| |
|
II.7. KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS (2/2) oleh Jalaluddin Rakhmat Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Qur'an, manusia itu cenderung zalim dan kafir (14:34; 22:66; 43:15), tergesa-gesa (17:11; 21:37), bakhil (17:100), bodoh (33:72), banyak membantah atau mendebat (18:54; 16:4; 36:77), resah, gelisah, dan segan membantu (70:19; 20,21), ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (84:6; 90:4), tidak berterima kasih (100:6), berbuat dosa (96:6; 75:5), meragukan hari akhirat (19:66). Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, insan menjadi makhluk paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan: kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allah) dan kekuatan mengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan dengan kategori ayat-ayat ketiga. Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus. Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah, tanah (15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula basyar berasal dari tanah liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20) dan air (25:54). Ini mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik basyari dan karakteristik insani. Menurut Qardhawi (1973: 76), manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi (bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur material dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung dalam keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh," kata Abbas Mahmud al-'Aqqad (1974, 7:381). Al-Nas. Konsep kunci ketiga ialah al-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut al-Qur'an (240 kali, lihat 'Abd al-Baqi, al-Mu'jam; pada kata al-Nas). Tak mungkin dalam makalah singkat ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah al-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang memperkuat pertanyaan pada awal paragraf ini --yakni, al-Nas menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial. Pertama, Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian manusia). Dengan memperhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk, dan al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah (22:11; 29:10), yang menjual pembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaan Allah. Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kwalitas rendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut al-Qur'an sebagian manusia itu tidak berilmu (7:187; 12:21; 28,68; 30:6, 30; 45:26; 34:28,36; 40:57), tidak bersyukur (40:61; 2:243; 12:38), tidak beriman (11:17; 12:103; 13:1), fasiq (5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92), kafir (17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18). Ayat-ayat ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok manusia yang beriman (4:66; 38:24; 2:88; 4:46; 4:155), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran (18:22; 7:3; 27:62; 40:58; 69:42), yang bersyukur (34:13; 7:10; 23:78; 67:23; 32:9), yang selamat dari azab Allah (11:116), yang tidak diperdayakan syetan (4:83). Surat 6116 menyimpulkan bukti kedua ini, Jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jolan Allah. Ketiga, al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlah hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tapi juga manusia secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan al-Qur'an dengan petunjuk atau al-Kitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35; 39:27; dan sebagainya). WELTANSCHAUUNG QUR'ANI TENTANG MANUSIA Dari uraian di muka tampak al-Qur'an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial. Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang dilambangkan manusia dengan unsur tanah. Pada keadaan itu, manusia secara otomatis tunduk kepada takdir Allah di alam semesta, sama taatnya seperti matahari, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar. Namun manusia sebagai insan dan al-Nas bertalian dengan unsur hembusan Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia menjadi mahkluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat rabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar, kalam, qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiyah, seperti kata al-Thabathabai. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung jawab. Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia ialah memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islam yang dirancang sesuai amanah. Al-Qur'an tak lain merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu. Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia yang membedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan iman dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut 'amal shalih. "Karenanya, kita menyimpulkannya bahwa ilmu dan iman adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Inilah hakikat kemanusiaannya," tulis Mutahhari (tt.: 17). Keduanya harus dikembangkan secara seimbang. Dalam pandangan al-Qur'an, sedikit sekali orang yang dapat mengembangkan ilmu dan iman ini sekaligus. Sedikit orang yang beriman, sedikit orang yang berilmu, dan lebih sedikit lagi orang yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang disebut al-Qur'an, "Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu" (QS. 58:11). Makna hidup manusia diukur sejauh mana ia berhasil beramal sebaik-baiknya, yakni sejauh mana ia mengembangkan iman dan ilmunya. Ia lah yang menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang paling baik amalnya (QS. 67:2). Sesungguhnya kami jadikan apa yang ada dipermukaan bumi sebagai perhiasan untuk menguji mereka, siapa diantara mereka yang paling baik amalannya (18:7). Bila Sartre mengatakan hidup ini absurd, al-Qur'an menyatakan hidup ini medan untuk membuktikan 'amal shalih. CATATAN 1. Obyek formal dari filsafat manusia ialah inti manusia, alam kodratnya strukturnya yang fundamental. "Apa yang ingin ditelaah bukanlah suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu prinsip adanya (principe d'etre). Sesuatu yang olehnya manusia menjadi apa yang terwujud, sesuatu yang olehnya manusia mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11) 2. Metodologi semantik didefinisikan sebagai an analytic study of the key-terms of language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the Weltanschauung or world-view of the people who use that language as tool not only of speaking and thinking, but, more important still, of conceptualizing and interpreting the world that surround them (Izutsu, 1964:11) 3. Lihat al-Baqi, al-Mu'jam. 4. Karena banyak, pembaca dianjurkan melihat sendiri dalam Al-Baqi, Mu'jam. 5. Dr Muhammad Mahmud Hijazi (1968,30:65) menjelaskan ayat ini, "Allah telah memberi manusia gairah dan kemampuan untuk meneliti dan menyelidiki untuk mengadakan percobaan sehingga sampai pada pengetahuan tentang rahasia alam semesta serta tabiat segala hal. Lalu ia menundukkan semuanya untuk berbakti memenuhi kehendak manusia." 6. Al-Bayan ditafsirkan sebagai kemampuan berbicara, pengetahuan tentang halal dan haram, kemampuan mengembangkan ilmu. Lihat al-Syaukani (1964, 5:131), al-Thabathabai (TT, 19:95) 7. Abd al-Karim Biazar menulis tentang the Covenant in the Qur'an sebagai kunci yang mempersatukan ayat-ayat dalam setiap surat al-Qur'an. Surat-surat dalam al-Qur'an mengingatkan manusia pada perjanjian Allah, yang terdiri dari pihak pertama (Allah) pihak kedua (Manusia), nikmat Allah, daftaer kondisi yang harus dipenuhi pihak kedua, janji, ancaman, saksi, sumpah dengan ayat-ayat Allah, tanda-tanda yang berjanji, dan pelajaran dari masa lalu. Biazar (1366) banyak memberikan contoh-contoh yang menarik. 8. Tentang perjanjian manusia di alam dzarrah ini, terjadi banyak ikhtilaf di kalangan mufassir. Uraian berbagai pendapat tersebut beserta kritiknya disajikan lengkap oleh Subhani (1400:75 106). DAFTAR KEPUSTAKAAN Abd al Baqi, Muhammad Fuad, Tanpa tahun, Al-Mu'jam al Mufahras Li al-Alfazh al Qur'an al-Karim, Beirut: Dar el-fikr. Al-'Aqqad Abbas Mahmud, 1974, "Al-lnsan fil Qur'an" dalam Al-A'mal al-Kamilah, jilid 7, Beirut: Dar al-Kutub al-Lubuani. Al-Faruqi, Ismail, 1404, "Nazhriyat al-lnsan fi 'l- Qur'an," al-Tawhid, no 9, tahun 2. Ali, Yusuf 1977, The Holy al-Qur'an American Trust Publication. Al-Syaukani, Muhammad bin Ali. 1964, Fath al-Qadir Kairo: Mustafa Al-Babi al-Halbi. Al-Thabathabai, Muhamad Hussein, Al-Mizan fi 'l-Tafsir al-Qur'an, Qum: Al-Hauza al-Ilmiyah. Al-Thabrasi, Abu Ali Al-Fadhl, 1937. Majma' al-Bayan, Sida: A1-Irfan Bakker, Dirk. 1966, Man in The Qur'an, Amsterdam: Drukkerrij Holland NV: Biazard, Ahd al Karim, 1356. The Covenant in The Koran, Penerbit tidak diketahui. Boisard, Marcel A, 1978, L'humanisme de L'Islam, Paris: Albin Michel. Hijazi, Muhammad Mahmud, 1968, Al-Tafsir al-Wadhih Kairo: A1-Istiqdal al-Kubra. Izutsu, Toshihiko. 1964, God and Man in The Koran, Tokyo Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies. ------, 1966, Ethico Religious Concepts in the Qur'an, Montreal: McGill University Press. Leahy, Louis, 1986, Manusia: Sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia. Mutahhari, Murtadha, Tanpa tahun, Al-Insan wa 'l-Iman Teheran: Muassasah al-Bi'tsah. ------, 1986. Manusia dan Agama, Bandung: Mizan. Othman, Ali Issa, 1960, The Concept of Man in Islam in the writings of Al Ghazali, Kairo: Dar al-Maaref Qardhawi, Yusuf. 1973. Al-Iman wa 'l-Hayat, Maktabah Wahbah. ------, 1977. Al-Khashaish al-Amimah li 'l-Islam. Maktabah Wahbah Rahman, Fazlur, 1965, The Qur'anic Concept of God, the universe, and Man. Islamic Studies, March 1967, VI: 1. ------, 1980. Major Themes of the Qur'an. Chicago: Bibliotheca Islamica Subhani, Ja'far, 1400. Ma'alim al-Tawhid fi 'l-Qur'an al-Karim. Qum: Antara lain Khayyam. -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |