| |
|
VI.46. AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM (1/2) Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni oleh Nurcholish Madjid Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari Mekkah ke Yatsrib -yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah- hingga saat sekarang ini dalam wujud sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah kenegaraan. Sesungguhnya, secara umum, keterkaitan antara agama dan negara, di masa lalu dan pada zaman sekarang, bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas Islam. Pembicaraan hubungan antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen, malah pusatnya) dengan kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi "kalah," maka pembicaraan tentang Islam berkenaan dengan pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai "musuh." Pengalaman Islam pada zaman modern, yang begitu ironik tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan oleh sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya sebagai "kafir" atau "musyrik" seperti yang terlihat pada kedua pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Saudi Arabia, sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali aliran Wahabi, banyak menggunakan retorika yang keras menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka. Iran sendiri, melihat Saudi Arabia sebagai musyrik karena tunduk kepada kekuatan-kekuatan Barat yang non-Islam. Semua itu memberi gambaran betapa problematisnya perkara sumber legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut dirinya "negara Islam." Sikap saling membatalkan legitimasi masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar, atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah sesuatu yang ketiga. Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan. Eksperimen Madinah Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah (al-Madinah, kota par excellence). Dari nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya itu menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara. Negara Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai "Eksperimen Madinah." Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, wewenang atau kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada keinginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud historis terpenting dari sistem sosial-politik eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana modern juga menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi Madinah." Piagam Madinah itu selengkapnya telah didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H). Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari Universitas Islam Internasional Paris "yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia." Ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi. Masa Khilafah Rasyidah (Kekhalifahan Yang Bijaksana) Apa yang terjadi pada kaum Muslim penduduk Madinah selama tiga hari jenazah Nabi s.a.w. terbaring di kamar A'isyah menjadi agak kabur oleh adanya polemik-polemik yang sengit antara kaum Syi'ah dan kaum Sunnah. Kaum Sunnah mengklaim bahwa dalam tiga hari itu memang terjadi musyawarah pengganti Nabi, yang kemudian mereka bersepakat memilih dan mengangkat Abu Bakr. Kaum Syi'ah, mengklaim bahwa yang terjadi ialah semacam persekongkolan kalangan tertentu, dipimpin oleh 'Umar, untuk merampas hak Ali sebagai penerus tugas suci Nabi. Klaim adanya hak bagi 'Ali untuk menggantikan Nabi didasarkan antara lain pada makna pidato Nabi dalam peristiwa yang hakikatnya tetap dipertengkarkan, yaitu semacam rapat umum di suatu tempat bernama Ghadir Khumm. Peristiwa itu terjadi sekitar dua bulan sebelum Nabi wafat, ketika beliau dalam perjalanan pulang dari haji perpisahan (hijjat al-wada') meminta semua pengikut beliau itu berkumpul di Ghadir Khumm itu sebelum terpencar ke berbagai arah. Dalam rapat besar itu beliau berpidato yang sangat mengharukan, (karena memberi isyarat bahwa beliau akan segera berpulang ke rahmatullah). Menurut kaum Syi'ah Nabi s.a.w. menegaskan wasiat bahwa 'Ali adalah calon pengganti sesudah beliau. (bersambung 2/2) -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |