Faham Mahdi Syi'ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
PAHAM MAHDI DALAM PERSPEKTIF RASIONAL                  (1/4)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
 
A. ASPEK LANDASAN IDIIL MAHDIISME
 
Sebagai  diketahui  paham  Mahdi   muncul,   adalah   akibat
kegagalan  kaum  Syi'ah  berperan  di bidang politik. Memang
benar, paham ini telah dikenal secara luas di kalangan ummat
Islam,   namun   pengenalan   mereka  tidak  ditunjang  oleh
pengetahuan yang luas dan obyektif. Mereka  kurang  memahami
proses  terbentuknya paham tersebut, dan pada umumnya mereka
mengenal paham Mahdi hanyalah lewat kitab-kitab  hadis  yang
memuat  hadis-hadis  Mahdiyyah.  Ummat  Islam mengenal paham
ini,  sangat  boleh  jadi  sesudah  tersebarnya  hadis-hadis
Mahdiyyah secara intensif dalam berbagai versinya. Para ahli
hadis  yang  meriwayatkannya,  menurut  penuturan   sosiolog
Muslim  kenamaan,  Ibn  Kaldun dalam Muqaddimah-nya, seperti
Imam Tirmizi, Abu Dawud, Ibn Majah, al-Hakim,  Imam  Tabrani
dan  Abu  Ya'la.  Mereka  itu  menyandarkan hadis-hadis pada
sekelompok sahabat  Nabi  seperti:  'Ali,  Ibn  'Abbas,  Ibn
'Umar, Talhah, Ibn Mas'ud, Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, Abu
Sa'id al-Khudri, Ummu  Habibah,  Ummu  Salamah,  Sauban  ibn
Iyas,  'Ali  al-Hilaliy, dan Abdullah Ibn Haris. Selanjutnya
Ibn Khaldun menyatakan:
 
"Apabila  pada  tokoh-tokoh  (orang  yang   menjadi)   sanad
(sandaran)  hadis-hadis  Mahdiyyah, terdapat cacat karena ia
pelupa atau  jelek  hafalannya,  lemah  atau  mungkin  jelek
pandangan  (paham)-nya,  kemudian  mereka  (para  ahli hadis
tersebut)  mencari  jalan  lain  untuk   menyahihkan   hadis
Mahdiyyah atau menilainya di bawah derajat hadis sahih ..."1
 
Dalam  kaitan  ini al-Maududi dalam bukunya [kata-kata Arab]
mengelompokkan hadis-hadis  Mahdiyyah  menjadi  dua  bagian:
Pertama, hadis-hadis Mahdiyyah yang secara jelas menyebutkan
nama  "Mahdi."  Kedua,  hadis-hadis  Mahdiyyah  yang   tidak
menyebutkannya secara tegas. Akan tetapi, mengenai asal-usul
keturunan al-Mahdi tersebut, terdapat banyak sekali  riwayat
yang  kontroversial.2 Sebagian riwayat-riwayat itu, demikian
al-Maududi, bahwa al-Mahdi itu adalah keturunan 'Ali  dengan
Fatimah puteri Rasulullah. Ada pula riwayat yang menyatakan,
al-Mahdi itu berasal  dari  keluarga  'Abbas  bahkan  meluas
sampai  pada  keturunan  'Abdul-Muttalib (kakek Rasulullah).
Sementara  riwayat  lain  lagi  memberitakan   bahwa   tokoh
(al-Mahdi)  yang  ditunggu-tunggu  itu  berasal  dari  suatu
kampung  yang  bernama  "Kara'ah,"  atau   "Kadi'ah,"   atau
"Karimah."   Golongan   Ahmadiyah   memandang  nama  kampung
tersebut di atas adalah kampung kelahiran al-Mahdi al-Ma'hud
(Mirza  Ghulam  Ahmad),  artinya,  bahwa  tokoh al-Mahdi itu
dilahirkan di luar kota Mekkah dan Madinah.
 
Pernyataan hadis-hadis Mahdiyyah yang kontroversial  seperti
itu  menunjukkan  banyaknya  motif yang timbul dari berbagai
kelompok Muslim yang sedang bersaing  dan  berlomba  merebut
pengaruh,  dengan  menyebarkan  berita-berita akan munculnya
seorang tokoh al-Mahdi  atau  Juru  Selamat,  sesuai  dengan
kepentingan  dan  tujuan  masing-masing.  Tokoh  itulah yang
diisukan sebagai orang yang  akan  membebaskan  mereka  dari
tindakan   kezaliman   dan   penindasan   dari   lawan-lawan
politiknya. Seandainya kepemimpinan  seorang  khalifah  yang
berwibawa,  adil, memiliki kesanggupan berkorban, dan selalu
berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak dan melindungi
mereka  dari  berbagai  macam  ancaman  bahaya,  sebagaimana
pernah dilakukan oleh kedua Khalifah  Abu  Bakr  dan  'Umar,
sehingga  kestabilan  politik,  ekonomi,  dan keamanan tetap
terjamin,  kesatuan  dan   persatuan   ummat   Islam   dapat
dipertahankan,  tentulah  paham  Mahdi  atau Mahdiisme tidak
akan  muncul  secepat  itu.  Dimana  kemunculan  paham   ini
didorong   oleh  timbulnya  keresahan  dan  kerawanan  dalam
berbagai bidang kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya
protes-protes  sosial  yang sulit dihindarkan. Dalam situasi
yang demikian itulah timbul keinginan masyarakat  luas  yang
mendambakan  sosok pimpinan yang dapat mengayomi kepentingan
dan   ketenteraman   mereka,    dari    berbagai    tindakan
kesewenang-wenangan   oleh   para   penguasa   yang   sedang
memerintah.
 
Dengan demikian landasan ideal paham Mahdi tersebut bukanlah
didasarkan  atas  kepentingan  agama  tetapi,  pada mulanya,
lebih bersifat politis. Kemudian para  pendukung  paham  ini
sedikit  demi  sedikit membalut kepentingan politik tersebut
dengan kepentingan  yang  bersifat  keagamaan,  dan  barulah
kemudian  bermunculan  hadis-hadis  Mahdiyyah dalam berbagai
versinya.  Dan  pada  akhirnya  tampaklah  paham  Mahdi  ini
sebagai  paham  keagamaan,  apalagi  sesudah banyak diantara
hadis-hadis Mahdiyyah  ini  secara  kurang  selektif  dimuat
dalam   kitab-kitab   Sunan.  Mengapa  sampai  terjadi  yang
demikian? Barangkali salah satu faktor  penting  yang  perlu
dicatat  adalah,  bahwa  agama  merupakan  alat paling ampuh
untuk meyakinkan masyarakat luas terhadap ide-ide kemahdian.
Yang  dikaji  adalah  bahwa  teks-teks  hadis Mahdiyyah pada
umumnya identik dengan  teks  bagian  akhir  pernyataan  Ibn
Saba',  yang  tidak mempercayai kematian 'Ali ibn Abi Talib,
sewaktu berita itu sampai ke telinganya.
 
1. HADIS MAHDIYYAH DAN IDENTITAS KELOMPOK
 
Dari  fenomena  tersebut  di  atas  munculah  dalam  gerakan
politik  Syi'ah  pengkultusan pribadi 'Ali ibn Abi Talib dan
keturunannya. Karena sikap pengkultusan ini,  penulis  Barat
seperti  Dozy  menilai kaum Syi'ah dalam berbagai tradisinya
banyak  dipengaruhi  oleh  budaya  Persia,   dimana   rakyat
memandang raja memiliki hak-hak istimewa yang harus dipatuhi
dan diikuti seperti halnya  Tuhan.  Demikian  pula  golongan
Syi'ah memandang 'Ali dan keturunannya atau imam-imam mereka
sebagai  memiliki  kema'suman  (suci  dari  dosa),  sehingga
ketundukan  mereka  kepada  seorang  imam tidak jauh berbeda
dengan ketundukan mereka kepada seorang rasul.
 
Dalam hubungan ini Ihsan Ilahi  Zahir,  berkesimpulan  bahwa
sikap  pengkultusan  kaum  Syi'ah terhadap imam-imam mereka,
bermula sejak  masuknya  unsur-unsur  Yahudi,  Nasrani,  dan
Majusi  (agama  Persia  kuno)  ke  dalam Islam. Akan tetapi,
unsur yang paling  dominan  dalam  tradisi  Syi'ah  tersebut
adalah  unsur kepersiaan, terutama dalam pengkultusan mereka
terhadap para imam.3
 
Fenomena  tersebut,  tampaknya  juga  mewarnai   hadis-hadis
Mahdiyyah,  di  mana  dinyatakan  bahwa  pasti  ada diantara
keturunan 'Ali  atau  Ahlul-Bait  yang  akan  bangkit  untuk
menegakkan  kembali kejayaan Islam, setelah mereka mengalami
kekalahan yang serius, terutama  untuk  menegakkan  keadilan
dan  membasmi  kejahatan.  Dengan demikian, wajarlah apabila
kaum Syi'ah sangat mendambakan hadirnya seorang Juru Selamat
yang  dapat  membebaskan  mereka dari berbagai kezaliman dan
dapat mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa  tunggal
di  dunia  Islam.  Di  kalangan Syi'ah Iran umpamanya, dalam
paham kemahdiannya, nampak diwarnai oleh perasaan dendam dan
cemburu  terhadap  penguasa  Arab,  sehingga  tidak mustahil
antar kedua bangsa itu akan selalu timbul perselisihan  yang
diikuti dengan tindak kekerasan dan reaksioner.
 
Perasaan tersebut sangat boleh jadi dipengaruhi oleh sejarah
bangsa itu (Iran) sendiri. Di satu  pihak,  mereka  mencapai
puncak  kejayaan  dan  merasa  sebagai  bangsa nomor satu di
dunia,  akan  tetapi  di  pihak  lain,  mereka  juga  pernah
dikalahkan  bangsa  Arab  (tentara  Islam  di bawah pimpinan
Khalifah 'Umar ibn Khattab). Tentunya oleh Khalifah,  mereka
yang  telah  memeluk  Islam, diperlakukan sama dengan Muslim
lainnya  tanpa  dibeda-bedakan  satu   dengan   yang   lain.
Barangkali  saja  bangsa  Iran  ini  dianggap sebagai bangsa
asing  atau  'Ajam,  sehingga  karenanya  kedudukan   mereka
disejajarkan dengan kedudukan kaum mawali (bekas budak) atau
sebagai masyarakat kelas  dua.  Dengan  demikian,  perlakuan
dinasti  Umayyah  terhadap  bangsa  Persia yang bertentangan
dengan semangat  ukhuwwah  Islamiyyah  yang  diajarkan  oleh
Nabi,  tampaknya  merupakan  faktor yang mendorong timbulnya
rasa  dendam  bangsa  Persia  terhadap  bangsa  Arab  hingga
sekarang.
 
                                            (bersambung 2/4)
 
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team