Maryam Jamilah
(d/h Margaret Marcus)


Riwayat Hidup Ringkas Maryam Jamilah

Gadis yang berasal dari suatu keluarga Yahudi yang mukim di New York, ini memang lain sejak awalnya. Demi memuasi dahaganya akan kebenaran hidup, sejak masa-masa remajanya yang paling dini ia telah sekian kali berpindah dari suatu "pusat kerohanian" ke "pusat kerohanian" lainnya. Dari yang sepenuhnya bersifat keagamaan hingga tak kurang dari yang bersifat agnostik, atau malah ateistik sama sekali.

Juga, berbeda dengan remaja-remaja New York sebayanya, Margaret Marcus nama gadis ini mengharamkan bagi dirinya segala sesuatu yang disebut sebagai "sumber kenikmatan hidup", seperti pergaulan bebas, pesta-pesta, mode, minuman keras, merokok dan ajojing, justru di masa-masa yang sering disebut sebagai "masa-masa yang paling membahagiakan" dalam kehidupan seseorang.

Dan sebagai gantinya, ia benamkan dirinya dalam tumpukan buku-buku yang terhitung "berat" bagi kebanyakan manusia, apalagi bagi remaja seumurnya, seperti: agama, filsafat, psikologi dan sebangsanya. Upaya pencarian kebenaran dan identitas diri ini, sebagaimana hampir jadi sebuah kelaziman, harus dibayarnya dengan harga yang amat mahal. Rontoknya pilar-pilar kepercayaan yang telah terbangun dalam dirinya dan tak adanya alternatif yang menggantikannya, ditambah dengan keterasingan dari keluarga, teman sebaya, dan masyarakat yang otomatis sulit menerimanya, akhirnya memaksanya menjalani psikoanalisa selama 3,5 tahun disusul dengan dua tahun perawatan di rumah sakit jiwa.

Gadis ini belum lagi terbebas dari masa-masa kritisnya ketika kemudian dia temukan Islam. Dan ternyata hilangnya rasa dahaga setelah terpuasi oleh Islam belum melepaskannya sama sekali dari derita yang berkepanjangan. Mudah diduga, masyarakat New York yang Kristen dan keluarga Yahudinya seolah membuang muslimah muallaf ini.

Harapannya untuk menemukan pelipur dari saudara-saudaranya sesama muslim di Amerika ternyata hampa belaka. Sekali lagi, tak kalah keras dari bentrokannya dengan keluarga dan masyarakatnya, pandangan-pandangannya harus berbentrokan dan, ironisnya, kali ini justru dengan rekan-rekan seagamanya yang telah terbaratkan.

Kalimat perpisahan pada deritanya baru bisa ia ucapkan setelah dikenalnya Sayyid Abul A'la al-Maududi, seorang imam besar umat yang tinggal di Pakistan. Mulai dari surat-menyurat yang mengharukan antara seorang bapak dengan putrinya, antara seorang muslimah intelektual dengan ulama besar yang ternyata sama sekali bersesuaian pendapat ini, akhirnya mentaslah dari gadis ini seorang Maryam Jamilah yang tegar.

Berkat ketekunan dan semangatnya dan hidayah Allah swt, sebentar saja namanya telah bisa disejajarkan dengan ulama-ulama besar terkemuka di dunia Islam, menyusul rekan-rekannya sesama muallaf lain seperti: Marmaduke Pickthall, Muhammad Asad, T.B. Irving dan lain-lain.

Saat ini, juga sebagai salah satu hasil surat-menyuratnya dengan Maududi, Maryam Jamilah mukim di Pakistan, membina suatu keluarga bahagia sebagai istri kedua dari seorang muslim Pakistan --yang sekaligus menjadi penerbit tulisan-tulisannya.


Surat Menyurat Maryam Jamilah Maududi
Judul Asli: Correspondence between Maulana Maudoodi and Maryam Jameelah
Terbitan Mohammad Yusuf Khan, Lahore, 1978
Penterjemah: Fathul Uman
Penyunting: Haidar Bagir
Penerbit Mizan, Jln. Dipati Ukur No. 45, Bandung 40124
Cetakan 1, 1403H, 1983M
Telp.(022) 83196

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.