|
|
|
|
|
I.3. KONSEP ASBAB AL-NUZUL - Relevansinya Bagi Pandangan
Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan
oleh Masdar F. Mas'udi (2/3)
Jadi firman itu memang turun kepada Nabi berkenaan dengan
suatu peristiwa konkret yang menyangkut sepasang suami-istri.
Dapat dilihat bahwa dalam peristiwa Zaid dan Zainab dan yang
"ditangani" langsung oleh kitab suci itu terdapat kaitan
antara suatu nilai hukum kulli (universal), yaitu pembatalan
makna legal praktek mengangkat anak, dengan sebuah kasus jaz'i
(partikular), yaitu perceraian Zaid dari Zainab dan perkawinan
Nabi dengan Zainab, bekas "menantu"-nya.
Masalah selanjutnya yang lebih esensial dari contoh di atas
itu ialah, bagaimana suatu nilai dari sebuah kasus dapat
ditarik dari dataran generasitas yang setinggi-tingginya.
Dengan begitu nilai tersebut tidak lagi terikat oleh
kekhususan peristiwa asal mulanya dan dapat diberlakukan pada
kasus-kasus lain di semua tempat dan sepanjang masa (dan
inilah makna universalitas suatu nilai). Para ahli hukum Islam
telah membuat patokan untuk masalah ini, dengan kaidah mereka,
"Pengambilan makna dilakukan berdasarkan generalitas lafal,
tidak berdasarkan partikularitas penyebab" (Al-Ibrah bi umum
al-lafdh, la bi khushush al-sabab). Tetapi sebuah generalisasi
hanya dapat dilakukan jika inti pesan suatu firman dapat
ditangkap. Ini dengan sendirinya menyangkut masalah kemampuan
pemahaman yang mendalam sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
Lalu, pada urutannya, tersangkut pula masalah tafsir, atau
bahkan mungkin ta'wil (interprestasi metaforis) yang tidak
jarang menimbulkan kontroversi. Sebab dalam melakukannya
selalu ada kemungkinan dicapai suatu pandangan, atau tindakan,
yang pada lahirnya seperti meninggalkan atau menyimpang dari
ketentuan Kitab
Contoh klasik dari persoalan tersebut ialah tindakan Umar ibn
al-Khaththab pada waktu menjabat sebagai khalifah. Komandan
kaum beriman (Amir al-Mu'minin) itu tidak membenarkan seorang
tokoh Sahabat Nabi kawin dengan wanita Ahl al-Kitab (Yahudi
atau Kristen), padahal al-Qur'an jelas membolehkannya.
Penyebutan tentang dibolehkannya lelaki Muslim kawin dengan
wanita Kristen atau Yahudi dalam al-Qur'an ada dalam rangkaian
dengan penyebutan tentang dihalalkannya makanan kaum Ahl
al-Kitab itu bagi kaum beriman, sebagimana makanan kaum
beriman halal bagi mereka:
Mereka bertanya kepada engkau (Nabi) tentang apa yang
dihalalkannya untuk mereka. Jawablah, "Dihalalkannya bagi kamu
apa saja yang baik; juga (dihalalkan bagi kamu binatang yang
ditangkap) oleh binatang-binatang berburu yang kamu latih
dengan kamu biasakan menangkap binatang buruan dan kamu ajari
binatang-binatang itu dengan sesuatu (ketrampilan) yang
diajarkan Allah kepada kamu, karena itu makanlah apa yang
ditangkap oleh binatang berburu itu untuk kamu, dan sebutlah
nama Adlah atasnya, serta bertaqwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha Cepat dalam perhitungan. Pada hari ini
dihalalkan pada kamu perkara yang baik-baik. Makanan mereka
yang mendapat Kitab Suci (Ahl al-Kitab) adalah halal bagi
kamu, dan makanan kamu halal bagi mereka. Dan (halal, yakni
dibenarkan kawin, bagi kamu) para wanita merdeka dari kalangan
wanita beriman, juga wanita merdeka dari kalangan mereka yang
mendapat Kitab Suci sebelum kamu, jika kamu beri mereka
mahar-mahar mereka, dan kamu nikahi mereka (secara sah), tanpa
kamu menjadikan mereka objek seksual semata (zina), dan tanpa
kamu memperlakukan mereka sebagai gundik. Barangsiapa menolak
untuk beriman, maka sungguh sia-sialah amal perbuatannya, dan
ia di akhirat akan tergolong orang-orang yang merugi." (QS.
al-Maidah/5:4-5).
