| 
         
       | 
      
         VI. Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang
         Sebenarnya (2/2)
         
         oleh Kautsar Azhari Noer 
         Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta, 
         Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
         
         
         
         Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan
         atau karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti
         bahwa Tuhan hanya bisa diketahui melalui
         perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia
         pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar
         memperlihatkan kemuliaanNya, Dia berfirman: 
         
         "Engkau tidak akan bisa memandang wajah-Ku,
            karena tidak ada orang yang bisa memandang wajah-Ku dan
            bisa hidup." Tuhan berfirman: "Ada suatu tempat dekat-Ku,
            tempat engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila
            kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam
            lekuk batu itu dan Aku akan menutupi engkau dengan
            tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik
            tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi
            wajah-Ku tidak akan terlihat" (Keluaran 33:20-23). 
         
         Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak
         begitu tegas, mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur
         dan kuat. St. Yohanes mengatakan: "Tidak seorang pun melihat
         Tuhan kapan saja" (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada
         Timotius membicarakan Tuhan "yang bersemayam dalam cahaya
         yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat-Nya;
         dan memang tidak seorang pun bisa pernah melihat-Nya" (1
         Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang
         ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan
         menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan
         Bede Griffiths, menyatakan transendensi absolut Ketuhanan
         (Godhead). Ini telah dikembangkan oleh para bapa Yunani
         dalam konteks konsep tentang ketakterpahaman
         (incomprhensibility) Tuhan.176 
         
         Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang
         Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan,
         tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan
         Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan: 
         
         Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak
            terucapkan oleh lidah, dan yang tidak tertangkap oleh
            pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga yang tidak
            mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang diketahui,
            dan berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian
            kita ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat
            diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan-Nya lidah
            berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah
            wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh
            pikiran tetapi dengan-Nya pikiran memahami --ketahuilah
            itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah
            manusia. Yang tidak dilihat oleh mata tetapi dengan-Nya
            mata melihat --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman
            bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar
            oleh telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar
            --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud
            yang disembah manusia. Yang tidak ditarik oleh nafas
            tetapi dengan-Nya nafas ditarik --ketahuilah itu adalah
            Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia.
            Jika engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik
            kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa engkau mengetahui
            [hanya] sedikit. Apa yang anda kira sebagai
            Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai
            Brahman dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] --itu
            bukanlah Brahman" (Kena Upanisad). 
         
         Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan
         selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka
         Brihadaranyaka Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil
         dibicarakan. Brahman adalah "bukan ini, bukan ini", "bukan
         ini, bukan itu" ("neti, neti"). Brahman tidak dapat
         dikatakan bagaimana, tidak bersifat ("nirguna"). Karena itu,
         Brahman pada tingkat ini disebut "nirguna Brahman". Pada
         tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam
         keabsolutan-Nya. 
         
         Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya
         dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: "Tao
         yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau
         kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang
         sebenarnya atau kekal" (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze,
         penulis Cina abad keempat SM, dengan nada yang sama
         mengatakan: 
         
         
               - Tao Yang Agung tidak
               dinamai/dinamakan;
 
               
               - Diskriminasi-diskriminasi
               Yang Agung tidak dibicarakan;
 
               
               - Kemurahan Hati Yang Agung
               bukanlah murah hati;
 
               
               - Kerendahan Hati Yang Agung
               bukanlah rendah hati;
 
               
               - Keberanian Yang Agung
               bukanlah menyerang;
 
               
               - Jika Tao dijelaskan, itu
               bukanlah Tao.
 
               
               - (Chuang-Tze, Bab
               2)
 
             
          
         
         Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat
         diungkapkan dan dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di
         luar bahasa. Itulah Tao yang sebenarnya, yang merupakan Yang
         Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang Absolut itu oleh
         Laot-Tze disebut "Misteri di belakang segala misteri"
         ("hsuan chih yu hsuan") dan oleh Chuang-Tze disebut
         "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa", "No-No-Nothing", atau
         "Bukan-Bukan-Bukan-Wujud", "Non-Non-Non-Being" ("wu-wu-wu").
         "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa" adalah Tao atau "Tiada-Apa-apa
         metafisis yang bukan suatu 'tiada-apa-apa' yang sederhana,
         tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di seberang 'wujud'
         dan 'bukan-wujud' sebagaimana biasanya dipahami".177 Yang
         Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn
         al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" dan "Misteri Yang
         Paling Suci", dalam mistisisme Kristen disebut "Ketuhanan",
         dan dalam tradisi Hindu disebut "nirguna Brahman". 
         
         C. Teologi Apofatik
         
         Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis
         yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan
         mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan
         mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin
         Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat
         hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang
         transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam
         alam dan manusia? Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang
         teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para
         teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan
         "mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan"
         ("saying what cannot really be said").178 Persoalan ini
         dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan
         paradoksikal lain, seperti membicarakan yang tidak dapat
         dibicarakan" ("speaking of the unspeakable"),179 "mengetahui
         Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui" ("knowing the Unknowable
         God"),180 "menamai yang tidak dapat dinamai," "menamakan apa
         yang tidak dapat dinamakan" ("naming the unnamable"),181
         "mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" ("expressing
         the inexpressible"),182 "memikirkan yang tidak dapat
         dipikirkan" ("thinking of the unthinkable"), "memahami yang
         tidak dapat dipahami" ("comprehending the
         incomprehensible"), "membayangkan yang tidak dapat
         dibayangkan" ("conceiving the unconceivable"), dan
         "melukiskan yang tidak dapat dilukiskan" ("describing the
         indescribable"). 
         
         Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini
         adalah dengan suatu teologi yang disebut "teologi apofatik"
         ("apophatic theology"), teologi "tidak mengetahui" (the
         theology of "unknowing"), yang melukiskan pengalaman
         transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu
         "mengetahui dengan tidak mengetahui" ("knowing by
         unknowing") dan suatu "melihat yang bukan melihat" ("seeing
         that is not seeing").183 Seorang mistikus dan penulis
         spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis anonim The
         Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik wakil
         teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu
         menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan
         penegasian: "kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa
         yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia" ("we
         can know much more about what God is not than about what He
         is").184 Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan
         menggunakan tema paradoksikal "mengetahui" dan "tidak
         mengetahui." Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia
         menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip
         kata-kata Dionysius orang Areopagus (St. Denis), "Dan karena
         itu St. Denis berkata, 'Mengetahui yang paling saleh
         [paling tinggi] akan Tuhan adalah
         [mengetahui] yang dikenal dengan tidak mengetahui'"
         ("And therefore St. Denis said 'The most godly knowing of
         God is that which is known by unknowing'").185 
         
         William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah
         komentar yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia
         berkata: "Kita mengetahui Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya;
         kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita
         mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan
         cinta".186 Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan
         dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun jiwa
         manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman
         rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. "Karena
         mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat dicintai dengan
         baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat
         dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak".187
         Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba
         mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan segala
         gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya "getaran buta dari
         cinta" ("the blind stirring of love") yang menembus "awan
         tidak mengetahui", "awan ketidaktahuan" ("The Cloud of
         Unknowing"), yang membawa sang hamba kepada suatu
         pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan
         tertinggi. 
         
         Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh
         Diosynisius orang Areopagus, yang menurut penelitian
         belakangan adalah seorang rahib Siria yang hidup pada ujung
         abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Dionysius
         memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik
         dengan cara afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun
         yang terakhir ini ditekankannya karena ia menegaskan
         transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan
         mistis, yang menurut pandangannya lebih tinggi dari
         pengetahuan rasional yang diperoleh melalui spekulasi
         teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan
         mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah
         dari Tuhan. Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan
         dalam buku-buku, tidak juga diperoleh dengan usaha manusia,
         karena ia adalah suatu pemberian ilahi. Bagaimana pun,
         manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan
         penyucian. 
         
         Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai
         Tuhan, indera dan intelek harus "dikosongkan" dari semua
         makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan
         cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini,
         indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam
         hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama
         dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat
         dikatakan bahwa "Kegelapan Ilahi" (the "Divine Darkness')
         adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di
         dalamnya Tuhan bersemayam". Ketika semua daya dikosongkan
         dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam
         jiwa suatu "keheningan mistik" ("mystic silence") yang
         membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan
         visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya".188 Pengetahuan
         seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang
         berlangsung dengan "tidak mengetahui" ("unknowing") atau
         "ketidaktahuan" ("ignorance"), yang berarti bahwa sang hamba
         harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk
         menerima pengetahuan anugerah ilahi. 
         
         Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan
         adalah dengan "tidak mengetahui", dengan menyeberang di luar
         konsep, di luar pikiran rasional dan dengan menerima suatu
         sinar "kegelapan ilahi". Mistikus ini menyerukan agar sang
         pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi,
         dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala
         sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju
         Tuhan, agar sang pencari memasuki "kegelapan ilahi" yang
         melebihi segala sesuatu dan "mengetahui dengan tidak
         mengetahui". 
         
         Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme
         apofatik Kristen di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini
         dapat ditemukan, misalnya, pada Maximus Sang "Confessor",
         Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante,
         dan Penulis The Cloud of Unknowing. 
         
         Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan
         teologis yang rumit ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di
         atas, memandang bahwa Tuhan adalah rahasia yang tidak dapat
         dipahami oleh manusia. Namun, roh manusia, atau wujud rohani
         manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang dalam
         sekali tanpa alas dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa
         melihat Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai
         pengalaman rohani seperti itu; "ketika ia naik selangkah
         demi selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan awan
         Tuhan".189 Ketika itu Musa menutup matanya kepada semua
         pengetahuan positif, menyingkirkan semua pikiran dan
         penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak
         terjangkau oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu
         dengan Dia yang tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan.
         Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul ha-yesy,
         "kemusnahan eksistensi" dalam Ain, "Ketiadaan" ilahi, yang
         berarti kemusnahan pikiran manusiawi dan "kontemplasi
         tentang Ketiadaan"190 Pengalaman spiritual seperti itu tidak
         dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi diperoleh melalui
         pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang
         harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama harus
         melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan. 
         
         Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan
         dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: "Orang
         yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang
         mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang
         mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui.
         Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang
         bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan" (Kena). Ini
         berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah
         pengetahuan negatif: "mengetahui Tuhan dengan tidak
         mengetahui-Nya." 
         
         Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan
         sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan,
         harus diperoleh dengan "peniadaan pengetahuan". Ini berarti
         bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya;
         pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia
         berkata: "Orang yang tidak mempunyai pengetahuan
         membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul",
         karena "pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil".
         "Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas
         tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa
         ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak
         mengetahui".191 
         
         Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn
         al-'Arabi berkata: "Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah
         persepsi" ["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah
         pengetahuan"] (Al-'ajz 'an dark al-idrak idrak).192
         Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan
         manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang
         tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia
         tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar
         mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang
         menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak
         mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan
         telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya
         [yaitu Tuhan], tetapi Dia mempersepsi semua
         penglihatan" (Q., s: al-An'am/6:103)? 
         
         D. Catatan Akhir
         
         Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan
         manusia tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan
         yang sebenarnya. Pengetahuan yang benar dan tertinggi
         tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak mengetahui"
         atau "ketidaktahuan" karena Tuhan di luar jangkauan
         pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan
         kata-kata dan bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini tidak
         dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian
         Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk
         menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti disebut di
         atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan
         dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta
         Tuhan dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran
         tidak. Tuhan bukan untuk dipikirkan dengan akal, tetapi
         untuk dicintai dan "dirasakan" dengan Kalbu (qalb). 
         
         Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin
         mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti
         dibalas. Tuhan mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang
         hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti Tuhan dan panutan
         yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: "Katakanlah: 'Jika kamu
         benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah
         mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah adalah Maha
         Pengampun dan Maya Penyayang." (Q. s. Alu 'Imran/3:31). "Aku
         menunjukkan cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu
         orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi hukum-hukum-Ku."
         (Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: "Jika kamu menuruti
         perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti
         aku menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam
         cinta-Nya" (Yohanes 15:10). 
         
         Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan
         terwujud jika tidak disertai dengan cinta horisontal antara
         sang hamba dan sesamanya. Seperti disebutkan di atas, Nabi
         berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan
         dikasihi oleh siapa yang di langit". Pada kesempatan lain
         beliau berkata: "Tidaklah beriman salah seorang di antara
         kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai
         dirinya sendiri". Yesus membenarkan perkataan seorang ahli
         Taurat: "Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu
         sendiri." (Lukas 10: 27). 
         
         Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu
         cara berpikir atau aktivitas mental yang digunakan oleh
         banyak mistikus atau Sufi untuk menempuh perjalanan menuju
         Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan protes keras terhadap
         kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para filsuf yang
         menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan
         tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi
         apofatik adalah peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan
         menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik
         menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa dengan nalarnya
         ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah
         orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut
         pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak
         dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk
         yang dicocokkan dengan "kotak" akalnya. Ia menolak bentuk
         Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran "kotak"
         akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan
         dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai
         kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah
         mempertuhankan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn
         al-'Arabi, adalah "hamba nalar" ('abd nazhar), bukan "hamba
         Rabb" ('abd rabb). 
         
         Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi 'l-shawab. 
         
         Catatan kaki:
         
         176 Bede Griffiths, A New Vision of Reality (Springfield,
         Illinois: Templegate,1990), h. 163-164. 
         
         177 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative
         Study of Key Philosiphical Concepts (Los Angeles: University
         of California Press, 1983), 376, 379; idem, The Concept and
         Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institute of Cultural
         and Linguistic Studies, 1971), h. 48-49. 
         
         178 Thomas Merton, "Foreword," dalam William Johnston,
         The Mysticism of The Cloud of Unknowing (Wheathampstead
         Hertfordshire, England: Anthony Clarke, 1978), h. viii. 
         
         179 Leszek Kolakowski, Religion (New York & Oxford:
         Oxford University Press, 1982), h. 161-206; James P. Carse,
         The Silence of God: Meditations on Prayer (New York:
         Macmillan, 1985), h. 9. 
         
         180 David B, Burrell, Knowing the Unknowable God:
         Ibn-Sina, Maimonides, Aquinas (Notre Dame, Indiana
         University of Notre Dame Press, 1986). 
         
         181 Samuel Rayan, "Naming the Unnamable," dalam Robert P.
         Scharlemann, ed., Naming God (New York: Paragon House,
         1985), h. 3-28. 
         
         182 Martin Palmer, The Elements of Taoism (Brisbane
         Queensland: Element, 1993), h. 3; James P. Carse, The
         Silence of God, h. 9. 
         
         183 Thomas Merton, loc. cit. Kata "apofatik"
         ("apophatic") digunakan oleh Dionysius yang membicarakan
         "teologi negatif," sebagai lawan "teologi positif". 
         
         184 W. Johnston, op.cit., h.1. 
         
         185 The Cloud of Unknowing, edited by Justin McCann
         (London: Burns and Oates, Ltd., 1952), 125:11. 
         
         186 W. Johnston, op.cit, h.17. 
         
         187 The Cloud of Unknowing, 26;3. 
         
         188 W. Johnston, op.cit, h. 33-34. 
         
         189 Leo Schaya, op.cit, h.166. 
         
         190 Ibid. 
         
         191 Futuhat, 2:552. 
         
         192 Futuhat, 2:619; 3:132. 
       |