikirkan hendak mencari kekayaan untuk dirinya atau keluarganya. Bahkan ia melihat segala yang ditanganinya mengenai kepentingan Muslimin merupakan suatu beban berat yang harus dipikulnya. Tujuan utamanya, janganlah ada keraguan yang melekat di hati orang atau dalam dirinya. Di wilayahnya itu ia harus menunaikan segala hak orang dan kewajibannya yang harus ditunaikan. Dan semua itu sudah ia lakukan dan Allah telah memuliakan dan memperkuat Islam, kemudian mewariskan bumi ini kepada hamba-hamba-Nya yang saleh, yang mau memperbaikinya.

Selesai pemakaman orang pergi terpencar-pencar, pergi dengan wajah sendu dan dililit duka yang mendalam. Banyak orang yang masih teringat pada hari ketika ia ditikam itu. Mereka bertanya-tanya apa motivasi Abu Lu'lu'ah sampai melakukan perbuatan sekeji itu. Kalau hanya soal pajak yang dirasakan sangat memberatkannya, mengingat hasil pekerjaannya, ia tidak akan senekat itu melakukan perbuatan dengan akibat yang akan merenggut nyawanya sendiri. Tetapi cukupkah hanya karena Umar mengatakan kepadanya pajak yang dikenakan itu tidak begitu besar lalu ia terdorong sampai melakukan pembunuhan? Kalau benar ini, sungguh mengherankan sekali. Untuk meringankan beban itu dapat saja ia kembali lagi dan menjelaskan duduk perkaranya itu kepada Khalifah. Ataukah karena di balik itu memang ada rahasia yang pengaruhnya lebih besar dalam hatinya, sementara pengaduannya mengenai pajak itu hanya sekadar tipu muslihat saja untuk menutup-nutupi kenyataan yang sebenarnya?!

Sebenamya orang-orang Persia, Yahudi dan Nasrani waktu itu menyimpan dendam besar kepada orang Arab umumnya, lebih-lebih lagi kepada Umar, setelah pihak Muslimin mengalahkan pihak Persia dan Nasrani dan memegang tampuk pemerintahan di negeri mereka, dan memaksa raja Persia itu lari sampai mengalami nasib yang begitu tragis. Dalam pembicaraan-pembicaraan orang menyebutkan adanya dendam demikian itu. Mereka teringat kata-kata Umar saat mengetahui bahwa yang menikamnya Abu Lu'lu'ah orang Persia itu: "Dulu saya sudah melarang kalian, janganlah sekali-kali memasukkan orang-orang asing kafir, tetapi tidak kalian patuhi!" Di Medinah kendati orang-orang asing kafir itu merupakan kelompok kecil tetapi mereka orang-orang yang penuh dendam dan panas hati. Siapa tahu! Barangkali mereka berkomplot dan perbuatan Fairuz (Abu Lu'lu'ah) itu merupakan hasil persekongkolan mereka untuk mengobati rasa dendamnya, dengan anggapan mereka akan mampu membuat orang-orang Arab dan kaum Muslimin jadi porak poranda.

Ketika itu anak-anak Umar ingin sekali mengetahui keadaan yang sebenarnya. Mereka akan mampu mengungkapkan masalah itu sejelas-jelasnya, kalau Fairuz tidak bunuh diri. Tetapi dia bunuh diri, segala rahasianya pun ikut terkubur bersama dia. Adakah kejadiannya memang sudah begitu, dan sudah tak ada jalan lagi untuk mengungkapkan rahasianya?! Tidak! Tetapi sudah ditakdirkan juga bahwa ada petunjuk pada beberapa pemuka Arab untuk mengetahui rahasia itu. "Sesudah Abdur-Rahman bin Auf melihat pisau yang digunakan membunuh Umar itu, ia berkata: Saya lihat pisau ini kemarin di tangan Hormuzan dan Jufainah, saya tanyakan, 'Untuk apa pisau ini di tangan kalian?' Mereka menjawab: 'Untuk memotong daging, karena kami belum menyentuh daging."' Dan Abdur-Rahman anak Abu Bakr juga berkata: "Waktu saya lewat saya melihat Abu Lu'lu'ah pembunuh Umar itu bersama-sama dengan Jufainah dan Hormuzan; rupanya mereka sedang mengadakan pertemuan rahasia. Setelah dirasakan kedatangan saya tiba-tiba mereka bangkit, dan sebilah pisau berkepala dua dengan gagang di tengah jatuh. Periksalah itukah khanjar yang digunakan membunuh Umar itu." Pisau itu memang seperti yang dilukiskan Abdur-Rahman bin Abu Bakr. Jelas tak ada yang perlu diragukan. Ini merupakan dua saksi yang dapat dipercaya, bahkan mereka termasuk dua saksi di kalangan Muslimin yang paling dapat dipercaya, bahwa pisau yang digunakan membunuh Umar itu di tangan Hormuzan dan Jufainah, dan salah seorang dari kedua saksi itu melihat Abu Lu'lu'ah si pembunuh itu berkomplot dengan mereka sebelum melakukan pembunuhan, dan keduanya menegaskan bahwa semua itu terjadi pada malam sebelum terbunuhnya Umar. Masih adakah orang yang akan meragukan, bahwa Amirulmukminin telah menjadi korban suatu komplotan dengan ketiga orang itu sebagai pelaku utamanya?

