|
VI. Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang
Sebenarnya (2/2)
oleh Kautsar Azhari Noer
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,
Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan
atau karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti
bahwa Tuhan hanya bisa diketahui melalui
perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia
pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar
memperlihatkan kemuliaanNya, Dia berfirman:
"Engkau tidak akan bisa memandang wajah-Ku,
karena tidak ada orang yang bisa memandang wajah-Ku dan
bisa hidup." Tuhan berfirman: "Ada suatu tempat dekat-Ku,
tempat engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila
kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam
lekuk batu itu dan Aku akan menutupi engkau dengan
tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik
tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi
wajah-Ku tidak akan terlihat" (Keluaran 33:20-23).
Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak
begitu tegas, mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur
dan kuat. St. Yohanes mengatakan: "Tidak seorang pun melihat
Tuhan kapan saja" (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada
Timotius membicarakan Tuhan "yang bersemayam dalam cahaya
yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat-Nya;
dan memang tidak seorang pun bisa pernah melihat-Nya" (1
Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang
ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan
menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan
Bede Griffiths, menyatakan transendensi absolut Ketuhanan
(Godhead). Ini telah dikembangkan oleh para bapa Yunani
dalam konteks konsep tentang ketakterpahaman
(incomprhensibility) Tuhan.176
Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang
Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan,
tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan
Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan:
Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak
terucapkan oleh lidah, dan yang tidak tertangkap oleh
pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga yang tidak
mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang diketahui,
dan berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian
kita ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan-Nya lidah
berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah
wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh
pikiran tetapi dengan-Nya pikiran memahami --ketahuilah
itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah
manusia. Yang tidak dilihat oleh mata tetapi dengan-Nya
mata melihat --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman
bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar
oleh telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar
--ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud
yang disembah manusia. Yang tidak ditarik oleh nafas
tetapi dengan-Nya nafas ditarik --ketahuilah itu adalah
Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia.
Jika engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik
kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa engkau mengetahui
[hanya] sedikit. Apa yang anda kira sebagai
Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai
Brahman dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] --itu
bukanlah Brahman" (Kena Upanisad).
Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan
selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka
Brihadaranyaka Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil
dibicarakan. Brahman adalah "bukan ini, bukan ini", "bukan
ini, bukan itu" ("neti, neti"). Brahman tidak dapat
dikatakan bagaimana, tidak bersifat ("nirguna"). Karena itu,
Brahman pada tingkat ini disebut "nirguna Brahman". Pada
tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam
keabsolutan-Nya.
Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya
dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: "Tao
yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau
kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang
sebenarnya atau kekal" (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze,
penulis Cina abad keempat SM, dengan nada yang sama
mengatakan:
- Tao Yang Agung tidak
dinamai/dinamakan;
- Diskriminasi-diskriminasi
Yang Agung tidak dibicarakan;
- Kemurahan Hati Yang Agung
bukanlah murah hati;
- Kerendahan Hati Yang Agung
bukanlah rendah hati;
- Keberanian Yang Agung
bukanlah menyerang;
- Jika Tao dijelaskan, itu
bukanlah Tao.
- (Chuang-Tze, Bab
2)
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat
diungkapkan dan dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di
luar bahasa. Itulah Tao yang sebenarnya, yang merupakan Yang
Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang Absolut itu oleh
Laot-Tze disebut "Misteri di belakang segala misteri"
("hsuan chih yu hsuan") dan oleh Chuang-Tze disebut
"Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa", "No-No-Nothing", atau
"Bukan-Bukan-Bukan-Wujud", "Non-Non-Non-Being" ("wu-wu-wu").
"Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa" adalah Tao atau "Tiada-Apa-apa
metafisis yang bukan suatu 'tiada-apa-apa' yang sederhana,
tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di seberang 'wujud'
dan 'bukan-wujud' sebagaimana biasanya dipahami".177 Yang
Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn
al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" dan "Misteri Yang
Paling Suci", dalam mistisisme Kristen disebut "Ketuhanan",
dan dalam tradisi Hindu disebut "nirguna Brahman".
C. Teologi Apofatik
Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis
yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan
mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan
mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin
Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat
hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang
transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam
alam dan manusia? Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang
teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para
teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan
"mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan"
("saying what cannot really be said").178 Persoalan ini
dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan
paradoksikal lain, seperti membicarakan yang tidak dapat
dibicarakan" ("speaking of the unspeakable"),179 "mengetahui
Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui" ("knowing the Unknowable
God"),180 "menamai yang tidak dapat dinamai," "menamakan apa
yang tidak dapat dinamakan" ("naming the unnamable"),181
"mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" ("expressing
the inexpressible"),182 "memikirkan yang tidak dapat
dipikirkan" ("thinking of the unthinkable"), "memahami yang
tidak dapat dipahami" ("comprehending the
incomprehensible"), "membayangkan yang tidak dapat
dibayangkan" ("conceiving the unconceivable"), dan
"melukiskan yang tidak dapat dilukiskan" ("describing the
indescribable").
Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini
adalah dengan suatu teologi yang disebut "teologi apofatik"
("apophatic theology"), teologi "tidak mengetahui" (the
theology of "unknowing"), yang melukiskan pengalaman
transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu
"mengetahui dengan tidak mengetahui" ("knowing by
unknowing") dan suatu "melihat yang bukan melihat" ("seeing
that is not seeing").183 Seorang mistikus dan penulis
spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis anonim The
Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik wakil
teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu
menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan
penegasian: "kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa
yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia" ("we
can know much more about what God is not than about what He
is").184 Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan
menggunakan tema paradoksikal "mengetahui" dan "tidak
mengetahui." Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia
menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip
kata-kata Dionysius orang Areopagus (St. Denis), "Dan karena
itu St. Denis berkata, 'Mengetahui yang paling saleh
[paling tinggi] akan Tuhan adalah
[mengetahui] yang dikenal dengan tidak mengetahui'"
("And therefore St. Denis said 'The most godly knowing of
God is that which is known by unknowing'").185
William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah
komentar yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia
berkata: "Kita mengetahui Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya;
kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita
mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan
cinta".186 Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan
dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun jiwa
manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman
rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. "Karena
mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat dicintai dengan
baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat
dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak".187
Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba
mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan segala
gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya "getaran buta dari
cinta" ("the blind stirring of love") yang menembus "awan
tidak mengetahui", "awan ketidaktahuan" ("The Cloud of
Unknowing"), yang membawa sang hamba kepada suatu
pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan
tertinggi.
Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh
Diosynisius orang Areopagus, yang menurut penelitian
belakangan adalah seorang rahib Siria yang hidup pada ujung
abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Dionysius
memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik
dengan cara afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun
yang terakhir ini ditekankannya karena ia menegaskan
transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan
mistis, yang menurut pandangannya lebih tinggi dari
pengetahuan rasional yang diperoleh melalui spekulasi
teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan
mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah
dari Tuhan. Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan
dalam buku-buku, tidak juga diperoleh dengan usaha manusia,
karena ia adalah suatu pemberian ilahi. Bagaimana pun,
manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan
penyucian.
Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai
Tuhan, indera dan intelek harus "dikosongkan" dari semua
makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan
cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini,
indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam
hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama
dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa "Kegelapan Ilahi" (the "Divine Darkness')
adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di
dalamnya Tuhan bersemayam". Ketika semua daya dikosongkan
dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam
jiwa suatu "keheningan mistik" ("mystic silence") yang
membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan
visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya".188 Pengetahuan
seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang
berlangsung dengan "tidak mengetahui" ("unknowing") atau
"ketidaktahuan" ("ignorance"), yang berarti bahwa sang hamba
harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk
menerima pengetahuan anugerah ilahi.
Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan
adalah dengan "tidak mengetahui", dengan menyeberang di luar
konsep, di luar pikiran rasional dan dengan menerima suatu
sinar "kegelapan ilahi". Mistikus ini menyerukan agar sang
pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi,
dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala
sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju
Tuhan, agar sang pencari memasuki "kegelapan ilahi" yang
melebihi segala sesuatu dan "mengetahui dengan tidak
mengetahui".
Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme
apofatik Kristen di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini
dapat ditemukan, misalnya, pada Maximus Sang "Confessor",
Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante,
dan Penulis The Cloud of Unknowing.
Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan
teologis yang rumit ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di
atas, memandang bahwa Tuhan adalah rahasia yang tidak dapat
dipahami oleh manusia. Namun, roh manusia, atau wujud rohani
manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang dalam
sekali tanpa alas dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa
melihat Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai
pengalaman rohani seperti itu; "ketika ia naik selangkah
demi selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan awan
Tuhan".189 Ketika itu Musa menutup matanya kepada semua
pengetahuan positif, menyingkirkan semua pikiran dan
penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak
terjangkau oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu
dengan Dia yang tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan.
Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul ha-yesy,
"kemusnahan eksistensi" dalam Ain, "Ketiadaan" ilahi, yang
berarti kemusnahan pikiran manusiawi dan "kontemplasi
tentang Ketiadaan"190 Pengalaman spiritual seperti itu tidak
dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi diperoleh melalui
pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang
harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama harus
melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan.
Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan
dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: "Orang
yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang
mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang
mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui.
Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang
bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan" (Kena). Ini
berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah
pengetahuan negatif: "mengetahui Tuhan dengan tidak
mengetahui-Nya."
Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan,
harus diperoleh dengan "peniadaan pengetahuan". Ini berarti
bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya;
pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia
berkata: "Orang yang tidak mempunyai pengetahuan
membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul",
karena "pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil".
"Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas
tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa
ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak
mengetahui".191
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn
al-'Arabi berkata: "Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah
persepsi" ["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah
pengetahuan"] (Al-'ajz 'an dark al-idrak idrak).192
Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan
manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang
tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia
tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar
mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang
menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak
mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan
telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya
[yaitu Tuhan], tetapi Dia mempersepsi semua
penglihatan" (Q., s: al-An'am/6:103)?
D. Catatan Akhir
Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan
manusia tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan
yang sebenarnya. Pengetahuan yang benar dan tertinggi
tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak mengetahui"
atau "ketidaktahuan" karena Tuhan di luar jangkauan
pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata dan bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini tidak
dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian
Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk
menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti disebut di
atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan
dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta
Tuhan dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran
tidak. Tuhan bukan untuk dipikirkan dengan akal, tetapi
untuk dicintai dan "dirasakan" dengan Kalbu (qalb).
Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin
mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti
dibalas. Tuhan mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang
hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti Tuhan dan panutan
yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: "Katakanlah: 'Jika kamu
benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah adalah Maha
Pengampun dan Maya Penyayang." (Q. s. Alu 'Imran/3:31). "Aku
menunjukkan cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu
orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi hukum-hukum-Ku."
(Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: "Jika kamu menuruti
perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti
aku menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam
cinta-Nya" (Yohanes 15:10).
Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan
terwujud jika tidak disertai dengan cinta horisontal antara
sang hamba dan sesamanya. Seperti disebutkan di atas, Nabi
berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan
dikasihi oleh siapa yang di langit". Pada kesempatan lain
beliau berkata: "Tidaklah beriman salah seorang di antara
kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai
dirinya sendiri". Yesus membenarkan perkataan seorang ahli
Taurat: "Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu
sendiri." (Lukas 10: 27).
Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu
cara berpikir atau aktivitas mental yang digunakan oleh
banyak mistikus atau Sufi untuk menempuh perjalanan menuju
Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan protes keras terhadap
kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para filsuf yang
menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan
tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi
apofatik adalah peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan
menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik
menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa dengan nalarnya
ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah
orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut
pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak
dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk
yang dicocokkan dengan "kotak" akalnya. Ia menolak bentuk
Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran "kotak"
akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan
dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai
kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah
mempertuhankan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn
al-'Arabi, adalah "hamba nalar" ('abd nazhar), bukan "hamba
Rabb" ('abd rabb).
Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi 'l-shawab.
Catatan kaki:
176 Bede Griffiths, A New Vision of Reality (Springfield,
Illinois: Templegate,1990), h. 163-164.
177 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative
Study of Key Philosiphical Concepts (Los Angeles: University
of California Press, 1983), 376, 379; idem, The Concept and
Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institute of Cultural
and Linguistic Studies, 1971), h. 48-49.
178 Thomas Merton, "Foreword," dalam William Johnston,
The Mysticism of The Cloud of Unknowing (Wheathampstead
Hertfordshire, England: Anthony Clarke, 1978), h. viii.
179 Leszek Kolakowski, Religion (New York & Oxford:
Oxford University Press, 1982), h. 161-206; James P. Carse,
The Silence of God: Meditations on Prayer (New York:
Macmillan, 1985), h. 9.
180 David B, Burrell, Knowing the Unknowable God:
Ibn-Sina, Maimonides, Aquinas (Notre Dame, Indiana
University of Notre Dame Press, 1986).
181 Samuel Rayan, "Naming the Unnamable," dalam Robert P.
Scharlemann, ed., Naming God (New York: Paragon House,
1985), h. 3-28.
182 Martin Palmer, The Elements of Taoism (Brisbane
Queensland: Element, 1993), h. 3; James P. Carse, The
Silence of God, h. 9.
183 Thomas Merton, loc. cit. Kata "apofatik"
("apophatic") digunakan oleh Dionysius yang membicarakan
"teologi negatif," sebagai lawan "teologi positif".
184 W. Johnston, op.cit., h.1.
185 The Cloud of Unknowing, edited by Justin McCann
(London: Burns and Oates, Ltd., 1952), 125:11.
186 W. Johnston, op.cit, h.17.
187 The Cloud of Unknowing, 26;3.
188 W. Johnston, op.cit, h. 33-34.
189 Leo Schaya, op.cit, h.166.
190 Ibid.
191 Futuhat, 2:552.
192 Futuhat, 2:619; 3:132.
|