Nurcholish Madjid

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Selamat Jalan Guru Bangsa

Oleh: Elly Roosita
Kompas Cetak Online, Selasa 30 Agustus 2005

”Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daunnya lebar membuat anaknya tidak kebagian sinar matahari. Bambu lain rela telanjang asal anaknya, rebung, pakaiannya lengkap.”

Metafora itu berulang kali dilontarkan cendekiawan Nurcholish Madjid (66) dalam berbagai kesempatan. Mengingatkan bangsa ini betapa pentingnya menunda kesenangan untuk hari esok yang lebih baik. Menahan diri dari kemewahan dan mementingkan pendidikan. ”Bila perlu orangtua melarat, tapi anaknya sekolah dengan baik,” pesannya.

Cak Nur tidak hanya berpesan, tetapi menyatakannya dalam kehidupan. Kedua anaknya melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat hingga jenjang master. Kesederhanaan melekat kuat dalam keseharian kehidupannya.

Sikapnya yang lurus tidak terbawa arus, ajaran-ajaran bijak yang disuarakannya melintasi agama, usia, dan kelompok, menjadikannya tempat bertanya berbagai kalangan masyarakat. Sikap pendidiknya membuat siapa pun berdialog dengannya merasa pintar. Kini, itu tinggal kenangan. Tidak akan ada lagi ajaran bijaknya, juga kritik bernas yang disampaikan dengan santun. Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish, telah menghadap Sang Khalik, pukul 14.05 kemarin.

Dalam kondisinya yang semakin lemah, Cak Nur meminta Nadia, putrinya, membimbingnya membaca ayat suci Al Quran, Surat Al-Fatihah, dan Al-Ikhlas. ”Papa melafazkannya dengan baik sampai selesai. Setelah itu Papa sangat tenang,” tutur Nadia.

Tidak ada pesan khusus kepada keluarganya. ”Cuma, sempat bilang mbok anak-anak belajar bahasa Arab supaya bisa memahami Islam dengan benar,” kata Mbak Omi, panggilan akrab Omi Komariah, istrinya.

Cak Nur telah mengakhiri perjuangannya, selama lebih dari satu tahun menghadapi sakit yang dideritanya, tanpa pernah berkeluh kesah, setelah menjalani operasi transplantasi hati.

Memberi inspirasi

Dia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi inspirasi bagi bangsanya, dengan gagasan yang sering kali mendahului zamannya. Tahun 1970, ketika semangat masyarakat berpartai menggebu, putra sulung almarhum Abdul Madjid ini muncul dengan jargon ”Islam Yes, Partai Islam No”, untuk melepaskan Islam dari klaim satu kelompok tertentu, dan menjadi milik nasional. Namun, sedikit yang paham dengan gagasan ini, menganggap Cak Nur mengembangkan sekularisme.

Tahun 1980-an, Cak Nur mendorong terjadinya check and balance dengan munculnya ide oposisi loyal. Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini juga melontarkan wacana Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang juga kembali menuai pro dan kontra.

Cak Nur tak pernah surut mengembangkan intelektualitasnya. Lewat Paramadina, dikembangkan komunitas intelektual dan merengkuh kelas menengah Muslim Indonesia untuk lebih intensif mengkaji Islam.

Dengan caranya, Cak Nur membuka jalan terwujudnya reformasi dengan menolak tawaran duduk di Komite Reformasi, yang akan dibentuk Presiden Soeharto untuk menghadapi tuntutan reformasi (1998). Penolakan itu meruntuhkan rencana Soeharto bertahan sebagai presiden.

Kegundahan terhadap kehidupan politik bangsa mendorong Cak Nur menyatakan siap mengikuti pemilihan presiden pada Pemilu 2004, dan lahirlah 10 program membangun Indonesia.

Banyak yang menyayangkannya karena akan ”mengotori” keberadaannya sebagai ”nurani” bangsa.

”Saya harus melakukannya. Ini pembelajaran bahwa proses (pemilu) dari awal harus bersih, transparan, dan bukan sekadar berebut kekuasaan,” tuturnya kepada Kompas ketika itu.

Cak Nur banyak disalahpahami, tetapi dia tidak pernah surut.

Selamat jalan guru bangsa....


Kepergian Setelah Mengabdi

Oleh: Abdurrahman Wahid
Kompas Cetak Online, Selasa 30 Agustus 2005

Seorang lagi dari deretan tokoh-tokoh kita telah meninggalkan lingkungan, setelah lama menderita sakit: Dr Nurcholish Madjid.

Banyak sekali orang yang merasa kehilangan dengan kepergiannya pada usia 66 tahun itu. Padahal, itu adalah usia yang mencerminkan kematangan hidup, terlebih-lebih pada masa penuh kesalahpahaman dan salah pengertian satu sama lain, terkadang ”diwarnai” oleh ledakan bom dan lemparan granat.

Ada perbedaan faham yang fundamental antarsesama warga gerakan Islam dan hampir selalu berakhir pada hilangnya toleransi dalam kehidupan kita sebagai bangsa.

Nurcholish Madjid atau Cak Nur tetap konsisten dengan gaya hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Ia tetap mempergunakan cara-cara menolak pemakaian kekerasan. Ia dimaki-maki oleh begitu banyak orang sehingga sangat lucu melihat bagaimana ia dimaki-maki dan diumpat-umpat untuk berbagai ”dosa” yang tidak pernah dilakukannya.

Bahkan, setelah ia meninggal pun, masih ada orang yang menganggapnya ia melakukan hal-hal yang tidak pernah dikerjakannya selama hidup. Cercaan dan umpatan seperti itu sudah menjadi hal yang biasa di telinganya sewaktu ia hidup. Bahkan, setelah meninggal, masih ada yang—karena kekerdilan jiwa—mengatakan secara lisan bahwa ia ”seharusnya sudah bertobat”. Padahal, yang seharusnya melakukan hal itu bukanlah Cak Nur, melainkan orang itu sendiri. Bukankah kitab suci Al Quran memuat salah satu sifat Allah. Kemampuan memberikan maaf kepada siapa pun untuk kesalahan apa pun.

Di sinilah terletak kebesaran Cak Nur. Ia berhasil mendidik kaum Muslimin pada umumnya bahwa sifat yang seperti itulah yang harus dikembangkan terus dalam kehidupan mereka.

Apakah artinya ini? Artinya, bahwa kita semua harus mengikuti teladan yang diperlihatkannya itu. Bahwa hampir seluruh kaum Muslimin di negeri ini bersikap demikian, itu adalah bukti bahwa Cak Nur telah berhasil dengan pendidikannya itu. Ia yang lahir di Desa Mojoduwur, Kecamatan Bareng, di Jombang, Jawa Timur, itu akhirnya menjadi contoh bagi semua warga bangsa yang berjumlah lebih dari 210 juta jiwa itu (menurut hitungan Prof Dr Prijono Tjiptoherijanto)

Kita belum lagi berbicara tentang Islam sebagai bidang kajian, tempat Cak Nur menghabiskan umur, sebagai ilmuwan. Ia tidak mau berkompromi dengan politik sama sekali. Orang boleh berbicara di sinilah terletak kekuatan Cak Nur, atau sebaliknya menganggap itulah titik lemahnya.

Bagi penulis, hal itu tidak penting benar karena ia tidak menjadi besar atau kecil dalam hal ini. Ia akan tetap diakui sebagai salah satu pemegang otoritas studi keislaman (Islamic studies) di negeri kita.

Tentu saja ia punya sederet kesalahan karena ia adalah seorang anak manusia, tetapi kesalahan-kesalahan itu tidaklah memudarkan namanya (atau menurunkan nilai dirinya).

Ia adalah orang besar karena ia memang demikian. Kini ia telah tiada, dan menjadi kewajiban kita untuk mengembangkan nurcholish-nurcholish baru. Hanya dengan cara demikian kita patut disebut pengikut Cak Nur di masa hidupnya.

Orang-orang lain, termasuk mereka dari ”garis kekerasan”, adalah orang yang ditinggalkan oleh perkembangan Islam, dan akan pudar dengan sendirinya ditelan masa.


Hari-hari Terakhir Cak Nur

Oleh: Komaruddin Hidayat
Kompas Cetak Online, Selasa 30 Agustus 2005

Senin, 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul 14.05 WIB, Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur kembali ke pangkuan Ilahi. Sejak Cak Nur operasi lever di China, dirawat di rumah sakit Singapura, sampai perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, teman-teman Cak Nur berdatangan memberikan doa dan dukungan moril.

Sejak dari Presiden RI, tokoh-tokoh lintas agama, aktivis LSM, jajaran intelektual, dan politikus datang silih berganti. Ini menunjukkan posisi, kiprah, dan pengaruh Cak Nur yang amat inklusif, bukan sekadar tokoh pergerakan Islam, tetapi pejuang kemanusiaan dan kebangsaan.

Spirit keindonesiaan dan humanisme Cak Nur tak diragukan lagi. Hal ini muncul sebagai buah penghayatan dan keyakinan akan ajaran Islam. Karya-karya tulis Cak Nur menunjukkan perhatian yang amat besar bagi tumbuhnya demokrasi modern di Indonesia dengan dasar nilai-nilai keislaman. Di sinilah sumbangan pemikiran Cak Nur yang besar dan orisinal.

Persoalan bangsa

Berbagai teori ilmu sosial dan filsafat yang dipelajari ujungnya diberi nilai dan fondasi keislaman, diambil dari Al Quran dan khazanah Islam klasik. Pemahaman dan sikap Cak Nur yang demikian sering disalahpahami sebagian tokoh Islam lain yang sering dikategorikan pendukung faham skripturalis beraliran keras.

Ahad malam lalu saya menemuinya di rumah sakit. Apa yang dipikirkan Cak Nur masih menyangkut persoalan bangsa. Omi Komaria, istrinya, sempat merekam sebagian yang disampaikan Cak Nur di pembaringan. Dia selalu menyampaikan keprihatinannya tentang kondisi bangsa yang telah membuat rakyat sengsara. ”Yang harus selalu kita lakukan adalah bagaimana membahagiakan orang lain,” kata Omi menirukan Cak Nur.

Membangun peradaban dan demokrasi tidak mungkin terwujud tanpa suasana damai dan taat hukum, pesan Cak Nur yang diulangi kembali oleh Nadia yang sengaja datang dari Washington.

Suatu hal yang membuat para dokter perawatnya heran, semangat hidup Cak Nur amat tinggi, mengalahkan kepedihan sakit fisiknya. Cak Nur tidak pernah mengeluhkan sakitnya dan tidak pernah membantah nasihat dokter. Bahkan, Cak Nur sendiri yang sering menghibur istrinya untuk bersabar karena apa yang dideritanya belum seberapa dibanding apa yang menimpa para rasul Allah.

Matanya selalu berbinar saat bicara tentang kondisi bangsa dengan teman-teman dekatnya. Hingga Senin pagi kemarin Cak Nur dengan cerah masih bicara dengan teman-teman yang menjenguknya, ada Ginandjar Kartasasmita, Try Sutrisno, dan Imaduddin Abdurrahim. Kepada anaknya, Nadia dan Mikel, serta menantunya, David, Cak Nur berpesan agar mendalami bahasa Arab. Tanpa penguasaan bahasa Arab yang baik akan menemui banyak kesulitan saat memahami Islam.

Pesan lain sebelum ajal yang disampaikan pada Nadia dan David, ajaran Al Quran milik semua bangsa, jangan dimonopoli oleh umat Islam. Tunjukkan kepada dunia, Islam ajaran perdamaian dan kemajuan, bukan mengajarkan kekerasan.

Seorang demokrat

Sejak mengenal dekat Cak Nur di Yayasan Paramadina akhir 1990, banyak sekali kesan dan pelajaran yang saya peroleh. Antara lain, dia betul-betul seorang demokrat. Dia akan menghargai pendapat siapa pun meski berseberangan asal disampaikan dengan beradab, jangan memaksa orang lain untuk menerimanya. Kalau tidak keterlaluan, Cak Nur hampir tidak pernah menjelekkan pribadi orang. Semua temannya dipuji, terlebih jika ada anak muda yang suka menulis baik di surat kabar maupun buku, biasanya Cak Nur akan memberi apresiasi secara terbuka. ”Dia itu hebat, amat potensial, calon pemikir masa depan”, adalah ungkapan yang sering saya dengar.

Karena sulit berkata tidak dan selalu ingin menggembirakan semua pihak, Cak Nur diterima dan disenangi semua pihak. NU maupun Muhammadiyah menerima kehadirannya, bahkan kalangan non-Muslim pun merasa dekat dan memperoleh pengayoman Cak Nur. Sikap inklusif inilah yang sering menimbulkan salah paham terhadap dirinya. Di mata umat Islam beraliran keras, Cak Nur dianggap lemah dan terlalu toleran kepada agama lain. Di mata pemeluk agama lain, Cak Nur dianggap santri tulen yang menyebarkan Islam secara sejuk, intelek, dan simpatik.

Warisan ijtihad politik Cak Nur yang amat fenomenal adalah saat menawarkan pemikiran: ”Islam Yes, Partai Politik Islam No” tahun 1970-an. Saat itu partai politik hampir disakralkan bagai agama sehingga umat Islam wajib masuk partai politik berbasis Islam. Padahal, kondisi dan perilaku elite partai saat itu tidak mencerminkan akhlak mulia sehingga banyak umat Islam alergi pada parpol.

Untuk mendobrak kejumudan umat dan agar Islam tidak selalu diidentikkan dan dipersempit kiprahnya dengan gerakan parpol yang pengap serta sibuk berebut jabatan, Cak Nur mengusung gerakan Islam kultural dengan jargon: ”Islam Yes, Partai Politik No”.

Hemat saya, pemilu tahun lalu menunjukkan, pemikiran Cak Nur tahun 1970-an masih relevan, bahwa perjuangan Islam tidak bisa dihadapkan dengan agenda pembangunan demokrasi dan bangsa sehingga jika parpol Islam dan dakwah Islam ingin maju, harus ditopang kekuatan moral-intelektual serta keseriusan dan kesanggupan memecahkan problem bangsa serta menciptakan perdamaian.

Selamat jalan Cak Nur! Bukankah Cak Nur pernah mengajarkan kepada saya, kematian adalah hari wisuda untuk memasuki tahapan hidup lebih tinggi? Bukankah kematian tak ubahnya pulang mudik ke kampung halaman Ilahi yang lebih membahagiakan?

Komaruddin Hidayat: Anggota Dewan Guru Besar Universitas Paramadina; Mantan Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina


Selasa, 30 Agt 2005, http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=5505

Wasiat Terakhir Cak Nur

Oleh Utomo Dananjaya *

Enam hari sebelum berangkat berobat ke China, Cak Nur menulis surat kepada teman-teman pendukung Yayasan Wakaf Paramadina. Surat itu berupa usul pengadaan usaha penyegaran yayasan dan peremajaan para pendukung keorganisasiannya.

Untuk sebagian orang, surat itu dianggap sebagai wasiat terakhir yang menggetarkan hati, yang menerima surat tersebut dan melihat kondisi kesehatan Cak Nur di China dan kemudian di Singapura.

Apa yang dimaksud Cak Nur dengan penyegaran rupanya dapat dibaca pada lampiran surat tersebut berjudul: Wawasan Paramadina dan Saran-Saran Penyegaran Keorganisasian Lebih Lanjut.

Tentang wawasan Yayasan Wakaf Paramadina, Cak Nur menjelaskan bahwa yayasan merupakan lembaga yang dimaksudkan untuk mengemban dan mendorong kebebasan wacana, baik terbuka maupun tertutup, tanpa menjadi partisan eksklusif untuk suatu pendapat dari wacana bebas tersebut. Alasan Cak Nur bahwa kebebasan adalah hak dan anugerah primordial atau primeval dari Sang Maha Pencipta, sebagaimana dilambangkan dalam cerita kosmis ketika Tuhan mempersilakan Adam dan Hawa masuk ke dalam surga (QS, 2: 35).

