Selamat Jalan Guru Bangsa
Oleh: Elly Roosita
Kompas
Cetak Online, Selasa 30 Agustus 2005
Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daunnya lebar
membuat anaknya tidak kebagian sinar matahari. Bambu lain
rela telanjang asal anaknya, rebung, pakaiannya
lengkap.
Metafora itu berulang kali dilontarkan cendekiawan
Nurcholish Madjid (66) dalam berbagai kesempatan.
Mengingatkan bangsa ini betapa pentingnya menunda kesenangan
untuk hari esok yang lebih baik. Menahan diri dari kemewahan
dan mementingkan pendidikan. Bila perlu orangtua
melarat, tapi anaknya sekolah dengan baik,
pesannya.
Cak Nur tidak hanya berpesan, tetapi menyatakannya dalam
kehidupan. Kedua anaknya melanjutkan pendidikan ke Amerika
Serikat hingga jenjang master. Kesederhanaan melekat kuat
dalam keseharian kehidupannya.
Sikapnya yang lurus tidak terbawa arus, ajaran-ajaran
bijak yang disuarakannya melintasi agama, usia, dan
kelompok, menjadikannya tempat bertanya berbagai kalangan
masyarakat. Sikap pendidiknya membuat siapa pun berdialog
dengannya merasa pintar. Kini, itu tinggal kenangan. Tidak
akan ada lagi ajaran bijaknya, juga kritik bernas yang
disampaikan dengan santun. Cak Nur, panggilan akrab
Nurcholish, telah menghadap Sang Khalik, pukul 14.05
kemarin.
Dalam kondisinya yang semakin lemah, Cak Nur meminta
Nadia, putrinya, membimbingnya membaca ayat suci Al Quran,
Surat Al-Fatihah, dan Al-Ikhlas. Papa melafazkannya
dengan baik sampai selesai. Setelah itu Papa sangat
tenang, tutur Nadia.
Tidak ada pesan khusus kepada keluarganya. Cuma,
sempat bilang mbok anak-anak belajar bahasa Arab supaya bisa
memahami Islam dengan benar, kata Mbak Omi, panggilan
akrab Omi Komariah, istrinya.
Cak Nur telah mengakhiri perjuangannya, selama lebih dari
satu tahun menghadapi sakit yang dideritanya, tanpa pernah
berkeluh kesah, setelah menjalani operasi transplantasi
hati.
Memberi inspirasi
Dia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi inspirasi
bagi bangsanya, dengan gagasan yang sering kali mendahului
zamannya. Tahun 1970, ketika semangat masyarakat berpartai
menggebu, putra sulung almarhum Abdul Madjid ini muncul
dengan jargon Islam Yes, Partai Islam No, untuk
melepaskan Islam dari klaim satu kelompok tertentu, dan
menjadi milik nasional. Namun, sedikit yang paham dengan
gagasan ini, menganggap Cak Nur mengembangkan
sekularisme.
Tahun 1980-an, Cak Nur mendorong terjadinya check and
balance dengan munculnya ide oposisi loyal. Guru besar
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini
juga melontarkan wacana Pancasila sebagai ideologi terbuka,
yang juga kembali menuai pro dan kontra.
Cak Nur tak pernah surut mengembangkan
intelektualitasnya. Lewat Paramadina, dikembangkan komunitas
intelektual dan merengkuh kelas menengah Muslim Indonesia
untuk lebih intensif mengkaji Islam.
Dengan caranya, Cak Nur membuka jalan terwujudnya
reformasi dengan menolak tawaran duduk di Komite Reformasi,
yang akan dibentuk Presiden Soeharto untuk menghadapi
tuntutan reformasi (1998). Penolakan itu meruntuhkan rencana
Soeharto bertahan sebagai presiden.
Kegundahan terhadap kehidupan politik bangsa mendorong
Cak Nur menyatakan siap mengikuti pemilihan presiden pada
Pemilu 2004, dan lahirlah 10 program membangun
Indonesia.
Banyak yang menyayangkannya karena akan
mengotori keberadaannya sebagai
nurani bangsa.
Saya harus melakukannya. Ini pembelajaran bahwa
proses (pemilu) dari awal harus bersih, transparan, dan
bukan sekadar berebut kekuasaan, tuturnya kepada
Kompas ketika itu.
Cak Nur banyak disalahpahami, tetapi dia tidak pernah
surut.
Selamat jalan guru bangsa....
Kepergian Setelah Mengabdi
Oleh: Abdurrahman
Wahid
Kompas
Cetak Online, Selasa 30 Agustus 2005
Seorang lagi dari deretan tokoh-tokoh kita telah
meninggalkan lingkungan, setelah lama menderita sakit: Dr
Nurcholish Madjid.
Banyak sekali orang yang merasa kehilangan dengan
kepergiannya pada usia 66 tahun itu. Padahal, itu adalah
usia yang mencerminkan kematangan hidup, terlebih-lebih pada
masa penuh kesalahpahaman dan salah pengertian satu sama
lain, terkadang diwarnai oleh ledakan bom dan
lemparan granat.
Ada perbedaan faham yang fundamental antarsesama warga
gerakan Islam dan hampir selalu berakhir pada hilangnya
toleransi dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
Nurcholish Madjid atau Cak Nur tetap konsisten dengan
gaya hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Ia tetap
mempergunakan cara-cara menolak pemakaian kekerasan. Ia
dimaki-maki oleh begitu banyak orang sehingga sangat lucu
melihat bagaimana ia dimaki-maki dan diumpat-umpat untuk
berbagai dosa yang tidak pernah
dilakukannya.
Bahkan, setelah ia meninggal pun, masih ada orang yang
menganggapnya ia melakukan hal-hal yang tidak pernah
dikerjakannya selama hidup. Cercaan dan umpatan seperti itu
sudah menjadi hal yang biasa di telinganya sewaktu ia hidup.
Bahkan, setelah meninggal, masih ada yangkarena
kekerdilan jiwamengatakan secara lisan bahwa ia
seharusnya sudah bertobat. Padahal, yang
seharusnya melakukan hal itu bukanlah Cak Nur, melainkan
orang itu sendiri. Bukankah kitab suci Al Quran memuat salah
satu sifat Allah. Kemampuan memberikan maaf kepada siapa pun
untuk kesalahan apa pun.
Di sinilah terletak kebesaran Cak Nur. Ia berhasil
mendidik kaum Muslimin pada umumnya bahwa sifat yang seperti
itulah yang harus dikembangkan terus dalam kehidupan
mereka.
Apakah artinya ini? Artinya, bahwa kita semua harus
mengikuti teladan yang diperlihatkannya itu. Bahwa hampir
seluruh kaum Muslimin di negeri ini bersikap demikian, itu
adalah bukti bahwa Cak Nur telah berhasil dengan
pendidikannya itu. Ia yang lahir di Desa Mojoduwur,
Kecamatan Bareng, di Jombang, Jawa Timur, itu akhirnya
menjadi contoh bagi semua warga bangsa yang berjumlah lebih
dari 210 juta jiwa itu (menurut hitungan Prof Dr Prijono
Tjiptoherijanto)
Kita belum lagi berbicara tentang Islam sebagai bidang
kajian, tempat Cak Nur menghabiskan umur, sebagai ilmuwan.
Ia tidak mau berkompromi dengan politik sama sekali. Orang
boleh berbicara di sinilah terletak kekuatan Cak Nur, atau
sebaliknya menganggap itulah titik lemahnya.
Bagi penulis, hal itu tidak penting benar karena ia tidak
menjadi besar atau kecil dalam hal ini. Ia akan tetap diakui
sebagai salah satu pemegang otoritas studi keislaman
(Islamic studies) di negeri kita.
Tentu saja ia punya sederet kesalahan karena ia adalah
seorang anak manusia, tetapi kesalahan-kesalahan itu
tidaklah memudarkan namanya (atau menurunkan nilai
dirinya).
Ia adalah orang besar karena ia memang demikian. Kini ia
telah tiada, dan menjadi kewajiban kita untuk mengembangkan
nurcholish-nurcholish baru. Hanya dengan cara demikian kita
patut disebut pengikut Cak Nur di masa hidupnya.
Orang-orang lain, termasuk mereka dari garis
kekerasan, adalah orang yang ditinggalkan oleh
perkembangan Islam, dan akan pudar dengan sendirinya ditelan
masa.
