Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

14. Kelaparan dan Wabah (2/3)

Umar berusaha mengeluarkan Abu Ubaidah dari bencana wabah

Umar kembali bersama rombongan ke Medinah. Para pemimpin pasukan itu pun berikut rombongan kembali ke tempat tugas mereka. Umar masih memikirkan nasib kaum Muslimin di Syam dan bahaya wabah yang sedang mengancam mereka. Ia khawatir sekali Abu Ubaidah akan terserang penyakit maut itu dan mati karenanya. Umar sangat mengharapkan Abu Ubaidah panjang umur untuk menggantikannya kelak sebagai amirulmukminin. Bukankah Abu Bakr dulu mengajak orang untuk membaiat salah seorang dari keduanya: Abu Ubaidah atau Umar. Tetapi orang membaiat Abu Bakr, setelah itu kemudian membaiat Umar. Maka jika demikian sudah pantas sekali bila yang akan nggantikannya nanti adalah Abu Ubaidah dan akan mengajak orang untuk membaiatnya. Tetapi kalau dia mati karena wabah, siapa gerangan yang akan menggantikannya? Umar mencintai Abu Ubaidah dengan sungguh-sungguh, dan mendapat tempat sangat terhormat dalam hatinya. Ia sedang memikirkan untuk mengeluarkannya dari Syam agar terhindar dari penyakit menular itu. Tetapi dia tahu benar, betapa tebal iman orang ini kepada Allah dan dalam memegang tanggung jawab. Ia tidak akan membiarkan anak buahnya di Syam dengan lari dari takdir Allah. Umar menulis surat kepadanya tanpa memperlihatkan apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Ia hanya menyebutkan: Ada masalah yang ingin saya bicarakan secara lisan dengan Anda, maka dengan ini saya mengundang Anda. Jika Anda sudah membaca surat saya ini, kesampingkanlah yang lain dan datanglah ke mari."

Membaca surat itu Abu Ubaidah sudah dapat menangkap maksud Umar. Dia ingin sekali melepaskannya dari bahaya wabah. Ia berkata: Semoga Allah mengampuni Amirulmukminin! Kemudian ia membalas dengan menulis: "Saya sudah tahu tujuan Anda kepada saya. Saya berada di tengah-tengah pasukan Muslimin, saya tidak ingin menjauhi mereka dan berpisah dengan mereka sampai nanti Allah menentukan keputusan-Nya untuk saya dan untuk mereka. Lepaskanlah saya dari kehendak Anda, wahai Amirulmukminin dan biarkanlah saya bersama­sama dengan prajurit saya."

Sesudah membaca surat itu Umar menangis. Orang-orang yang berada di sekitarnya menanyakan: Sudah meninggalkah Abu Ubaidah? Umar menjawab dengan suara tersekat dan air mata yang masih berlinang: ''Tidak! Dan seolah sudah."

Rasanya ingin sekali saya merenungkan percakapan Umar ketika maksudnya hendak kembali ke Medinah ditentang oleh Abu Ubaidah dengan kata-katanya: Akan lari dari takdir Allah. Ya, rasanya ingin sekarang saya merenungkan surat-menyurat antara Umar dengan Abu Ubaidah itu. Percakapan Umar dan isi kedua surat itu mengungkapkan kepada kita lembaran sejarah kehidupan masa itu, unsur-unsur kekuatannya dan luasnya kedaulatan Islam yang terkandung di dalamnya. Tetapi saya lebih cenderung menceritakan apa yang telah terjadi sampai pada waktu Allah sudah mengangkat bencana itu dan kehidupan di Syam berjalan seperti biasa. Dengan begitu, lembaran sejarah itu akan tampak lebih jelas, akan memperlihatkan pemikiran kaum Muslimin yang mula-mula dulu, sahabat-sahabat Rasulullah, dan tentang kebebasan berpikir masa itu tanpa ada ikatan selain kebenaran yang mendasari hati nurani mereka serta bimbingan Allah kepada mereka atas dasar ilmu yang ada.

Kematian Abu Ubaidah dan pemuka-pemuka Muslim lainnya akibat wabah

Sesudah membaca surat itu Umar menangis. Dia memikirkan cara yang akan dapat menyelamatkan warga Syam dari bencana yang kini sedang menimpa mereka. Ia bermusyawarah dengan kalangan cerdik pandai. Setelah itu ia menulis surat lagi kepada Abu Ubaidah: "Anda menempatkan mereka di tanah yang tandus. Pindahkanlah mereka ke tanah yang lebih tinggi dan sehat." Abu Ubaidah sedang memikirkan untuk melaksanakan perintah itu ketika wabah yang mematikan itu datang menyambarnya. Kemudian Mu'az bin Jabal bertindak akan menggantikannya, tetapi dia pun menyusul terserang dan keduanya meninggal. Mu'az digantikan oleh Amr bin As, yang dalam pidatonya kemudian ia mengatakan: "Penyakit ini bila sudah menyerang, menyala seperti nyala api. Baiklah kita berlindung dari penyakit itu ke gunung-gunung." Setelah itu ia bersama semua orang pergi ke luar, dan terpencar di dataran-dataran tinggi. Dengan demikian bencana sampar maut itu dapat dihindari dan dengan hilangnya wabah itu segalanya telah berakhir. Pidato Amr itu sampai juga kepada Umar, tetapi ia tidak mengecamnya, malah ia merasa perintahnya yang dikirimkan kepada Abu Ubaidah sudah terlaksana.

Wabah dalam pandangan modern dan dalam pandangan klasik

Apa penyebab penyakit ini? Dan dari mana asalnya? Kita tidak mempunyai sumber-sumber yang dapat mengungkapkan segala penyebab itu dan memperlihatkan kepada kita asal mulanya yang dapat meyakinkan dan memuaskan hati kita. Sebagian penulis yang datang belakangan berpendapat, bahwa wabah Amawas itu timbul akibat orang yang mati di medan perang demikian banyak sehingga sebagian besar mereka tak sempat dikuburkan lagi. Dari sana kemudian kuman-kuman tersebar ke udara, dan itulah asal mulanya wabah. Sedang para sejarawan dahulu mengatakan yang menjadi penyebabnya adalah kemurkaan Allah kepada penduduk Syam atas permintaan Abu Ubaidah, karena banyak dari kalangan Muslimin yang ternyata kemudian hanyut dalam minuman keras. Ia pernah menulis surat kepada Umar menyebutkan: "Ada beberapa orang dari kaum Muslimin yang sudah ketagihan minuman keras. Kami tanyai mereka, dan mereka berdalih dengan mengatakan: Kami sudah membuat pilihan dan ini yang kami pilih. Allah berfirman: Tidakkah kalian mau berhenti juga, tetapi ini bukan suatu perintah kepada kami." Qur'an waktu itu memang tidak mencantumkan hukuman kepada peminum khamar. Baik Rasulullah maupun Abu Bakr pernah menjatuhkan hukuman kepada peminumnya. Oleh karena Umar mengundang para cerdik pandai Medinah dan isi surat Abu Ubaidah itu dikemukakan kepada mereka. Mereka berpendapat bahwa ungkapan [huruf Arab] "Tidakkah kamu mau berhenti juga" (Qur'an, 5:91) berarti perintah, berhentilah kamu. Dengan suara bulat mereka menentukan, bahwa orang yang meminumnya harus dicambuk delapan puluh kali dengan menggolongkannya ke dalam perbuatan fasik.4 Umar menulis kepada Abu Ubaidah supaya diumumkan, bahwa orang yang menganggapnya halal, jatuhilah hukuman mati, dan kalau dianggap haram, maka hukumannya cambuk delapan puluh kali. Abu Ubaidah mengundang mereka dan menanyakan masalah itu kepada beberapa tokoh mereka. Mereka mengatakan bahwa khamar itu haram, maka mereka (yang meminum khamar) dikenai hukuman cambuk delapan puluh kali, dan ia berkata: Hai penduduk Syam, akan terjadi sesuatu terhadap kamu sekalian! Maka wabah itulah yang terjadi.

Saya rasa kebanyakan orang sekarang lebih cenderung pada pendapat para penulis yang datang belakangan itu atau yang serupa itu. Mereka tidak berpendapat bahwa doa Abu Ubaidah terhadap penduduk itulah penyebab datangnya wabah. Sudah saya kutip kata-kata yang dihubungkan kepada Abu Ubaidah itu. Tetapi saya masih meragukan bahwa datangnya kata-kata itu dari Abu Ubaidah. Ia tidak akan mengharapkan bencana maut itu akan menimpa semua penduduk tanpa suatu alasan hanya karena sebagian mereka meminum khamar. Berapa banyak orang yang sudah melakukan perbuatan dosa yang lebih berat daripada segala dosa besar, tetapi Allah tidaklah menjatuhkan malapetaka kepada mereka dengan memukul rata sehingga menimpa semua yang berdosa dan tak berdosa. Abu Ubaidah orang yang berperasaan halus dan teguh iman. Dia begitu setia kepada mereka yang dipimpinnya sehingga tidak akan ia mengeluarkan kata-kata semacam itu. Apalagi di antara mereka yang berada di bawah pimpinannya itu dari kalangan militer. Kesetiaannya kepada mereka sudah kita lihat, seperti yang terbukti dari suratnya kepada Umar ketika ia dipanggil ke Medinah agar ia menjauh dari wabah Tetapi keraguan kita terhadap kata-kata yang keluar dari Abu Ubaidah itu tidak menafikan bahwa memang ada sekelompok orang yang suka meminum khamar. Setelah ditanya mereka berdalih pada firman Allah tadi: Tidakkah kamu mau berhenti juga dan dia membawa perkara mereka itu kepada Umar, seterusnya hukuman dijatuhkan kepada mereka sesuai dengan perintah Khalifah. Maka sumber yang sudah disepakati secara berturut-turut mengenai peristiwa ini dan pelaksanaan hukumannya pada masa Umar dan sesudahnya, dapatlah dipastikan kebenarannya. Ini sesuai dengan suatu peristiwa di waktu Nabi masih hidup, Umar berdoa kepada Allah mengenai masalah khamar itu dan meminta dijelaskan yang sejelas-jelasnya kepada mereka, karena khamar dapat menghilangkan pikiran dan harta. Tidak heran jika ia bertindak keras terhadap peminumnya dengan menjatuhkan sanksi dan sanksi dilaksanakan pada masa kekhalifahannya, begitu juga sesudahnya bahwa itu adalah sanksi dari Allah.

Apa pun penyebab wabah itu, sekarang kaum Muslimin telah terpencar-pencar di dataran tinggi, memenuhi seruan Amr bin As, sejak dari memuncaknya sampai hilangnya wabahnya itu, setelah menelan korban 25.000 Muslim di Syam, dan sesudah wabah berpindah dari Syam ke Irak, korban terbanyak adalah di Basrah, melebihi tempat-tempat lain. Sedang pasukan Muslimin terbaik adanya justru di Basrah. Namun waktu itu tak terpikir oleh Yazdigird akan merebutnya kembali seperti halnya dengan Heraklius yang ingin merebut kembali Palestina atau Syam. Seperti Heraklius, ia juga khawatir pasukannya akan tertular wabah dan akan menjalar sampai ke Persia, maka akan terjadilah malapetaka besar yang akibatnya akan lebih parah daripada perang.