Dalam pidato peresmian Kampus Universitas Paramadina dan setiap membuka pra-training mahasiswa baru, Cak Nur selalu menjelaskan bahwa Universitas Paramadina menyelenggarakan pendidikan dengan semboyan berdasar pada kitab dan hikmah seperti tercantum dalam QS 4: 113. Dalam proses pembelajaran, dosen dan mahasiswa memerlukan semangat kebebasan untuk punya keberanian menerobos batas.

Cak Nur sering mengungkapkan, hikmah atau ilmu adalah temuan para cerdik pandai dan menjadi kekayaan peradaban kemanusiaan. Sebuah temuan adalah terobosan dari temuan sebelumnya. Demikianlah terobosan demi terobosan diciptakan menjadi etos cendekiawan. Terobosan hanya mungkin terjadi oleh keberanian menembus batas.

Universitas Paramadina yang baru lahir delapan tahun lalu diharapkan membangun budaya penemuan ilmiah. Universitas memuliakan penelitian dan discovery. Mahasiswa dan dosen bukan hanya belajar, tetapi juga melakukan penelitian, dan diharapkan mencapai prestasi ilmiah tertinggi.

Inilah yang dirumuskan sebagai universitas yang menawarkan pilihan atau alternatif. Yang dimaksud adalah budaya universitas berbeda dari budaya konvensional universitas di Indonesia. Hal ini dititipkan sebagai tantangan kepada sivitas akademika Universtas Paramadina. Kepada pimpinan dan dosen pesan ini diarahkan. Bahkan, kepada mahasiswa yang menjadi salah satu faktor untuk membangun budaya baru akademis.

Dengan kebebasan positif itu, kata Cak Nur, manusia akan berkesempatan berkenalan dengan berbagai pendapat. Manusia dipujikan Allah untuk mendengarkan dan memperhatikan berbagai pendapat itu, kemudian memilih mana yang terbaik. "Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan pendapat, kemudian mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berpengertian mendalam." (QS 39: 18).

Firman inilah yang menjadi dasar pandangan pluralisme yang dalam pengertian Cak Nur adalah mengakui perbedaan dan kesediaan bergaul secara beradab, dengan mau mendengar, menghormati pendapat orang lain, walaupun tidak sependapat.

***

Dalam sebuah diskusi seorang cendekiawan muda mengritik Cak Nur berdasarkan pendapat seorang ahli. Cak Nur memuji cendekiawan muda itu sebagai orang yang punya disiplin ilmiah dengan mendasarkan pendapatnya pada pandangan seorang ahli. Kemudian, Cak Nur menyampaikan pendapatnya sendiri.

Cendekiawan muda ini sesumbar bahwa dia telah menundukkan Cak Nur dengan pendapatnya. Begitu pluralisnya, dalam arti sopan dan santunnya Cak Nur sehingga cendekiawan ini merasa Cak Nur telah menerima keyakinannya.

Begitulah pluralisme diejawantahkan dalam pergaulan. Lawan yang tidak sependapat pun merasa menghormati pendapatnya, bahkan merasa pendapatnya diterima Cak Nur. "Inilah makna pluralisme," kata Cak Nur.

Karena prinsip kebebasan itu, Paramadina bukanlah perkumpulan sektarian, yang secara eksklusif mendukung pendapat tertentu. Lebih-lebih Paramadina bukanlah gerakan kultus. Paramadina mendorong orang untuk dengan bebas mengembangkan dan mendengar pendapat. Kemudian, setiap orang bebas pula memilih yang terbaik di antaranya dengan bertanggung jawab dan tulus mengikuti suara hati nurani.

Tanggung jawab setiap orang di akhirat adalah bersifat pribadi mutlak, tanpa ada jual-beli, persahabatan (kullah) ataupun perantara (syafaah). (lihat: QS 2: 254).

***

Cak Nur meninggal dunia ketika orang takut kebebasan dan keberagaman (liberal dan pluralisme). Pesan Cak Nur kepada teman-teman pendukung Paramadina bisa juga menjadi seruan, sekaligus penjelasan bahwa paham kebebasan dan pluralisme adalah hak dan anugerah primordial dari Sang Maha Pencipta.

Seorang Nurcholish Madjid, jejak pendapatnya selalu segar dan relevan. Bukan dan tak perlu diterima sebagai yang paling benar, tetapi patut direnungkan, dipertimbangkan untuk menjadi pilihan hati nurani. Semoga menjadi amal soleh yang diterima Allah.

*. Utomo Dananjaya, pengajar pada Universitas Paramadina di Jakarta, dikenal sebagai teman dekat Cak Nur saat mencetuskan Gerakan Pemikiran Keislaman pada 1970.


Selasa, 30 Agt 2005, http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=5506

Dimakamkan saat Ultah Pernikahan

JAKARTA- Hari ini, 36 tahun silam, Nurcholish Madjid muda resmi mempersunting Omi Komariah. Pada 30 Agustus 1969 itu, mereka berdua menikah di Madiun, Jawa Timur. Tepat tanggal ini pula, Omi mengantarkan sang belahan hatinya itu ke tempat peristirahatan terakhir di TMP Kalibata, Jakarta Selatan.

Memang, pemakaman Cak Nur hari ini bertepatan dengan ulang tahun pernikahannya. Selain meninggalkan Omi, Cak Nur juga meninggalkan dua buah hatinya, Nadia Madjid dan Mikail Madjid.

Cak Nur -demikian mantan ketua PB HMI itu biasa dipanggil- mengembuskan napas terakhir pukul 14.05 WIB di RS Pondok Indah dalam usia 66 tahun. Hari ini, jenazah cendekiawan muslim itu dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Tadi malam, jenazah pendiri Yayasan Paramadina itu disemayamkan di kampus Universitas Paramadina. Keluarga, kawan dekat Cak Nur, dan tokoh nasional terus berdatangan untuk bertakziah. Termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Presiden dan Wapres juga menyalati jenazah tokoh yang dikenal karena pemikiran-pemikirannya tentang Islam yang moderat dan pluralis itu.

Sebelum meninggal, Cak Nur menyampaikan isyarat terakhirmya kepada sang istri tercinta, Omi Komaria. Sabtu pagi, Omi yang menunggui Cak Nur di rumah sakit tiba-tiba merasa gelisah. Tapi, wanita 50 tahun itu tak tahu sebabnya.

Omi semakin gelisah saat memandikan Cak Nur sekitar pukul 07.00. Ketika itu Cak Nur memberi tahu Omi agar bersiap-siap. Cak Nur mengatakan, ada mukhtadin (orang-orang pilihan, Red) yang akan datang. "Kakak (Omi, Red) langsung bertanya, siapa mukhtadin yang akan datang," ujar Nuri Widyawati, adik Omi.

Dengan suara pelan, Cak Nur menjawab bahwa mukhtadin itu adalah kiai dari Gontor. Omi bertanya lagi, siapa nama kiai Gontor itu? "Almarhum bilang kiai Gontor itu bernama Zarkasih," lanjutnya. Jawaban Cak Nur ini mengejutkan Omi. Sebab, Kiai Zarkasih dari Pondok Pesantren Modern Gontor, Jatim, itu sudah meninggal dunia.

Omi merasa ajal sudah semakin mendekati Cak Nur. Dia mempunyai firasat Cak Nur akan meninggalkan dunia. Mukhtadin tersebut datang untuk menjemput suaminya. Tapi, ibu dari Nadia Madjid, 34 tahun, dan Ahmad Mikail Madjid, 32 tahun, itu berusaha tetap tabah dan sabar. Dengan berat hati, Omi kemudian bertanya kepada Cak Nur kapan mukhtadin-nya datang. "Cak Nur hanya menjawab 5 sampai 10 jam," cerita Nuri. Mungkin maksudnya mukhtadin itu diperkirakan datang 5 sampai 10 jam kemudian.

Selain berbicara tentang kedatangan mukhtadin, Cak Nur juga bercerita bahwa dia melihat sebuah terowongan besar. Kondisi terowongan itu, agaknya, tak terurus dan harus direnovasi. "Malah Cak Nur bilang terowongan itu perlu dirapikan," lanjut Nuri. Tapi, Cak Nur tidak menjelaskan letak terowongan itu. Juga tidak disebut bagian yang perlu dirapikan itu.

Tokoh asal Jombang tersebut juga berkata melihat daging. Dia minta istrinya agar daging itu diberikan kepada orang lain saja. Pihak keluarga berkesimpulan bahwa almarhum ingin memperbanyak sedekah. "Kami sempat bingung almarhum mau sedekah berupa barang atau uang," ucap perempuan 30 tahun itu. Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Cak Nur sudah bercerita arti sedekah.

Menurut Cak Nur, sedekah diambil dari kata shodaqoh. Artinya, melakukan kebenaran. Caranya bisa dengan menanamkan rasa benar kepada orang lain. Bisa pula dengan menanamkan rasa suci kepada orang lain. Di akhir penjelasan, Cak Nur mengatakan bahwa tindakan itu relevan dalam kehidupan. "Keluarga langsung mengerti bahwa almarhum ingin kita melakukan sedekah. Tak harus berupa uang atau barang, yang penting ikhlas," tambahnya.

Menurut tim dokter RSPI, kondisi Cak Nur terus menurun sejak kemarin pagi. "Bahkan, pukul 04.00, Cak Nur sempat tidak sadar," ujar Direktur Medik RSPI dr Mus Aida.

Cak Nur dirawat di RSPI sejak 15 Agustus lalu. Saat itu, keluhannya mual dan muntah. Dokter Widodo Suprapto, salah seorang dokter yang merawat Cak Nur, mengatakan bahwa kesehatan Cak Nur terus memburuk karena mengalami kegagalan fungsi hati dan ginjal. Sebelumnya, 27 Juli 2004, Cak Nur menjalani transplantasi hati (lever) di RS Taiping, Guangzhou, China. "Kelainan hatinya kembali kambuh. Dan, ini mengganggu fungsi fisik beliau, termasuk fungsi ginjal," katanya.

Istri dan kedua anaknya terlihat tabah dengan kepergian Cak Nur. "Kami sudah ikhlas," ujar Omi dengan mata berkaca-kaca. Menurut Omi, sebelum meninggal, Cak Nur sempat berpesan kepada putra-putrinya, Nadia dan Mikail, agar memperdalam belajar bahasa Arab. "Dengan berbisik, Bapak mengatakan itu penting agar bisa memahami Al Quran," ujarnya.

Menjelang kepergiannya, Cak Nur meminta dibimbing membaca surat Al Fatihah dan Al Ikhlas. Kemudian, Cak Nur mengatakan ikhlas. Lalu, dia tersenyum lima kali sebelum pergi. "Saya tidak menyangka kalau itu senyum terakhir Bapak," kata Omi.

Para pelayat terus berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Cak Nur. Selain Presiden SBY dan Wapres Kalla, tampak Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid, Gus Dur, Bagir Manan, Bachtiar Chamsyah, Akbar Tandjung, dan Harmoko. Bersama ratusan pelayat lain, mereka bersalat jenazah yang diimami Quraish Shihab.

Komaruddin Hidayat, sahabat Cak Nur yang juga melayat, menyimpan kenangan mendalam terhadap pribadi almarhum. Dia sangat terkenang dengan pertemuan terakhirnya. "Saya sempat berkomunikasi dengan Cak Nur pada Minggu malam (29/8)," ujarnya.

Saat itu, Komaruddin sudah berfirasat bahwa Cak Nur akan meninggal. Sebab, beberapa kali Cak Nur menyebut nama teman-teman serta kerabatnya yang sudah meninggal. "Kata orang Jawa, itu tanda-tanda orang mau meninggal," katanya.

Salah satu nama yang disebut Cak Nur adalah almarhum KH Zarkasi. Menurut dia, Zarkasi adalah tokoh yang secara intelektual sangat berpengaruh pada pribadi Cak Nur. "Kiai Zarkasi itu guru Cak Nur ketika mondok di Gontor," jelas Komaruddin.

Yang membuat dia terharu adalah suara terbata-bata Cak Nur saat menyampaikan analogi pohon pisang dan pohon asam. Cak Nur menyatakan, pohon pisang adalah simbol semangat juang yang tinggi, namun egois. Ia akan terus tumbuh sampai berbuah, tapi hanya untuk dirinya. Sedangkan pohon asam, meski berbuah kecil dan asam, ia mengayomi dan membuat teduh semua di bawahnya.

"Bagi saya, beliau itu ibarat pohon asam yang meski buahnya kecil, tapi bisa mengayomi banyak orang," ujarnya.

Wapres Jusuf Kalla mengucapkan turut berbelasungkawa atas meninggalnya Cak Nur yang disebutnya sebagai tokoh umat dan tokoh bangsa itu. Dalam diri Cak Nur, semua itu bersatu. Sulit mencari bandingan tokoh tersebut.

Syafi'i Ma'arif juga merasa kehilangan. Mantan ketua PP Muhammadiyah itu adalah karib Cak Nur semasa mereka bersekolah di Chicago University, AS. Gus Dur pernah menyebut Cak Nur, Syafi'i, dan Amien Rais sebagai Tiga Pendekar dari Chicago. "Semoga Cak Nur khusnul khatimah. Ini kehilangan yang berat bagi bangsa. Beliau adalah tokoh moderat dan berprinsip. Bukan hanya cendekiawan muslim, tapi juga cendekiawan Indonesia," tegasnya.

Syafi'i mendengar informasi meninggalnya Cak Nur saat dirinya masih di Jogjakarta. Dia langsung terbang menuju Jakarta tadi malam. "Beliau layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ini kehilangan bangsa," ungkapnya.

Ketua MUI Umar Shihab mengatakan, "Kita kehilangan tokoh yang punya pemikiran yang sangat baik mengenai umat Islam, meskipun ada yang menggelitik tentang pandangannya. Tapi, itu biasa."

Ketua PB NU Hasyim Muzadi mengungkapkan, Cak Nur adalah seorang muslim yang mampu mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas. Hal itu tidak banyak bisa dilakukan orang. "Sehingga, yang disampaikan Cak Nur selalu mengalir dan bisa disampaikan siapa pun. Pikiran Cak Nur harus diteruskan," katanya.

Tokoh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini menjabat Ketua MPR Hidayat Nurwahid mempunyai kenangan dengan Cak Nur. Dia sempat tujuh hari tinggal bersama Cak Nur dalam sebuah seminar di Riyahd beberapa saat lalu.

"Beliau tidak kikir dalam ilmu dan pengalaman. Inti pesan dari Cak Nur, kita hidup di Indonesia yang plural. Hanya, jangan sampai dengan dalih pluralisme, kita memaksakan kehendak kepada orang lain," ujarnya. (abi/naz/ai)


Selasa, 30 Agt 2005, http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=187011

Mengenang Pembaruan-Islam Cak Nur

Oleh Ismatillah A. Nu'ad *

Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemarin berpulang ke rahmatullah. Bapak pembaruan pemikiran Islam itu meninggal dunia pada usia 66 tahun.

Mengenang sosok almarhum tidak bisa dipisahkan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran Islam pada 35 tahun silam. Mengenang gerakan itu kurang pas jika tak menyebut nama besar Cak Nur. Mengabaikan Cak Nur sama seperti garam tanpa asin.

Dia dinisbatkan sebagai gerbong pembaruan karena pada awal dekade 70-an menggelontorkan gagasan rasionalisasi-agama sebagai jargon dari gerakan pembaruan-Islam. Pada acara halalbihalal organisasi muda Islam, Cak Nur memberikan ceramah berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat di Jalan menteng Raya No 58, Jakarta Pusat. Gagasan yang ditebarkan cukup menggetarkan karena tak lazim. Dia bicara soal rasionalisasi, sekulerisasi, desakralisasi, modernisasi-Islam, dll.

