Surat Menyurat
Maryam Jamilah - Maududi


New York, 31 Januari 1961

Maulana Maududi yth.,

Beberapa hari yang lalu saya menerima hadiah buku-buku berbahasa Inggris dari anda yang jumlahnya menyerupai suatu perpustakaan kecil. Saya rasa, mengatakan terimakasih saja tidak cukup. Saya hanya bisa berjanji akan selalu memelihara dan menghargainya. Baru kemarin saya terima surat anda yang menceritakan bahwa tatkala anda baca naskah-naskah saya seolah-olah anda sedang membaca karya sendiri. Yakinlah, bahwa tatkala saya baca buku-buku anda, saya juga merasa seolah benar-benar sedang membaca gagasan-gagasan saya sendiri yang hanya saja diungkapkan dengan lebih tegas dan menyeluruh daripada yang barangkali bisa saya tulis.

Dua naskah terakhir saya adalah; yang satu tentang puisi Allamah Iqbal [Lihat artikel saya tentang Allamah Iqbal dalam Islam Versus The West], satu-satunya ilmuwan dunia Islam masa kini yang telah berhasil mengungkapkan --dalam bentuk puisi dengan keindahan abadi-- tentang apa arti sebenarnya menjadi seorang muslim; naskah yang lain berjudul The Philosophical Sources of Western Materialism (Sumber-sumber Filsafat Materialisme Barat), di sini saya lacak perkembangan Materialisme Barat sejak kelahirannya di masa Yunani Kuno, melewati zaman Renesan sampai memuncak dalam bentuk ideologi, seperti Komunisme.

Dalam naskah yang kedua ini juga saya coba tunjukkan, bahwa kejahatan-kejahatan yang kita saksikan saat ini adalah akibat logis daripada kecenderungan yang telah berlanjut selama lebih dari lima abad. Tokoh-tokoh pemikiran Barat seluruhnya adalah materialis yang bersemangat; nyatanya, seluruh tema peradaban Barat modern adalah pemberontakan terhadap gereja dan pada puncaknya juga terhadap seluruh agama dan nilai rohaniah. Jadi, materialisme adalah bagian dari esensi Barat terpenting.

Pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, sebagaimana anda jelaskan dengan jitu dalam artikel anda Nasionalism and India (Nasionalisme dan India), secara serempak telah diajar untuk memandang rendah pusaka asli mereka dan dicekoki dengan filsafat materialisme. Karena rasa dendam dan benci yang mendalam kepada majikan Barat mereka terdahulu, maka mereka lemparkan kembali sampah-sampah tepat ke muka mereka sendiri. Hal ini saya maksudkan sebagai gambaran pergolakan hebat yang saat ini sedang terjadi di Asia dan Afrika, khususnya di Kongo.

Setelah saya baca tentang kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Afrika, saya mengkhawatirkan keselamatan anda. Sungguh sangat menyakitkan terasa bagi saya membaca dan mengetahui bagaimana negara-negara muslim seperti Republik Persatuan Arab (sekarang pecah menjadi Mesir dan Syria -penerjemah) secara membudak meniru Komunis Rusia dan Cina dalam hal politik luar negeri mereka di Afrika. Saya hendak bersimpati dengan beberapa negara seperti RPA, tetapi tidak saya lihat sesuatu yang Islami dalam kebijaksanaan pemerintahannya. Seorang muslim yang mudah tertipu akan menyambut gembira upaya-upaya Nasser dalam memajukan dakwah Islam di Afrika, tetapi tak syak lagi bahwa ia tidak begitu tertarik untuk berjuang lebih jauh dari pada sekedar menggunakan akidah itu semata-mata sebagai slogan untuk meninggikan keharuman nama dan harkatnya.

Saya dengan tulus dan pasti yakin bahwa pemahaman anda tentang Islam sebagai yang anda kernukakan dalam buku Towards Understanding Islam (Menuju Pemahaman Islam) dan Islamic Law and Constitution (Hukum dan Perundang-undangan Islam) dan brosur-brosur lain yang telah anda kirimkan kepada saya adalah satu-satunya penafsiran yang tepat. Saya berharap agar saya tidak dipandang sebagai orang yang berpikiran sempit dengan berkata demikian. Sungguh saya hargai anda dan segala sesuatu yang anda kerjakan, sebab anda memegang teguh Islam dalam kemurniannya di samping menolak untuk berdamai dengan tingkah laku zaman atau memperkosanya dengan filsafat-filsafat asing.

