Surat Menyurat
Maryam Jamilah - Maududi


New York, 22 Maret 1962 (16 Syawwal l381)

Maulana Maududi yth.,

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sejak paspor anda dicabut keberlakuannya untuk Afrika dan negara-negara Arab dan khususnya sejak penerbit anda, Mian Tufail Muhammad, ditangkap dan dipenjarakan, saya sangat resah memikirkan kesehatan anda. Bila balasan anda terlambat sebulan atau lebih, saya sangat gelisah kalau-kalau anda jatuh sakit, atau, mudah-mudahan tidak, mengalami nasib yang sama dengan penerbit anda. Saya sedemikian memikirkan kesejahteraan anda, sehingga seolah-olah anda adalah keluarga dekat saya, walaupun sebenarnya kita belum pernah bertemu muka. Saya hanya bisa berdoa kepada Allah, semoga anda diselamatkan dari segala marabahaya.

Tentu anda bertanya-tanya dalam hati selama bulan-bulan belakangan ini, kenapa saya segan untuk segera menerima tawaran ikhlas anda untuk memberi segala dukungan maupun pertolongan segera setelah saya setuju untuk datang ke Lahore. Yang menjadi masalah berat bagi saya adalah bahwa saya tidak bisa mengumpulkan kekuatan untuk dengan pasti mematahkan ikatan-ikatan keluarga dan masa lalu serta dengan yakin melangkah ke arah sesuatu yang tidak saya kenal. Itulah sebabnya, mengapa setiap anda kemukakan masalah ini, saya selalu menghindar, dengan harapan, suatu saat, situasi dalam keluarga saya akan berubah menjadi lebih baik. Sekarang saya tabu bahwa harapan saya tersebut sia-sia belaka.

Berikut ini dengan ringkas saya ceritakan masalah saya. Saya adalah orang serba canggung yang tak punya harapan. Saya benar-benar tidak bisa tinggal di dalam masyarakat seperti ini. Karena tidak saya miliki kemampuan dan keinginan dagang, tidak pernah mengikuti latihan-latihan khusus serta tidak punya keahlian profesional dan diploma lebih dari itu semuanya, selama dua tahun lebih saya dirawat di rumah sakit mental, yakni dari Maret 1957 sampai April 1959 -maka saya sudah tidak punya harapan lagi untuk menjalani kehidupan yang jujur, produktif dan bermanfaat yang sesuai dengan tabiat saya.

Maka dari itu, setiap kali saya berusaha mencari kerja, semua agen tenaga kerja menerima saya dengan dingin. Fungsi utama agen tenaga kerja ini adalah untuk menyaring mereka-mereka "yang tidak diingini", yaitu mereka yang tidak mempunyai "nilaipasar", dan menurut pandangan mereka saya ini benar-benar tidak berharga. Ayah saya seorang petugas penjualan, sedang ibu saya adalah pekerja sosial yang sangat dihormati. Keduanya hendak berhenti bekerja tahun depan. Karena penghasilan mereka akan berkurang, maka dengan terpaksa mereka akan menyetop pula dukungan keuangan mereka pada saya.

Mereka bahkan akan pindah dari rumah susun yang telah kami tinggali sejak bulan September 1939, kemudian menjual barang-barang mebel dan alat-alat rumah tangga lainnya untuk selanjutnya akan pergi dari suatu tempat ke tempat lain untuk pelesir sampai penyakit atau kematian menimpa mereka. Mereka tidak memperbolehkan saya untuk menyertai mereka, karena kedua orangtua saya memahami sepenuhnya mengapa saya tidak dapat hidup bersama mereka dengan selaras dan penuh kedamaian. Kalaupun mereka ijinkan saya untuk ikut, saya toh akan tidak bahagia, bahkan frustrasi dalam menjalani gaya hidup mereka yang tidak lebih daripada mereguk kenikmatan dunia. Bagi saya, kehidupan seperti itu adalah kehidupan yang cetek, kosong dan tak berarti. Jadi, sekarang, lebih dari dulu-dulu ketika saya keluar dari rumah sakit tiga tahun yang lalu, ancaman yang terus menerus bergelantungan di atas kepala saya, yaitu jika saya tidak mendapatkan pekerjaan sebelum kedua orangtua saya berhenti bekerja dan melepaskan ikatan kerumahtanggaannya, maka saya akan terpaksa hidup dengan belas kasihan Departemen Kesejahteraan Kota atau menghadapi masa depan yang suram.

Rehabilitasi adalah sesuatu yang tidak mungkin. Saya tidak pernah punya tempat dalam masyarakat ini. Tanpa dukungan orangtua, saya tak mungkin bisa hidup, meski hanya sehari pun, seperti orang lain. Saya lebih senang mati daripada hidup hina dan sengsara. Dengan terus terang saya akui bahwa jika bukan karena iman Islam saya, tentulah saya sudah bunuh diri sejak beberapa tahun yang lalu. Setelah mengambangkan undangan anda sekian lama, apakah terlalu terlambat untuk menerimanya sekarang?

Saudaramu seiman,
Maryam Jamilah.


Surat Menyurat Maryam Jamilah Maududi
Judul Asli: Correspondence between Maulana Maudoodi and Maryam Jameelah
Terbitan Mohammad Yusuf Khan, Lahore, 1978
Penterjemah: Fathul Uman
Penyunting: Haidar Bagir
Penerbit Mizan, Jln. Dipati Ukur No. 45, Bandung 40124
Cetakan 1, 1403H, 1983M
Telp.(022) 83196
dikumpulkan dari posting sdr Hamzah (hamzahtd@mweb.co.id) di milis is-lam@isnet.orgIndeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.