Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.39. ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA           (2/2)
       DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI KASUS DI TURKI
 
Oleh Komaruddin Hidayat
 
Sebagaimana dikemukakan oleh Don Peretz, "The general decay of
Ottoman  governmental  institutions coincided with the rise of
more powerful European nation states". [9] Berbagai cara untuk
mengantisipasi kemerosotan Ottoman telah dicoba, misalnya saja
oleh gerakan  Tanzimat,  Turki  Muda,  dan  Sultan  Mahmud  II
(1808).  Di  antara  ciri-ciri  gerakan  yang ditawarkan ialah
berusaha untuk mengenalkan mesin percetakan, ilmu kemiliteran,
dan semacamnya yang dipandang sebagai gerakan baru di Eropa.
 
Namun  berbagai  usaha  itu gagal, antara lain disebabkan oleh
fanastisme  teologis  yang  menimbulkan  keyakinan   kuat   di
kalangan  Sultan  bahwa Tuhan mesti berpihak pada dirinya, dan
orang kafir Eropa  tidak  mungkin  bisa  mengalahkan  kekuatan
Islam.  Lebih  dari  itu,  sistem  pembagian  kekuasaan secara
rasional dengan melibatkan partisipasi massa  sama  sekali  di
luar  jangkauan  para  sultan.  Pendeknya  Sultan adalah pusat
kekuasaan, sedangkan gagasan-gagasan baru yang dikenalkan dari
Eropa  yang tengah bangkit itu dicurigai sebagai kekuatan yang
merongrong wibawa Sultan  serta  dicap  sebagai  budaya  kafir
Eropa.
 
Demikianlah,   Islam  yang  pada  mulanya  telah  mengantarkan
kejayaan  Ottoman,  pada  akhirnya  Islam  di  ideologisasikan
sebagai  kekuatan  penyangga  Ottoman yang nampak besar tetapi
sangat rapuh. Tampaknya perjumpaan  antara  Islam  dan  bangsa
Turki  Usmani  lebih menonjol dalam melahirkan ethos jihad dan
ketaatan pada uli al-amri  ketimbang  ethos  kerja  dan  ethos
keilmuan.  Oleh  karenanya  kita  akan  kecewa  kalau  mencari
tokoh-tokoh pemikir Islam yang brilian  yang  dilahirkan  oleh
bangsa Turki Usmani.
 
GERAKAN KEMAL ATATURK: MASALAH PENAFSIRAN
 
Mengawali  uraian  saya mengenai Islam pasca-Ottoman saya akan
mengutip tiga pendapat sarjana ahli tentang Turki:
 
    After a century of Westernization, Turkey has undergone
    immense changes-greater than any outside observe had
    thought possible. But the deepest Islamic roots of
    Turkish life and culture are still alive, and the
    ultimate identity of Turk and Muslim in Turkey is still
    unchallenged. (Bernard Lewis, 1961)
    
    It has often been thought that this secularism signified
    the separation of state and religion somewhat along the
    lines of French laicism and the involved and
    anti-religious policy seeking to eliminate Islamic
    faith. These assumptions are no correct. In fact, the
    new Turkish Republican regime tried to implement its
    constitutional mandate of freedom of concience by
    setting up goverment agencies charged with helping
    citizens to approach Islam through reason rather than
    tradition. (Howard A. Reed, 1981)
    
    The revitalization of Islam in this country is partly
    due to the success of the campaign to universalize
    education which was the foundation stone of the secular
    Turkish Republic and partly to economic achievements in
    the period 1950-1980. Syerif Mardin, 1989)
 
Pada   29   Oktober   1923   secara   resmi   Republik   Turki
diproklamirkan  oleh  sidang  parlemen  dimana  Mustafa  Kemal
terpilih sebagai  Presiden  pada  umurnya  yang  ke-42  tahun.
Gerakan  republiken  ini sekaligus menghadapi dua musuh, yaitu
kekuatan Sekutu yang  hendak  menguasai  Turki,  dan  kekuatan
tradisional yang berpihak pada ideologi teokratik Osmani.
 
Bila  kita  telaah  bunyi  ke-6  sila ideologi Kemalisme, akan
terlihat begitu jelas bahwa setiap  silanya  merupakan  kritik
dan sekaligus anti-thesis terhadap paradigma Ottomanisme. [10]
Sila   yang   dianggap   kontroversial   tentu   saja   dengan
dinyatakannya  bahwa  Turki menganut faham sekuler. Pernyataan
ini dinilai oleh dunia Islam lainnya sebagai tindakan 'murtad'
dalam pemikiran politik Islam.
 
