Maryam Jamilah - Maududi |
|
New York, 5 Desember 1960Maulana Maududi yth., Artikel anda yang bagus sekali berjudul Life After Death (Hidup Sesudah Mati) yang dimuat dalam majalah The Muslim Digest, Durban, Afrika Selatan terbitan bulan Februari 1960 adalah yang terbaik dan paling meyakinkan yang pernah saya baca. Ketika pertama kali saya baca tentang anda dalam tutisan Mazharuddin Siddiqui yang dimuat dalam buku Islam The Straight Path (Islam Jalan-Lurus, editor Kenneth Morgan, Ronald Press, New York 1958) tentang umat Islam di Pakistan, segera saja saya bersimpati sepenuh hati terhadap anda dan masalah-masalah anda, walaupun Mazharuddin adalah seorang modernis khas yang menggambarkan anda dengan gaya menghina. Pada tahun lalu saya telah berketetapan hati untuk membaktikan kehidupan saya guna berjuang melawan filasafat-filsafat materialistik, sekularisme dan nasionalisme yang sekarang masih merajalela di dunia. Aliran-aliran tersebut tidak hanya mengancam kehidupan Islam saja, tetapi juga mengancam seluruh umat manusia. Untuk itulah telah saya tulis sejumlah artikel, enam di antaranya telah dimuat oleh majalah The Muslim Digest dan The Islamic Review, Woking, England. Artikel saya yang pertama berjudul Sebuah Kritik terhadap buku "Islam in Modern History" yang ditulis oleh Prof. Wilfred Cantwell Smith, Direktur Islamic Institute di McGill University, Montreal. Saya menentang bagian demi bagian argumentasinya yang mengatakan bahwa sekularisme dan westernisme itu cocok dengan Islam dan bahwa "pembaharuan" Kemal Ataturk di Turki menawarkan model yang paling baik untuk ditiru oleh negara-negara Islam lainnya. Artikel saya yang kedua berjudul Nasionalisme, Suatu Ancaman terhadap Solidaritas Islam menunjukan betapa tidak cocok dan tak terujukkannya konsep nasionalisme modern dengan konsep ummah atau persaudaraan Islam yang universal. Artikel saya yang ketiga --dimuat dalam majalah The Islamic Review, bulan Juni 1960 dan majalah The Muslim Digest bulan Agustus 1960 merupakan bantahan terhadap argumentasi Asaf A. Fyzee (wakil Rektor Universitas Kashmir) tentang Islam yang terbaratkan, diperbaharui dan "diliberalkan" sampai suatu titik ia hanya menjadi ungkapan-ungkapan etika yang hampa dan kosong dan tidak mampu memberi dampak terhadap pembentukan masyarakat dan kebudayaan. Artikel lain yang saya tulis membantah pendapat ahli sosiologi Turki, Ziya Gokalp, yang mencoba untuk memperdayakan pembacanya agar yakin bahwa nasionalisme dan sekularisme itu cocok dengan Islam (langsung daripadanyalah Kemal Ataturk memperoleh inspirasinya); Sir Sayyid Ahmad Khan yang menuhankan ilmu pengetahuan dan filsafat Eropa abad XIX; Ali Abdur-Raziq dalam buku Islam and the Principles of Government yang ditulisnya sesudah penghapusan kekhalifahan Usmaniyah yang mencoba menunjukan bahwa kekhalifahan tidak pernah menjadi bagian integral dari Islam, sehingga harus dijauhkan secara total dan terus-menerus dari negara; Presiden Habib Bourguiba yang tahun lalu menyerang puasa bulan Ramadan dengan menyatakan bahwa puasa Bulan Suci merupakan penghalang bagi pembangunan ekonomi Tunisia; dan Dr. Toha Husein, intelektual dan penulis Mesir buta yang telah mengemukakan dalam bukunya Future and Culture in Egypt bahwa Mesir adalah bagian integral dari Eropa, karenanya perlu melakukan sekularisasi dan westernisasi sepenuhnya. Mereka yang sering disebut-sebut sebagai muslim "progresif" yang lebih berbahaya dari pada musuh-musuh dari luar, karena mereka menyerang landasan-landasan asasi Islam dari dalam. Tujuan saya menulis artikel-artikel tersebut tidak lain adalah untuk membuka mata kaum muslimin akan fakta ini. Sekularisme, nasionalisme dan materialisme masa kini disadap dari filosof-filosof yang membangkitkan revolusi Perancis, seperti Voltaire, Rousseau, Montesquieau dan lain-lain. Mereka adalah pembenci-pembenci fanatik terhadap seluruh agama. Merekalah yang bertanggung-jawab terhadap adanya keyakinan yang menyatakan bahwa manusia dapat maju dan mencapai keselamatan tanpa Tuhan. Khayalan bahwa manusia tidak tergantung pada Allah dan bahwa Hari Akhir tidak ada, akan membawa kepada keyakinan bahwa tujuan utama kehidupan umat manusia adalah kemajuan material. Tanpa adanya suasana anti agama yang mematikan ini, maka faham-faham seperti Marxisme, Fascisme, Nazisme, Pragmatisme (seperti yang dipropagandakan oleh John Dewey) dan Zionisme (penyebab tragedi Palestina) tidak akan pernah mengakar. Saya merencanakan untuk menulis artikel lain tentang masalah ini dengan lebih terperinci. Mungkin anda ingin tahu siapa saya sebenarnya. Saya adalah seorang gadis Amerika, umur 28 tahun, yang begitu tertarik kepada Islam sebagai satu-satunya harapan dalam hidup saya, sehingga saya sekarang ingin berpindah agama. Masalah saya yang pelik adalah kesulitan untuk bertemu dengan orang Islam di daerah pinggiran kota New York, tempat tinggal saya. Lagi pula saya merasa terasing, Karena itu tatkala saya dapati artikel anda dalam The Muslim Digest, segera saja saya kirim surat kepada redaksi majalah tersebut untuk meminta alamat anda dengan harapan akan anda balas surat-surat saya. Bila anda bersedia, kirimkanlah kepada saya beberapa tulisan anda, khususnya brosur yang anda tulis beberapa tahun yang lalu yang berjudul The Process of Islamic Revolution. Karena kita saling berbagi cita-cita yang sama dan bekerja untuk meraih tujuan yang sama, maka saya ingin sekali menikmati hubungan persahabatan dengan anda dan menolong anda dalam perjuangan anda sebisa-bisanya. Salam takzim, |
|
Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2001. |