Seperti yang telah anda uraikan dalam karya-karya anda, maka saya percaya bahwa Islam adalah jalan hidup yang unggul dan merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran. Tragisnya, ternyata banyak orang Islam yang tidak setuju. Berkali-kali saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Islam yang belajar pada universitas-universitas di New York yang berusaha meyakinkan saya bahwa Kemal Ataturk adalah orang Islam yang baik dan bahwa Islam harus menerima kriteria filsafat kontemporer, sehingga bila ada akidah Islam dan peribadatannya yang menyimpang dari kebudayaan Barat modern, maka hal itu harus dicampakkan. Pemikiran demikian dipuji sebagai "liberal", "berpandangan ke depan" dan "progresif". Sedang orang-orang yang berpikiran seperti kita dicap sebagai "reaksioner dan fanatik", yakni orang-orang yang menolak untuk menghadapi kenyataan masa kini. Suatu hal di dalam buku kecil anda Nasionalisme dan India yang perlu mendapatkan perhatian khusus ialah sikap oposisi anda terhadap orang Islam yang memakai pakaian Barat. Banyak orang memandang masalah ini sebagai sesuatu yang remeh, tetapi saya memandangnya sebagai hal yang paling penting. Tidakkah Nabi Besar Muhammad saw telah bersabda: "Barangsiapa yang meniru orang kafir, maka ia termasuk salah seorang dari mereka!" Saya pikir, orang muslim harus merasa bangga memperlihatkan kenyataan berupa kekhasan penampilan fisiknya. Demikianlah, maka bila saya lihat pemimpin Islam yang sama sekali berpakaian model barat dan bercukur licin, tak bisa tidak saya anggap imannya bercacat, karena lewat pakaiannya, dia permaklumkan kepada dunia bahwa ia malu akan identitasnya yang sebenarnya. Pernahkah anda baca Islam di Simpang Jalan karya Muhammad Asad yang membicarakan hal ini secara panjang lebar?

Tidak aneh bila anda begitu heran terhadap gadis yang lahir dari keluarga khas Amerika bisa memeluk Islam. Karenanya, berikut ini akan saya ceritakan bagaimana hal itu terjadi.

Ketika saya berumur sepuluh tahun, saya bersekolah di sekolah Jewish Sunday yang diperbaharui. Segera saya terpesona dengan sejarah Yahudi yang tragis. Saya tertarik kepada cerita Ibrahim dan kedua anaknya Ismail dan Ishak. Ishak dianggap sebagai bapak orang Yahudi dan Ismail bapak orang Arab. Tidak saja orang Arab dan Yahudi bersamaan asal, tetapi sejarahnya pun saling berkaitan pada beberapa perioda. Telah saya pelajari bahwa di bawah pemerintahan Islam, khususnya di Spanyol, orang Yahudi mengalami masa keemasan dengan kebudayaan Ibraninya. Karena ketidaktahuan, tentunya terhadap sifat jahat Zionisme, secara naif saya mengira bahwa orang Yahudi Eropa kembali ke Palestina untuk menjadi orang semit lagi dan hidup seperti orang Arab. Sungguh saya sangat tergairahkan oleh prospek kerja sama antara orang-orang Arab dan Yahudi untuk menciptakan zaman keemasan baru seperti pernah terjadi di Spanyol.

Selama masa remaja, saya mengalami keterasingan sosial di sekolah karena saya senang menggunakan sebagian besar waktu saya untuk membaca buku-buku di perpustakaan dan tidak tertarik, kepada lain jenis, pesta-pesta, dansa, film, pakaian, perhiasan atau pun kosmetika. Saya beranggapan bahwa merokok adalah kebiasaan vulgar dan kemubaziran. Meskipun kenyataan di masyarakat mengharuskan seseorang untuk minum-minum di dalam pesta dengan tujuan agar dapat diterima secara sosial, dan kedua orangtua saya berpendapat bahwa pengumbaran diri sekedarnya dengan anggur tak dapat dipisahkan dari "kenikmatan hidup", namun saya belum pernah menyentuh minuman keras. Saya hampir tidak mempunyai teman selama delapan tahun di sekolah lanjutan pertama dan atas, karena saya hanya berbagi sedikit kegetiran dengan anak-anak laki-laki dan perempuan sebaya saya.

Pada tahun kedua di Universitas New York, saya bertemu dengan seorang gadis remaja dari keluarga Yahudi yang telah memutuskan untuk memeluk agama Islam. Karena begitu tertarik kepada bangsa Arab sebagaimana saya, maka dia kenalkan saya dengan teman-teman Arab dan muslimnya di New York. Dia dan saya sama-sama mengikuti pelajaran dalam kelas yang diajar oleh Rabbi Yahudi berjudul Yudaisme dalam Islam.

Rabbi itu mencoba untuk memberikan bukti-bukti kepada para siswanya, dibalik kedok "perbandingan agama", bahwa segala yang baik dalam Islam itu dipinjam langsung dari perjanjian lama, Talmud dan Midrash. Buku teks kami, yang disusun oleh Rabbi ini juga (Judaism in Islam, Abraham I Katsh, Washington Square Press, New York 1954), menuliskan surat kedua dan ketiga dari Al-Qur'an ayat demi ayat, untuk melacak asal-usulnya dari sumber-sumber Yahudi. Kuliah ini diselingi juga dengan pemutaran film berwarna dan slide propaganda Zionis untuk mengagungkan negara Yahudi. Tetapi ironisnya, kuliah ini bukannya mampu meyakinkan saya akan keunggulan Yahudi atas agama Islam, tapi malah mengalihkan saya kepada pandangan yang sebaliknya.

Walaupun kenyataannya di dalam kitab Perjanjian Lama terdapat konsep-konsep universal tentang Tuhan dan cita moral luhur seperti yang diajarkan oleh para nabi, tetapi agama Yahudi selalu mempertahankan karakter kesukuan dan kebangsaan. Dan meskipun di dalamnya terdapat idealisme luhur, narnun kitab suci agama Yahudi itu bagaikan buku sejarah orang Yahudi saja layaknya sejarah ketuhanan dan kebangsaannya.

Parokialisme berpandangan sempit telah mendapatkan ungkapan modernnya dalam Zionisme (walaupun dalam bentuk yang sepenuhnya sekular). Perdana Menteri Israel, David ben Gurion, tidak beriman kepada Tuhan yang bersifat pribadi dan supranatural, tidak pernah mendatangi sinagoge dan tidak menaati hukum Yahudi, adat-adat maupun upacara-upacara, namun.ia dipandang sebagai orang Yahudi terbesar masa kini, bahkan juga oleh orang-orang yang taat dan ortodoks.

Sebagian besar pemimpin Yahudi memandang Tuhan sebagai super agen real estate yang membagi-bagikan lahan untuk keuntungan mereka sendiri. Zionisnie telah menjadikan aspek-aspek yang sangat jelek dari nasionalisme materialistik Barat modern sebagai milik mereka sendiri. Hanya filsafat utilitarian dan opportunisme seperti itu yang dapat membenarkan di dalam pikiran-pikiran, hal-hal seperti: kampanye zalim untuk mengusir mayoritas orang Arab dan menginjak-injak minoritas yang mengibakan yang masih tinggal di "Israel", kemudian memasang gaya pembawa "kemajuan" dan "pencerahan" bagi bangsa Arab "yang jahil".

Betapapun unggulnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi "Israel", namun saya yakin kemajuan material yang dikombinasikan dengan moralitas kesukuan bangsa "terpilih" ini adalah suatu ancaman yang amat besar bagi perdamaian dunia. Pernah saya dengar Golda Meir berpidato di depan Sidang Umum PBB: "Saya akan menentang siapa saja yang hendah mempersoalkan hak keamanan Israel dengan menahan daerah Arab yang dikuasai lewat penaklukan. Satu-satunya etika yang penting bagi kami adalah bertahan hidupnya bangsaYahudi di negeri Yahudi" (Tak apa, Nyonya Golda Meir, tentang bertahan hidup itu, bangsa-bangsa lain pun akan mempertahankan hidupnya pula).

Waktu itu pula saya ketahui babwa para ulama Yahudi memendam rasa permusuhan yang lebih besar terhadap Nabi Muhammad saw daripada orang-orang Kristen. Kemunafikan agama Yahudi yang diperbaharui sama juga tak bisa diterima. Sehingga, walaupun seorang keturunan Yahudi, saya tetap tidak bisa mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran dan aspirasi-aspirasi saya dengan bangsa Yahudi.

Karena kedua orangtua saya bukanlah Yahudi yang taat dan keduanya sangat yakin akan perlunya orang Yahudi Amerika untuk berpikir, berpandangan dan berperilaku seperti orang Amerika lain, maka setelah dua tahun belajar di sekolah agama Yahudi, saya didaftarkan pada sistem pendidikan Pergerakan Kebudayaan Etika yang didirikan oleh mendiang Dr. Felix Adler pada dekade-dekade terakhir abad sembilan belasan.

Dalam buku anda Pandangan Islam tentang Etika, anda merujuk kepada pergerakan humanis agnostik ini yang menolak landasan supranatural nilai-nilai etika dan menganggapnya sebagai relatif dan buatan manusia. Saya hadiri pengajaran di sekolah kebudayaan Etika itu seminggu sekali selama empat tahun sampai saya tamat pada usia lima belas tahun.

Sejak itu hingga saya masuk sekolah Rabbi Katsh di Universitas New York tahun 1954, saya menjadi seorang ateis tulen dan meremehkan semua organisasi keagamaan ortodoks sebagai ketahayulan. Suatu hari di kelas, Rabbi Katsh memberikan kuliah di hadapan para mahasiswa, ia kemukakan alasan-alasan mengapa seluruh nilai-nilai etika yang tumbuh sebagai hak bawaan universal setiap manusia bersifat mutlak dan merupakan pemberian Tuhan, bukan ciptaan manusia dan tidak pula relatif sebagaimana telah diajarkan kepada saya sebelumnya.

Saya lupa argumentasi khasnya, tetapi saya hanya ingat bahwa alasan-alasan tersebut begitu masuk akal dan meyakinkan saya, sehingga hal ini menandai suatu titik balik dalam kehidupan saya. Setelah saya pelajari Al-Qur'an lebih dalam lagi, saya mulai sadar mengapa Islam dan hanya agama Islam telah mampu membuat bangsa Arab menjadi bangsa besar. Tanpa Al-Qur'an saat ini bahasa Arab mungkin telah punah. Paling-paling, tanpa Al-Qur'an bahasa Arab akan menjadi kurang berarti dan tidak dikenal seperti dulu. Keberadaan seluruh kesusasteraan dan kebudayaan Arab berhutang banyak kepada Al-Qur'an. Karenanya, kebudayaan Arab dan Islam tidak bisa dipisahkan. Tanpa Islam, kebudayaan Arab tidak akan berarti penting dalam dunia internasional.

Walaupun kedua orangtua saya tidak dapat memahami penentangan saya terhadap kebudayaan yang membesarkan saya, khususnya rasa permusuhan saya terhadap Zionisme, mereka tetap memberikan kebebasan untuk mencari dan mendapatkan pegangan hidup. Mulanya mereka mencoba melemahkan semangat saya dengan mengatakan bahwa keterlibatan saya akan menjauhkan saya dari mereka dan seluruh keluarga. Tetapi saat ini, setelah mereka lihat saya begitu tetap hati, mereka yakinkan saya bahwa mereka tidak akan menghalangi saya berpindah agama atau menjalani kehidupan yang membuat saya bahagia. Walaupun tetap meyakini pandangan-pandangan yang berlawanan dengan saya hampir dalam segala hal, mereka tetap toleran dan lapang dada. Betapapun tidak setuju, mereka tak pernah mengancam untuk tidak mengakui saya sebagai anaknya. Alangkah bedanya dengan orangtua Yahudi ortodoks, yang menganggap anaknya yang memeluk agama lain sebagai telah mati.

Kemarin saya kunjungi Islamic Foundation di New York, imamnya adalah Dr. Nuruddin Shoreibah, sarjana tamatan al Azhar. Ia ajari saya bacaan-bacaan shalat lima waktu dalam bahasa Arab, sebagai persiapan untuk menghadapi bulan Ramadan yang akan datang, karena saya bemiat hendak melaksanakan ibadah puasa untuk pertama kalinya.

Saya serahkan pada anda untuk memutuskan, adakah lebih baik kita bekerja bersama atau sendiri-sendiri, mengingat kita mengejar cita-cita yang sama. Dengan surat saya yang panjang ini, ingin sekali saya ucapkan terimakasib atas tawaran-tawaran yang telah anda sampaikan.

Salam takzim,
Margaret Marcus


Surat Menyurat Maryam Jamilah Maududi
Judul Asli: Correspondence between Maulana Maudoodi and Maryam Jameelah
Terbitan Mohammad Yusuf Khan, Lahore, 1978
Penterjemah: Fathul Uman
Penyunting: Haidar Bagir
Penerbit Mizan, Jln. Dipati Ukur No. 45, Bandung 40124
Cetakan 1, 1403H, 1983M
Telp.(022) 83196
dikumpulkan dari posting sdr Hamzah (hamzahtd@mweb.co.id) di milis is-lam@isnet.org

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.