Hari-hari Terakhir Cak Nur
Oleh: Komaruddin Hidayat
Kompas
Cetak Online, Selasa 30 Agustus 2005
Senin, 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426,
pukul 14.05 WIB, Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak
Nur kembali ke pangkuan Ilahi. Sejak Cak Nur operasi lever
di China, dirawat di rumah sakit Singapura, sampai perawatan
intensif di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, teman-teman
Cak Nur berdatangan memberikan doa dan dukungan moril.
Sejak dari Presiden RI, tokoh-tokoh lintas agama, aktivis
LSM, jajaran intelektual, dan politikus datang silih
berganti. Ini menunjukkan posisi, kiprah, dan pengaruh Cak
Nur yang amat inklusif, bukan sekadar tokoh pergerakan
Islam, tetapi pejuang kemanusiaan dan kebangsaan.
Spirit keindonesiaan dan humanisme Cak Nur tak diragukan
lagi. Hal ini muncul sebagai buah penghayatan dan keyakinan
akan ajaran Islam. Karya-karya tulis Cak Nur menunjukkan
perhatian yang amat besar bagi tumbuhnya demokrasi modern di
Indonesia dengan dasar nilai-nilai keislaman. Di sinilah
sumbangan pemikiran Cak Nur yang besar dan orisinal.
Persoalan bangsa
Berbagai teori ilmu sosial dan filsafat yang dipelajari
ujungnya diberi nilai dan fondasi keislaman, diambil dari Al
Quran dan khazanah Islam klasik. Pemahaman dan sikap Cak Nur
yang demikian sering disalahpahami sebagian tokoh Islam lain
yang sering dikategorikan pendukung faham skripturalis
beraliran keras.
Ahad malam lalu saya menemuinya di rumah sakit. Apa yang
dipikirkan Cak Nur masih menyangkut persoalan bangsa. Omi
Komaria, istrinya, sempat merekam sebagian yang disampaikan
Cak Nur di pembaringan. Dia selalu menyampaikan
keprihatinannya tentang kondisi bangsa yang telah membuat
rakyat sengsara. Yang harus selalu kita lakukan adalah
bagaimana membahagiakan orang lain, kata Omi menirukan
Cak Nur.
Membangun peradaban dan demokrasi tidak mungkin terwujud
tanpa suasana damai dan taat hukum, pesan Cak Nur yang
diulangi kembali oleh Nadia yang sengaja datang dari
Washington.
Suatu hal yang membuat para dokter perawatnya heran,
semangat hidup Cak Nur amat tinggi, mengalahkan kepedihan
sakit fisiknya. Cak Nur tidak pernah mengeluhkan sakitnya
dan tidak pernah membantah nasihat dokter. Bahkan, Cak Nur
sendiri yang sering menghibur istrinya untuk bersabar karena
apa yang dideritanya belum seberapa dibanding apa yang
menimpa para rasul Allah.
Matanya selalu berbinar saat bicara tentang kondisi
bangsa dengan teman-teman dekatnya. Hingga Senin pagi
kemarin Cak Nur dengan cerah masih bicara dengan teman-teman
yang menjenguknya, ada Ginandjar Kartasasmita, Try Sutrisno,
dan Imaduddin Abdurrahim. Kepada anaknya, Nadia dan Mikel,
serta menantunya, David, Cak Nur berpesan agar mendalami
bahasa Arab. Tanpa penguasaan bahasa Arab yang baik akan
menemui banyak kesulitan saat memahami Islam.
Pesan lain sebelum ajal yang disampaikan pada Nadia dan
David, ajaran Al Quran milik semua bangsa, jangan dimonopoli
oleh umat Islam. Tunjukkan kepada dunia, Islam ajaran
perdamaian dan kemajuan, bukan mengajarkan kekerasan.
Seorang demokrat
Sejak mengenal dekat Cak Nur di Yayasan Paramadina akhir
1990, banyak sekali kesan dan pelajaran yang saya peroleh.
Antara lain, dia betul-betul seorang demokrat. Dia akan
menghargai pendapat siapa pun meski berseberangan asal
disampaikan dengan beradab, jangan memaksa orang lain untuk
menerimanya. Kalau tidak keterlaluan, Cak Nur hampir tidak
pernah menjelekkan pribadi orang. Semua temannya dipuji,
terlebih jika ada anak muda yang suka menulis baik di surat
kabar maupun buku, biasanya Cak Nur akan memberi apresiasi
secara terbuka. Dia itu hebat, amat potensial, calon
pemikir masa depan, adalah ungkapan yang sering saya
dengar.
Karena sulit berkata tidak dan selalu ingin
menggembirakan semua pihak, Cak Nur diterima dan disenangi
semua pihak. NU maupun Muhammadiyah menerima kehadirannya,
bahkan kalangan non-Muslim pun merasa dekat dan memperoleh
pengayoman Cak Nur. Sikap inklusif inilah yang sering
menimbulkan salah paham terhadap dirinya. Di mata umat Islam
beraliran keras, Cak Nur dianggap lemah dan terlalu toleran
kepada agama lain. Di mata pemeluk agama lain, Cak Nur
dianggap santri tulen yang menyebarkan Islam secara sejuk,
intelek, dan simpatik.
Warisan ijtihad politik Cak Nur yang amat fenomenal
adalah saat menawarkan pemikiran: Islam Yes, Partai
Politik Islam No tahun 1970-an. Saat itu partai
politik hampir disakralkan bagai agama sehingga umat Islam
wajib masuk partai politik berbasis Islam. Padahal, kondisi
dan perilaku elite partai saat itu tidak mencerminkan akhlak
mulia sehingga banyak umat Islam alergi pada parpol.
Untuk mendobrak kejumudan umat dan agar Islam tidak
selalu diidentikkan dan dipersempit kiprahnya dengan gerakan
parpol yang pengap serta sibuk berebut jabatan, Cak Nur
mengusung gerakan Islam kultural dengan jargon: Islam
Yes, Partai Politik No.
Hemat saya, pemilu tahun lalu menunjukkan, pemikiran Cak
Nur tahun 1970-an masih relevan, bahwa perjuangan Islam
tidak bisa dihadapkan dengan agenda pembangunan demokrasi
dan bangsa sehingga jika parpol Islam dan dakwah Islam ingin
maju, harus ditopang kekuatan moral-intelektual serta
keseriusan dan kesanggupan memecahkan problem bangsa serta
menciptakan perdamaian.
Selamat jalan Cak Nur! Bukankah Cak Nur pernah
mengajarkan kepada saya, kematian adalah hari wisuda untuk
memasuki tahapan hidup lebih tinggi? Bukankah kematian tak
ubahnya pulang mudik ke kampung halaman Ilahi yang lebih
membahagiakan?
Komaruddin Hidayat: Anggota Dewan Guru Besar
Universitas Paramadina; Mantan Direktur Eksekutif Yayasan
Paramadina
Selasa, 30 Agt 2005, http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=5505
Wasiat Terakhir Cak Nur
Oleh Utomo Dananjaya *
Enam hari sebelum berangkat berobat ke China, Cak Nur
menulis surat kepada teman-teman pendukung Yayasan Wakaf
Paramadina. Surat itu berupa usul pengadaan usaha penyegaran
yayasan dan peremajaan para pendukung keorganisasiannya.
Untuk sebagian orang, surat itu dianggap sebagai wasiat
terakhir yang menggetarkan hati, yang menerima surat
tersebut dan melihat kondisi kesehatan Cak Nur di China dan
kemudian di Singapura.
Apa yang dimaksud Cak Nur dengan penyegaran rupanya dapat
dibaca pada lampiran surat tersebut berjudul: Wawasan
Paramadina dan Saran-Saran Penyegaran Keorganisasian Lebih
Lanjut.
Tentang wawasan Yayasan Wakaf Paramadina, Cak Nur
menjelaskan bahwa yayasan merupakan lembaga yang dimaksudkan
untuk mengemban dan mendorong kebebasan wacana, baik terbuka
maupun tertutup, tanpa menjadi partisan eksklusif untuk
suatu pendapat dari wacana bebas tersebut. Alasan Cak Nur
bahwa kebebasan adalah hak dan anugerah primordial atau
primeval dari Sang Maha Pencipta, sebagaimana dilambangkan
dalam cerita kosmis ketika Tuhan mempersilakan Adam dan Hawa
masuk ke dalam surga (QS, 2: 35).
