| |
|
III.13. FILSAFAT ISLAM (1/3) oleh Harun Nasution Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran. Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi. Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah: 1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu. 2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran. 3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini. Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M. Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M) satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen rasional. Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang, tetapi wajib. Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals). Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis. Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan filsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan, Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa. Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi (al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa. Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah gambaran berikut: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus. Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter. Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars. Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari. Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus. Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri. Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan. Akal X menghasilkan hanya Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal. Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah malaikat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X. Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut paham emanasi. Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik al-Ghazali. -------------------------------------------- (bersambung 2/3) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |