Surat Menyurat
Maryam Jamilah - Maududi


New York, 8 November 1961

Maulana Maududi yth.

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Terima kasih atas surat anda tertanggal 24 Oktober.

Saya senang, anda begitu menentang pendekatan polemik yang apolojetik sebagaimana saya. Ketika mulai pertama kali saya baca kepustakaan tentang Islam yang bisa diperoleh dalam bahasa Inggris di tahun 1953, teman-teman dan kenalan saya yang beragama Islam mendesak saya agar membaca buku Sir Sayyid Amir Ali, The Spirit of Islam. Setelah membacanya, saya berkesimpulan bahwa buku tersebut adalah buku tentang Islam terjelek yang pernah saya baca. Teman-teman muslim saya terkejut atas reaksi negatif ini dan tak dapat memahami mengapa saya tidak menyukai buku ini.

Ambillah sebagai contoh masalah poligami. Orang-orang muslim seperti Dr. Hoballah, pemimpin Islamic Centre di Washington, mengatakan kepada saya bahwa Islam hanya memperkenankan poligami dalam sedikit peristiwa-peristiwa pengecualian tertentu. Golongan modernis malahan telah lebih jauh menafsirkan ayat al-Qur'an yang menyatakan bahwa "kamu tidak akan bisa berbuat adil terhadap lebih dari satu istri, betapapun kamu menginginkannya", sebagai larangan mutlak terhadap poligami. Berikut ini, pandangan apolojetik serupa dikutip dari tafsir Muhammad Ali Lahori dalam terjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris (hal. 187-188).

"Surat 4:3 membolehkan poligami hanya dalam keadaan-keadaan tertentu... Dengan demikian, akan jelaslah bahwa izin untuk mempunyai istri lebih dari satu itu diberikan untuk keadaan khas umat Islam yang ada pada saat itu... Dapat ditambahkan di sini bahwa poligami dalam Islam, teori maupun praktek, adalah suatu perkecualian, bukan aturan..."

Dalih yang paling kuat untuk menentang cara berpikir yang sesat seperti itu adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun penafsir al-Qur'an yang dikenal nama baiknya sepanjang sejarah Islam pernah menafsirkan ayat tersebut seperti demikian, hingga dunia Islam jatuh ke dalam kekuasaan imperialis Eropa. Saya tidak bisa menemukan pernyataan dalam kepustakaan al-Qur'an maupun Hadits yang mengatakan bahwa poligami dikutuk sebagai suatu kejahatan, tidak pula suatu masalah pernah timbul mengenai perlunya untuk membatasinya hanya bagi keadaan-keadaan pengecualian tertentu. Persisnya bunyi ayat yang menjadi pembicaraan adalah:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara diri dari kejahatan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-Qur'an 4:129).

Dengan kata lain, karena tidak ada dua manusia yang sama, maka tentunya seorang suami tidak mungkin dapat memperlakukan istri-istrinya dengan rasa cinta-kasih yang sama. Tetapi ayat ini tidaklah melarangnya untuk melakukan poligami hanya karena ia tidak dapat mencintai mereka dengan kadar yang sama. Tidak! Al-Qur'an hanyalah memerintahkan untuk berlaku baik serta mempergauli mereka dengan seadil-adilnya. Catatan pendahuluan Marmaduke Picktall untuk terjemahan al-Qur'annya ke dalam bahasa Inggris, dengan sangat meyakinkan menafsirkan ayat yang berkenaan dengan masalah di atas sebagai berikut:

"Dalam Islam, kesucian tidak pernah diidentikkan dengan kehidupan membujang. Bagi kekristenan, cita keagamaan yang paling tinggi adalah membujang; monogami sudah merupakan kelonggaran bagi sifat manusia. Bagi kaum muslim, monogami adalah cita-cita, sedang poligami merupakan kelonggaran bagi sifat manusia. Setelah memberikan contoh agung tentang perkawinan monogami lewat pernikahannya dengan Khadijah, Rasulullah juga memberikan contoh tentang perkawinan poligami yang diwarnai dengan segala sifat luhur. Islam tidak melembagakan poligami, tapi menetapkan batasan atas suatu lembaga yang telah lebih dulu ada di masyarakat, yakni dengan membatasi jumlah istri sampai empat dan dengan memberi kepada setiap wanita kepribadian dan hak-hak sah yang harus dihormati, dan dengan membuat setiap laki-laki bertanggung-jawab secara hukum terhadap setiap istrinya. Apakah poligami ataukah monogami yang mesti berlaku di suatu masyarakat atau masa tertentu adalah merupakan masalah kecocokan dengan keadaan sosial-ekonomi".