Dan barangkali juga orang-orang Persia yang lain atau pihak-pihak yang dikalahkan oleh Muslimin ikut terlibat?

Ubaidillah membalas dendam atas kematian ayahnya

Mendengar kata-kata Abdur-Rahman bin Auf dan kesaksian Abdur-Rahman bin Abu Bakr itu di mata Ubaidillah bin Umar seluruh dunia ini terasa sudah berlumuran darah. Timbul kesan dalam hatinya bahwa semua orang asing di Medinah telah ikut berkomplot, dan semua tangan mereka sudah juga mengucurkan darah kejahatan. Tanpa ragu lagi ia, diambilnya pedangnya kemudian mulai dengan membunuh Hormuzan dan Jufainah. Ada sumber yang menyebutkan bahwa dia memanggil Hormuzan, dan setelah orang itu keluar ia berkata: "Mari kita pergi melihat kuda saya." Kemudian ia mundur, dan sesudah orang itu berada di depannya dihunjamkannya pedangnya. Setelah terasa panasnya ia berkata: La ilaha illallahu! dan dia tersungkur mati. Disebutkan juga bahwa Ubaidillah bin Umar berkata: "Saya panggil Jufainah, seorang orang Nasrani Hirah, istrinya ibu susuan Sa'd bin Abi Waqqas. Ia dibawa ke Medinah karena adanya pertalian susuan tadi, dan ia juga mengajar menulis di Medinah. Sesudah saya hantam dengan pedang ia membuat tanda salib di mukanya."

Tidak cukup dengan membunuh Hormuzan dan Jufainah, Ubaidillah juga membunuh anak perempuan Abu Lu'lu'ah yang masih kecil yang mengaku Islam. Ia ingin membunuh semua orang tawanan di Medinah. Setelah penduduk Medinah mendengar apa yang dilakukannya itu, mereka cepat-cepat menemuinya. Kaum Muhajirin yang mula-mula juga mendatanginya, mencegah dan mengancamnya. Tetapi dia yang sedang dalam keadaan tak terkendalikan itu malah berkata: Akan saya bunuh mereka yang lain! Dan dia menantang beberapa kalangan Muhajirin. Amr bin As datang dan mengajaknya bicara, kadang dengan nada keras dan kadang dengan lemah lembut, sampai akhirnya ia mau menyerahkan pedangnya. Setelah itu datang Sa'd bin Abi Waqqas, yang juga sudah mendengar tentang kematian Jufainah. Ia menjambak gombak Ubaidillah dan Ubaidillah juga menjambak gombak Sa'd. Begitu sengit perkelahian mereka itu kalau tidak kemudian datang orang-orang melerainya. Setelah itu datang pula Usman bin Affan, yang ketika itu belum lagi dibaiat (sebagai khalifah). Ia merenggut leher Ubaidillah dan Ubaidillah juga merenggut leher Usman. Mereka saling menjambak. Buat mereka dunia sekitarnya sudah gelap. Kemudian ramai-ramai datang orang turun tangan dan melerai mereka. Ketika itu Usman berkata: "Terkutuk kau! Engkau membunuh orang yang menjalankan salat dan gadis kecil terakhir yang menjadi jaminan Rasulullah!? Engkau tak boleh dibiarkan!" Tetapi yang terlihat di depan mata Ubaidillah hanyalah darah yang mengalir, darah ayahnya yang mulia. Dia sudah seperti binatang buas, menghadang orang Persia dengan pedang sampai akhirnya ia dipenjarakan.14

Saudara-saudara Ubaidillah juga tidak kurang kemarahannya karena pembunuhan atas ayah mereka itu. Hafsah Ummulmukminin yang paling keras marahnya. Disebutkan bahwa Abdullah bin Umar mengatakan: "Semoga Allah memberi rahmat kepada Hafsah ! Dia termasuk orang yang mendorong Ubaidillah untuk membunuh mereka."

Tindakan di luar hukum

Tindakan Ubaidillah itu tentu karena semangat jahiliah. Orang tidak dibenarkan menuntut balas untuk dirinya, atau bertindak sendiri, padahal soal peradilan itu ada di tangan Rasulullah dan kemudian di tangan para penggantinya. Menjatuhkan hukuman dengan cara yang adil, dan hukuman pidana (kisas) bagi yang melakukan kejahatan. Dalam hal ini, setelah mengetahui adanya persekongkolan yang sampai membawa hilangnya nyawa ayahnya, Ubaidillah berkewajiban mengadukan hal itu kepada Amirulmukminin. Kalau persekongkolan itu terbukti, maka yang akan berlaku adalah hukum pidana. Kalau tidak terbukti atau timbul syubhah (keraguan) dalam hatinya maka hukuman dapat ditolak karena syubhah atau diputuskan bahwa Abu Lu'lu'ah yang bersalah.

Apa pun hukum yang ada, sekarang sudah tiba saatnya bagi Majelis Syura itu untuk bersidang, dan memilih orang yang akan menjadi Amirulmukminin. Kisah tentang Majelis Syura ini timbul setelah Umar wafat, yang selanjutnya tidak lagi akan termasuk dalam bidang buku ini, kalau tidak karena Ubaidillah masih tetap dalam penjara sampai habis batas waktunya, dan sampai naiknya Usman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya, peranan yang dipegang oleh Amirulmukminin itu sangat penting, yang tak boleh dilupakan oleh setiap orang yang menulis biografi Umar.

Majelis Syura dan peranan Abdur-Rahman bin Auf

Dalam pada itu kisah Majelis Syura yang telah melukiskan keadaan psikologis kaum Muslimin yang demikian rupa tatkala Umar meninggal itu, ikut pula menjadi saksi, bahwa zaman itu, dengan segala kemenangan yang membawa perluasan kawasan dan kekuasaan, di samping kebesaran dan keagungannya, telah menyebabkan tumbuhnya bibit pemberontakan, yang pada masa pemerintahan Umar dan sebagian pemerintahan Usman masih terpendam. Bibit ini jugalah yang kemudian menyebabkan terbunuhnya Usman dan pecahnya perang saudara antara Ali dengan Mu'awiah, dan yang selanjutnya disusul oleh adanya perselisihan antara Banu Umayyah dengan Banu Abbas. Untuk semua itu dampaknya jelas dalam Kedaulatan Islam yang besar itu. Demikian juga dalam kejatuhannya dampak itu jelas beberapa abad setelah itu. Sudah menjadi kewajiban kita - sementara kita menulis biografi Umar ini - untuk menampilkan suasana psikologis yang timbul menyusul kematian Omar, yang selama masa hidupnya tidak terlihat.

Dalam sumber para sejarawan kisah tentang Majelis Syura ini terdapat beberapa perbedaan. Pangkal perbedaan ini seperti yang dikemukakan oleh beberapa sejarawan, karena adanya preferensi pada Ali dan Banu Hasyim serta hak mereka untuk memegang pimpinan umat Islam. Yang sebagian lagi mengemukakan karena ingin bertahan pada sumber peristiwa-peristiwa itu seperti yang disampaikan kepada mereka tanpa terpengaruh oleh kecenderungan tertentu. Tetapi baik dalam keseluruhannya atau secara terinci sumber-sumber itu membuktikan bahwa Banu Hasyim melihat Majelis Syura ini suatu kesempatan baik untuk mengambil kembali hak mereka dalam pimpinan umat, sebab mereka itu para ahli waris Nabi 'alaihis-salatu was-salam. Tetapi sebagian besar keluarga Kuraisy masih maju mundur untuk memenuhi tuntutan Banu Hasyim itu. Mereka lebih senang jika kenabian dan kekhalifahan tidak bertumpu dalam satu keluarga.

Disebutkan bahwa setelah Omar menunjuk majelis syura, Abbas bin Abdul-Muttalib berkata kepada Ali; "Jangan ikut mereka!" Tetapi Ali menjawab: "Saya tidak menghendaki ada perselisihan." Dijawab lagi oleh Abbas: "Jadi Anda berpendapat apa yang tidak Anda sukai. Ketika itu Umar sudah berkata kepada Majelis Syura: 'Jika yang setuju tiga orang dan tiga orang, pilihlah Abdullah bin Umar menjadi penengah, kalau mereka tidak menyetujui Abdullah, maka ikutlah kalian bersama mereka yang di dalamnya ada Abdur-Rahman bin Auf."' Sesudah mereka keluar dari tempat Umar, Ali berkata kepada jemaah dari Banu Hasyim: "Kalau ada dari kalian yang mau mendengarkan pendapat saya, janganlah sekali-kali mencalonkan pengganti." Dan Abbas juga berkata: "Sudah meninggalkan." Lalu ia mengingatkan kata-kata Umar: "Ikutlah kalian bersama mereka yang di dalamnya ada Abdur-Rahman bin Auf." Kemudian katanya lagi: "Sa'd tidak akan melanggar sepupunya, dan Abdur-Rahman masih ada pertalian ipar15 dengan Usman, mereka tidak berselisih pendapat, masing-masing dapat saling mengangkat. Kalau yang dua lainnya di pihak saya tak ada gunanya." Lalu kata Abbas kepadanya: "Setiap saya mendorong Anda, Anda kembalikan kepada saya sudah terlambat dengan hal yang tidak saya kehendaki. Ketika Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam wafat saya katakan kepada Anda supaya menanyakan siapa yang akan memegang pimpinan ini, Anda menolak. Saya katakan kepada Anda setelah ia wafat agar cepat-cepat bertindak, Anda menolak. Saya katakan kepada Anda ketika Umar menunjuk Anda untuk Majelis Syura agar jangan ikut mereka, Anda menolak. Berpeganglah pada yang satu ini: Setiap mereka menawarkan apa pun kepada Anda jawablah: Tidak, kecuali kalau Anda yang akan diangkat. Berhati-hatilah terhadap jemaah itu, mereka akan selalu menjauhkan kita dari persoalan ini sampai nanti ada orang lain yang tampil di luar kita. Demi Allah, kita akan mendapat apa pun selain bencana yang tidak membawa kebaikan!"

Saya tidak bermaksud hendak mendukung atau menolak pendapat ini. Bagaimanapun juga hal ini memperlihatkan bahwa Banu Hasyim ketika itu menganggap mereka lebih berhak atas penggantian Nabi dan memegang pimpinan umat. Mereka mencalonkan Ali bin Abi Talib karena dia termasuk Muslim yang mula-mula, sudah memeluk Islam sebelum mencapai usia akil balig dan karena dia masih menantu dan anak pamannya. Tetapi Ali sendiri sepeninggal Nabi tidak tergila-gila pada kekhilafahan seperti orang yang hendak mengadakan pemberontakan kalau maksudnya tak tercapai. Sesudah Abu Bakr mencalonkan Umar Ali tidak memberontak dan tak seorang pun dari Banu Hasyim yang berontak. Setelah Umar tertikam dan menunjuk Majelis Syura dengan anggota enam orang, di antaranya Ali, mulai Banu Hasyim tergerak lagi untuk mewujudkan cita-citanya. Tetapi dalam pada itu Ali tetap lebih mengutamakan persatuan umat daripada mementingkan kekuasaan untuk dirinya, dengan segala keyakinannya bahwa dari antara semua kaum Muslimin dalam hal ini dialah yang lebih berhak.