Menurut Cak Nur, sekulerisasi berarti rasionalisasi-agama, dalam arti mengartikulasi pesan-pesan moral agama pada tataran realitas kehidupan. Sementara itu, modernisasi tidaklah identik dengan westernisasi, tetapi merupakan spirit yang hendaknya memacu umat Islam untuk berbuat seperti dalam kemajuan-pencerahan yang terjadi di Barat (Tarekat Nurcholisy: 2001).

Gagasan-gagasan itu kemudian mendapatkan kritik dan serangan bertubi-tubi dari kelompok skripturalis-tekstualis muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah. H M. Rasjidi merupakan salah satu pentolannya. Rasjidi adalah seorang sarjana muslim dari Universitas di Prancis dan penerjemah buku-buku bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.

Sebaliknya, kritik bertubi-tubi tak membuat surut Cak Nur. Gagasannya di awal 1970-an, misalnya, dipertegas lagi setelah Cak Nur merampungkan studi di Universitas Chicago awal dekade 80-an.

Pada saat itu, Cak Nur banyak menawarkan pendekatan baru yang dianggap "tak lazim" dalam ajaran Islam, yaitu kesemuanya lahir dari tafsir dan konsekuensi terhadap gagasan rasionalisasi-agama. Sebuah gagasan R. William Liddle (1995) yang mereduksi dari Robert N. Bellah, seorang sosiolog-agama kenamaan dari Amerika. Gagasan itu, menurut Liddle, dielaborasi Cak Nur dalam makalah kerjanya ketika berada di perjalanan dari Chicago.

***

Setelah pulang dari Chicago, lantas banyak kalangan skripturalis-tekstualis muslim yang merasa tak salah menduga bahwa Cak Nur memang agen orientalis. Sebab, kampus Chicago di dunia Islam terkenal sebagai sarang para orientalis kenamaan, seperti Wilfred Cantwell-Smith, Marshal G. S. Hodgson. Selain itu, di sana juga ada pemikir muslim yang menjadi gerbong modernisasi dan pembaruan-Islam karena mendekati agama dengan jalan rasional, seperti Fazlur Rahman.

Cak Nur, sebagai salah satu mantan murid Rahman, seperti juga Amien Rais dan Syafii Maarif, secara otomatis mengikuti gaya pemikiran Rahman yang rasional. Tampaknya dari Rahman itulah, bukan dari Bellah seperti pendapat Liddle, Cak Nur mendapat inspirasi awal mengenai gagasan rasionalisasi agama.

Gayung pun bersambut. Cak Nur rupanya tak hanya dikritik. Namun, banyak pula sambutan hangat yang datang dari kalangan-kalangan yang sepaham dengannya. Kalangan yang sepaham itu, pada substansinya, adalah orang-orang yang tidak mau lagi memahami Islam secara mainstream dan selama itu dianggap otoritatif.

Pendekatan terhadap Islam nonmainstream yang dianggap tak otoritatif itu, ternyata, lebih menyegarkan dan relevan dengan gejolak pemikiran-pemikiran liar di kalangan aktivis muda Islam khususnya. Keliaran pemikiran terjadi akibat persinggungan tradisi dan khasanah pemikiran modern dari Barat.

Pengikut Cak Nur yang setia dan paling awal datang dari kalangan aktivis-muslim, katakanlah seperti Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Adi Sasono, Eki Syachrudin dan orang-orang yang pernah bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas latar pemikiran yang sejalan dengan Cak Nur.

Mereka dikatakan seperti itu karena tak sedikit juga di HMI yang tak sejalan dengan gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur. Oleh Greg Barton (1999) kemudian dipilah orang-orang yang masuk kelompok neomodernis dan orang-orang yang dikategorikan substansialis. Namun, keduanya sama-sama memperjuangkan gerakan pembaruan-Islam di Indonesia.

Kelompok neomodernis dinisbatkan karena telah memperbarui kalangan modernis-muslim yang menggelontorkan gagasan modernisasi-Islam. Tokohnya adalah Fazlur Rahman. Kelompok neomodernis, menurut Barton, terbentuk karena mereka tak hanya punya akses dalam khasanah tradisi intelektual Barat-modern. Namun, juga punya akses yang cukup luas dari khasanah tradisi klasik-pesantren.

Kelompok substansialis, menurut Barton, punya akses besar terhadap khasanah intelektual Barat-modern, tapi kurang mendapatkan akses khasanah intelektual klasik-Islam. Kelompok neomodernis diwakili oleh orang seperti Cak Nur sendiri, kemudian Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yang mewakili kelompok substansialis adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dll.

***

Dalam perjalanannya, gerakan pembaruan-Islam Cak Nur dianggap bukan suatu barang baru. Sebab, lama sebelum Cak Nur memelopori gerakan pembaruan, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar juga mengklaim sebagai gerakan pembaru.

Kategori umum mengenai gerakan pembaruan lantas juga merujuk pada gerakan salafi-Wahabi di Arab yang kemudian membentuk Kerajaan Saudi pengklaim penjaga dua kota suci Makkah-Madinah. Jika dirujuk masa awalnya, gerakan pembaruan dipelopori Rifaat Tahtawi, Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasdyid Ridha di Mesir.

Menurut Thoha Hamim, ciri umum gerakan pembaruan, antara lain, kembali kepada ajaran Quran, sunnah, dan tradisi salaf, menolak praktik-praktik taklid (ittiba’), berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual, dan yang paling menonjol tentu saja memerangi bidah dan khurafat. (Thoha Hamim, Moenawar Chalil’s Reformist Thought, 2000)

Memang, geneologi gerakan pembaruan beserta ciri umumnya itu turut serta menginspirasi gerakan pembaruan Cak Nur. Namun, untuk menggeneralisasi kesamaan secara menyeluruh juga tak dapat dibenarkan. Jadi di sini, model pembaruan di Mesir berbeda dengan pembaruan ala Wahabi di Arab Saudi, begitu pula pembaruan ala Wahabi berbeda dengan Muhammadiyah di Indonesia. Akhirnya, gerakan pembaruan Muhammadiyah berbeda pula dengan pembaruan Cak Nur.

Meski semua gerakan pembaruan itu mengklaim pewaris generasi salafi, salafi di Arab Saudi berbeda dengan salafi Muhammadiyah. Jika salafi di Arab Saudi berarti Wahabisme fanatik, radikal, dan tak toleran serta tak akomodatif dengan mazhab di luar mazhab Wahabi itu sendiri, salafi Muhammadiyah justru sebaliknya. Yakni, bersifat moderat, tradisional, dan akomodatif-demokratis.

Bahkan, organisasi terbesar lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) "saudara kandung Muhammadiyah" tak hanya akomodatif, tapi juga oportunis dalam soal komparasi mazhab fikih.

Berbeda jauh dengan itu, salafi pembaruan Cak Nur bahkan melampaui salafisme Muhammadiyah maupun NU sekalipun. Salafi pembaruan Cak Nur lazimnya bersinggungan dengan modernitas Barat yang didapat dari hasil persinggungan dengan dunia akademis-nontradisional.

Karena pembaruan Cak Nur lahir dari kampus, maka konsekuensinya, dalam jumlah masif, banyak "Cak Nur muda" di masa sekarang yang mengikuti jejak langkahnya. Dalam pelbagai warna, pembaruan Cak Nur ditafsirkan oleh mereka sehingga lahir pula tafsir yang lebih mengerucut terhadap pembaruan Cak Nur, entah mereka yang kemudian menamakan kelompok postradisionalisme-Islam (Postra), Islam-liberal (Islib) maupun Islam-progresif.

Yang jelas, pembaruan Cak Nur dikatakan cukup berhasil karena tak hanya memperkenalkan model rasionalitas berpikir dalam mendekati agama, tapi juga berhasil mengelaborasi, mendemonstrasi, dan mengaktualisasikannya dalam realitas kekinian. Karena itu, tak hanya pengkritiknya, pengikutnya pun terus ada dan tetap eksis sampai kapan pun.***

* Ismatillah A. Nu’ad, bekerja di Center for Moderate Moslem (CMM) di Jakarta


Selasa, 30 Agt 2005, http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=187010

Mengenang Cak Nur

Oleh Fachry Ali *

Walau sudah menduga sebelumnya, toh saya -seperti banyak yang lainnya- terkejut menerima berita dari Abdul Hamid. Putra almarhum Kiai Fatah, pendiri Pesantren Al-Fatah di Sekaran, Siman, Lamongan, Jawa Timur, ini menyampaikan berita duka: wafatnya Nurcholish Madjid, seorang pemikir Islam dan cendekiawan Indonesia terkenal, yang populer dipanggil Cak Nur.

Di Universitas Paramadina, "pesantren" yang didirikan Cak Nur, khalayak yang berduka sudah banyak berdatangan menunggu kedatangan jenazah tokoh pemikir ini.

Secara pribadi, ingatan saya melayang ke Singapura. Di sebuah rumah sakit negara-kota ini, Cak Nur sudah bisa bicara ketika saya berkunjung akhir November tahun lalu. Mbak Omi, istri Cak Nur, meminta saya menunggu sebentar, karena Cak Nur sedang salat asar.

Dengan bertayamum, seperti yang saya intip dari kaca pintu, Cak Nur yang tampak lemah itu memang sedang khidmat menunaikan ibadah. "Cak Nur itu lebih kuat dari saya," ujar Mbak Omi. "Malah dia yang menasihati agar saya bersabar. Penderitaan Nabi Ayyub belum seberapa dibandingkan dengan yang kita alami," kata Mbak Omi mengulang kembali kalimat Cak Nur.

Setelah berbicara barang sejenak usai salat, dengan senyum manis sebagaimana biasa, Cak Nur berkata kepada saya, "Salam kepada kawan-kawan di Tanah Air."

Itulah perjumpaan saya yang terakhir dengan Cak Nur. Sebab, entah karena kesibukan apa, saya tak sempat menjenguk tokoh ini justru ketika sudah berada di Tanah Air.

***

Tetapi, seperti juga dengan lainnya, perjumpaan gagasan antara saya dan Cak Nur tak pernah berakhir. Walau sudah pasti ada beberapa komentar kritis saya terhadap gagasan dan analisis Cak Nur, secara keseluruhan gagasan-gagasannya telah membuka paradigma baru dalam cakrawala pemikiran Islam dan keindonesiaan di Tanah Air.

Akar paradigma ini tertanam dalam perubahan drastis sosial-politik dan ekonomi Indonesia ketika transisi politik Orde Lama dan Orde Baru bergulir. Cak Nur dan kawan-kawan segenerasinya menyadari bahwa pertarungan ideologi yang mendominasi pergulatan politik di masa "Orde Lama" telah mengalami "sakralisasi", karena partai-partai politik telah diperlakukan sebagai bagian dari agama.

Gejala semacam ini terutama terlihat pada kalangan Islam yang keanggotaan dan partisipasi seseorang di dalamnya menentukan apakah dia "beriman" atau tidak. Islam, dalam konteks ini, tidak lagi berfungsi sebagai "agama" -sebagaimana lazimnya- melainkan sebuah ideologi yang perlakuan atasnya mirip sebagai "agama".

Dalam konteks inilah Cak Nur menyampaikan gagasan "pembaruan pemikiran Islam Indonesia" pada awal 1970-an. Intinya bahwa desakralisasi ideologi-ideologi politik, termasuk (ideologi parti-partai politik) Islam merupakan sebuah keharusan.

Bahwa Islam adalah sebuah agama dan hak bagi setiap orang Islam mempunyai preferensi politik tersendiri; dan karenanya tidak gugur keislaman seseorang walau tak mempunyai preferensi politik terhadap partai-partai Islam.

Dengan kata lain, menjadi anggota atau pendukung sebuah partai Islam tidak secara otomatis menjadi lebih Islam daripada seorang muslim yang mendukung partai lain; dan bahwa keislaman seseorang tidak ditentukan apakah ia anggota sebuah partai politik Islam atau tidak.

Inilah saya kira inti paradigma baru pemikiran Cak Nur yang segera mempengaruhi kecenderungan afiliasi politik berbagai kaum terpelajar muslim Indonesia.

Masuknya secara berbondong-bondong lapisan terpelajar santri Indonesia ke berbagai partai politik tanpa ideologi Islam pada masa Orde Baru, munculnya gagasan depolitisasi NU yang dikukuhkan dalam muktamar Situbondo pada 1984 dengan semboyan "Kembali kepada Khittah 1926", antara lain bersinggungan dengan gagasan desakralisasi ideologi politik yang dilancarkan Cak Nur dua dekade sebelumnya.

***

Di atas paradigma desakralisasi ideologi inilah Cak Nur mengembangkan dua pemikiran berikutnya tentang masalah sosial-keagamaan dan politik Indonesia. Pada hal yang pertama, Cak Nur menekankan pluralisme dan toleransi; bahwa kebenaran interpretasi (penafsiran) sebuah kelompok atas ajaran sebuah agama, dalam hal ini Islam, bersifat tidak mutlak -karena kelompok lain juga mempunyai hak yang sama melakukan penafsiran tersendiri.

Gagasan ini dikemukakan Cak Nur untuk menghindari konflik yang memang potensial terjadi seandainya setiap kelompok "ngotot" dengan kebenaran interpretasinya. Konflik atas nama Tuhan dengan sesama umat bisa menjadi ironi tersendiri, justru karena Tuhan adalah penganjur perdamaian.

Dari lapangan internal ini, Cak Nur kemudian mengembangkan keharusan toleransi terhadap agama dan sistem kepercayaan lain. Kendati agama-agama non-Islam tidak "suci" secara teologis, kaum muslim harus mengembangkan sikap toleransi, karena kehadiran agama-agama tersebut telah menjadi fakta sosial-keagamaan yang tak bisa dielakkan.

Kedua adalah visi politik yang didasarkan demokrasi dan moralitas. Hemat saya, gagasan terakhir inilah yang diperjuangkan Cak Nur bersama Abdurrahman Wahid serta lainnya, terwujud di Tanah Air, hingga akhir hayatnya.

"Perlawanan" Cak Nur pada otoriterianisme kekuasaan masa Orde Baru, dan seruannya membangun sistem yang permanen bagi sistem demokrasi adalah inti pemikiran dan perjuangan Cak Nur. Ini justru disuarakan ketika rezim Orde Baru masih sangat kukuh.

Dengan telak Cak Nur berucap: "Jangan percayakan nasib bangsa pada niat baik satu dua orang pemimpin. Percayakan nasib bangsa pada sistem yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan."

Kini, Cak Nur telah tiada. Gagasan keislaman dan keindonesiaannya serta gagasan perjuangan menegakkan demokrasi akan dilanjutkan oleh generasi seangkatan yang masih hidup dan pasti disambung oleh generasi berikutnya.

Jakarta, 29 Agustus 2005

* Fachry Ali MA, peneliti pada ...


"Pesan saya sebagai orang tua yang sudah berusia di atas 70 tahun adalah agar orang beragama secara beradab, santun, dan arif dalam menyikapi keadaan. Islam yang saya pahami adalah Islam yang sebangun dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, beradab, dan mulia." (Buya Syafii)

Selasa, 30 Agustus 2005, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=211544&kat_id=19

Cak Nur

Cak Nur (Prof Dr Nurcholish Madjid) adalah cendekiawan dan penulis Indonesia yang sangat produktif sebelum mengalami pencangkokan hati di Cina, kemudian dirawat di Singapura dan di Jakarta selama beberapa bulan. Kondisi kesehatannya memburuk dan ia akhirnya wafat kemarin.

Sewaktu dirawat di Singapura dan di RS Pondok Indah, sudah banyak sekali orang penting dan para sahabat menjenguknya demi menunjukkan simpati dan empati yang amat dalam terhadap Cak Nur. Sewaktu saya dan istri mengunjunginya di RS NUH (National University Hospital), Singapura, beberapa bulan yang lalu, Cak Nur baru saja keluar dari ICU dalam keadaan lemah sekali, tetapi dapat berkomunikasi melalui tulisan Arab-Melayu yang tidak mudah saya baca. Kami hanya trenyuh dan tertunduk hormat sambil berdoa untuk kesembuhannya.

Sebagai sahabat yang pernah bergaul selama lebih empat tahun di Chicago dan mengaji Alquran pada Fazlur Rahman di kediamannya, sekitar 45 mil dari kota itu, saya sampai batas-batas yang agak jauh telah mengenal Cak Nur dari jarak yang dekat. Ketika berbicara, pembawaannya lembut, sopan, serta mengeluarkan pendapat melalui argumen yang kuat dan teratur.

Perkara orang belum tentu setuju dengan hujah-hujahnya, adalah lumrah belaka. Bukankah tafsiran menusia terhadap wahyu yang mengandung kebenaran mutlak tidak pernah benar mutlak semutlak wahyu itu sendiri?

Oleh sebab itu, jika ada orang yang memonopoli kebenaran dengan jalan memasung hak orang lain untuk berpendapat berbeda, sebenarnya (secara tidak sengaja atau gegabah?) telah mengambil alih otoritas Tuhan sebagai Sumber Kebenaran Mutlak. Cara berpikir semacam ini sangat berbahaya dan dapat meluluhlantakkan persaudaraan antarmanusia.

Dengan sedikit wacana ini, saya akan langsung memasuki topik utama Resonansi ini yang sumbernya dari saksi mata langsung dan otentik. Demikianlah pada 26 Juli 2005, antara pukul 16.30 dan 17.30, beberapa orang mendatangi Cak Nur di rumahnya, sementara Cak Nur sendiri belum pulih kesehatannya, masih lemah. Menyaksikan kondisi fisiknya, semestinya meluluhkan perasaan mereka yang berhati nurani.

Rombongan ini mengaku membawa pesan Abu Bakar Ba'asyir untuk Cak Nur. Sumber pertama merekamkan: ''Apakah pikiran Cak Nur masih?'' Cak Nur menjawab, ''Saya masih tidak bingung.'' Setelah basa-basi, salah seorang bilang menyampaikan salam Ustadz Ba'asyir, dan bahwa beliau bertanya, dalam buku Fiqh Lintas Agama ada nama Cak Nur dan berpendapat semua agama sama. Cak Nur menjawab, ''Saya tidak berpendapat semua agama sama.''

''Ada tertulis kawin antar agama boleh. Ustadz Ba'asyir minta Cak Nur menarik pendapat itu.'' Seorang lagi mengulangi pesan Ba'asyir, ''Itu pendapat salah, minta Cak Nur mencabut pendapat agama sama dan boleh kawin antar agama. Bagaimana pendapat Cak Nur?'' Cak Nur menjawab, ''Saya tidak dalam kondisi untuk menjawab.'' (Ini informasi via SMS yang saya terima pukul 22.35, pada 14 Agustus 2005).

Hampir serupa dengan yang pertama, sumber kedua antara lain merekamkan: ''Yang mereka sampaikan adalah (katanya) amanat dari Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dan M Thalib (dengan asumsi Cak Nur sudah sehat) tentang tiga hal yang ada dalam buku Fiqh Lintas Agama.'' (SMS pukul 06.44, pada 15 Agustus 2005).

Saya tidak berminat mempersoalkan isi dialog itu. Sekiranya Cak Nur sehat, dia akan bisa menjawab berjam-jam semua pertanyaan yang diajukan itu. Yang menjadi keprihatinan saya adalah adab orang menjenguk si sakit. Apakah dalam batas kesopanan Cak Nur diguyur dengan pertanyaan-pertanyaan serupa itu dalam kondisi fisik yang mengundang rasa iba itu?

Rombongan itu 'kan menyaksikan sendiri keadaan Cak Nur dari jarak yang sangat dekat. Mengapa sampai hati ''meneror''-nya dengan berlindung di balik amanah Ba'asyir? Saya sungguh gagal memahami cara orang membawakan pesan agama demikian kasar. Sepengetahuan saya, Ba'asyir bukanlah tipe manusia garang yang suka memaksa-maksa orang lain. Sewaktu saya dan istri menjenguknya di RS PKU Solo pada waktu yang lalu, dia memeluk saya dan mohon doa. Tetapi, mengapa mereka yang menyebut diri pengikutnya seperti tak terkendali, khususnya sewaktu mengunjungi Cak Nur?

Pesan saya sebagai orang tua yang sudah berusia di atas 70 tahun adalah agar orang beragama secara beradab, santun, dan arif dalam menyikapi keadaan. Islam yang saya pahami adalah Islam yang sebangun dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, beradab, dan mulia.

Cak Nur telah wafat. Saya dan keluarga menyampaikan belasungkawa yang sangat dalam dan dalam sekali. Semoga khusnul khatimah.

(Ahmad Syafii Maarif )


Kompas, Sosok, Asal-usul, Minggu, 04 September 2005, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/04/Sosok/2020225.htm

Wahai Jiwa yang Tenang

oleh Mohamad Sobary

Dan duka maha tuan bertahta” (Chairil Anwar)

Di makamnya kita menunggu. Ribuan wajah menunduk. Orang tampak berdesak-desakan di bawah terik matahari sejak menjelang pukul sebelas hingga tengah hari.

Apa bedanya dengan dulu ketika di Taman Ismail Marzuki atau di hotel-hotel kita berkerumun menanti dia datang dan kemudian mendengar ceramah-ceramahnya?

Bedanya, kali ini ada tembakan salvo, upacara kemiliteran, dan tembang Gugur Bunga. Kali ini kita mengantarkannya pulang. Dan sesudah ini tak akan pernah ada lagi panitia menjemputnya dan membawanya ke podium untuk didengar pemikirannya.

Dan ketika di atas pusaranya orang-orang tercinta dan yang setulus hati mencintainya—juga anggota-anggota keluarga, para sahabat, teman-teman, kenalan, dan para pengagum—dengan kusuk menabur bunga, saya pun mengambil sejumput, kemudian saya taburkan di atas taburan yang sudah merata.

Ini bukan taburan pertama, tetapi bukan yang terakhir. Di belakang saya antrean masih panjang.

Sejenak saya termangu. Bait terakhir puisi Chairil Anwar: ”Dan duka maha tuan bertahta” yang ditulis pada saat kematian neneknya menggambarkan dengan baik suasana sejak kemarin sorenya di Kampus Paramadina.

Dalam hati saya sendiri, rasa bersalah besar, pengakuan dan penyesalan, berkecamuk. Rasanya seperti lorong kecil tanpa ujung. Utang sosial macam ini dengan apa dibayar? Saya terhukum.

Hari Minggu—dua hari sebelumnya—ketika kesehatannya sangat menggembirakan, saya dan istri saya bermaksud menengok ke rumah sakit, tetapi gagal oleh urusan teknis lainnya dan saya menghibur diri bahwa hari lain masih ada. Kita tak pernah tahu rahasia Tuhan.

Saya mendoakannya dengan hati merendah dan dengan kesadaran yang mulai utuh tetapi getir bahwa kita betul-betul kehilangan. Dan bahwa apa yang hilang itu tak mungkin kembali.

Alunan tembang sahdu ”mati satu tumbuh seribu” saya kira bukan janji, bukan hiburan. Mati satu tumbuh satu pun rasanya sudah merupakan kemurahan alam yang melimpah. Tetapi, siapa gerangan yang satu itu?

Berkali-kali, dalam gerah ketika kita menanti rangkaian upacara itu, orang membisikkan rasa kehilangannya. Berkali-kali pula orang bertanya kepada saya siapa penggantinya, dan saya tak bisa menjawab.

Cak Nur pergi bukan atas kemauannya sendiri. Saya berani bertaruh, gemuruh dalam jiwa dan semangatnya untuk mengabdi negaranya belum reda. Ia masih ingin terus memperbaiki keadaan yang tetap morat-marit. Tak sukar kita menyelami dan menyimpulkan bahwa ia sering kecewa.