Tapi Umar seperti dalam beberapa kasus lain, tidak berpegang
kepada makna lahiriah bunyi lafal firman itu. Suatu ketika
Umar menerima surat dari Hudzaifah ibn al-Yamman, yang isinya
menceritakan bahwa ia telah kawin dengan seorang wanita Yahudi
di kota al-Mada'in, ketika Hudzaifah meminta pendapat. Maka
Umar, dalam surat jawabannya memberi peringatan keras, antara
lain dengan mengatakan: "Kuharap engkau tidak akan melepaskan
surat ini sampai dia (wanita Yahudi) itu engkau lepaskan Sebab
aku khawatir kaum Muslim akan mengikuti jejakmu, lalu mereka
mengutamakan para wanita Ahl al-Dzimmah (Ahl al-Kitab yang
dilindungi) karena kecantikan mereka. Hal ini sudah cukup
sebagai bencana bagi para wanita kaum muslim."
Menurut julur penuturan lain, Umar menegaskan bahwa kaum
lelaki muslim kawin dengan wanita Ahl alKitab tidaklah
terlarang atau haram. Ia hanya mengkawatirkan terlantarnya
wanita muslimah. Disebabkan oleh meluasnya daerah kekuasaan
politik kekhalifahan Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa bukan
muslim yang menjadi rakyat kekhalifahan itu, maka kesempatan
nikah dengan wanita Kristen dan Yahudi juga menjadi terbuka
lebar. Apabila kelak, setelah Persia dibebaskan (di zaman Umar
sendiri) dan lembah Indus oleh Muhamad ibn Qasim (di zaman
al-Walid ibn al-Malik), konsep tentang Ahl al-Kitab diperluas
meliputi kaum Majusi dan Hindu-Buddha. Karena itu banyak ahli
fiqih yang berpandangan bahwa konsep Ahl al-Kitab tidak
terbatas hanya kepada kaum Yahudi atau Kristen saja, tetapi
dapat diperluas juga kepada kaum Majusi atau Zoroastri (sudah
sejak Umar), dan kepada kaum Hindu, Buddha, Konfusianis,
Taois, Shinthois dll. Sebab, seperti dikatakan oleh Abd
al-Hamid Hakim, seorang tokoh terkemuka pembaharuan Islam di
Sumatra Barat, asal-usul agama-agama Asia itupun adalah paham
Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid, dan agama-agama itu
mempunyai kitab suci. [3]
Maka apa yang dikuatirkan khalifah sungguh-sungguh dapat
menjadi kenyataan, yaitu terlantarnya kaum muslimah sendiri
jika kaum muslim lelaki diizinkan dengan bebas menikah dengan
wanita Ahl al-Kitab. Sebab waktu itu kaum muslim itu hanya
terbatas kepada minoritas kecil para penguasa politik dan
militer dan hampir terdiri hanya dari bangsa Arab saja, dan
belum banyak kalangan dari bangsa lain yang memeluk Islam,
sekalipun berada di negara Islam. Meskipun ternyata larangan
(sementara) Umar itu lambat laun ditinggalkan (dan bangsa Arab
umumnya melakukan integrasi total dengan penduduk di mana
mereka hidup sehingga lebur dengan bangsa setempat), namun
kebijakan khalifah kedua itu menjadi preseden dalam
yurisprudensi Islam tentang kemungkinan dilakukannya kebijakan
khusus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Jadi ada
timbangan sisi historis dan humanis dalam menetapkan suatu
hukum.
