Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang YayasanISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI           (2/3)
        SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH
                                           oleh Zainun Kamal
 
Lain halnya dengan kitabnya al-Luma', yang  ditulis  setelah
kitab  al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.
Maka di sini terlihat kembali  kajian  keagamaan  al-Asy'ari
dengan  dalil-dalil  rasional  dan  membangun  ilmu kalamnya
sendiri. Dengan demikian,  ketika  menulis  kitab  al-Luma',
argumentasi   rasional  al-Asy'ari  menonjol  kembali  dalam
memahami   nash-nash   agama   dan   terlihat   interpretasi
metaforisnya  (ta'wil).  Kecenderungannya  pada  metode kaum
Mu'tazilah inilah  yang  menyebabkan  kaum  Hambali  menolak
paham teologi al-Asy'ari.
 
Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap
al-Ghazali  yang  mencoba  menyerang  para  filsuf,   tetapi
kenyataannya  ia  tetap  mempergunakan metode falsafah dalam
kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah  yang
dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke
dalam  kandang  falsafah,  kemudian  berusaha  keluar,   dan
berputar-putar  mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya
lagi untuk keluar.
 
Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah barang tentu  al-Asy'ari
berpendapat,  bahwa  Tuhan  mempunyai  sifat. Mustahil Tuhan
sendiri merupakan pengetahuan ('Ilm). Yang benar, Tuhan  itu
mengetahui  (Alim).  Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,
bukanlah  dengan  Zat-Nya.  Demikian   pula   bukan   dengan
sifat-sifat  seperti,  sifat  hidup, berkuasa, mendengar dan
melihat. [20]
 
Disini terlihat, al-Asy'ari menetapkan  sifat  kepada  Tuhan
seperti  halnya  kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup
berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan  sifat  kepada  Allah,
sebagaimana  teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.
Mereka hanya menerima arti dengan jalan  kepercayaan,  bahwa
sifat-sifat  Allah  berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu
hati-hatinya mereka dalam  menjaga  persamaan  Allah  dengan
makhluk-Nya,   sehingga   mereka   mengatakan,  "Siapa  yang
tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat  yang  berbunyi
"Aku  (Allah)  ciptakan  dengan tangan-Ku," lalu ia langsung
mengatakan, wajib dipotong tangannya." [21]
 
Lain halnya dengan al-Asy'ari, baginya arti sifat tidak jauh
berbeda   dengan  pengertian  sifat  bagi  Muitazilah.  Bagi
al-Asy'ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat  bukan  Zat,
dan  bukan  pula  lain  dari  Zat.  Ungkapan al-Asy'ari yang
seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak  terlepas  dari
paradoks. [22]
 
Bagi   Mu'tazilah,   sifat  sama  dengan  Zat.  Sifat  tidak
mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika  dikatakan,  yang
mengetahui  ('Alim),  maka  artinya  menetapkan  pengetahuan
('Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui  itu  adalah  Zat-Nya
sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk
memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan
yang  berkuasa  (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)
bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya  sendiri.  Artinya,
menafsirkan kelemahan Allah. [23]
 
Masih  berbicara  tentang  tauhid, pemikiran al-Asy'ari yang
lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,
al-Asy'ari  membawakan  argumen  rasio  dan nash. Yang tidak
dapat dilihat, kata  al-Asy'ari,  hanyalah  yang  tak  punya
wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan
oleh karena itu dapat dilihat. [24]
 
Argumen   al-Qur'an   yang   dimajukannya    antara    lain,
"Wajah-wajah  yang  ketika itu berseri-seri memandang kepada
Allah" (QS. al-Qiyamah: 22-23).
 
Menurut al-Asy'ari kata nazirah  dalam  ayat  itu  tak  bisa
berarti   memikirkan  seperti  pendapat  Mu'tazilah,  karena
akhirat bukanlah tempat  berfikir;  juga  tak  bisa  berarti
menunggu,  karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang
menunggu adalah manusia.  Lagi  pula,  di  sorga  tidak  ada
penungguan,  karena  menunggu  mengandung  arti  dan membuat
kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena  itu,  nazirah  mesti
berarti melihat dengan mata kepala. [25]
 
Sungguhpun  al-Asy'ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin
nanti dapat melihat Tuhan di  Akhirat  dengan  mata  kepala,
namun   pemahamannya   bukanlah  bersifat  harfiyah.  Tetapi
menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan
itu  tidak  mesti  mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,
tetapi hanya merupakan  suatu  penglihatan  pengetahuan  dan
kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan
bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]
 
Namun demikian, untuk  dapat  menerima,  bahwa  Tuhan  dapat
dilihat  nanti  di  akhirat, maka al-Asy'ari memerlukan pula
untuk menafsirkan atau menta'wilkan ayat yang berikut ini:
 
Artinya: "Penglihatan  tak  dapat  menangkap-Nya  tetapi  ia
dapat   mengangkat  penglihatannya."  (al-An'am:  103)  Ayat
tersebut di  atas  diartikan  oleh  al-Asy'ari,  bahwa  yang
dimaksud  tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan
bukan di akhirat. Dan juga  diartikan  tidak  dapat  melihat
Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]
 
Apa  yang  telah  kita  ungkapkan  di atas, adalah merupakan
sebagian dari pemikiran al-Asy'ari tentang tauhid.  Sekarang
kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja
dirangkaikan  keadilan  dengan  tauhid,  karena   pembahasan
tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,
sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq
dengan makhluknya.
 
Al-Asy'ari,  seperti Mu'tazilah, meyakini bahwa Allah adalah
Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita
mewajibkan  sesuatu  kepada  Allah.  Dan  juga menolak faham
al-Shalah wa  al-Ashlah  Mu'tazilah,  artinya,  Tuhan  wajib
mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan
manusia. Allah, kata al-Asy'ari, bebas memperbuat  apa  yang
kehendaki-Nya. [28]
 
Al-Asy'ari  meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan.  Keadilan  diartikannya  "menempatkan
sesuatu   pada  tempat  yang  sebenarnya,"  yaitu  seseorang
mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta
mempergunakannya  sesuai  dengan  pengetahuan  pemilik. [29]
Tidak dapat dikatakan salah, kata  al-Asy'ari,  kalau  Tuhan
memasukkan  seluruh  umat  manusia  ke dalam sorga, termasuk
orang-orang kafir, dan  juga  tidak  dapat  dikatakan  Tuhan
bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam
neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak  adil  menurut
pendapatnya  adalah  perbuatan  yang  melanggar  hukum,  dan
karena di atas Tuhan tidak  ada  undang-undang  atau  hukum,
maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
[31]
 
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,
dapat   berbuat   apa  saja  yang  dikehendaki-Nya  terhadap
makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak  kecil  di  hari
kiamat,   menjatuhkan   hukuman   bagi  orang  mukmim,  atau
memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka  Tuhan  tidaklah
berbuat  salah  dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.
[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan
hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.
 
Paham  keadilan  al-Asy'ari  ini mirip dengan paham sebagian
umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator.  Sang
raja  yang  absolut  diktator  itu, memiliki hal penuh untuk
membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian  digambarkan,
bahwa  sang  raja  itu  diatas dari undang-undang dan hukum,
dalam  arti,  dia  tidak  perlu  patuh  dan  tunduk   kepada
undang-undang  dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu
adalah bikinannya sendiri.
 
Dari asumsi itu, kemudian  al-Asy'ari  menganalogikan  bahwa
Allah  adalah  memiliki  kemerdekaan  mutlak. Dia memperbuat
sekehendak-Nya terhadap  milik-Nya.  Maka  tidak  seorangpun
yang   dapat   mewajibkan   sesuatu  kepada  Allah  mengenai
kemaslahatan umat manusia, baik  di  dunia  ini,  maupun  di
akhirat.  [33]  Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,
baik di dunia atau di akhirat, maka  tidak  seorangpun  yang
akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti
seorang raja yang  absolut  diktator,  kalau  ia  menganiaya
seluruh   rakyatnya,   maka   tak  seorangpun  yang  sanggup
menentangnya.  Karena  manusia,  bagi   al-Asy'ari,   selalu
digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya
dan kekuatan  apa-apa  disaat  berhadapan  dengan  kekuasaan
absolut  mutlak.  [34]  Karena manusia dipandang lemah, maka
paham al-Asy'ari dalam hal  ini  lebih  dekat  kepada  faham
Jabariyah  (fatalisme)  dari  faham  Qadariyah  (Free Will).
Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak
dan  kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari  memakai
istilah  al-kasb  (acquisition,  perolehan).  Al-Kasb  dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul  dari  manusia
dengan  perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang
faham kasb ini, al-Asy'ari  memberi  penjelasan  yang  sulit
ditangkap.  Di  satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia
dalam perbuatannya.  Namun  dalam  penjelasannya  tertangkap
bahwa  kasb  itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,
dalam teori kasb manusia tidak  mempunyai  pengaruh  efektif
dalam  perbuatannya.  [35]  Kasb,  kata  al-Asy'ari,  adalah
sesuatu yang timbul dari yang berbuat  (al-muhtasib)  dengan
perantaraan daya yang diciptakan. [36]
 
Melihat  kepada  pengertian,  "sesuatu yang timbul dari yang
berbuat" mengandung  atas  perbuatannya.  Tetapi  keterangan
bahwa  "kasb  itu  adalah  ciptaan Tuhan" menghilangkan arti
keaktifan itu,  sehingga  akhirnya  manusia  bersifat  pasif
dalam perbuatan-perbuatannya.
 
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy'ari tentang diciptakannya
kasb oleh Tuhan adalah ayat:
 
"Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu."  (QS.
al-Shaffat 37:96)
 
Jadi  dalam  paham  al-Asy'ari,  perbuatan-perbuatan manusia
adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat  (agent)
bagi  kasb  kecuali  Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut  al-Asy'ari,
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
 
Bahwa  perbuatan  manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,
dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak  dan
daya  yang  menyebabkan  perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'ari
menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa  yang  mungkin
dikehendaki.  Tidak  satupun didalam ini terwujud lepas dari
kekuasaan  dan  kehendak  Tuhan.  Jika   Tuhan   menghendaki
sesuatu,  ia  pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya
niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:
 
"Kamu tidak  menghendaki  kecuali  Allah  menghendaki"  (QS.
al-Insan 76:30).
 
Ayat  ini  diartikan  oleh al-Asy'ari bahwa manusia tak bisa
menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki  manusia
supaya  menghendaki  sesuatu  itu.  [40] Ini mengandung arti
bahwa kehendak manusia adalah satu  dengan  kehendak  Tuhan,
dan  kehendak  yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak
lain dari kehendak Tuhan.
 
Dalam teori kasb, untuk terwujudnya  suatu  perbuatan  dalam
perbuatan  manusia,  terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan
Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan  adalah  hakiki
dan  perbuatan  manusia  adalah  majazi  (sebagai  lambang).
Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.
Tuhan  dan  manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua
orang yang mengangkat batu  b  esar  ;  yang  seorang  mampu
mengangkatnya  sendirian,  sedangkan yang seorang lagi tidak
mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat  batu
besar  itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat
tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu
tidak  turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.
Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya
Tuhan,  tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat
sebagai pembuat. [43]
                                            (bersambung 3/3)
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang YayasanISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team