Ia bukan hanya orang yang bisa disebut committed citizen, tetapi ia pemimpin yang sangat peduli. Ia tak sabar membayangkan hasil kerjanya.

Dialah yang gigih menciptakan ruang kebudayaan untuk memfasilitasi agar kekuatan rohaniah bernama ”umat”, yang sangat jauh tertinggal bisa masuk ke dalam dan menjadi bagian dari ”modernitas”, kiblat dunia itu. Ia ”memodernisasikan” umat.

Dengan syukur ia melihat meningkatnya pendidikan ”umat”. Ia sadar Timur-Barat itu milik Tuhan. Dan karena itu umat hendaknya jangan dihantui ketakutan dan dibebani kebencian serta dendam tiap bicara Timur-Barat.

Sebagai kiblat geografis keduanya ada. Sebagai kutub pemikiran keduanya tak perlu dianggap dikotomi. ”Timur-Barat” atau ”Barat-Timur” itu sebuah civilization continuum. Dulu, peradaban mengalir dari Timur ke Barat dan sekarang kebalikannya, tetapi apa salahnya?

Cak Nur bangga melihat proses ”santrinisasi birokrasi” dan ”birokratisasi santri” itu. Tetapi, ketika santrinisasi itu bergerak ke ”tengah”, ia kecewa karena ”santrinisasi birokrasi” berubah dari gejala sosiologis biasa menjadi gejala politik yang tak ramah.

”Umat" lalu menjadi kekuatan politik riil. Banyak pihak berkata: kini giliran kita. Tetapi, ”kita” itu hanya sedikit orangnya. Suasana balas dendam atau kehendak dominan dilampiaskan. Dengan masygul, Cak Nur pun mundur.

Sebagai pemikir, jiwa Cak Nur bergejolak. Ia liberal, lebih dari siapa pun. Tetapi, watak liberalnya tak diumumkan dan ia tak ingin dipahlawankan karena alasan itu. Ia mungkin malah tak tahu bahwa ia liberal.

Secara pribadi, Cak Nur jiwa yang tenang. Sikapnya lembut. Tutur kata dan sepak terjangnya santun seperti murid teladan.

”Murid? Bukankah ia guru bangsa?”

Seorang guru bangsa pun hakikatnya juga murid. Sekarang terlalu banyak orang mengaku pintar dan semua berambisi menjadi pemimpin tanpa bersedia menjadi murid.

Dan murid yang satu ini sudah menghadap. Di sana, semoga ia disambut ramah: ”Wahai jiwa yang tenang, masuklah ke dalam surga-Ku.”


Edisi. 28/XXXIV/05 - 11 September 2005, Catatan Pinggir

Lembing

Lima hari setelah Nurcholish Madjid meninggal, di sebuah masjid kecil di Jalan Talang di Jakarta, seorang khatib berbicara tentang sesuatu yang menakutkan: dengan sebuah otoritas yang ia kesankan melalui mihrab dan kata-kata Arab, ia mengucapkan sesuatu yang tak benar. Ia mengatakan bahwa wajah jenazah almarhum menghitam, kata sang pemberi khotbah ini, karena Nurcholish diazab Tuhan….

Saya tak tahu lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak tahu apa peran dusta. Saya tidak tahu untuk apa fitnah—terutama dari sebuah posisi, tempat ayat suci dikutip, pesan Rasulullah diulang, dan yang benar dan yang adil diimbaukan berabad-abad.

Yang terasa bagi saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan sampah. Sampah itu bernama kebencian: buangan dari zaman ini. Salah satu ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat guyah, penuh cemas, dan genting—dan kebencian, biarpun berbau busuk—adalah sebuah mantra untuk menemukan kekuatan yang melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di sebuah dunia yang tidak bisa mereka kendalikan, ada orang-orang yang merasa hanya patut beriman bila mereka tampil dengan wajah sengit. Marah terus-menerus kepada sekitar telah jadi semacam perisai, dan kata-kata telah jadi lembing. Chairil Anwar pernah menulis tentang para ”ahli agama dan lembing katanya”.

Ketika kata menjadi lembing, hidup menjadi perang yang percuma. Lawan dalam pikiran, sengketa dalam pendapat, bentrok dalam keyakinan, adalah bagian dari ketegangan yang tak pernah dapat diselesaikan dalam hidup. Tuhan tak bermaksud membuat perbedaan tak pernah ada. Ketika kata menjadi lembing, apa yang bisa dirobohkan? Apa yang bisa dibinasakan? Bahkan sejarah—dan dalam hal ini kita bisa berbicara tentang sejarah agama-agama—adalah sejarah pembantaian yang tak menyebabkan satu pihak menjadi benar dan diterima di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Syiah dan Sunni tak bisa saling melenyapkan, Katolik dan Protestan tak kunjung mampu saling meyakinkan.

Setiap usaha untuk meyakinkan sebenarnya membutuhkan tidak adanya ilusi. ”Tidak ada paksaan dalam agama,” demikian kata Quran: tidak ada kekerasan, dalam laku dan ucapan, yang akan dapat membuat keyakinan berubah. Kebenaran adalah hal yang selalu bergerak antara ”tertangkap-menangkap” dan ”terlepas-melepas”. Yang universal tampak sebagai kaki langit yang bila digapai selalu menjauh—tak henti-hentinya. Tiap konsensus mengandung ketidakbulatan. Manusia berpikir, berbicara, dan menafsir apa saja—juga Sabda Tuhan—senantiasa dalam waktu dan dalam cacat.

Bahwa tak ada pintu yang satu ke arah satu keyakinan agama pada akhirnya melahirkan kesadaran, bahwa tidak ada satu kepala yang bisa menentukan arah apa yang terbaik dari yang ada. Pemimpin dan khalifah berganti dengan atau tanpa dikecam. Bertahun-tahun kemudian, setelah pengalaman yang lama, demokrasi datang sebagai cara mengatasi kekosongan itu. Demokrasi adalah hal yang tak bisa diingkari jika kita sadar akan kefanaan. Demokrasi sebab itu bagian dari ketegangan, tapi ia tidak akan bisa berjalan dengan kebencian, jika kebencian membuat yang nisbi menjadi seakan-akan mutlak, tak berubah dan kekal.

Ada banyak peninggalan kearifan Nurcholish Madjid untuk orang Indonesia, dan salah satunya adalah bagaimana memahami dan menghadapi ketidak-kekalan. Ketika Golkar begitu dominan, ia memihak Partai Persatuan Pembangunan. Ketika di bawah Presiden Soeharto dan kekuasaannya pemilihan umum begitu kotor dan kasar, ia mendukung gagasan Komite Independen Pemantau Pemilu. Ketika pada tahun 1998 Soeharto akhirnya bertanya kepada sejumlah tokoh muslim tak lama sebelum ia turun takhta, Nurcholish juga yang mengatakan bahwa sang Presiden yang telah berkuasa sejak 1966 itu lebih baik turun. Yang berkuasa atau tidak, akan selalu bertemu dengan batas.

Ada hubungan yang tak selalu tampak antara kearifan tentang ketidak-kekalan manusia dan toleransi kepada iman dan pendapat orang lain. Kesulitan para penganut agama ialah ketika mereka menduga bahwa ketidak-kekalan mereka akan ditiadakan dengan ajaran yang kekal yang mereka anut. Yang mustahil dan yang mutlak memang sangat menggugah, tapi selalu ia di masa depan, dan masa depan juga tidak abadi. Nurcholish adalah guru tentang kerendahan hati.

Kerendahan hati adalah bagian terdalam dari hasrat berjabatan tangan. Kebencian selalu menjadi angkuh—tetapi kali ini angkuh itu menjadi angkuh karena sebenarnya ada yang membuat ragu, cemas, dan rapuh. Kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda putus asa, tapi sekalipun tanpa putus asa, ia tidak akan menyebabkan keyakinan-keyakinan berubah. Kekuatan sebuah firman tidak datang dari kata yang terhunus bagaikan lembing. Ya, Nurcholish adalah guru tentang kata-kata yang tidak menusuk, tidak berteriak.

Goenawan Mohamad

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team