Inilah yang dapat kita saksikan tentang Majelis Syura itu secara lebih jelas. Seusai pemakaman Umar anggota-anggota Majelis itu bersidang, ada yang mengatakan di rumah Miswar bin Makhramah, ada yang mengatakan di Baitulmal, ada juga yang mengatakan di bilik Aisyah dengan seizinnya dan ada yang mengatakan di rumah salah seorang dari mereka. Ikut hadir dalam rapat itu Abdullah bin Umar sebagai penasihat tanpa ikut memberi suara. Mereka meminta Abu Talhah al-Ansari untuk menjaga di pintu, dan mereka tidak ingin dijaga oleh Amr bin As dan Mugirah bin Syu'bah. Malah oleh Sa'd bin Abi Waqqas mereka dilempar dengan kerikil dan disuruh bangun dengan mengatakan kepada mereka: "Kalian akan mengatakan: 'Kami telah ikut hadir dan termasuk anggota Majelis Syura!'"

Tatkala musyawarah sudah dimulai, terjadi perdebatan sengit di antara mereka dan ada yang dengan suara keras demikian rupa, sehingga terkesan oleh Abu Talhah al-Ansari bahwa perselisihan mereka sudah makin memuncak. Ia masuk dan berkata kepada mereka: Saya lebih ngeri melihat kalian saling dorong daripada saling bersaing. Demi Allah,16 saya tidak akan menambah dari tiga hari yang sudah diperintahkan kepada kalian. Setelah itu saya akan tinggal di rumah dan akan melihat apa yang kalian kerjakan!"

Ada sumber yang menyebutkan bahwa perdebatan sengit ini berlangsung selama dua hari berturut-turut, yang kemudian Abdur-Rahman bin Auf dapat mengatasi dengan sebuah usul sehingga dapat meredakan suasana dan berakhir dengan mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Sumber lain menuturkan bahwa Abdur-Rahman bin Auf sudah dapat mengatasi perselisihan itu sejak hari pertama, dan dengan kebijaksanaannya ia mampu menyelesaikannya dengan baik. Mana pun dari kedua sumber itu yang benar, namun Abdur-Rahman bin Auf berkata kepada mereka yang bersidang: Siapa di antara kalian yang paling utama akan ditampilkan untuk dikukuhkan memegang pimpinan? Mereka yang hadir melihat keheranan kepadanya dan tak seorang pun yang menjawab. Bagaimana akan menjawab sementara pimpinan sedang dipertentangkan antara Banu Hasyim dan kaum Kuraisy yang lain! Kata Abdur-Rahman lagi: "Saya tidak mencalonkan diri," dijawab oleh Usman: "Saya yang pertama setuju." Sa'd dan Zubair juga berkata: "Kami setuju." Tetapi Ali bin Abi Talib diam. Oleh Abdur-Rahman ia ditanya: "Abul-Hasan, bagaimana pendapat Anda?" Ali menjawab: "Berjanjilah Anda akan lebih mengutamakan kebenaran, tidak memperturutkan nafsu, tidak mengkhususkan pertalian kerabat dan tidak mengabaikan bimbingan bagi umat." Soalnya karena Abdur-Rahman masih ipar Usman bin Affan dan sepupu Sa'd bin Abi Waqqas. Oleh karenanya Ali khawatir ia akan mengutamakan Usman. Tetapi begitu Abdur-Rahman mendengar kata-kata Ali itu ia berkata: "Berjanjilah kalian bahwa kalian akan mendukung saya dalam mengadakan perubahan dan menyetujui orang yang saya pilihkan, dan saya berjanji kepada Allah tidak akan mengutamakan kerabat dan tidak akan mengabaikan bimbingan kepada umat Muslimin." Dengan demikian ia berjanji kepada mereka dan mereka pun setuju.

Abdur-Rahman menarik diri dari kedudukannya yang dicalonkan oleh Umar, dan perhatiannya hanya tertuju untuk mempersatukan Muslimin atas siapa saja orang yang dipilih memegang pimpinan. Oleh karena itu ia sekarang melangkah untuk memperkecil lingkaran para calon itu, sebab dia tahu bahwa sekarang hanya tinggal Ali dan Usman yang dipersaingkan dan ia khawatir mereka akan berselisih. Ia mulai berusaha membatasi pencalonan hanya pada kedua tokoh itu. Dalam hal ini langkah pertamanya ia mengajak Ali berbicara empat mata. "Anda berkata," kata Abdur-Rahman, "bahwa dalam hal ini Anda lebih berhak dimasukkan dalam kewenangan daripada mereka karena kekerabatan Anda, karena Anda sudah lebih dulu dalam Islam serta jasa baik Anda dalam agama. Memang demikianlah adanya. Tetapi bagaimana seandainya Anda terlewatkan dan dalam hal ini Anda tidak termasuk, siapa di antara mereka menurut hemat Anda yang lebih berhak?" Dijawab oleh Ali: "Usman!" Kemudian ia mengajak Usman berbicara empat mata, dan katanya: "Anda mengatakan 'Tetua Banu Abdu Manaf, menantu Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, anak pamannya, yang mula-mula dalam Islam dan sudah berjasa, bagaimana saya akan dilewatkan dalam hal ini?' Tetapi bagaimana seandainya Anda terlewatkan dan dalam hal ini Anda tidak termasuk, siapa di antara mereka menurut hemat Anda yang lebih berhak?" Dijawab oleh Usman: "Ali!"