MASALAH KEPENTINGAN UMUM (AL-MASHLAHAT AL-AMMAH)
Maka berdasarkan tindakan Umar itu, para ahli hukum Islam masa
lalu, seperti, misalnya, Muhamad ibn al-Husain, mengatakan,
"Kita ikuti pendapat Umar itu, namun kita tidak memandang
perkara tersebut (lelaki muslim kawin dengan wanita Ahl
al-Kitab) sebagai terlarang. Kita hanya berpendapat hendaknya
para wanita muslim diutamakan, dan itulah juga pendapat Abu
Hanifah." Kemudian rektor universitas al-Azhar, Dr.
Abd-al-Fattah Husaini al-Syaikh, mengatakan bahwa tindakan
khalifah kedua itu menyalahi nas atau lafal Kitab Suci, juga
menyalahi apa yang dilakukan sebagian para Sahabat Nabi.
Sebab, selain Hudzaifah, ada beberapa tokoh Sahabat Nabi yang
beristrikan wanita Ahl al-Kitab, seperti, misalnya, Utsman bin
Affan, khalifah ketiga, yang beristrikan wanita Kristen Arab,
Na'ilah al-Kalbiyah, dan Thalhah ibn Ubaid-Allah yang
beristrikan seorang wanita Yahudi dari Syam (Syiria). Tetapi,
kata rektor al-Azhar lebih lanjut, Umar tidak melakukan
larangan itu kecuali setelah melihat adanya hal yang kurang
menguntungkan bagi masyarakat Islam. Dan Umar tidaklah
mengatakan sebagai haram --hal mana tentu akan berarti
menentang hukum Allah-- melainkan hanya sekedar menjalankan
suatu patokan yang sudah tetap dikalangan para ahli, bahwa
pemerintah boleh melarang sementara sesuatu yang sebenarnya
halal jika ada faktor yang merugikan masyarakat. Tetapi faktor
itu lenyap, maka dengan sendirinya lenyap pula alasan
melarangnya. [4]
Karena itu ada yang menyatakan bahwa tindakan khalifah kedua
itu adalah sejenis tindakan politik (tasharuf siyasi), yang
timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut
tuntutan zaman dan tempat. Kekhalifahan Umar adalah masa
permulaan pembebasan negeri-negeri sekitar Arabia, khususnya
Syria, Mesir dan Persia, yang dalam hal ini adalah jauh lebih
kaya daripada Hijaz di Jazirah Arabia. Kekayaan yang melimpah
ruah secara tiba-tiba akibat banyaknya harta rampasan perang,
termasuk juga wanita tawanan (yang menurut hukum perang di
seluruh dunia pada waktu itu tawanan perang, lelaki maupun
lebih-lebih lagi perempuan, adalah sepenuhnya berada dibawah
kekuasaan dan menjadi "milik" perampasnya), membuat ibukota,
Madinah, mengalami berbagai perubahan sosial yang besar, yang
dapat menjadi sumber krisis. Maka Umar dengan berbagai
kebijakannya adalah seorang penguasa yang berusaha mengurangi
sesedikit mungkin efek kritis perubahan sosial itu.
Dan Umar tidak hanya menerapkan kebijakan politik melarang
sementara perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab. Ia juga
dicatat membuat deretan berbagai kebijaksanaan "kontroversial"
seperti meniadakan hukum potong tangan bagi pencuri di masa
sulit seperti paceklik; penghapusan perlakuan khusus pada para
mu'allaf; larangan berkumpul untuk selamanya bagi wanita
dengan lelaki yang tidak dikawininya pada saat menunggu
(iddah), pengefektifan hukum talak tiga (talak batin yang
dilarang rujuk) bagi orang yang menyatakan talak tiga kali
kepada istrinya meskipun pernyataan itu diucapkan sekaligus
dan tanpa tenggang waktu; pembagian tanah-tanah pertanian di
Syria dan Irak kepada penduduk setempat (tidak kepada tentara
Islam seperti sebagian besar Sahabat Nabi berpendapat
demikian); pembagian tingkat penerimaan "ransum" (semacam gaji
tetap) bagi tentara Islam berdasarkan seberapa jauh ia banyak
atau kurang berjasa dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi
(padahal Abu Bakar, pendahulunya, menerapkan prinsip
penyamarataan antara semuanya).
