Faham Mahdi Syi'ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
PAHAM MAHDI SYI'AH                                     (2/8)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
 
B. SEJARAH LAHIRNYA SYI'AH
 
1. LATAR BELAKANG SEJARAHNYA
 
Masalah  khalifah  sesudah  Rasul  wafat,  merupakan   fokus
perselisihan  diantara  tiga golongan besar, yaõtu: Golongan
Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim.  Selain  itu,  sebenarnya
masih  ada  kelompok  terselubung yang cukup potensial dalam
mewujudkan  ambisinya  sebagai  penguasan   tunggal,   ialah
golongan   Bani   Umayyah.   Sikap  golongan  terakhir  ini,
tercermin pada sikap tokoh utamanya yaitu  Abu  Sufyan  yang
enggan   membai'at  Khalifah  Abu  Bakr,  sekembalinya  dari
Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam
lain, sebagai yang dilakukan oleh kaum Bani Hasyim.
 
Prakarsa  pemilihan  khalifah  di Saqifah yang dimotori oleh
Sa'ad ibn  'Ubbadah  adalah  benar-benar  menggugah  kembali
bangkitnya  semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar
suku yang pernah    terjadi  sebelum  Islam.  Kiranya  dapat
dipahami    bahwa   pemilihan   khalifah   tersebut,   tanpa
keikutsertaan 'Ali  sebagai  wakil  Bani  Hasyim,  tampaknya
membawa  kekecewaan  mereka yang menginginkan hak legitimasi
kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu  sedang  mengurus
jenazah  Nabi.  Mereka  beralasan  bahwa  'Ali  adalah lebih
berhak dan lebih utama menggantikannya,  karena  dia  adalah
menantunya,  dan  selain  itu ia juga seorang yang mula-mula
masuk Islam sesudah Khadijah, istri Rasulullah.  Selanjutnya
tak  seorang pun yang mengingkari perjuangan, keutamaan, dan
ilmu pengetahuan  yang  dimilikinya.  Diantara  mereka  yang
berpendapat  demikian  adalah  salah  seorang  dari golongan
Ansar yaitu Munzir ibn  Arqam,  ia  menyatakan  dalam  suatu
pertemuan  di  Saqifah:  "  ... Kami tidak menolak keutamaan
orang-orang yang kalian sebutkan (AbuBakr,  Umar,  dan'Ali),
sebenarnya  ada diantara mereka itu, seorang yang seandainya
ia  menuntut  (kekhilafahan),  tak  seorang  pun  yang  akan
menentangnya ('Ali ibn Abi Talib) ...8
 
Peristiwa  pembai'atan  Abu  Bakr  pada  tahun 12 H (634 M),
tanpa  sepengetahuan  'Ali,  tampaknya  melahirkan  berbagai
pendapat   yang   kontroversial   tentang   siapa   diantara
tokoh-tokoh sahabat itu yang lebih berhak menduduki  jabatan
khalifah.  Selain  itu,  juga  merupakan  awal  terbentuknya
pemikiran  golongan  ketiga  yakni  Bani  Hasyim,  disamping
golongan   Muhajirin   dan   Ansar.   Oleh  karenanya  tidak
mengherankan jika saat itu ada orang  yang  ingin  membai'at
'Ali  ibn Abl Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak
'Ali   dan   sebagai   akibatnya,   para   pendukung    'Ali
menunda-nunda pembai'atan mereka pada Khalifah Abu Bakr.
 
Memang  benar, bahwa sesudah 'Ali membai'at Khalifah pertama
ini, isu politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait,  sebagai
pewaris  kekhilafahan  sesudah Nabi, berangsur-angsur mereda
sampai berakhirnya  masa  pemerintahan  Khalifah  'Umar  ibn
Khattab. Peredaan isu politik ini, mungkin sekali disebabkan
oleh   keberhasilan   kedua    khalifah    tersebut    dalam
mempersatukan   potensi   ummat   Islam   untuk   menghadapi
musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.
 
Munculnya Bani Umayyah dalam  pemerintahan  'Usman,  sebagai
kekuatan  politik  baru, telah mengundang reaksi keras ummat
Islam, terhadap  kebijaksanaan  Khalifah,  terutama  sesudah
enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah
ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya membendung ambisi
kaum  kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah
yang selama 20 tahun memusuhi Nabi. Sebagai  akibatnya,  isu
politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.
 
Sebagaimana   diketahui   dalam  sejarah,  tindakan  politik
Khalifah yang memberhentikan  para  gubernur  yang  diangkat
oleh  Khalifah  'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru
dari keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan
keresahan  ummat  secara  luas. Seperti: Pengangkatan Marwan
ibn Hisyam sebagai sekretaris  Khalifah,  Mu'awiyah  sebagai
Gubernur  Syria,'Abdullah  ibn Sa'ad ibn Surrah sebagai wali
di Mesir, dan ia masih saudara seibu  dengan  Khalifah,  dan
Walid   sebagai   Gubernur  Kufah.  Mereka  dikenal  sebagai
penguasa yang lebih berorientasi  pada  kepentingan  pribadi
dan  kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan
aspirasi  rakyat.  Sikap  politik  seperti   ini   tampaknya
merupakan  faktor  penyebab  timbulnya  protes-protes sosial
yang   keras   yang   sangat   kurang   menguntungkan   pada
pemerintahannya sendiri.
 
Setelah   'Usman   wafat,  'Ali  adalah  calon  utama  untuk
menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah  kali  ini,
segera  mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang
berambisi menduduki jabatan penting  tersebut.  Kedua  tokoh
itu  adalah  Talhah  dan  Zubair yang mendapat dukungan dari
'A'isyah, untuk mengadakan aksi militer yang dikenal  dengan
perang   Jamal.  Akhirnya  kedua  tokoh  tersebut  terbunuh,
sedangkan  'A'isyah,  oleh  Khalifah  'Ali  dikembalikan  ke
Madinah.
 
Aksi  militer  tersebut,  tampaknya sebagai akibat kegagalan
kedua tokoh itu dalam  memenuhi  ambisinya.  Disamping  itu,
keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan
Basrah  untuk  membai'at  'Ali,   dibawah   ancaman   pedang
terhunus.  Alasan terakhir ini rupanya dijadikan alasan baru
untuk menuntut  Khalifah,  mereka  berjanji  akan  taat  dan
patuh,  jika  Khalifah  menghukum  semua orang yang terlibat
dalam  peristiwa  pembunuhan  Usman  ibn  'Affan.   Tuntutan
tersebut   senada  dengan  tuntutan  Mu'awiyah,  yaitu  agar
Khalifah  'Ali  mengadili  Muhammad  ibn  Abu   Bakr,   anak
angkatnya,   yang   mereka   pandang  sebagai  biang  keladi
peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali
dihadapkan   pada   posisi   yang   cukup   sulit   di  awal
pemerintahannya.
 
Tampaknya   tuntutan    Talhah    dan    Zubair    tersebut,
dipolitisasikan  oleh  Muawiyah  untuk memojokkan 'Ali, yang
dipandang  sebagai  saingan  utamanya.  Untuk  membangkitkan
semangat  antipati  dan  permusuhan  terhadap Khalifah 'Ali,
Mu'awiyah menggantungkan baju 'Usman yang  berlumuran  darah
beserta  potongan  jari  istrinya,  yang  dibawa  lari  dari
Madinah ke Syria oleh Nu'man ibn Basyar.9 Posisi  'Ali  yang
sulit   ini,  ditambah  lagi  dengan  tindakan  pemecatannya
terhadap Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah
sebagai  faktor  yang  mempercepat berkobamya perang Siffin.
Perang ini mengakibatkan munculnya golongan Khawarij,  musuh
'Ali   yang   paling   ekstrem,   sesudah  terjadinya  upaya
perdamaian  dari  pihak  Mu'awiyah  dengan  ber-tahkim  pada
al-Qur-an,  setelah  pasukannya  terdesak  oleh pasukan 'Ali
dibawah panglima Malik al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang
dimotori  oleh  'Amr ibn 'As ini, sebenarnya telah diketahui
oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi siasat  licik  ini
terhalang   oleh  sebagian  besar  pasukannya  sendiri  yang
memaksanya menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya,  kedua
belah  pihak sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus
diwakili oleh seorang juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili
oleh  'Amr  ibn  'As, sedangkan pihak 'Ali diwakili Abu Musa
al-Asy'ari.
 
Kekalahan   diplomasi   pihak   'Ali   di   Daumatul-Jandal,
sebagaimana  dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan oleh
sikap Abu Musa yang amat sederhana dan mudah percaya  kepada
siasat  'Amr.  Bahkan  menurut pendapat Syed Amir 'Ali, Abu-
Musa ini  secara  diam-diam  memusuhi  'Ali.  'Amr  ibn  'As
tampaknya  dengan  mudah  meyakinkan  Abu  Musa, bahwa untuk
kejayaan ummat Islam, 'Ali dan Mu'awiyah harus disingkirkan.
Dengan  perangkap 'Amr ini Abu Musa sebagai wakil yang lebih
tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna  mengumumkan
hasil  perundingan  mereka,  dan  secara sungguh-sungguh Abu
Musa menyatakan pemecatan  'Ali  sedangkan  'Amr  yang  naik
mimbar  kemudian,  menyatakan  kegembiraannya atas pemecatan
'Ali tersebut,  kemudian  ia  mengangkat  Mu'awiyah  sebagai
penggantinya.10 Sekalipun pihak 'Ali kalah total, namun 'Ali
tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid
Kufah,  oleh  seorang  Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41
H/661 M.
 
                                            (bersambung 3/8)
 
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team