Sudahkah anda baca The Voice of Islam edisi April-Mei 1961 yang diterbitkan oleh Jamiul Falah, Karachi, yang memuat suatu esai yang berjudul Hukuman dalam Islam tulisan Muhammad Syibli? Tulisan ini segera saja mengagumkan saya karena penyajian alasan-alasan logis dengan jelas dan terus-terang tentang kenapa Islam telah menetapkan apa yang sering disebut orang sebagai hukuman yang bersifat "barbar", seperti merajam sampai mati orang yang melakukan zina (bila yang bersangkutan telah berkeluarga penerj.), memotong tangan bagi pencuri, mendera orang di muka umum bagi pelaku zina dan pemabuk dan sebagainya. Sembilanpuluh sembilan persen penulis muslim-kontemporer hendak mencoba untuk menerangkan bahwa hukuman menurut al-Qur'an tersebut telah usang bagi abad modern ini. Contoh khas dari orang-orang seperti ini adalah surat yang bernada marah kepada redaksi majalah yang sama, dimuat dalam edisi bulan Agustus, yang menyalahkan Muhammad Syibli karena tidak memandang sistem hukum Barat lebih tinggi daripada syariat.

Demikian pula Presiden Habib Bourguiba mengatakan: "Sampai kini Islam masih dipahami menurut cara-cara pemahaman para ulama, yakni penafsiran yang statis tanpa perubahan selama berabad-abad. Penafsiran kuno itu telah ketinggalan zaman ..."

Dengan kata lain, kaum modernis bermaksud mengatakan kepada kita bahwa seluruh mujaddid kita sepanjang duabelas abad belakangan telah melakukan kesalahan yang besar dalam memahami makna sebenarnya dari al-Qur'an dan baru sekarang inilah untuk pertama kalinya kaum modernis dapat mencapai wawasan yang benar!

Inilah beberapa alasan yang menyebabkan saya memandang pendekatan apolojetik sebagai suatu puncak ketidakjujuran, kepengecutan moral, fitnah rohaniah dan kemunafikan.

Ketika mahasiswa-mahasiswa muslim "progresif" ini menceritakan kepada saya bahwa negara-negara mereka tidak akan mampu menjadi negara yang relijius sebelum bisa mencapai pembangunan ekonomi dan taraf hidup yang lebih tinggi terlebih dulu, saya tidak bisa menahan diri untuk mengingatkan mereka kecuali akan kata-kata Nabi Isa as. sebagaimana tercatat dalam Perjanjian Baru tatkala ia berkata kepada pengikut-pengikutnya: "Carilah lebih dahulu Kerajaan Surga dan kemudian seluruh benda-benda ini akan ditambahkan bagi kamu sekalian ..."

Tetapi orang-orang yang "progresif" ini mencoba melakukan hal yang sebaliknya! Mereka berusaha meyakinkan kita bahwa setelah mereka peroleh kemakmuran material, mereka akan punya banyak waktu untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah rohaniah. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa hal ini tak pernah terjadi, karena orang yang menganut sikap seperti ini akan menjadi sedemikian sibuknya dengan upaya-upaya materialistik, sehingga melupakan sama sekali segi kehidupan rohaniah.

Penalaran yang aneh dari orang-orang "progresif" ini nampak ketika guru bahasa Arab saya di masjid New York berkata bahwa Kamal Ataturk melarang orang-orang Turki untuk beribadah Haji karena parahnya ekonomi negara dan kelaparan yang melanda rakyat, sehingga pemerintah tidak dapat mengizinkan mengalirnya kapital ke luar negeri. "Hal ini sama sekali bisa dibenarkan", guru saya memberi alasan, "dan sesuai dengan nilai-nilai Islam, karena Ibadah Haji memang hanya wajib bagi mereka yang mampu". Tetapi tidak ia sebutkan bahwa dekrit Ataturk hanya menimpa Ibadah Haji ke Makkah! Sedang semua perjalanan ke luar negeri yang lain, khususnya ke negara-negara Eropa dan Amerika tidak hanya diizinkan tetapi malah didorong dengan aturan-aturan resmi.