Tetapi  kalau  gerakan Ataturk kita tempatkan dalam perspektif
sejarah, akan terlihat bahwa gerakannya merupakan mata  rantai
yang  berkesinambungan  dengan  gerakan  sebelumnya.  Apa yang
dilakukan Ataturk merupakan  pengejawantahan  ide-ide  gerakan
modernisasi  dan  westernisasi  yang  pernah  dicanangkan oleh
tokoh-tokoh sebelumnya, terutama Ziya Gokalp.
 
    Zia Gokalp, starting with Durkheim, formulated his own
    concept of community and society, which he defined as
    culture group and cilivization group. Turkism, according
    to Gokalp, aimed at synthesis of Turkish nationalism,
    islam, and modernization, althouh its formula was very
    different from that of the Islamic modernist." [11]
 
Apa yang dirumuskan Gokalp di atas sampai  kini  hampir  tidak
pernah   ditentang   oleh  para  intelektual  Turki.  Hal  ini
mengisyaratkan bahwa secara  cultural  dan  intelektual  Islam
tetap  bertahan  dan  bahkan  sebagai  identitas  bangsa Turki
sampai hari ini. Bila semasa  Ottoman  Islam  telah  mengalami
ideologisasi  untuk mendukung ambisi kekuasaan, kini keislaman
bangsa Turki lebih bersifat individual  dan  cultural.  Dengan
ungkapan  lain,  Ataturk,  sebagaimana Gokalp, akan sependapat
untuk mengatakan "Islam-Yes, Negara Islam-No".
 
Yang secara tegas-tegas ditentang oleh gerakan Ataturk  adalah
Ideologi  Klerikisme, bukannya nilai-nilai Islam. Bahkan dalam
prateknya  sikap  Ataturk  begitu  ekstrim  mengikis   warisan
klerikisme  Ottoman,  hal  ini  tidak  bisa  diingkari.  Namun
begitu, adakah  cukup  sah  untuk  menghukum  Ataturk  sebagai
pengkianat dan telah membuat 'blunder' bagi perkembangan Islam
di Turki ataukah justeru Ia telah  tampil  sebagai  penyelamat
eksistensi  Islam  bagi  bangsa  Turki,  kita  dihadapkan pada
masalah interpretasi sejarah.
 
Ketika Turki Usmani  berada  di  ambang  kehancuran,  terutama
setelah  kekalahannya  dalam  Perang  Dunia I, Ataturk melihat
bahwa satu-satunya ideologi  gerakan  yang  bisa  memobilisasi
massa  dan  kaum  intelektual  Turki  waktu  itu  tak ada lain
kecuali ideologi nasionalisme. Sedangkan model pembaharuan dan
alternatif satu-satunya ialah meniru Barat.
 
Ideologi  kekhalifahan  tidak lagi memiliki daya panggil untuk
berjihad  melawan  kekuatan  Sekutu.  Bahkan   sejak   sebelum
meletusnya  Perang  Dunia  ke-I beberapa wilayah Ottoman telah
menunjukkan usahanya untuk  memberontak  dan  melepaskan  diri
dari  pusat  simbol nasionalisme. Di sini sosok 'nasionalisme'
menampilkan dua fungsinya yang berlawanan.
 
Ketika Ottoman pada puncak  kejayaan,  Eropa  menggunakan  isu
nasionalisme   untuk   memobilisasi   massa   melawan   Eropa.
Demikianlah,  sebagaimana  perjuangan  kemerdekaan  Indonesia,
ideologi  nasionalisme dan Islamisme secara simbolik digunakan
Ottoman.
 
Kemudian, bagaimana kita mesti merumuskan  peran  Ataturk  dan
gerakan  revolusinya  dalam  perspektif  perjalanan  Islam  di
Turki?  Ada  kemiripan  antara  Ottoman  dan  gerakan  Ataturk
melihat  Islam.  Yaitu  Islam  didekati  secara amat pragmatik
untuk  tujuan  politik.  Sebagai  pengagum  Durkheim,  Ataturk
melihat  Islam  sebagai  refleksi sosial masyarakat Turki yang
telah  berakar  sedemikian   rupa   yang   memiliki   kekuatan
integratif  bagi  pertumbuhan  bangsa  Turki. Dengan demikian,
sejak semula tokoh-tokoh gerakan modernisasi dan  westernisasi
di  Turki  tidak pernah menyatakan anti-agama, melainkan ingin
mengadakan rasionalisasi agama, agar  agama  menjadi  kekuatan
penopang bagi kemajuan bangsa Turki.
 
Jadi,   kalaupun   Ataturk   bisa   dianggap  penyelamat  bagi
kelangsungan Islam  di  Turki  dari  ancaman  Eropa  dan  dari
penetrasi  para  missionaris  Kristen,  jasanya terhadap Islam
merupakan implikasi  tidak  langsung  dari  dedikasinya  dalam
membela   bangsa   Turki   dengan   semangat  nasionalismenya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Syerif Mardin, sistem  pendidikan
Barat  yang  dipaksakan  oleh  Ataturk  ternyata telah berjasa
besar  bagi  peningkatan  intelektual  'kaum  santri.'  Sistem
pendidikan  Barat yang sejak awal abed-19 hendak diterapkan di
Turki oleh kalangan intelektual muda dan selalu ditentang oleh
jajaran  Sultan,  baru  berhasil  direalisir pada awal abad-20
dengan  cara  paksa  dan  setelah   Ottoman   berada   diujung
kehancuran.  Dengan  demikian, kalau saja Revolusi Ataturk ini
berlangsung seabad  sebelumnya,  mungkin  sekali  nasib  dunia
Islam  tidak  akan  tertinggal  sedemikian  jauhnya dari Barat
dalam bidang iptek dan sosial kemasyarakatan.
 
Bagaimana   ketertutupan   Ottoman   dari   pengaruh   gerakan
modernisme  Eropa  waktu  itu  diungkapkan  oleh  Bernad Lewis
sebagai berikut:
 
    ... the scientific awakening, humanism, liberalism,
    rationalism, the enlightenment - all great European
    adventures and confilcts of ideas passed unnoticed and
    unreflected in society to which they were profoundly
    alien and irrelevant. The same is true of the great
    social, economic, and political changes. The rise and
    fall of the baronage, the rise of the new middle class,
    the struggle of money and land, of city-state, and
    Empire all the swift yet complex evolution of European
    life and society, have no parallel in the Islamic and
    Middle Eastern civilization of the Ottomans. [12]
 
EKSPERIMEN SEJARAH YANG MONUMENTAL
 
Suatu hal yang sudah pasti amat berharga bagi dunia Islam pada
umumnya  ialah bahwa Turki telah melakukan eksperimen sejarah,
secara terang-terangan menyatakan sebagai negara sekuler serta
mengambil Barat sebagai model modernisasinya.
 
Tidak  lama  setelah meletusnya Revolusi Iran (1979), beberapa
wartawan asing berdatangan ke Turki dengan  perhitungan  bahwa
negara yang akan mudah tersulut oleh Revolusi itu ialah Turki.
Dugaan itu tidaklah terlalu salah. Pertama, pemeluk  Syiah  di
sana  diperkirakan  sekitar  10 juta, meskipun angka ini tidak
pernah  terungkap  secara   resmi.   Kedua,   walaupun   Turki
dinyatakan  sebagai  negara  sekuler, Islam tetap berakar kuat
pada masyarakat Turki, sementara agama selain  Islam  tak  ada
hak hukum untuk menyebar-luaskan missinya.
 
Republik Turki yang berjumlah sekitar 55 juta itu sebanyak 99%
adalah muslim dan antara  'keislaman'  dan  'keturkian'  telah
menyatu  sebagai  identitas diri setiap orang Turki, betapapun
kadar dan  corak  keislaman  mereka.  Sebutan  'sekuler'  bagi
negara  Turki  sejak  mulanya  sesungguhnya  tidak tepat kalau
istilah sekuler itu difahami dalam konteks negara Barat.
 
Di Barat paham sekularisme muncul antara lain  sebagai  akibat
logis  dari  doktrin  gereja  dan  akibat  pertumbuhan  sains,
teknologi  dan  ekonomi,   dimana   etika   Kristiani   secara
epistemologis   tidak   sanggup   menghubungkan  antara  faham
modernisme  dan   keyakinan   agama.   Sedangkan   di   Turki,
sebagaimana  dikemukakan Syerif Mardin, hasil westernisasi dan
modernisasi sistem pendidikan yang  diimport  Ataturk  justeru
pada gilirannya telah memberikannya peluang dan fasilitas bagi
umat Islam Turki untuk beradaptasi dengan  dunia  Barat  tanpa
harus terserabut keyakinan agamanya.
 
Jadi,  corak  keislaman  yang muncul dewasa ini bisa dikatakan
sebagai keislaman pasca-Ottoman dan pasca-Kemalisme.  Terutama
sejak 1O tahun terakhir ini, secara ideologis antara Kemalisme
dan Pancasila hanya berbeda dalam teorinya  saja,  namun  pada
praktek kenegaraan tidak jauh berbeda, yaitu baik Turki maupun
Indonesia  bukanlah  negara  teokratis,  bukan  pula  sekuler.
Negara  bertanggungjawab bagi pembinaan dan pengembangan Islam
bagi masyarakat Turki. Hal ini antara  lain  termanifestasikan
dalam  pembinaan  sekolah-sekolah agama, sejak dari tingkat SD
sampai Perguruan Tinggi, sejak  dari  pengangkatan  para  imam
atau  khatib  sebagai pegawai negeri sampai pengangkatan Atase
Agama pada kedutaan Turki  untuk  memberikan  pelayanan  agama
pada masyarakat Turki di negeri orang.
 
Secara  sosiologi,  barangkali saja keislaman model Turki akan
juga dilalui  oleh  masyarakat  Islam  lainnya  ketika  mereka
memasuki  kehidupan  modern.  Salah  satu  cirinya ialah agama
cenderung  sebagai  urusan  pribadi,  sebagai  tuntutan   etis
terjadinya  depolotisasi  dan  deideologisasi  agama,  praktek
ibadah yang cenderung "longgar" meningkatnya minat orang  pada
tasawuf.
 
Semua  ini  begitu  menyolok  menggejala  di Turki atau bahkan
telah menjadi corak keberagamaan mereka. Satu hal yang  mereka
tidak  miliki,  dibanding  Indonesia,  ialah rasa 'persaingan'
dengan agama lain di dalam negeri  sendiri.  Lebih  dari  itu,
baru  akhir-akhir  ini  saja  mulai  muncul generasi baru yang
merepresentasikan    generasi    Islam    pasca-Ottoman    dan
pasca-Kemalis,   yaitu   generasi  yang  tetap  konsisten  dan
memiliki wawasan keislaman dan sekaligus  juga  wawasan  sikap
kemodernan  sebagaimana  yang  dilihat  Gokalp ataupun Ataturk
pada masyarakat Barat.
 
PENUTUP
 
Dari  eksperimen  sejarah  yang  dilakukan   Turki,   hasilnya
memperkuat  teori  yang  mengatakan  bahwa  konsep sekularisme
Barat tidak akan tumbuh ketika ditabur atau  diterapkan  dalam
masyarakat  muslim. Kedua, semakin modern dan semakin rasional
seseorang  atau   masyarakat,   keislaman   mereka   cenderung
terefleksikan   dalam  etika  pribadi  dan  sosial,  sedangkan
hubungannya dengan Tuhan cenderung pada  pendekatan  sufistik.
Ketiga,   meskipun  pada  level  praksis  dan  ideologi  Islam
senantiasa    dipengaruhi    oleh    tradisi    lokal    serta
kepentingan-kepentingan  subyektif, secara epistemologis Islam
tetap memiliki  vitalitas  yang  bersifat  rasional,  sehingga
dengan demikian modernisasi tidak akan menjadikan ancaman bagi
Islam.
 
CATATAN
 
 1. Taylor, Paul W., Problems of Moral Philosophy.
    California: Deckenson Publishing Compant Inc., p. 3
    
 2. Hourani, George F., Reason and Traditon in Islamic
    Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, p. 25
    
 3. Ayat al-Qur'an berulangkali menuntut pembacanya agar
    berjihad dengan menggunakan akalnya untuk menangkap
    pesan-pesan etis yang terkandung di dalamnya. Oleh
    karenanya adalah hal yang logis saja bahwa dalam sejarah
    Islam selalu terjadi perbedaan dan konflik intelektual
    yang dinamis antara sesama ahli pikir.
    
 4. Lihat Erns Cassirer, An Essay on Man, Yale University
    Press,
    
 5. Weiner, Myron., Modernisasi, Dinamika Pertumbuhan,
    Gajah Mada University Press, 1980, p. xii
    
 6. Lihat karya-karya Immanuel Kant, terutama Critique
    Pure Reason dan Religion within the Limit of Reason
    Alone.
    
 7. Peretz, Don, The Middle East Today, New York, 1986,
    p. 59
    
 8. Ibid, loc. cit.
    
 9. Ibid, p. fi2
    
10. Ke-6 sila dalam ideologi Kemalisme ialah:
    republikanisme, nasionalisme, populisame, sekularisme,
    etistisme, revolusionisme. semua sila di atas secara
    konotatif merupakan kritik frontal terhadap ideologi
    Ottomanisme.
    
11. Lihat Ergun Ozbodun (ed)., Ataturk, Founder of
    Modern State, London, 1981. Juga dalam Modern Turkey:
    Continuity and Change, Opladen, 1984
    
12. Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey,
    London, 1967, p. 482
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team