Wabah hilang, Umar meninggalkan Medinah menuju Syam

Bagaimana Umar menghadapi situasi itu selepas bencana wabah? Jika Syam dibiarkan seperti apa adanya setelah menelan banyak korban dari kalangan Muslimin dan tidak sedikit pula dari anggota pasukannya, maka kemenangannya itu akan terancam oleh segala akibat yang tidak diinginkannya. Mungkin saja Rumawi akan datang lagi dan berusaha merebutnya kembali. Di samping itu perekonomian akan mengalami kekacauan karena masalah harta peninggalan orang-orang yang sudah meninggal. Ia tidak menjamin bahwa pembagian waris tidak akan menimbulkan kekacauan di antara umat Islam sendiri. Buat dia, tak ada jalan lain kecuali harus datang sendiri dan melihat semua itu dan meletakkan segala sesuatunya di tempatnya. Oleh karena itu ia berangkat dari Medinah dengan serombongan sahabat dan urusan Medinah diserahkan kepada Ali, dengan tujuan Ailah (Elath). Begitu sampai ia menyerahkan sebuah baju kamis (kemeja) - yang bagian belakang dan depanya sudah sobek karena lama dalam perjalanan - kepada Uskup itu dengan mengatakan supaya dicuci dan ditambal. Oleh Uskup kemeja itu dicuci dan ditambal serta dijahitkan sebuah kemeja lagi yang serupa, lalu kedua baju itu dikembalikan kepada Umar seraya katanya: Ini baju Anda sudah saya cuci dan saya tambal, sedang yang ini adalah baju dari saya untuk Anda. Kemeja itu dipakai oleh Umar dan yang sebuah lagi dikembalikan dengan mengatakan: Ini lebih dapat mengeringkan keringat.

Umar berangkat dari Ailah dan berhenti di Jabiah yang kemudian dijadikannya tempat tinggalnya. Wakilnya yang di Syam dan Palestina melaporkan kepadanya mengenai keadaan kaum Muslimin dan segala yang terjadi terhadap mereka. Umar mengunjungi seluruh Suria, memeriksa keadaan kaum Muslimin sampai ke pelosok-pelosok. Mati-matian ia bekerja untuk mereka, mengatur tempat-tempat tinggal mereka di Damsyik, Hims dan kota-kota lain yang mengalami bencana wabah itu. Sesudah itu ia mengatur keadaan daerah-daerah rawan5 dan barak-barak tentara di Syam. Pembagian angkatan bersenjatanya dikembalikan ke tempat-tempat semula dan menunjuk orang-orang yang ditentukan untuk itu. Selesai semua itu, kemudian ia mengurus soal waris. Sebagian ahli waris mewarisi yang lain, lalu diberikan kepada para ahli waris masih hidup. Dengan demikian semuanya kembali normal dan teratur. Setelah lama menghadapi ketakutan sekarang rakyat sudah merasa aman kembali. Pihak Rumawi pun sudah tidak lagi berpikir kembali ke Syam.

Tatkala Umar menerima berita mengenai kematian Abu Ubaidah dan Yazid bin Abi Sufyan ia sudah mengangkat Syurahbil bin Hasanah dan Mu'awiah bin Abi Sufyan untuk menggantikan mereka. Tetap sesampainya di Jabiah Syurahbil dipecat dari jabatannya. Syurahbil menanyakan kepada Umar alasan pemecatannya: karena tidak disukai? Umar menjawab: Tidak! Saya mencintaimu. Tetapi saya ingin orang yang lebih kuat. Syurahbil berkata lagi: Kalau begitu kemukakan alasan mengenai saya itu di depan umum supaya tidak diartikan bahwa saya melakukan suatu kesalahan. Ketika itu Umar lalu berpidato kepada mereka: "Saudara-saudara! Saya tidak memecat Syurahbil karena benci Tetapi saya menginginkan orang yang kuat." Sebenarnya Syurahbil seorang jenderal yang pandai mengatur strategi dan menjebak musuh, tetapi dia bukan seorang politikus yang tahu bagaimana mengatur rakyat sesuai dengan tujuan. Kebalikannya Mu'awiah, dengan usianya yang masih muda, dia adalah politikus berpengalaman, dia tahu segala liku-liku persoalan.