Dalam pidato peresmian Kampus Universitas Paramadina dan
setiap membuka pra-training mahasiswa baru, Cak Nur selalu
menjelaskan bahwa Universitas Paramadina menyelenggarakan
pendidikan dengan semboyan berdasar pada kitab dan hikmah
seperti tercantum dalam QS 4: 113. Dalam proses
pembelajaran, dosen dan mahasiswa memerlukan semangat
kebebasan untuk punya keberanian menerobos batas.
Cak Nur sering mengungkapkan, hikmah atau ilmu adalah
temuan para cerdik pandai dan menjadi kekayaan peradaban
kemanusiaan. Sebuah temuan adalah terobosan dari temuan
sebelumnya. Demikianlah terobosan demi terobosan diciptakan
menjadi etos cendekiawan. Terobosan hanya mungkin terjadi
oleh keberanian menembus batas.
Universitas Paramadina yang baru lahir delapan tahun lalu
diharapkan membangun budaya penemuan ilmiah. Universitas
memuliakan penelitian dan discovery. Mahasiswa dan dosen
bukan hanya belajar, tetapi juga melakukan penelitian, dan
diharapkan mencapai prestasi ilmiah tertinggi.
Inilah yang dirumuskan sebagai universitas yang
menawarkan pilihan atau alternatif. Yang dimaksud adalah
budaya universitas berbeda dari budaya konvensional
universitas di Indonesia. Hal ini dititipkan sebagai
tantangan kepada sivitas akademika Universtas Paramadina.
Kepada pimpinan dan dosen pesan ini diarahkan. Bahkan,
kepada mahasiswa yang menjadi salah satu faktor untuk
membangun budaya baru akademis.
Dengan kebebasan positif itu, kata Cak Nur, manusia akan
berkesempatan berkenalan dengan berbagai pendapat. Manusia
dipujikan Allah untuk mendengarkan dan memperhatikan
berbagai pendapat itu, kemudian memilih mana yang terbaik.
"Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang
mendengarkan pendapat, kemudian mengikuti yang terbaik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk
Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berpengertian
mendalam." (QS 39: 18).
Firman inilah yang menjadi dasar pandangan pluralisme
yang dalam pengertian Cak Nur adalah mengakui perbedaan dan
kesediaan bergaul secara beradab, dengan mau mendengar,
menghormati pendapat orang lain, walaupun tidak
sependapat.
***
Dalam sebuah diskusi seorang cendekiawan muda mengritik
Cak Nur berdasarkan pendapat seorang ahli. Cak Nur memuji
cendekiawan muda itu sebagai orang yang punya disiplin
ilmiah dengan mendasarkan pendapatnya pada pandangan seorang
ahli. Kemudian, Cak Nur menyampaikan pendapatnya
sendiri.
Cendekiawan muda ini sesumbar bahwa dia telah menundukkan
Cak Nur dengan pendapatnya. Begitu pluralisnya, dalam arti
sopan dan santunnya Cak Nur sehingga cendekiawan ini merasa
Cak Nur telah menerima keyakinannya.
Begitulah pluralisme diejawantahkan dalam pergaulan.
Lawan yang tidak sependapat pun merasa menghormati
pendapatnya, bahkan merasa pendapatnya diterima Cak Nur.
"Inilah makna pluralisme," kata Cak Nur.
Karena prinsip kebebasan itu, Paramadina bukanlah
perkumpulan sektarian, yang secara eksklusif mendukung
pendapat tertentu. Lebih-lebih Paramadina bukanlah gerakan
kultus. Paramadina mendorong orang untuk dengan bebas
mengembangkan dan mendengar pendapat. Kemudian, setiap orang
bebas pula memilih yang terbaik di antaranya dengan
bertanggung jawab dan tulus mengikuti suara hati nurani.
Tanggung jawab setiap orang di akhirat adalah bersifat
pribadi mutlak, tanpa ada jual-beli, persahabatan (kullah)
ataupun perantara (syafaah). (lihat: QS 2: 254).
***
Cak Nur meninggal dunia ketika orang takut kebebasan dan
keberagaman (liberal dan pluralisme). Pesan Cak Nur kepada
teman-teman pendukung Paramadina bisa juga menjadi seruan,
sekaligus penjelasan bahwa paham kebebasan dan pluralisme
adalah hak dan anugerah primordial dari Sang Maha
Pencipta.
Seorang Nurcholish Madjid, jejak pendapatnya selalu segar
dan relevan. Bukan dan tak perlu diterima sebagai yang
paling benar, tetapi patut direnungkan, dipertimbangkan
untuk menjadi pilihan hati nurani. Semoga menjadi amal soleh
yang diterima Allah.
*. Utomo Dananjaya, pengajar pada Universitas Paramadina
di Jakarta, dikenal sebagai teman dekat Cak Nur saat
mencetuskan Gerakan Pemikiran Keislaman pada 1970.
Selasa, 30 Agt 2005, http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=5506
Dimakamkan saat Ultah Pernikahan
JAKARTA-
Hari ini, 36 tahun silam, Nurcholish Madjid muda resmi
mempersunting Omi Komariah. Pada 30 Agustus 1969 itu, mereka
berdua menikah di Madiun, Jawa Timur. Tepat tanggal ini
pula, Omi mengantarkan sang belahan hatinya itu ke tempat
peristirahatan terakhir di TMP Kalibata, Jakarta
Selatan.
Memang, pemakaman Cak Nur hari ini bertepatan dengan
ulang tahun pernikahannya. Selain meninggalkan Omi, Cak Nur
juga meninggalkan dua buah hatinya, Nadia Madjid dan Mikail
Madjid.
Cak Nur -demikian mantan ketua PB HMI itu biasa
dipanggil- mengembuskan napas terakhir pukul 14.05 WIB di RS
Pondok Indah dalam usia 66 tahun. Hari ini, jenazah
cendekiawan muslim itu dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.
Tadi malam, jenazah pendiri Yayasan Paramadina itu
disemayamkan di kampus Universitas Paramadina. Keluarga,
kawan dekat Cak Nur, dan tokoh nasional terus berdatangan
untuk bertakziah. Termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan Wapres Jusuf Kalla. Presiden dan Wapres juga menyalati
jenazah tokoh yang dikenal karena pemikiran-pemikirannya
tentang Islam yang moderat dan pluralis itu.
Sebelum meninggal, Cak Nur menyampaikan isyarat
terakhirmya kepada sang istri tercinta, Omi Komaria. Sabtu
pagi, Omi yang menunggui Cak Nur di rumah sakit tiba-tiba
merasa gelisah. Tapi, wanita 50 tahun itu tak tahu
sebabnya.
Omi semakin gelisah saat memandikan Cak Nur sekitar pukul
07.00. Ketika itu Cak Nur memberi tahu Omi agar
bersiap-siap. Cak Nur mengatakan, ada mukhtadin (orang-orang
pilihan, Red) yang akan datang. "Kakak (Omi, Red) langsung
bertanya, siapa mukhtadin yang akan datang," ujar Nuri
Widyawati, adik Omi.
Dengan suara pelan, Cak Nur menjawab bahwa mukhtadin itu
adalah kiai dari Gontor. Omi bertanya lagi, siapa nama kiai
Gontor itu? "Almarhum bilang kiai Gontor itu bernama
Zarkasih," lanjutnya. Jawaban Cak Nur ini mengejutkan Omi.
Sebab, Kiai Zarkasih dari Pondok Pesantren Modern Gontor,
Jatim, itu sudah meninggal dunia.
Omi merasa ajal sudah semakin mendekati Cak Nur. Dia
mempunyai firasat Cak Nur akan meninggalkan dunia. Mukhtadin
tersebut datang untuk menjemput suaminya. Tapi, ibu dari
Nadia Madjid, 34 tahun, dan Ahmad Mikail Madjid, 32 tahun,
itu berusaha tetap tabah dan sabar. Dengan berat hati, Omi
kemudian bertanya kepada Cak Nur kapan mukhtadin-nya datang.
"Cak Nur hanya menjawab 5 sampai 10 jam," cerita Nuri.
Mungkin maksudnya mukhtadin itu diperkirakan datang 5 sampai
10 jam kemudian.
Selain berbicara tentang kedatangan mukhtadin, Cak Nur
juga bercerita bahwa dia melihat sebuah terowongan besar.
