|
VII. Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang
Didefinisikan
oleh Jalaluddin Rakhmat
Ketua Yayasan Muthahari, Bandung
ALKISAH, seorang Arab Badawi bermaksud menjual sekarung
gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba meletakkan karung
itu di atas punggung unta; dan berulangkah ia gagal. Ketika
ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya pemecahan yang
sederhana. Ia mengambil satu karung lagi dan mengisinya
dengan pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu
bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera ia
berangkat ke pasar.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang
berpakaian compang-camping dan berkaki telanjang. Ia diajak
oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak, beristirahat,
dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang Badawi itu
menyadari bahwa yang mengajaknya berbincang itu orang yang
banyak pengetahuan. Ia sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba,
orang asing itu menyaksikan dua buah karung bergantung pada
punggung unta.
"Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan
sangat berat", tanya orang asing itu. "Salah satu karung itu
berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu lagi karung
berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung
unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu
memberi nasehat, "Mengapa tidak ambil setengah dari karung
yang satu dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan
begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat
berjalan lebih cepat."
Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik
itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah menjadi
kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar. Tapi dengan
segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti
ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu.
Mestinya kepandaian Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi
emas akan memberikan kekayaan kepada Anda."
Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan sepatu,
hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun untuk makan
malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki telanjang
untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."
"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan
kecerdikan Anda itu."
"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh
sakit kepala dan khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu
hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan."
Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan
bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang kelaparan di
pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang
tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu
akan menular kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu
sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu itu kamu
ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain.
Sekarung gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi
itu lebih baik daripada kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh
jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan; saya
boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat,
karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi
rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti kepada-Nya."
Kisah Jalal al-Din Rumi, yang saya ceritakan kembali
dengan bahasa saya itu, merupakan kritik halus kepada para
filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Moral
cerita ini ditutup dengan kuplet-kuplet berikut:
- Jika kau ingin
derita
- benar-benar hilang dari
hidupmu
- Berjuanglah untuk
melepaskan
- 'kebijakan' dari
kepalamu
- Kebijakan yang lahir dari
tabiat insani
- tak menarik kamu lebih dari
khayalan
- Karena kebijakan itu tidak
diberkati
- yang mengalir dari cahaya
kemuliaan-Nya
- Pengetahuan tentang
dunia
- hanya memberikan dugaan dan
keraguan
- Pengetahuan tentang Dia,
kebijakan ruhani sejati
- membuatmu naik keatas
duniawi
- Para ilmuwan masa kini telah
menghempaskan
- semua pengorbanan diri dan
kerendahan hati
- Mereka sembunyikan
hati
- dalam kecerdikan dan
permainan bahasa
- Raja sejati adalah
dia
- yang menguasai
pikirannya
- Bukan dia yang
pikirannya
- Menguasai dunia dan
dirinya
Rumi menunjukkan bahwa dengan intelek kita tidak akan
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek mempunyai
kemampuan terbatas; dan karena itu, tidak akan mampu
mencerap Tuhan yang tidak terbatas. Sekiranya intelek
mencoba memahami Tuhan, ia akan memberikan batasan
kepada-Nya. Tuhan para pemikir adalah Tuhan yang
didefinisikan.
Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan
melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan
kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin
mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan
menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan
yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah
dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh
keyakinan.
Dalam Matsnawi, Daftar-e Sevon, Bait 1267, Rumi
menyingkatkan pengetahuan hasil pemikiran:
Az nazar keh guftesyan syud mukhtalef,
an yeki dalesy laqb dad in alef. Karena pemikiran
ucapan mereka bertentangan, kata yang satu dal kata yang
satu alif. Seperti Kucing Schroedinger dalam fisika,
pengamat menciptakan realitas. Tuhan menjadi hasil
konstruksi manusia. Tuhan dapat muncul dalam berbagai
"bentuk" sesuai dengan siapa yang memahami-Nya.
Seperti Rumi, Ibn 'Arabi menunjukkan kekeliruan
pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf
dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin mencapai
pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan; malahan pemikiran
seperti itu hanya menghasilkan tipuan, khayalan, dan
pertentangan. Ia menulis:
Pengetahuan ahli ilmu kalam dan filsuf berkenaan
dengan esensi Tuhan bukanlah cahaya. Tidak ada satu
madzhab pun yang tidak punya para pendukungnya. Mereka
sendiri tidak sepakat, tetapi mereka tetap juga
digambarkan sebagai kaum Mu'tazilah atau Asy'ariyah,
seperti itu juga pada filsuf dalam ajaran mereka tentang
Tuhan dan apa yang harus dipercayainya. Mereka belum
sepakat di antara mereka tetapi setiap kelompok mempunyai
status dan nama ... Kita melihat nabi dan rasul yang
terdahulu dan yang kemudian sejak Adam sampai Muhammad,
termasuk yang datang di antara mereka 'alayhim al-salam;
mereka tidak pernah berikhtilaf dalam akar keimanan
mereka pada Tuhan ... Jadi, berpegang-teguhlah kepada
keimanan dan lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan
kepadamu dan ingat Tuhanmu pada
waktu pagi dan sore (Q., s. alA'raf/7:205) dengan
zikir yang ditetapkan syari'at kepadamu baik dengan
mengulangi la ilaha illa
Allah (tahlil) atau tasbih dan takutlah kepada
Tuhan. Jika al-Haqq berkehendak untuk memberikan kepadamu
apa yang Dia mginkan berupa pengetahuan tentang Dia,
hadirkan akalmu dan hatimu (lubb) apa yang Dia berikan
dan anugerahkan kepadamu berupa pengetahuan tentang Dia.
Sesungguhnya inilah pengetahuan yang bermanfaat dan
cahaya yang dengan itu hatimu hidup, dan berjalan
bersamamu di dunia ini. Dengannya kamu selamat dari
kegelapan syubhat dan keraguan yang terjadi pada
pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran (afkar) ...
Saya sudah membimbingmu, saudara, bagaimana mencapai
jalan pengetahuan yang bermanfaat. Jadi, bila kamu sudah
merintis jalan yang lurus, ketahuilah bahwa Tuhan sudah
membimbing tanganmu, memeliharamu, dan telah
mempersiapkan kamu untuk diri-Nya.
Pada tempat lain, Ibn 'Arabi menulis:
Di antara berbagai kelompok, tidak ada seorang
pun yang lebih tinggi dari orang yang memperoleh
pengetahuan melalui taqwa. Taqwa terletak pada tingkat
pencapaian pengetahuan yang paling tinggi. Ia saja yang
memiliki keputusan yang pasti. Otoritasnya berada di atas
setiap keputusan yang ada dan di atas setiap orang yang
membuat keputusan. Ia adalah qadli yang terbaik.
Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh pada tingkat
permulaan. Karena itu, hanya orang yang berilmu di antara
orang yang beriman yang dipilih untuk memperolehnya:
yakni, mereka yang tahu bahwa ada Seseorang untuk
kembali, dan menyaksikan-Nya dapat diraih. Jika mereka
jahil dari pengetahuan ini, aspirasinya (himmah) akan
sangat lemah sehingga sekiranya al-Haqq menampakkan
diri-Nya (tajalli) kepada mereka, mereka akan
menafikan-Nya dan menolak-Nya, karena pandangan mereka
dibatasi (muqayyad) oleh sesuatu. Selama faktor pembatas
itu tidak ada pada waktu penampakan diri-Nya (tajalli),
mereka pasti akan menolak bahwa itu Tuhan, sekalipun
Tuhan berbicara kepada mereka secara langsung atau mereka
mendengar ucapan bahwa Dia itu Tuhan. Karena tidak
memperoleh ilham dan karena pemikiran rasional mereka
meyakinkan mereka bahwa tidak mungkin siapa pun dapat
melihat al-Haqq --seperti para filsuf dan kaum
Mu'tazilah-- bahkan sekiranya kita mengetahui-Nya, mereka
niscaya menolak-Nya dalam penampakan-Nya kepada mereka.
Diperlukan bagi orang beriman agar cahaya imannya
membawanya kepada apa yang telah membawa Musa a.s. ketika
ia bertanya: Ya Tuhanku, tampakkan
diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu (Q., s.
al-A'raf/7:143).
Apa yang dikritik Ibn 'Arabi dan para sufi lainnya bukan
intelek dalam pengertian akal, tetapi salah satu di antara
fakultas (quwwah) dibawah kekuasaan akal. Kekuatan itu
disebut daya pikir (quwwah mufakkirah). Tidak mungkin kita
mengulas epistemologi Ibn 'Arabi di sini, baik karena
keterbatasan waktu maupun karena sudah adanya tulisan orang
lain yang lebih lengkap. Tetapi secara singkat bisa kita
katakan, bahwa Ibn 'Arabi menyatakan bahwa pengetahuan
tentang Tuhan hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan
kepada hati dan mengambil pelajaran dari hati.
Sekali intelek diyakinkan tentang perlunya
mengambil pelajaran dari hati, manusia memulai kelahiran
baru dalam perjalanan panjangnya. Ia akan beristirahat di
tempat tinggalnya, berhenti di daerah-daerah pedesaan,
merasakan situasi baru setiap saat, menunggu dengan penuh
gairah apa yang bakal datang, tetapi ia tidak akan pernah
sampai, karena pengetahuan tidak punya akhir dan tidak
ada batasnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui hati adalah
pengetahuan yang sejati. Pengetahuan ini tidak didasarkan
pada pendefinisian Tuhan, tetapi pada penyaksian Tuhan.
Dalam istilah al-Qur'an, pengetahuan ini disebut pertemuan
(liqa'). Bersama Ibn 'Arabi, al-Ghazali, al-Nasafi, dan
tokoh-tokoh sufi lain sepanjang zaman kita diberi petunjuk
bagaimana sampai kepada Pertemuan Agung ini.
Sebelum saya mengakhiri makalah ini dengan petunjuk
Ibn'Arabi dalam Risalah al Anwar fi ma Yumnah al-Khalkwah
min al-Asrar, saya tergoda untuk mengutip al-Syaykh Ahmad
Rifa'i al-Husayni, tokoh sufi yang hidup pada abad keenam
Hijriyah:
Kebanyakan orang mengetahui Tuhan melalui berita
tentang Tawhid yang dibawa dari Nabi Muhammad s.a.w.
Mereka membenarkannya dengan hati, mengamalkannya dengan
tubuh, tetapi mengotori diri mereka dengan dosa dan
maksiat. Maka hiduplah mereka di dunia dalam kebodohan
dan kekurangan. Mereka berada dalam bahaya besar kecuali
yang disayangi oleh Yang Pengasih dari segala yang
mengasihi.
Lebih tinggi dari itu, ada sekelompok manusia yang
mengenal Tuhan dengan pembuktian. Mereka adalah ahli
pikir, nalar, dan akal. Mereka meyakini tawhid
berdasarkan dalil, ayat-ayat, dan tanda-tanda ketuhanan.
Mereka mengetahui yang gaib atas dasar yang konkret.
Mereka meyakini kebenaran dalil. Mereka berada pada jalan
yang benar, hanya saja, mereka terhalang tirai dari Allah
Ta'ala dengan perhatian mereka kepada dalil-dalil
mereka.
Ahli ma'rifat khusus mengetahuinya dengan keyakinan
yang paling utama. Mereka tenteram dalam pengetahuan
mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak memalingkan
mereka sebab. Dalil mereka Rasulullah s.a.w. Iman mereka
al-Qur'an. Cahaya mereka menerangi di hadapan mereka.
Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala berdasarkan
berita maka ia seperti saudara-saudara Yusuf ketika
mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya, sehingga
mereka dipermalukan di hadapannya, ketika
mereka berkata: jika ia mencuri
maka sesunggulmya saudaranya telah mencuri pula sebelum
itu (Q., s. Yusuf/12:77).
Barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan dalil maka ia
seperti Ya'qub a.s. ketika tahu bahwa Yusuf masih hidup,
sehingga bertambah-tambah tangisan dan penderitaannya,
sehingga ditanggungnya berbagai bala sampai putih matanya
karena kesedihan, karena tahu bahwa Yusuf masih hidup dan
karena rindu untuk berjumpa dengannya. Ia berkata:
Pergilah selidiki keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau
Yusuf. Karena ucapannya itu, orang-orang yang tidak tahu
berkata; Demi Allah sesungguhnya
engkau dalam kesesatanmu yang terdahulu
(Q.,s.Yusuf/12:59). Mereka berkata:
Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu
mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-arang
yang celaka (Q., s. Yusuf/12:85).
Perumpamaan orang yang mengenal Tuhan melalui Tuhan
adalah seperti Bunyamin yang diambil Yusuf untuk dirinya.
Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin
menyaksikanku atau kembali kepada bapakmu?" Ia berkata:
"Aku ingin menyaksikanmu". Yusuf berkata: "Jika kamu
menginginkan aku, bersabarlah atas ujianku". Ia berkata:
"Aku siap, karena engkau akan kupikul segala bencana
asalkan aku tinggal bersamamu dan tidak berpisah
denganmu". Kemudian Yusuf mengeluarkan gandum dari
kantong Bunyamin dan menuduh saudaranya mencuri. Seluruh
penduduk kola mengecam dan mengejek Bunyamin.
Saudara-saudaranya mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri
bergembira, tertawa dalam kesendiriannya. Ia tidak takut
pada ejekan orang-orang yang mengejek. Inilah perumpamaan
ahli yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.
|