Setelah dalam perjalanannya kembali dari Syam ke Jabiah menuju Medinah Umar berpidato, dengan lebih dulu membaca hamdalah dan puji-pujian kepada Allah: "Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya sudah menjalankan kewajiban yang harus saya laksanakan sesuai dengan yang diamanatkan Allah kepada saya untuk urusan kalian, insya Allah. Rampasan perang dan tempat-tempat tinggal kalian sudah saya bagikan secara adil, begitu juga perjalanan pasukan kalian. Kami sudah menyampaikan apa yang ada pada kalian, kami sudah memobilisasi tentara untuk kalian dan untuk daerah-daerah yang rawan. Kami telah menempatkan kalian dan kami perbanyak segala harta rampasan yang kalian terima dan apa yang kalian perjuangkan untuk kamu sekalian dan kami sudah menentukan keinginan kalian. Telah kami perintahkan pemberian. dan penghasilan untuk kalian. Barang siapa mengetahui ada yang harus dikerjakan sudah disampaikan, insya Allah akan kami kerjakan."

Ketika waktu salat tiba Umar sudah siap akan berangkat. Ada di antara mereka yang berkata: "Baik juga kalau kita minta Bilal yang azan." Sejak Rasulullah wafat, Bilal memang sudah tidak lagi menyerukan azan. Orang-orang sudah rindu ingin mendengarkan ia menyerukan azan - sesudah malapetaka sekarang berlalu - untuk mengingat nikmat Allah, ketika mengutus Rasul-Nya kepada mereka dan membimbing mereka kepada Islam dan mewariskan bumi ini, kemudian memperkuatnya dan berhasil menundukkan Persia dan Rumawi. Sesudah musibah yang menimpa mereka berlalu, Bilal sekarang menyerukan azan lagi dengan suaranya yang begitu merdu, yang selama bertahun-tahun tidak berubah. Semua itu hidup kembali dalam hati mereka, yang dulu pernah mereka alami bersama-sama dengan Rasulullah. Terkenang saat mereka berdiri di belakang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam, berbaris teratur dalam salat yang diimami oleh Rasulullah sendiri. Kemudian ia berbincang-bincang dengan mereka, hal yang memabuat iman mereka makin teguh. Tak seorang pun dari mereka yang tidak menangis, air mata bercucuran membasahi janggut. Orang-orang yang tidak mengalami hidup bersama Rasulullah juga menangis, terharu oleh tangisan mereka. Umarlah yang paling keras menangis di antara mereka, karena dia yang paling kuat teringat pada nikmat Allah dan Rasul-Nya itu. Inilah azan untuk salat yang pertama dan terakhir yang dikumandangkan muazin Nabi di udara Syam, tak jauh dari Baitulkadas. Ini merupakan pertanda dalam sejarah tentang kemenangan Muslimin, tentang kekukuhan Islam di sana, sampai akhir zaman. Oleh karena itu seorang sejarawan tidak akan lupa mengenangnya, karena itu adalah pertolongan Allah, dan kemenangan yang nyata.

Umar mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Syam dan kembali ke Medinah, dengan niat yang sudah mantap hendak mengunjungi Irak. Tetapi Allah belum menakdirkan ia datang berkunjung ke sana. Ada yang mengatakan bahwa ia memutuskan akan pergi ke Irak sebelum perjalanannya ke Syam. Jika sudah memasuki bagian utaranya ia akan menyusur terus ke Halab, Damsyik dan Firad, tetapi tujuannya oleh Ka'b al-Ahbar dialihkan dengan memulai dari Syam. Itulah perannya yang terakhir di luar Semenanjung Arab.6

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team