Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.29. PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH                (4/4)
Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern
 
Oleh Nurcholish Madjid
 
Bagi Yamani prinsip  public  interest  atau  kepentingan  umum
adalah  sangat  fundamental.  Berkaitan  dengan  prinsip  ini,
dengan merujuk kepada kitab  Thabaqat  al-Hanabilah  oleh  Ibn
Rajab,  Yamani  mengutip,  dengan  implikasi  sebuah dukungan,
pendapat yang ekstrim  dari  Imam  al-Tuff  yang  diduga  dari
madzhab  Hanbali  (tapi  juga  ada  yang menduganya bermadzhab
Syi'ah), yang mengatakan bahwa kepentingan umum mengatasi  dan
mendahului  ketentuan  tekstual,  sekalipun dari al-Qur'an dan
Sunnah.   Maka   jika   terdapat   pertentangan   pertimbangan
kepentingan  umum  di  satu pihak, dan ketentuan tekstual atau
nas di pihak lain, al-Tufi berpendapat bahwa kepentingan  umum
itu  harus  dimenangkan,  betapapun  absahnya  sebuah  nas. Ia
berpandangan bahwa kepentingan umum itulah yang menjadi maksud
dan  tujuan  Maha  Hakim (Allah), sedangkan ketentuan tekstual
yang diwahyukan dan sumber-sumber lainnya  hanyalah  perantara
untuk  mencapai tujuan itu, dan tujuan harus selalu mendahului
perantaraan atau cara.[32]
 
Lebih jauh, Yamani mengritik  sebagian  kaum  Orientalis  yang
tidak memahami Syari'ah dan mencampuradukkan dua unsurnya yang
berbeda  namun  tidak  terpisah,  yaitu  hukum-hukum  keagaman
('ibadat)   dan   hukum-hukum  kegiatan  manusia  dalam  hidup
keduniaan (mu'amalat):
 
   The religious essence and value of the Shari'a must
   never be overestimated. Many Western Orientalists who
   wrote about Shari'a failed to distinguish between what
   is purely religious and the principles of secular
   transactions. Though both are derived from the same
   source, the latter principles have to be viewed as a
   system of civil Iaw, based on public interest and
   utility, and therefore always evolving to an ideal
   best... The Prophet himself had set precedence for this
   religious-secular relationship when he said "I am only
   human, if I order something pertaining to your religion
   comply, if I order something of my opinion consider it
   in the light that I am only human." Or when he said,
   "You know better about your civil non-religious
   matters." [33]
 
PENUTUP
 
Dari seluruh uraian di atas  dapatlah  disimpulkan,  fiqh  dan
sistem  hukum Islam memiliki kesempatan besar untuk diterapkan
dalam zaman modern. Tetapi  prasyaratnya  ialah,  kaum  Muslim
harus  mampu  terlebih  dahulu menangkap pesan dasar agamanya,
dan berdasarkan itu, mengembangkan pemikiran hukum  yang  akan
menjawab  tuntutan  zaman  dan  tempat. Halangan terbesar bagi
kemungkinan  itu  datang   dari   sikap-sikap   dogmatic   dan
literalis,  yang  kini  masih banyak melanda kaum Muslim. Tapi
dengan bekal inner dynamics Islam itu sendiri, masa depan yang
lebih  baik  tentu  dapat  diciptakan,  sehingga akan terbukti
ramalan Gellner:  Kaum  Muslim  adalah  penarik  manfaat  yang
sebenarnya dari modernitas.
 
CATATAN
 
 1. Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid
    (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil.
    1, h. 108.
    
 2. ... Only Islam survives as a serious faith pervading
    both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition
    is modernisable; and the operation can be presented,
    not as an innovation or concession to oursiders, but
    rather as the continuation and completion of and old
    dialogue within Islam... Thus in Islam, and only in
    Islam, purification modernization on the one hand, and
    the reaffirmation of a putative old local identity on
    the other, can be done in one and the same language and
    set of symbols. The old folk version, once a shallow of
    the central tradition now becomes a repidiated
    scapegoat, blamed for retardation and foreign
    domination. Hence, though not the source of modernity,
    Islam may yet turn out to be its beneficiary. The fact
    that its central, official, "pure" variant was
    egalitarian and scholarly, whilst hierarchy and
    ecstaasy pertained to its expendable, eventually
    disavowed, peripheral forms, greatly aids its
    adaptation to the modern world. In an age of aspiration
    to universal literacy, the open class of scholars can
    expand towards embracing the entire community, and thus
    the 'protestant' ideal of equal access for all
    believers can be implemented. Modern egalitarianism is
    satisfied. Whilst European Protestantism merely
    prepared the ground for nationalism by furthering
    literacy, the reawakened Muslim potential for
    egalitarian scripturalism can actually fuse with
    nationalism, so that one can hardly tell which one of
    the two is of most benefit to the other. (Ernest
    Gallner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge
    University Press, 1981), h. 4-5).
    
 3. By various obvious criteria --universalism,
    scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension
    of full participation in the sacred community not to
    one, or some, but to all, and the rational
    systematisation of social life-- Islam is, of the three
    great Western monotheisms, the one closest to
    modernity. (Gallner, h. 7).
    
 4. Maxime Rodinson, Islam and Capitalism., terjemahan
    dari Perancis oleh Brian Peace (Austin: University of
    Texas Press, 1978), h. 1.
    
 5. Leonard Binder, Islamic Liberalism (Chicago: The
    University of Chicago Press, 1988), h. 211.
    
 6. Lihat QS. Yasin/36:60
    
 7. QS. al-A'raf/7:172.
    
 8. Lihat QS. Thaha/20:115.
    
 9. Lihat QS. al-Baqarah/2:40.
    
10. Lihat QS. al-Ra'd/13:20.
    
11. Lihat QS. al-Ra'd/13:25.
    
12. Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (London:
    E.J. Brill, 1980), h.363, catatan 42.
    
13.Ibid., h. 7-8, catatan 21.
    
14. Lihat QS. Ali Imran 3:79.
    
15. QS. al-Ahzab/433:7.
    
16. Lihat QS. al-Hadid/57:4.
    
17. Lihat QS. al-Baqarah/2:2.
    
18. Lihat QS. al-Ma'idah/5:16.
    
19. Bulugh al-Maram, hadits No. 1551.
    
20. Ibid., hadits No. 1561.
    
21. Lihat QS. Ali Imran 3:19 dan 85.
    
22. "Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi ataupun
    Nasrani, melainkan seorang hanif (lurus kepada
    kebenaran), dan seorang muslim (pasrah kepada Tuhan),
    dan tidaklah dia termasuk mereka yang musyrik.
    Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim
    ialah mereka yang benar-benar mengikutinya dan Nabi ini
    (Muhammad) serta mereka yang beriman. Allah adalah
    pembimbing kaum beriman itu." (QS. Ali Imran/3:67-68).
    
23. Terdapat banyak penegasan, langsung dan tidak
    langsung, berkenaan dengan keislaman para Nabi. Suatu
    penegasan bahwa semua penganut agama (yang benar secara
    generik, hanif) menyembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan
    Yang Maha Esa, dan bersikap pasrah kepada-Nya (Islam).
    Secara umum dapat disimpulkan dari firman Allah tentang
    sikap anak turun Ya'qub Israil):
    
    "Adakah kamu menjadi saksi ketika maut datang kepada
    Ya'qub, ketika ia bertanya anak-anaknya: 'Apa yang kamu
    sembah sesudahku?' Mereka menjawab: 'Kami menyembah
    Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il dan
    Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kami semua pasrah
    (muslimun) kepada-Nya.'" (QS. al-Baqarah 2:133).
    
    Setiap orang yang dikaruniai Allah pangkat kenabian
    pasti menyeru manusia agar berkesadaran Ketuhanan
    (Rabbaniyyun) dan tidak akan menyimpang dari garis
    lurus itu setelah para pengikutnya benar-benar menjadi
    kaum yang pasrah kepada-Nya (muslimun):
    
    "Tidak pernah terjadi pada seorang manusia yang
    kepadanya Allah mengaruniakan kitab suci, ajaran
    kebenaran (hukum) dan kenabian kemudian berkata kepada
    orang banyak: 'Jadilah kamu semua hamba-hamba bagiku,
    bukan bagi Allah!' Melainkan (ia tentu berkata):
    'Jadilah kamu orang-orang yang berkesadaran Ketuhanan
    (Rabbaniyyun) berdasarkan kitab suci yang kamu ajarkan
    dan berdasarkan yang kamu sendiri pelajari.' Dan ia
    (Nabi itu) tidak menyuruh kamu agar kamu mengambil para
    malaikat dan para Nabi yang lain sebagai tuhan-tuhan.
    Apakah patut ia menyuruh kamu menjadi kafir sesudah
    kamu semua menjadi orang-orang yang pasrah (muslimun)?"
    (QS. Ali Imran/3:79-80).
    
24. Lihat QS. al-Ma'idah/5:8.
    
25. Lihat QS. al-Nisa/4:58.
    
26. QS. al-Rahman/55:7-9.
    
27. Ibn Taymiyyah, dalam risalahnya, al-Amr bi
    al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar
    al-Kitab a-jadid, 1396 H/1976 M), h. 40.
    
28. Ibid.
    
29. Fat'hi Utsman, al-Din li al Waqi' (Kuwait: al-Dar
    al-Kuwaytiyyah, tt.), h.91-92.
    
30. Muhammad Asad, h. 149-150, catatan 48.
    
31. Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary
    Issues (Jeddah: The Saudi Publishing House 1388 H), h.
    6-7).
    
32. Ibid., h. 10-11.
    
33. Ibid., h. 13-14.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team