Semua tindakan tersebut tidaklah dilakukan khalifah menurut
kehendak hatinya sendiri. Menurut Dr Abd-al-Fattah, Khalifah
dalam menetapkan kebijakan hukumnya menerapkan prinsip bahwa
semua hukum agama mengandung alasan hukum (illah, ratio legis)
yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, sejalan dengan
kepentingan umum (al-mashlahat al-ammah) dan sesuai dengan
tanggungjawab seorang penguasa dan pelaksana hukum
bersangkutan. [6] Dan meskipun, sebagai misal, Umar berbeda
dengan Abu Bakar dalam kebijakannya tentang penyamarataan atau
pembedaan besarnya jumlah ransum tentara, namun kedua-duanya
bermaksud membela keadilan. Abu Bakar berpendapat bahwa
keadilan terwujud dengan penyamarataan antara semua tentara
Islam, tanpa memandang masa lampau mereka. Sebaliknya Umar
justru berpendapat akan tidak adil jika masa lalu
masing-masing tentara itu diabaikan, padahal sebagian dari
mereka benar-benar jauh lebih berjasa daripada sebagian yang
lain. Rasa keadilan mengatakan bahwa sebagian orang yang
berbuat lebih banyak tentunya juga harus mendapatkan balas
jasa dan penghargaan lebih banyak.
MASALAH HISTORIS AJARAN KEAGAMAAN
Itulah wujud contoh apa yang dikemukakan di atas, yaitu bahwa
masalah penarikan atau pengangkatan makna umum (generalisasi)
suatu nilai hukum akan menyangkut masalah penafsiran dan
kemampuan memahami lebih mendalam inti pesan yang
dikandungnya. Dan karena kemampuan tersebut dapat berbeda-beda
antara berbagai pribadi, maka hasilnya pun dapat berbeda-beda
pula. Yang jelas ialah, seperti dikatakan rektor al-Azhar,
pendirian Abu Bakar dan Umar membuktikan bahwa yang dituju
oleh hukum ialah makna atau pesan yang dikandungnya (al-ahkam
turadu li ma ani-ha). [6] Ini membawa kita kembali pada
polemik sekitar kiblat shalat yang telah dikemukakan di atas.
Yaitu bahwa kiblat, dalam arti wujud fisiknya yang menyangRut
formalitas penghadapan wajah ke suatu arah tertentu, tidaklah
dimaksudkan pada dirinya sendiri, melainkan dimaksudkan
maknanya. Dan karena lebih penting daripada formalitas, maka
makna tidak boleh ditinggalkan, sementara formalitas dalam
keadaan tertentu boleh ditinggalkan.
Konsep asbab al-Nuzul mempunyai kaitan yang erat dengan konsep
lain yang juga amat penting, yaitu nasikh-mansukh, berkenaan
dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik Kitab
maupun Sunnah. Konsep itu, seperti yang pandangan teoretisnya
dikembangkan oleh para ahli fiqih dengan kepeloporan Imam
al-Syafi'i, menyangkut masalah adanya bagian tertentu dari
al-Qur'an ataupun Hadits yang "dihapus" (mansukh) dan yang
"menghapus" (nasikh). [7] Meskipun teori "hapus-menghapuskan"
ini tidak lepas dari kontroversi, namun sebagian besar ulama
menganutnya, dengan perbedaan disana-sini dalam hal materi
mana yang menghapus dan mana pula yang dihapus. Yang jelas
ialah bahwa dalam kaitannya dengan konsep tentang asbab
al-Nuzul, konsep nasikh-mansukh juga mengandung kesadaran
historis di kalangan ahli hukum Islam.
Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi
salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik
dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson,
yang ikut berharap bahwa umat Islam akhirnya akan mampu
menjawab tantangan zaman:
-------------------------------------------- (bersambung 3/3)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |