|
III. Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas
Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan
Nurcholish Madjid
Ketua Yayasan Paramadina
A. Mukadimah
Untuk kesekian kalinya kita akan coba bahas hubungan
agama dan politik dalam Islam. Ibaratkan menimba air Zamzam
di Tanah Suci, pembicaraan tentang masalah ini tidak akan
ada habis-habisnya. Pertama, disebabkan kekayaan sumber
bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi
pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan
peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap
pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu
atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan
yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga
menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri
terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan
penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama
dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus
berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau
melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat,
khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.
Sekali pun begitu, dorongan untuk terus melakukan
pembahasan tentang masalah ini tetap dirasakan penting dan
punya relevansi dengan perkembangan zaman. Tidak saja Dunia
Islam sekarang mengenal berbagai sistem politik yang
berbeda-beda, jika tidak malah bertentangan, satu sama lain.
Lebih penting lagi, seperti tercermin dalam berbagai tema
pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta
maupun pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri
tentang perlunya memberi jawaban yang benar dan konstruktif
terhadap tantangan zaman mutakhir. Harapan untuk dapat
melakukannya dengan baik antara lain akan tumbuh jika ada
kejelasan tentang persoalan yang amat prinsipil, yaitu
persoalan hubungan yang benar antara agama dan politik dalam
Islam.
Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan
meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam
Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya
terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi
pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah
wewenang shahib al-syari'ah (pemilik syari'ah), yaitu
Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya
dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang
wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut
masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal
ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.
Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik
(atau bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari
segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau
pertanyaan "untuk apa" tidak dibenarkan lepas dari
pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya
pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh
kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia.
Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari
agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya
serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah
wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat
dipandang sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah
politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi
struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang
sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan
dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu
dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa
kekhalifahan Rasyidah).
Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan
itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah.
Muhammad s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah
itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci
(sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik
(sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran sebagai
seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh
dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan
wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai
seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah --sesuai
dengan perintah Allah-- yang dalam musyawarah itu beliau
tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan
pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala
negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau
melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau
hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para
anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan
sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi
beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak
diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan
Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara
kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan
kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah
membuat Nabi
Muhammad s.a.w. seorang tokoh yang paling berhasil dalam
sejarah umat manusia.8
B. Tinjauan Sekilas atas
Masyarakat Madinah
Pembicaraan tentang agama dan politik dalam Islam tidak
sepenuhnya absah tanpa pembicaraan tentang masyarakat
Madinah, khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu
pembicaraan baru, meskipun di sini akan dicoba tekankan
segi-segi tertentu yang dirasa paling relevan dengan
persoalan kontemporer Islam dan politik.
Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah
lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer
sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan
atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan
orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama
Bani Nazhir, Bani Qaynuqa' dan Bani Qurayzhah. Kota oase itu
agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh,
dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius,
Yethroba.
Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran
politik ialah tindakan Nabi s.a.w. untuk mengganti nama kota
itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu bukanlah perkara
kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan
mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan
politik jazirah
Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan
revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan
Arab "madinah" berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari
asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat
ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu
"d-y-n" (dal-ya'-nun), dengan makna dasar "patuh",
sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dana-yadinu. Dan situ
pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk
"agama" ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide
tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau
rangkaian ajaran yang disebut "agama" itu memang berintikan
tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang
dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup.
Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang
benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang
benar, sebagian lagi tidak.9
Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh
kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kepatuhan
penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab,
Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam
(damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh,
integral, sound). Karena itu kepatuhan atau dan yang benar
ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life)
penghuni seluruh alam raya,10
bahkan alam raya itu sendiri juga,11
yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar
bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul
sepanjang masa.12
Karena kepatuhan serupa itu merupakan "hukum alam" (lebih
tepatnya, ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam,
ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan islam adalah sikap
tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas
orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya
tertolak.13
Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan
Arab "din" itu sama prinsipnya dengan makna perkataan
Sanskerta "agama". Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa
perkataan itu berasal dari rangkaian "a-gama" yang berarti.
"tidak kacau", yakni, teratur atau berperaturan. ("Agama"
dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara
lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal,
Negara Kertagama).
Kembali ke perkataan "madinah" yang digunakan Nabi s.a.w.
untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya
sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi,
bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat
teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah
masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola
kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar
kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan
atau hukum.
Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah
madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan
beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa
Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga
"polisi"). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur
dalam lingkungan masyarakat yang disebut "kota" (city,
polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu
terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di
suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak
hadir (hadlarah) di tempat itu. Maka, masih dalam
peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti "kebudayaan",
dan hadlarah menjadi berarti "peradaban", sama dengan
madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang
mempunyai makna peristilahan "hidup berpindah-pindah"
(nomadism) dan makna kebahasaan "(tingkat) permulaan"
(bidayah, alis "primitif''). Karena itu "orang kota" disebut
ahl al-hadlar atau hadlari dan "orang kampung" disebut ahl
al-badawah atau badawi, juga badwi (badui). Kaum "badui"
Juga sering disebut al-A'rab yang secara semantis berbeda
makna dari perkataan al-'Arab (orang Arab) sekalipun dari
akar kata yang sama. Dalam al-Qur'an mereka yang disebut
al-A'rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang
kasar dan sulit memahami dan mematuhi
aturan.14
Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya
kepada Nabi s.a.w. hanya sampai kepada batas kepatuhan
lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur'an terbaca
firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa
mereka itu baru "berislam" (secara lahiriah), karena iman
belum masuk ke dalam hati mereka.15
C. Hukum dan Keadilan sebagai
Sokoguru Peradaban
Pendekatan kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya
dapat membantu memperjelas pandangan-pandangan dasar
masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama. Sebab
banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang
dapat diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata
kunci jaringan peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu
didapatkan antara lain dengan memahami secara baik deretan
nomenklaturnya.
Dari uraian di atas itu telah tampak hubungan antara
agama dan politik, yaitu hubungan pengawasan dari atas oleh
agama terhadap wilayah kehidupan sosial-politik di bawahnya,
sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak yang
mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan
etis yang kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup
yang paling mendasar, yaitu keimanan.
Pembahasan kebahasaan di atas juga menggambarkan makna
sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai
tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah makhluk
sosial (zoon politicon, al-insanu madaniyun bi al-thab'i),
sehingga tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan
persyaratan kehidupan sosial ialah adanya peraturan yang
disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa
ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula
dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat.
Masyarakat beradab harus menghormati dan menaati
perjanjian-perjanjian itu,16
sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian
antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran
agama.17 Itu
sebabnya dalam al-Qur'an ada peringatan bahwa kezhaliman
tiranik akan muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis,
kehilangan kesadaran sosial karena merasa cukup dengan
dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang
lain.18
Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan
adalah tiranisme (thughyan) yang dalam berbagai kisah dalam
al-Qur'an digambarkan sebagai permusuhan
kepadaAllah.19
Dalam hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu
masyarakat Madinah pimpinan Nabi s.a.w. telah memberi
teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah
kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima
dan menjalankan hukum aturan manusia dengan
asli,20
masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan
dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu
melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing
warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap,
tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari
harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari
paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam
kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena
hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu
dari yang lain.
Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan
adil "tanpa pandang bulu" banyak ditegaskan dalam Kitab
Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa kedua
orang tua sendiri dan karib
kerabat.21 Dan
Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa
terdahulu ialah karena jika "orang kecil" melanggar pasti
dihukum, sedangkan bila yang melanggar itu "orang penting"
maka dibiarkan berlalu.22
Dalam rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga
masyarakat Madinah itu, Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah
untuk mendorong dan mewajibkan kelompok-kelompok non-Muslim
melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan prinsip
pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau
kembangkan. Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan
menegakkan hukum Taurat, demikian pula kaum Nasrani dengan
Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka tidak
melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama
mereka sendiri).23
Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum Salaf bahkan
berpendapat bahwa ketentuan hukum dan ajaran dalam
kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku untuk umat
Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu
telah diganti atau dihapus oleh ajaran
berikutnya.24
Bahkan konsep tentang "hapus-menghapuskan" ini, menurut Ibn
Taymiyah, tidak hanya terjadi dalam konteks deretan
datangnya agama-agama, tapi juga dalam konteks perkembangan
dalam agama itu sendiri.
D. Islam dan Politik Modern
Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik
modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan
mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Dalam
konteks pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan
pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola
yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa
kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Seperti
halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih
rasional dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan dan wawasan
kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai
benar-benar mengenal ide dan praktek tentang negara hukum
dari pengetahuan mereka tentang Dunia Islam. Saat
akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian
ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban
Islam merembes dan mempengaruhi Barat, yang kemudian
berhasil menerobos zaman, memasuki sejarah modern.
Beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan
perbedaan antara "modernisme" dan "modernitas". Yang pertama
berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini
sebagai "kebijakan final" umat manusia, perwujudan terakhir
proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan
peradaban. jadi "modernisme", sebagai "isme", mendekati
ketentuan tentang sebuah ideologi tertutup, sama dengan
sekularisme, rasionalisme, dan lain-lairi.