Pada pertemuan-pertemuan Perkumpulan Mahasiswa Muslim di Universitas Columbia, topik pembicaraan yang disukai adalah pendidikan Islam tradisional sebagaimana diterapkan di al-Azhar, Deoband atau madrasah-madrasah yang lebih kecil yang karena selalu menekankan pada hafalan, dikritik sebagai membunuh kemerdekaan intelektual, dan pikiran-pikiran orosinal dan kreatif. Para mahasiswa ini tidak menyadari bahwa kritikan mereka terhadap madrasah tradisional itu justru beribu kali lebih tepat ditujukan kepada diri mereka sendiri! Di antara mahasiswa-mahasiswa berpendidikan Barat ini, sama sekali tidak saya temukan kemerdekaan intelektual dan pikiran-pikiran orisinal dan kreatif. Tidak pernah mereka ciptakan pemikiran mereka sendiri selain sekedar mengulang secara mekanis bak burung beo segala sesuatu yang diajarkan kepada mereka.

Inilah sebabnya, walaupun Universitas-universitas di Amerika penuh dengan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari negara-negara Islam, tetapi di dalamnya tak bisa didapati satu pun sarjana sejati.

Makna harfiah kata "Islam" adalah penyerahan diri kepada kehendak Allah. Seseorang tidak akan mungkin dekat kepada Allah tanpa menyerahkan diri untuk melaksanakan aturan-aturan serta mengikuti petunjuk-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Orang seperti itu tidak akan meragukan hikmah Ilahiah (sebagaimana yang pernah terjadi pada seorang mahasiswa Universitas Columbia yang menyatakan bahwa sekarang orang muslim dibolehkan makan daging babi karena para peternaknya kini telah tahu cara memelihara babi secara higenis, sehingga bahaya penyakitnya dapat dihilangkan!). Orang muslim sejati tidak akan pernah mencampakkan ajaran-ajaran al-Qur'an karena menganggapnya tidak cocok lagi dengan kehidupan masa kini. Tujuan hidupnya yang utama adalah menempuh kehidupan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, dan tidak ada sesuatu yang dapat membuatnya lebih bersedih daripada mengingkari Tuhannya. Dia tidak akan menganggap hukum Allah sebagai beban, melainkan kebahagiaan. Pada titik inilah agama Yahudi Ortodoks dan Islam bertemu. Setiap hari seorang Yahudi yang taat selalu membaca perintah-perintah dari Hukum Nabi Musa berikut:

"Engkau harus mencintai Rabbmu dengan seluruh hatimu, dengan seluruh jiwa dan kekuatanmu. Dan kata-kata yang Aku (Tuhan) perintahkan kepadamu (Musa) ini mesti tertanam dalam hatimu. Engkau harus mengajarkannya dengan rajin kepada anak-anakmu dan kamu harus membicarakannya bila sedang duduk-duduk di rumah, atau bila bepergian, bila berbaring dan bila berdiri. Harus kamu ikat mereka untuk suatu tanda di tanganmu dan harus selalu kau tempatkan mereka di bawah pengawasan. Harus kau catat mereka di daun pintu rumahmu dan di daun pintu gerbangmu. (Deuteronomy 6:4-9).

Di pihak lain, bukannya menyerahkan diri kepada Allah, kaum modernis malah mengharap Allah menyerahkan diri-Nya kepada mereka!

Bersama ini saya sertakan tajuk The IslamicReview edisi Juli 1961 yang memuji Undang-undang Keluarga Pakistan yang baru. Apa komentar anda?

Saudaramu dalam Islam,
Maryam Jamilah


Surat Menyurat Maryam Jamilah Maududi
Judul Asli: Correspondence between Maulana Maudoodi and Maryam Jameelah
Terbitan Mohammad Yusuf Khan, Lahore, 1978
Penterjemah: Fathul Uman
Penyunting: Haidar Bagir
Penerbit Mizan, Jln. Dipati Ukur No. 45, Bandung 40124
Cetakan 1, 1403H, 1983M
Telp.(022) 83196
dikumpulkan dari posting sdr Hamzah (hamzahtd@mweb.co.id) di milis is-lam@isnet.orgIndeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.