Kondisi terowongan itu, agaknya, tak terurus dan harus
direnovasi. "Malah Cak Nur bilang terowongan itu perlu
dirapikan," lanjut Nuri. Tapi, Cak Nur tidak menjelaskan
letak terowongan itu. Juga tidak disebut bagian yang perlu
dirapikan itu.
Tokoh asal Jombang tersebut juga berkata melihat daging.
Dia minta istrinya agar daging itu diberikan kepada orang
lain saja. Pihak keluarga berkesimpulan bahwa almarhum ingin
memperbanyak sedekah. "Kami sempat bingung almarhum mau
sedekah berupa barang atau uang," ucap perempuan 30 tahun
itu. Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Cak Nur sudah
bercerita arti sedekah.
Menurut Cak Nur, sedekah diambil dari kata shodaqoh.
Artinya, melakukan kebenaran. Caranya bisa dengan menanamkan
rasa benar kepada orang lain. Bisa pula dengan menanamkan
rasa suci kepada orang lain. Di akhir penjelasan, Cak Nur
mengatakan bahwa tindakan itu relevan dalam kehidupan.
"Keluarga langsung mengerti bahwa almarhum ingin kita
melakukan sedekah. Tak harus berupa uang atau barang, yang
penting ikhlas," tambahnya.
Menurut tim dokter RSPI, kondisi Cak Nur terus menurun
sejak kemarin pagi. "Bahkan, pukul 04.00, Cak Nur sempat
tidak sadar," ujar Direktur Medik RSPI dr Mus Aida.
Cak Nur dirawat di RSPI sejak 15 Agustus lalu. Saat itu,
keluhannya mual dan muntah. Dokter Widodo Suprapto, salah
seorang dokter yang merawat Cak Nur, mengatakan bahwa
kesehatan Cak Nur terus memburuk karena mengalami kegagalan
fungsi hati dan ginjal. Sebelumnya, 27 Juli 2004, Cak Nur
menjalani transplantasi hati (lever) di RS Taiping,
Guangzhou, China. "Kelainan hatinya kembali kambuh. Dan, ini
mengganggu fungsi fisik beliau, termasuk fungsi ginjal,"
katanya.
Istri dan kedua anaknya terlihat tabah dengan kepergian
Cak Nur. "Kami sudah ikhlas," ujar Omi dengan mata
berkaca-kaca. Menurut Omi, sebelum meninggal, Cak Nur sempat
berpesan kepada putra-putrinya, Nadia dan Mikail, agar
memperdalam belajar bahasa Arab. "Dengan berbisik, Bapak
mengatakan itu penting agar bisa memahami Al Quran,"
ujarnya.
Menjelang kepergiannya, Cak Nur meminta dibimbing membaca
surat Al Fatihah dan Al Ikhlas. Kemudian, Cak Nur mengatakan
ikhlas. Lalu, dia tersenyum lima kali sebelum pergi. "Saya
tidak menyangka kalau itu senyum terakhir Bapak," kata
Omi.
Para pelayat terus berdatangan untuk memberikan
penghormatan terakhir kepada Cak Nur. Selain Presiden SBY
dan Wapres Kalla, tampak Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid, Gus
Dur, Bagir Manan, Bachtiar Chamsyah, Akbar Tandjung, dan
Harmoko. Bersama ratusan pelayat lain, mereka bersalat
jenazah yang diimami Quraish Shihab.
Komaruddin Hidayat, sahabat Cak Nur yang juga melayat,
menyimpan kenangan mendalam terhadap pribadi almarhum. Dia
sangat terkenang dengan pertemuan terakhirnya. "Saya sempat
berkomunikasi dengan Cak Nur pada Minggu malam (29/8),"
ujarnya.
Saat itu, Komaruddin sudah berfirasat bahwa Cak Nur akan
meninggal. Sebab, beberapa kali Cak Nur menyebut nama
teman-teman serta kerabatnya yang sudah meninggal. "Kata
orang Jawa, itu tanda-tanda orang mau meninggal,"
katanya.
Salah satu nama yang disebut Cak Nur adalah almarhum KH
Zarkasi. Menurut dia, Zarkasi adalah tokoh yang secara
intelektual sangat berpengaruh pada pribadi Cak Nur. "Kiai
Zarkasi itu guru Cak Nur ketika mondok di Gontor," jelas
Komaruddin.
Yang membuat dia terharu adalah suara terbata-bata Cak
Nur saat menyampaikan analogi pohon pisang dan pohon asam.
Cak Nur menyatakan, pohon pisang adalah simbol semangat
juang yang tinggi, namun egois. Ia akan terus tumbuh sampai
berbuah, tapi hanya untuk dirinya. Sedangkan pohon asam,
meski berbuah kecil dan asam, ia mengayomi dan membuat teduh
semua di bawahnya.
"Bagi saya, beliau itu ibarat pohon asam yang meski
buahnya kecil, tapi bisa mengayomi banyak orang,"
ujarnya.
Wapres Jusuf Kalla mengucapkan turut berbelasungkawa atas
meninggalnya Cak Nur yang disebutnya sebagai tokoh umat dan
tokoh bangsa itu. Dalam diri Cak Nur, semua itu bersatu.
Sulit mencari bandingan tokoh tersebut.
Syafi'i Ma'arif juga merasa kehilangan. Mantan ketua PP
Muhammadiyah itu adalah karib Cak Nur semasa mereka
bersekolah di Chicago University, AS. Gus Dur pernah
menyebut Cak Nur, Syafi'i, dan Amien Rais sebagai Tiga
Pendekar dari Chicago. "Semoga Cak Nur khusnul khatimah. Ini
kehilangan yang berat bagi bangsa. Beliau adalah tokoh
moderat dan berprinsip. Bukan hanya cendekiawan muslim, tapi
juga cendekiawan Indonesia," tegasnya.
Syafi'i mendengar informasi meninggalnya Cak Nur saat
dirinya masih di Jogjakarta. Dia langsung terbang menuju
Jakarta tadi malam. "Beliau layak dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata. Ini kehilangan bangsa," ungkapnya.
Ketua MUI Umar Shihab mengatakan, "Kita kehilangan tokoh
yang punya pemikiran yang sangat baik mengenai umat Islam,
meskipun ada yang menggelitik tentang pandangannya. Tapi,
itu biasa."
Ketua PB NU Hasyim Muzadi mengungkapkan, Cak Nur adalah
seorang muslim yang mampu mengemas Islam dalam denyut
humanisme serta humanitas. Hal itu tidak banyak bisa
dilakukan orang. "Sehingga, yang disampaikan Cak Nur selalu
mengalir dan bisa disampaikan siapa pun. Pikiran Cak Nur
harus diteruskan," katanya.
Tokoh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini menjabat
Ketua MPR Hidayat Nurwahid mempunyai kenangan dengan Cak
Nur. Dia sempat tujuh hari tinggal bersama Cak Nur dalam
sebuah seminar di Riyahd beberapa saat lalu.
"Beliau tidak kikir dalam ilmu dan pengalaman. Inti pesan
dari Cak Nur, kita hidup di Indonesia yang plural. Hanya,
jangan sampai dengan dalih pluralisme, kita memaksakan
kehendak kepada orang lain," ujarnya. (abi/naz/ai)
Selasa, 30 Agt 2005, http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=187011
Mengenang Pembaruan-Islam Cak Nur
Oleh Ismatillah A. Nu'ad *
Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Nurcholish Madjid
(Cak Nur) kemarin berpulang ke rahmatullah. Bapak pembaruan
pemikiran Islam itu meninggal dunia pada usia 66 tahun.
Mengenang sosok almarhum tidak bisa dipisahkan dari
munculnya gerakan pembaruan pemikiran Islam pada 35 tahun
silam. Mengenang gerakan itu kurang pas jika tak menyebut
nama besar Cak Nur. Mengabaikan Cak Nur sama seperti garam
tanpa asin.
Dia dinisbatkan sebagai gerbong pembaruan karena pada
awal dekade 70-an menggelontorkan gagasan
rasionalisasi-agama sebagai jargon dari gerakan
pembaruan-Islam. Pada acara halalbihalal organisasi muda
Islam, Cak Nur memberikan ceramah berjudul Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat di
Jalan menteng Raya No 58, Jakarta Pusat. Gagasan yang
ditebarkan cukup menggetarkan karena tak lazim. Dia bicara
soal rasionalisasi, sekulerisasi, desakralisasi,
modernisasi-Islam, dll.
Menurut Cak Nur, sekulerisasi berarti
rasionalisasi-agama, dalam arti mengartikulasi pesan-pesan
moral agama pada tataran realitas kehidupan. Sementara itu,
modernisasi tidaklah identik dengan westernisasi, tetapi
merupakan spirit yang hendaknya memacu umat Islam untuk
berbuat seperti dalam kemajuan-pencerahan yang terjadi di
Barat (Tarekat Nurcholisy: 2001).
Gagasan-gagasan itu kemudian mendapatkan kritik dan
serangan bertubi-tubi dari kelompok skripturalis-tekstualis
muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah. H M.
Rasjidi merupakan salah satu pentolannya. Rasjidi adalah
seorang sarjana muslim dari Universitas di Prancis dan
penerjemah buku-buku bahasa Prancis ke dalam bahasa
Indonesia.
Sebaliknya, kritik bertubi-tubi tak membuat surut Cak
Nur. Gagasannya di awal 1970-an, misalnya, dipertegas lagi
setelah Cak Nur merampungkan studi di Universitas Chicago
awal dekade 80-an.
Pada saat itu, Cak Nur banyak menawarkan pendekatan baru
yang dianggap "tak lazim" dalam ajaran Islam, yaitu
kesemuanya lahir dari tafsir dan konsekuensi terhadap
gagasan rasionalisasi-agama. Sebuah gagasan R. William
Liddle (1995) yang mereduksi dari Robert N. Bellah, seorang
sosiolog-agama kenamaan dari Amerika. Gagasan itu, menurut
Liddle, dielaborasi Cak Nur dalam makalah kerjanya ketika
berada di perjalanan dari Chicago.
***
Setelah pulang dari Chicago, lantas banyak kalangan
skripturalis-tekstualis muslim yang merasa tak salah menduga
bahwa Cak Nur memang agen orientalis. Sebab, kampus Chicago
di dunia Islam terkenal sebagai sarang para orientalis
kenamaan, seperti Wilfred Cantwell-Smith, Marshal G. S.
Hodgson. Selain itu, di sana juga ada pemikir muslim yang
menjadi gerbong modernisasi dan pembaruan-Islam karena
mendekati agama dengan jalan rasional, seperti Fazlur
Rahman.
Cak Nur, sebagai salah satu mantan murid Rahman, seperti
juga Amien Rais dan Syafii Maarif, secara otomatis mengikuti
gaya pemikiran Rahman yang rasional. Tampaknya dari Rahman
itulah, bukan dari Bellah seperti pendapat Liddle, Cak Nur
mendapat inspirasi awal mengenai gagasan rasionalisasi
agama.
Gayung pun bersambut. Cak Nur rupanya tak hanya dikritik.
Namun, banyak pula sambutan hangat yang datang dari
kalangan-kalangan yang sepaham dengannya. Kalangan yang
sepaham itu, pada substansinya, adalah orang-orang yang
tidak mau lagi memahami Islam secara mainstream dan selama
itu dianggap otoritatif.
Pendekatan terhadap Islam nonmainstream yang dianggap tak
otoritatif itu, ternyata, lebih menyegarkan dan relevan
dengan gejolak pemikiran-pemikiran liar di kalangan aktivis
muda Islam khususnya. Keliaran pemikiran terjadi akibat
persinggungan tradisi dan khasanah pemikiran modern dari
Barat.
Pengikut Cak Nur yang setia dan paling awal datang dari
kalangan aktivis-muslim, katakanlah seperti Djohan Effendi,
M. Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Adi Sasono, Eki
Syachrudin dan orang-orang yang pernah bergabung di Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) atas latar pemikiran yang sejalan
dengan Cak Nur.
Mereka dikatakan seperti itu karena tak sedikit juga di
HMI yang tak sejalan dengan gagasan-gagasan pembaruan Cak
Nur. Oleh Greg Barton (1999) kemudian dipilah orang-orang
yang masuk kelompok neomodernis dan orang-orang yang
dikategorikan substansialis. Namun, keduanya sama-sama
memperjuangkan gerakan pembaruan-Islam di Indonesia.
Kelompok neomodernis dinisbatkan karena telah memperbarui
kalangan modernis-muslim yang menggelontorkan gagasan
modernisasi-Islam. Tokohnya adalah Fazlur Rahman. Kelompok
neomodernis, menurut Barton, terbentuk karena mereka tak
hanya punya akses dalam khasanah tradisi intelektual
Barat-modern. Namun, juga punya akses yang cukup luas dari
khasanah tradisi klasik-pesantren.
Kelompok substansialis, menurut Barton, punya akses besar
terhadap khasanah intelektual Barat-modern, tapi kurang
mendapatkan akses khasanah intelektual klasik-Islam.
Kelompok neomodernis diwakili oleh orang seperti Cak Nur
sendiri, kemudian Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yang mewakili
kelompok substansialis adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono,
dll.
***
Dalam perjalanannya, gerakan pembaruan-Islam Cak Nur
dianggap bukan suatu barang baru. Sebab, lama sebelum Cak
Nur memelopori gerakan pembaruan, Muhammadiyah sebagai salah
satu ormas Islam terbesar juga mengklaim sebagai gerakan
pembaru.
Kategori umum mengenai gerakan pembaruan lantas juga
merujuk pada gerakan salafi-Wahabi di Arab yang kemudian
membentuk Kerajaan Saudi pengklaim penjaga dua kota suci
Makkah-Madinah. Jika dirujuk masa awalnya, gerakan pembaruan
dipelopori Rifaat Tahtawi, Jamaluddin Afghani, Muhammad
Abduh, dan Rasdyid Ridha di Mesir.
Menurut Thoha Hamim, ciri umum gerakan pembaruan, antara
lain, kembali kepada ajaran Quran, sunnah, dan tradisi
salaf, menolak praktik-praktik taklid (ittiba),
berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam
secara aktual, dan yang paling menonjol tentu saja memerangi
bidah dan khurafat. (Thoha Hamim, Moenawar Chalils
Reformist Thought, 2000)
Memang, geneologi gerakan pembaruan beserta ciri umumnya
itu turut serta menginspirasi gerakan pembaruan Cak Nur.
Namun, untuk menggeneralisasi kesamaan secara menyeluruh
juga tak dapat dibenarkan. Jadi di sini, model pembaruan di
Mesir berbeda dengan pembaruan ala Wahabi di Arab Saudi,
begitu pula pembaruan ala Wahabi berbeda dengan Muhammadiyah
di Indonesia. Akhirnya, gerakan pembaruan Muhammadiyah
berbeda pula dengan pembaruan Cak Nur.
Meski semua gerakan pembaruan itu mengklaim pewaris
generasi salafi, salafi di Arab Saudi berbeda dengan salafi
Muhammadiyah. Jika salafi di Arab Saudi berarti Wahabisme
fanatik, radikal, dan tak toleran serta tak akomodatif
dengan mazhab di luar mazhab Wahabi itu sendiri, salafi
Muhammadiyah justru sebaliknya. Yakni, bersifat moderat,
tradisional, dan akomodatif-demokratis.
Bahkan, organisasi terbesar lainnya, seperti Nahdlatul
Ulama (NU) "saudara kandung Muhammadiyah" tak hanya
akomodatif, tapi juga oportunis dalam soal komparasi mazhab
fikih.
Berbeda jauh dengan itu, salafi pembaruan Cak Nur bahkan
melampaui salafisme Muhammadiyah maupun NU sekalipun. Salafi
pembaruan Cak Nur lazimnya bersinggungan dengan modernitas
Barat yang didapat dari hasil persinggungan dengan dunia
akademis-nontradisional.
Karena pembaruan Cak Nur lahir dari kampus, maka
konsekuensinya, dalam jumlah masif, banyak "Cak Nur muda" di
masa sekarang yang mengikuti jejak langkahnya. Dalam
pelbagai warna, pembaruan Cak Nur ditafsirkan oleh mereka
sehingga lahir pula tafsir yang lebih mengerucut terhadap
pembaruan Cak Nur, entah mereka yang kemudian menamakan
kelompok postradisionalisme-Islam (Postra), Islam-liberal
(Islib) maupun Islam-progresif.
Yang jelas, pembaruan Cak Nur dikatakan cukup berhasil
karena tak hanya memperkenalkan model rasionalitas berpikir
dalam mendekati agama, tapi juga berhasil mengelaborasi,
mendemonstrasi, dan mengaktualisasikannya dalam realitas
kekinian. Karena itu, tak hanya pengkritiknya, pengikutnya
pun terus ada dan tetap eksis sampai kapan pun.***
* Ismatillah A. Nuad, bekerja di Center for
Moderate Moslem (CMM) di Jakarta
Selasa, 30 Agt 2005, http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=187010
Mengenang Cak Nur
Oleh Fachry Ali *
Walau sudah menduga sebelumnya, toh saya -seperti banyak
yang lainnya- terkejut menerima berita dari Abdul Hamid.
Putra almarhum Kiai Fatah, pendiri Pesantren Al-Fatah di
Sekaran, Siman, Lamongan, Jawa Timur, ini menyampaikan
berita duka: wafatnya Nurcholish Madjid, seorang pemikir
Islam dan cendekiawan Indonesia terkenal, yang populer
dipanggil Cak Nur.
Di Universitas Paramadina, "pesantren" yang didirikan Cak
Nur, khalayak yang berduka sudah banyak berdatangan menunggu
kedatangan jenazah tokoh pemikir ini.
Secara pribadi, ingatan saya melayang ke Singapura. Di
sebuah rumah sakit negara-kota ini, Cak Nur sudah bisa
bicara ketika saya berkunjung akhir November tahun lalu.
Mbak Omi, istri Cak Nur, meminta saya menunggu sebentar,
karena Cak Nur sedang salat asar.
Dengan bertayamum, seperti yang saya intip dari kaca
pintu, Cak Nur yang tampak lemah itu memang sedang khidmat
menunaikan ibadah. "Cak Nur itu lebih kuat dari saya," ujar
Mbak Omi. "Malah dia yang menasihati agar saya bersabar.
Penderitaan Nabi Ayyub belum seberapa dibandingkan dengan
yang kita alami," kata Mbak Omi mengulang kembali kalimat
Cak Nur.
Setelah berbicara barang sejenak usai salat, dengan
senyum manis sebagaimana biasa, Cak Nur berkata kepada saya,
"Salam kepada kawan-kawan di Tanah Air."
Itulah perjumpaan saya yang terakhir dengan Cak Nur.
Sebab, entah karena kesibukan apa, saya tak sempat menjenguk
tokoh ini justru ketika sudah berada di Tanah Air.
***
Tetapi, seperti juga dengan lainnya, perjumpaan gagasan
antara saya dan Cak Nur tak pernah berakhir. Walau sudah
pasti ada beberapa komentar kritis saya terhadap gagasan dan
analisis Cak Nur, secara keseluruhan gagasan-gagasannya
telah membuka paradigma baru dalam cakrawala pemikiran Islam
dan keindonesiaan di Tanah Air.
Akar paradigma ini tertanam dalam perubahan drastis
sosial-politik dan ekonomi Indonesia ketika transisi politik
Orde Lama dan Orde Baru bergulir. Cak Nur dan kawan-kawan
segenerasinya menyadari bahwa pertarungan ideologi yang
mendominasi pergulatan politik di masa "Orde Lama" telah
mengalami "sakralisasi", karena partai-partai politik telah
diperlakukan sebagai bagian dari agama.
Gejala semacam ini terutama terlihat pada kalangan Islam
yang keanggotaan dan partisipasi seseorang di dalamnya
menentukan apakah dia "beriman" atau tidak. Islam, dalam
konteks ini, tidak lagi berfungsi sebagai "agama"
-sebagaimana lazimnya- melainkan sebuah ideologi yang
perlakuan atasnya mirip sebagai "agama".
Dalam konteks inilah Cak Nur menyampaikan gagasan
"pembaruan pemikiran Islam Indonesia" pada awal 1970-an.
Intinya bahwa desakralisasi ideologi-ideologi politik,
termasuk (ideologi parti-partai politik) Islam merupakan
sebuah keharusan.
Bahwa Islam adalah sebuah agama dan hak bagi setiap orang
Islam mempunyai preferensi politik tersendiri; dan karenanya
tidak gugur keislaman seseorang walau tak mempunyai
preferensi politik terhadap partai-partai Islam.
Dengan kata lain, menjadi anggota atau pendukung sebuah
partai Islam tidak secara otomatis menjadi lebih Islam
daripada seorang muslim yang mendukung partai lain; dan
bahwa keislaman seseorang tidak ditentukan apakah ia anggota
sebuah partai politik Islam atau tidak.
Inilah saya kira inti paradigma baru pemikiran Cak Nur
yang segera mempengaruhi kecenderungan afiliasi politik
berbagai kaum terpelajar muslim Indonesia.
Masuknya secara berbondong-bondong lapisan terpelajar
santri Indonesia ke berbagai partai politik tanpa ideologi
Islam pada masa Orde Baru, munculnya gagasan depolitisasi NU
yang dikukuhkan dalam muktamar Situbondo pada 1984 dengan
semboyan "Kembali kepada Khittah 1926", antara lain
bersinggungan dengan gagasan desakralisasi ideologi politik
yang dilancarkan Cak Nur dua dekade sebelumnya.
***
Di atas paradigma desakralisasi ideologi inilah Cak Nur
mengembangkan dua pemikiran berikutnya tentang masalah
sosial-keagamaan dan politik Indonesia. Pada hal yang
pertama, Cak Nur menekankan pluralisme dan toleransi; bahwa
kebenaran interpretasi (penafsiran) sebuah kelompok atas
ajaran sebuah agama, dalam hal ini Islam, bersifat tidak
mutlak -karena kelompok lain juga mempunyai hak yang sama
melakukan penafsiran tersendiri.
Gagasan ini dikemukakan Cak Nur untuk menghindari konflik
yang memang potensial terjadi seandainya setiap kelompok
"ngotot" dengan kebenaran interpretasinya. Konflik atas nama
Tuhan dengan sesama umat bisa menjadi ironi tersendiri,
justru karena Tuhan adalah penganjur perdamaian.
Dari lapangan internal ini, Cak Nur kemudian
mengembangkan keharusan toleransi terhadap agama dan sistem
kepercayaan lain. Kendati agama-agama non-Islam tidak "suci"
secara teologis, kaum muslim harus mengembangkan sikap
toleransi, karena kehadiran agama-agama tersebut telah
menjadi fakta sosial-keagamaan yang tak bisa dielakkan.
Kedua adalah visi politik yang didasarkan demokrasi dan
moralitas. Hemat saya, gagasan terakhir inilah yang
diperjuangkan Cak Nur bersama Abdurrahman Wahid serta
lainnya, terwujud di Tanah Air, hingga akhir hayatnya.
"Perlawanan" Cak Nur pada otoriterianisme kekuasaan masa
Orde Baru, dan seruannya membangun sistem yang permanen bagi
sistem demokrasi adalah inti pemikiran dan perjuangan Cak
Nur. Ini justru disuarakan ketika rezim Orde Baru masih
sangat kukuh.
Dengan telak Cak Nur berucap: "Jangan percayakan nasib
bangsa pada niat baik satu dua orang pemimpin. Percayakan
nasib bangsa pada sistem yang transparan dan bisa
dipertanggungjawabkan."
Kini, Cak Nur telah tiada. Gagasan keislaman dan
keindonesiaannya serta gagasan perjuangan menegakkan
demokrasi akan dilanjutkan oleh generasi seangkatan yang
masih hidup dan pasti disambung oleh generasi
berikutnya.
Jakarta, 29 Agustus 2005
* Fachry Ali MA, peneliti pada ...
"Pesan saya sebagai orang tua yang sudah
berusia di atas 70 tahun adalah agar orang beragama
secara beradab, santun, dan arif dalam menyikapi keadaan.
Islam yang saya pahami adalah Islam yang sebangun dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, beradab, dan
mulia." (Buya Syafii)
Selasa, 30 Agustus 2005, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=211544&kat_id=19
Cak Nur
Cak Nur (Prof Dr Nurcholish Madjid) adalah cendekiawan
dan penulis Indonesia yang sangat produktif sebelum
mengalami pencangkokan hati di Cina, kemudian dirawat di
Singapura dan di Jakarta selama beberapa bulan. Kondisi
kesehatannya memburuk dan ia akhirnya wafat kemarin.
Sewaktu dirawat di Singapura dan di RS Pondok Indah,
sudah banyak sekali orang penting dan para sahabat
menjenguknya demi menunjukkan simpati dan empati yang amat
dalam terhadap Cak Nur. Sewaktu saya dan istri
mengunjunginya di RS NUH (National University Hospital),
Singapura, beberapa bulan yang lalu, Cak Nur baru saja
keluar dari ICU dalam keadaan lemah sekali, tetapi dapat
berkomunikasi melalui tulisan Arab-Melayu yang tidak mudah
saya baca. Kami hanya trenyuh dan tertunduk hormat sambil
berdoa untuk kesembuhannya.
Sebagai sahabat yang pernah bergaul selama lebih empat
tahun di Chicago dan mengaji Alquran pada Fazlur Rahman di
kediamannya, sekitar 45 mil dari kota itu, saya sampai
batas-batas yang agak jauh telah mengenal Cak Nur dari jarak
yang dekat. Ketika berbicara, pembawaannya lembut, sopan,
serta mengeluarkan pendapat melalui argumen yang kuat dan
teratur.
Perkara orang belum tentu setuju dengan hujah-hujahnya,
adalah lumrah belaka. Bukankah tafsiran menusia terhadap
wahyu yang mengandung kebenaran mutlak tidak pernah benar
mutlak semutlak wahyu itu sendiri?
Oleh sebab itu, jika ada orang yang memonopoli kebenaran
dengan jalan memasung hak orang lain untuk berpendapat
berbeda, sebenarnya (secara tidak sengaja atau gegabah?)
telah mengambil alih otoritas Tuhan sebagai Sumber Kebenaran
Mutlak. Cara berpikir semacam ini sangat berbahaya dan dapat
meluluhlantakkan persaudaraan antarmanusia.
Dengan sedikit wacana ini, saya akan langsung memasuki
topik utama Resonansi ini yang sumbernya dari saksi mata
langsung dan otentik. Demikianlah pada 26 Juli 2005, antara
pukul 16.30 dan 17.30, beberapa orang mendatangi Cak Nur di
rumahnya, sementara Cak Nur sendiri belum pulih
kesehatannya, masih lemah. Menyaksikan kondisi fisiknya,
semestinya meluluhkan perasaan mereka yang berhati
nurani.
Rombongan ini mengaku membawa pesan Abu Bakar Ba'asyir
untuk Cak Nur. Sumber pertama merekamkan: ''Apakah pikiran
Cak Nur masih?'' Cak Nur menjawab, ''Saya masih tidak
bingung.'' Setelah basa-basi, salah seorang bilang
menyampaikan salam Ustadz Ba'asyir, dan bahwa beliau
bertanya, dalam buku Fiqh Lintas Agama ada nama Cak Nur dan
berpendapat semua agama sama. Cak Nur menjawab, ''Saya tidak
berpendapat semua agama sama.''
''Ada tertulis kawin antar agama boleh. Ustadz Ba'asyir
minta Cak Nur menarik pendapat itu.'' Seorang lagi
mengulangi pesan Ba'asyir, ''Itu pendapat salah, minta Cak
Nur mencabut pendapat agama sama dan boleh kawin antar
agama. Bagaimana pendapat Cak Nur?'' Cak Nur menjawab,
''Saya tidak dalam kondisi untuk menjawab.'' (Ini informasi
via SMS yang saya terima pukul 22.35, pada 14 Agustus
2005).
Hampir serupa dengan yang pertama, sumber kedua antara
lain merekamkan: ''Yang mereka sampaikan adalah (katanya)
amanat dari Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dan M Thalib (dengan
asumsi Cak Nur sudah sehat) tentang tiga hal yang ada dalam
buku Fiqh Lintas Agama.'' (SMS pukul 06.44, pada 15 Agustus
2005).
Saya tidak berminat mempersoalkan isi dialog itu.
Sekiranya Cak Nur sehat, dia akan bisa menjawab berjam-jam
semua pertanyaan yang diajukan itu. Yang menjadi
keprihatinan saya adalah adab orang menjenguk si sakit.
Apakah dalam batas kesopanan Cak Nur diguyur dengan
pertanyaan-pertanyaan serupa itu dalam kondisi fisik yang
mengundang rasa iba itu?
Rombongan itu 'kan menyaksikan sendiri keadaan Cak Nur
dari jarak yang sangat dekat. Mengapa sampai hati
''meneror''-nya dengan berlindung di balik amanah Ba'asyir?
Saya sungguh gagal memahami cara orang membawakan pesan
agama demikian kasar. Sepengetahuan saya, Ba'asyir bukanlah
tipe manusia garang yang suka memaksa-maksa orang lain.
Sewaktu saya dan istri menjenguknya di RS PKU Solo pada
waktu yang lalu, dia memeluk saya dan mohon doa. Tetapi,
mengapa mereka yang menyebut diri pengikutnya seperti tak
terkendali, khususnya sewaktu mengunjungi Cak Nur?
Pesan saya sebagai orang tua yang sudah berusia di atas
70 tahun adalah agar orang beragama secara beradab, santun,
dan arif dalam menyikapi keadaan. Islam yang saya pahami
adalah Islam yang sebangun dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang tinggi, beradab, dan mulia.
Cak Nur telah wafat. Saya dan keluarga menyampaikan
belasungkawa yang sangat dalam dan dalam sekali. Semoga
khusnul khatimah.
(Ahmad Syafii Maarif )
Kompas, Sosok, Asal-usul, Minggu, 04 September 2005,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/04/Sosok/2020225.htm
Wahai Jiwa yang Tenang
oleh Mohamad Sobary
Dan duka maha tuan bertahta (Chairil
Anwar)
Di makamnya kita menunggu. Ribuan wajah menunduk. Orang
tampak berdesak-desakan di bawah terik matahari sejak
menjelang pukul sebelas hingga tengah hari.
Apa bedanya dengan dulu ketika di Taman Ismail Marzuki
atau di hotel-hotel kita berkerumun menanti dia datang dan
kemudian mendengar ceramah-ceramahnya?
Bedanya, kali ini ada tembakan salvo, upacara
kemiliteran, dan tembang Gugur Bunga. Kali ini kita
mengantarkannya pulang. Dan sesudah ini tak akan pernah ada
lagi panitia menjemputnya dan membawanya ke podium untuk
didengar pemikirannya.
Dan ketika di atas pusaranya orang-orang tercinta dan
yang setulus hati mencintainyajuga anggota-anggota
keluarga, para sahabat, teman-teman, kenalan, dan para
pengagumdengan kusuk menabur bunga, saya pun mengambil
sejumput, kemudian saya taburkan di atas taburan yang sudah
merata.
Ini bukan taburan pertama, tetapi bukan yang terakhir. Di
belakang saya antrean masih panjang.
Sejenak saya termangu. Bait terakhir puisi Chairil Anwar:
Dan duka maha tuan bertahta yang ditulis pada
saat kematian neneknya menggambarkan dengan baik suasana
sejak kemarin sorenya di Kampus Paramadina.
Dalam hati saya sendiri, rasa bersalah besar, pengakuan
dan penyesalan, berkecamuk. Rasanya seperti lorong kecil
tanpa ujung. Utang sosial macam ini dengan apa dibayar? Saya
terhukum.
Hari Minggudua hari sebelumnyaketika
kesehatannya sangat menggembirakan, saya dan istri saya
bermaksud menengok ke rumah sakit, tetapi gagal oleh urusan
teknis lainnya dan saya menghibur diri bahwa hari lain masih
ada. Kita tak pernah tahu rahasia Tuhan.
Saya mendoakannya dengan hati merendah dan dengan
kesadaran yang mulai utuh tetapi getir bahwa kita
betul-betul kehilangan. Dan bahwa apa yang hilang itu tak
mungkin kembali.
Alunan tembang sahdu mati satu tumbuh seribu
saya kira bukan janji, bukan hiburan. Mati satu tumbuh satu
pun rasanya sudah merupakan kemurahan alam yang melimpah.
Tetapi, siapa gerangan yang satu itu?
Berkali-kali, dalam gerah ketika kita menanti rangkaian
upacara itu, orang membisikkan rasa kehilangannya.
Berkali-kali pula orang bertanya kepada saya siapa
penggantinya, dan saya tak bisa menjawab.
Cak Nur pergi bukan atas kemauannya sendiri. Saya berani
bertaruh, gemuruh dalam jiwa dan semangatnya untuk mengabdi
negaranya belum reda. Ia masih ingin terus memperbaiki
keadaan yang tetap morat-marit. Tak sukar kita menyelami dan
menyimpulkan bahwa ia sering kecewa.
Ia bukan hanya orang yang bisa disebut committed citizen,
tetapi ia pemimpin yang sangat peduli. Ia tak sabar
membayangkan hasil kerjanya.
Dialah yang gigih menciptakan ruang kebudayaan untuk
memfasilitasi agar kekuatan rohaniah bernama
umat, yang sangat jauh tertinggal bisa masuk ke
dalam dan menjadi bagian dari modernitas, kiblat
dunia itu. Ia memodernisasikan umat.
Dengan syukur ia melihat meningkatnya pendidikan
umat. Ia sadar Timur-Barat itu milik Tuhan. Dan
karena itu umat hendaknya jangan dihantui ketakutan dan
dibebani kebencian serta dendam tiap bicara Timur-Barat.
Sebagai kiblat geografis keduanya ada. Sebagai kutub
pemikiran keduanya tak perlu dianggap dikotomi.
Timur-Barat atau Barat-Timur itu
sebuah civilization continuum. Dulu, peradaban mengalir dari
Timur ke Barat dan sekarang kebalikannya, tetapi apa
salahnya?
Cak Nur bangga melihat proses santrinisasi
birokrasi dan birokratisasi santri itu.
Tetapi, ketika santrinisasi itu bergerak ke
tengah, ia kecewa karena santrinisasi
birokrasi berubah dari gejala sosiologis biasa menjadi
gejala politik yang tak ramah.
Umat" lalu menjadi kekuatan politik riil. Banyak
pihak berkata: kini giliran kita. Tetapi, kita
itu hanya sedikit orangnya. Suasana balas dendam atau
kehendak dominan dilampiaskan. Dengan masygul, Cak Nur pun
mundur.
Sebagai pemikir, jiwa Cak Nur bergejolak. Ia liberal,
lebih dari siapa pun. Tetapi, watak liberalnya tak diumumkan
dan ia tak ingin dipahlawankan karena alasan itu. Ia mungkin
malah tak tahu bahwa ia liberal.
Secara pribadi, Cak Nur jiwa yang tenang. Sikapnya
lembut. Tutur kata dan sepak terjangnya santun seperti murid
teladan.
Murid? Bukankah ia guru bangsa?
Seorang guru bangsa pun hakikatnya juga murid. Sekarang
terlalu banyak orang mengaku pintar dan semua berambisi
menjadi pemimpin tanpa bersedia menjadi murid.
Dan murid yang satu ini sudah menghadap. Di sana, semoga
ia disambut ramah: Wahai jiwa yang tenang, masuklah ke
dalam surga-Ku.
Edisi. 28/XXXIV/05 - 11 September 2005, Catatan
Pinggir
Lembing
Lima hari setelah Nurcholish Madjid meninggal, di sebuah
masjid kecil di Jalan Talang di Jakarta, seorang khatib
berbicara tentang sesuatu yang menakutkan: dengan sebuah
otoritas yang ia kesankan melalui mihrab dan kata-kata Arab,
ia mengucapkan sesuatu yang tak benar. Ia mengatakan bahwa
wajah jenazah almarhum menghitam, kata sang pemberi khotbah
ini, karena Nurcholish diazab Tuhan
.
Saya tak tahu lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak
tahu apa peran dusta. Saya tidak tahu untuk apa
fitnahterutama dari sebuah posisi, tempat ayat suci
dikutip, pesan Rasulullah diulang, dan yang benar dan yang
adil diimbaukan berabad-abad.
Yang terasa bagi saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan
sampah. Sampah itu bernama kebencian: buangan dari zaman
ini. Salah satu ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat
guyah, penuh cemas, dan gentingdan kebencian, biarpun
berbau busukadalah sebuah mantra untuk menemukan
kekuatan yang melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di sebuah
dunia yang tidak bisa mereka kendalikan, ada orang-orang
yang merasa hanya patut beriman bila mereka tampil dengan
wajah sengit. Marah terus-menerus kepada sekitar telah jadi
semacam perisai, dan kata-kata telah jadi lembing. Chairil
Anwar pernah menulis tentang para ahli agama dan
lembing katanya.
Ketika kata menjadi lembing, hidup menjadi perang yang
percuma. Lawan dalam pikiran, sengketa dalam pendapat,
bentrok dalam keyakinan, adalah bagian dari ketegangan yang
tak pernah dapat diselesaikan dalam hidup. Tuhan tak
bermaksud membuat perbedaan tak pernah ada. Ketika kata
menjadi lembing, apa yang bisa dirobohkan? Apa yang bisa
dibinasakan? Bahkan sejarahdan dalam hal ini kita bisa
berbicara tentang sejarah agama-agamaadalah sejarah
pembantaian yang tak menyebabkan satu pihak menjadi benar
dan diterima di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja.
Syiah dan Sunni tak bisa saling melenyapkan, Katolik dan
Protestan tak kunjung mampu saling meyakinkan.
Setiap usaha untuk meyakinkan sebenarnya membutuhkan
tidak adanya ilusi. Tidak ada paksaan dalam
agama, demikian kata Quran: tidak ada kekerasan, dalam
laku dan ucapan, yang akan dapat membuat keyakinan berubah.
Kebenaran adalah hal yang selalu bergerak antara
tertangkap-menangkap dan
terlepas-melepas. Yang universal tampak sebagai
kaki langit yang bila digapai selalu menjauhtak
henti-hentinya. Tiap konsensus mengandung ketidakbulatan.
Manusia berpikir, berbicara, dan menafsir apa sajajuga
Sabda Tuhansenantiasa dalam waktu dan dalam cacat.
Bahwa tak ada pintu yang satu ke arah satu keyakinan
agama pada akhirnya melahirkan kesadaran, bahwa tidak ada
satu kepala yang bisa menentukan arah apa yang terbaik dari
yang ada. Pemimpin dan khalifah berganti dengan atau tanpa
dikecam. Bertahun-tahun kemudian, setelah pengalaman yang
lama, demokrasi datang sebagai cara mengatasi kekosongan
itu. Demokrasi adalah hal yang tak bisa diingkari jika kita
sadar akan kefanaan. Demokrasi sebab itu bagian dari
ketegangan, tapi ia tidak akan bisa berjalan dengan
kebencian, jika kebencian membuat yang nisbi menjadi
seakan-akan mutlak, tak berubah dan kekal.
Ada banyak peninggalan kearifan Nurcholish Madjid untuk
orang Indonesia, dan salah satunya adalah bagaimana memahami
dan menghadapi ketidak-kekalan. Ketika Golkar begitu
dominan, ia memihak Partai Persatuan Pembangunan. Ketika di
bawah Presiden Soeharto dan kekuasaannya pemilihan umum
begitu kotor dan kasar, ia mendukung gagasan Komite
Independen Pemantau Pemilu. Ketika pada tahun 1998 Soeharto
akhirnya bertanya kepada sejumlah tokoh muslim tak lama
sebelum ia turun takhta, Nurcholish juga yang mengatakan
bahwa sang Presiden yang telah berkuasa sejak 1966 itu lebih
baik turun. Yang berkuasa atau tidak, akan selalu bertemu
dengan batas.
Ada hubungan yang tak selalu tampak antara kearifan
tentang ketidak-kekalan manusia dan toleransi kepada iman
dan pendapat orang lain. Kesulitan para penganut agama ialah
ketika mereka menduga bahwa ketidak-kekalan mereka akan
ditiadakan dengan ajaran yang kekal yang mereka anut. Yang
mustahil dan yang mutlak memang sangat menggugah, tapi
selalu ia di masa depan, dan masa depan juga tidak abadi.
Nurcholish adalah guru tentang kerendahan hati.
Kerendahan hati adalah bagian terdalam dari hasrat
berjabatan tangan. Kebencian selalu menjadi
angkuhtetapi kali ini angkuh itu menjadi angkuh karena
sebenarnya ada yang membuat ragu, cemas, dan rapuh.
Kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda putus asa,
tapi sekalipun tanpa putus asa, ia tidak akan menyebabkan
keyakinan-keyakinan berubah. Kekuatan sebuah firman tidak
datang dari kata yang terhunus bagaikan lembing. Ya,
Nurcholish adalah guru tentang kata-kata yang tidak menusuk,
tidak berteriak.
Goenawan Mohamad
|