Sedangkan "modernitas" adalah suatu ungkapan tentang
kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam
pengertian positif dan negatif yang campur aduk, dengan
pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya,
dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas,
pengorganisasian, pengelolaan dan produksi, zaman sekarang
adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang
tingkat peradabannya dengan zaman-zaman sebelumnya tidak
lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut
deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar. Tetapi,
tentang kesadaran moral dan rasa kesucian yang benar (yang
bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak
menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman
sebelumnya. Kesadaran moral dan rasa kesucian, dalam
maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan
yang abadi dan perennial. Dalam beberapa hal, zaman modern
sekarang menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik
daripada zaman sebelumnya, tapi dalam beberapa hal lain
justru lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam
dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa
modern (Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat
kemanusiaan orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang
hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya
peranan besar sekali di bidang ini), pemburuan dan
pembunuhan orang-orang Aborigines untuk kesenangan dan
cendera mata orang-orang kaya Eropa (!) dan pengisi museum
antropologi mereka (Republika, 19 Maret 1998), pembersihan
etnis dan genosida oleh bangsa-bangsa ("modern") Jerman dan
Serbia, pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar
mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan
merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan
seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, reputasi
bangsa-bangsa Muslim adalah supreme, amat jauh mengatasi
bangsa-bangsa "modern" tersebut, biar pun dalam fase sejarah
Dunia Islam yang paling rendah.
Oleh karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi
modernitas itu tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah
kejiwaan (orang Islam cenderung merasa minder, kemudian
menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru
merasa terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat
Islam tidak lain ialah, tantangan bagaimana menghidupkan dan
meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang
murni dan menterjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu
yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan
kesarjanaan mutakhir, dari semua sistem ajaran, khususnya
agama, yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan
jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah yang paling dekat
dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner,
misalnya, mengatakan bahwa hanya Islamlah dari semua agama
yang ada yang esensi ajarannya tetap relevan dengan tuntutan
segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu tidak
harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada
desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali ke asal
dan mengembangkan nilai-nilai asasinya
sendiri.25 Di
sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan
Sunnah Nabi.
Wa 'l-Lah-u a'lam.
Catatan kaki:
8 Misalnya, sebagaimana
ditulis oleh Michael Hart dalam bukunya tentang seratus
tokoh dunia, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia.
9 Lihat Q., s.
al-Tawbah/9:29.
10 Lihat Q., s. Alu'
Imran/3:83.
11 Lihat Q., s.
Fushshilat/41:11.
12 Lihat Q., s. Alu'
Imran/3:84.
13 Lihat Q., s. Alu'
Imran/3:85.
14 Lihat Q., s.
al-Tawbah/9:97.
15 Lihat Q., s.
al-Hujurat/49:14.
16 Lihat Q., s.
al-Baqarah/2:177.
17 Lihat Q., s.
al-Nahl/16:91.
18 Lihat Q., s.
al-'Alaq/96:6-7.
19 Prototipe tokoh
tiran (thaghut) yang memusuhi Tuhan ialah Fir'awn, yang
ceritanya dituturkan berulang kali dalam al-Qur'an.
20 Lihat Q., s.
al-Nisa'/4:85.
21 Lihat Q., s.
al-Nis'a'/4:135.
22 Hadits yang artinya:
"Sebenarnya hancur mereka sebelum kamu karena mereka
menegakkan hukum atas rakyat jelata dan meninggalkan hukum
atas orang besar. Demi Dia -Allah- jiwaku ada di Tangan-Nya,
seandainya Fathimah berbuat jahat maka pasti aku potong
tangannya". (Hadits Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud,
Ibn Majah, Nasa'i, Ahmad, dan Darimi).
23 Prinsip pluralisme
dan otonomi kelompok-kelompok sosial keagamaan yang
berbeda-beda (non-Muslim) itu dibeberkan dalam deretan
ayat-ayat suci Q., s. al-Ma'idah/5:42-49.
24 Penegasan yang amat
menarik dari Ibn Taymiyah itu dapat dibaca dalam beberapa
tulisannya, antara lain, dapat dilihat dalam Ibn Taymiyah,
al-Jawab al-Shahih li man Baddala Din al-Masih (Beirut:
Mathabi' al-Majd al-Tijariyah, tth.), juz 1, h. 37l-375).
Lihat juga Ibn Taymiyah, al-Furqan bayn-a 'l-Haqq wa
'l-Bathil (Damsyiq: Maktabah Dar al-Bayan, 1405 H/1985 M),
h. 67-69.
25 "... Only Islam
survives as a serious faith pervading both a folk and a
Great Tradition. Its great Tradition is modernisable; and
the operation can be presented, not as an innovation or
concession to outsiders, but rather as the continuation and
completion of an old dialogue within Islam ... Thus in
Islam, and only in Islam, purification/modernization on the
one hand, and the reaffirmation of a putative old local
identity on the other, can be done in one and the same
language and set of symbols." (Ernest Gellner, Muslim
Society, [Cambridge: Cambridge University Press,
1981], h. 4).
|