Sebelum itu ia sudah membicarakan dengan semua anggota Majelis Syura dan dimintanya mereka memberi kuasa kepada tiga orang di antara mereka yang sudah tidak berhak memegang pimpinan pemerintahan, karena Sa'd dan Zubair sadar bahwa sudah tak ada harapan kedua mereka untuk memegang pimpinan itu. Maka Zubair menguasakan haknya dalam pimpinan itu kepada Ali, Sa'd memberi kuasa kepada Abdur-Rahman dan hak Talhah diberikan kepada Usman. Tetapi karena Abdur-Rahman sudah mengundurkan diri dan pencalonan itu dibatasinya hanya pada Ali dan Usman, maka hal memilih salah seorang dari keduanya itu kini berada di tangan Abdur-Rahman.

Abdur-Rahman sudah memperkirakan besarnya tanggung jawab yang harus dipikulnya, serta kewajibannya kepada Allah, kepada agama-Nya dan kepada kaum Muslimin, untuk mencapai tujuan mempersatukan mereka dan membendung segala perselisihan. Oleh karena itu ia berusaha menemui sahabat-sahabat Rasulullah dan para perwira militer serta pemuka-pemuka masyarakat yang baru kembali ke Medinah setelah menunaikan ibadah haji. Mereka semua ditanyainya bersama-sama dan satu per satu, yang berkelompok atau yang terpencar, dengan diam-diam dan dengan terbuka, sampai dapat menghasilkan dua orang terbaik untuk kemudian dilantik. Ia melihat tampaknya yang jelas kebanyakan lebih cenderung pada Usman. Kendati begitu ia tidak ingin menyatakan suatu pendapat kepada mereka yang akan membuat pembela-pembela Ali curiga, tetapi ia pergi ke rumah kemenakannya, Miswar bin Makhramah. Pada larut malam setelah malam terakhir batas yang diminta Umar untuk memilih seorang amirulmukminin itu, ia dibangunkan. Dimintanya agar memanggil Ali dan Usman. Setelah keduanya kemudian datang ia berkata: "Saya sudah menanyakan orang banyak, tetapi saya tidak melihat ada orang yang membeda-bedakan kalian berdua." Kemudian ia meminta janji mereka masing-masing: Yang terpilih agar berlaku adil, dan yang tidak terpilih supaya taat dan patuh. Subuh itu ia mengajak kedua mereka setelah terdengar suara bahwa salat sudah siap. Masjid sudah penuh sesak. Ia naik ke mimbar dan berdoa panjang sekali. Setelah itu katanya: "Saudara-saudara, banyak orang yang menginginkan penduduk daerah-daerah perbatasan ditempatkan di daerah-daerah mereka, dan mereka sudah tahu siapa pemimpin mereka." Sa'id bin Zaid menyela: "Kami lihat Andalah yang pantas untuk itu." Tetapi dijawab oleh Abdur-Rahman: "Kalian sebutkan nama yang lain!" Ammar bin Yasir dan Miqdad bin Amr menyebut nama Ali sementara Abdullah bin Abi Sarh dan Abdullah bin Abi Rabi 'ah menyebut nama Usman. Perbedaan antara kedua golongan ini berlanjut dengan saling memaki antara Ammar dengan Ibn Abi Sarh. Ketika itu Sa'd bin Abi Waqqas berteriak: Abdur-Rahman! Coba atasi ini sebelum orang banyak terpancing dalam keributan!" Abdur-Rahman menjawab: "Sudah saya pertimbangkan dan saya rundingkan. Janganlah Saudara-saudara menjerumuskan diri!"

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team